Ras Kelas Faktor yang Mendukung Kaum Patriarki

42 biologis perempuan. Hal itu memunculkan alasan mengapa perempuan seharusnya tidak ditasbihkan Mosse, 1996:85. Mosse 1996:85 menerangkan bagi perempuan Hindu terdapat Manu, diktum pemberi hukum yang banyak dikutip ”sejak ayunan hingga liang lahat seorang perempuan tergantung pada laki-laki: di masa kanak-kanak tergantung pada ayahnya, di masa muda kepada suaminya, di masa tua kepada anak laki- lakinya”.

c. Ras

Perbedaan ras terhadap perempuan sangat mencolok ketika berada dalam lingkungan kerja. Kaum perempuan berkulit putih lebih diutamakan dan mendapat upah lebih dibanding dengan warna kulit yang lain. Penindasan terhadap perempuan kulit putih berbeda dengan penindasan perempuan dengan warna kulit yang lain. Tidak hanya dalam urusan upah atas pekerjaan mereka, tetapi juga atas aspek sosial yang lain. Anggapan yang meninggi-ninggikan ras kulit putih membuat ras dengan warna kulit lain semakin tertindas, begitu juga dengan perempuan di dalamnya. Perempuan yang bukan berkulit tidak hanya mengalami penindasan atas ras kulit putih, tetapi juga mengalami penindasan di dalam rasnya sendiri yang didasarkan atas gender mereka. Perempuan selain kulit putih memikul dua beban. Beban pertama karena mereka terlahir sebagai perempuan dan yang ke dua karena mereka tergolong dengan ras yang bukan ras kulit putih. 43

d. Kelas

Kelas merupakan konsep utama yang digunakan dalam sosiologi untuk meneorikan ketidaksetaraan sosial, Walby 2014:11. Hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial konsep kelas sangat menentukan adanya kesenjangan yang menimbulkan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender. Posisi perempuan ditentukan oleh laki-laki yang hidup bersamanya, baik dengan suami maupun dengan ayahnya. Hal itu menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial, kelas perempuan ditentukan dengan pekerjaan pencari nafkah dalam keluarganya yaitu laki-laki, meskipun perempuan juga bekerja namun statusnya hanyalah sebagai penghasilan tambahan. Posisi perempuan dalam sebuah keluarga menjadi tidak penting, mereka berada di bawah kuasa laki-laki. Bagi perempuan pekerja ada kalanya mereka akan libur dari pekerjaannya dengan alasan melahirkan anak dan urusan-urusan domestik sebagai wujud “tanggung Jawab” perempuan. Delphy via Walby 2014:15 mengungkapkan bahwa ibu rumah tangga merupakan sebuah kelas tersendiri dan suami masuk dalam kategori kelas yang lain. Keduanya memiliki relasi perbedaan ekonomi dan ketidaksetaraan sosial. Ibu rumah tangga merupakan kelas pemroduksi dalam pekerjaan domestik, sedangkan suami mengambil alih. Hal itu menjadikan seorang istri berperan sebagai pelaksana produksi. Semua ibu rumah tangga memperoleh biaya hidup melalui cara yang sama, meskipun jumlahnya berbeda. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki relasi produksi yang sama. 44 Lebih luas lagi Firestone via Walby 2014:17 mengungkapkan bahwa semua perempuan jadi satu, semua laki-laki masuk dalam kelompok yang lain. Dia berpendapat bahwa seks merupakan sebuah kelas. Ibu rumah tangga dan suami juga termasuk di dalamnya atas dasar materi. Hubungan tersebut sebagai hubungan reproduksi, bukan produksi. Perempuan dirugikan dalam reproduksi dengan kehamilan, melahirkan anak, menyusui, mengasuh anak dan sebagainya. Masyarakat Jawa dengan feodalisme dalam konteks sosio-kultural secara horisontal terbagi dalam empat kelas. Koentjaraningrat 1984:231-235, menjelaskan empat kelas antara lain adalah sebagai berikut. Kelas yang biasanya disebut dengan istilah bandara, yaitu kelas yang berisiskan kaum-kaum bangsawan. Adapun dalam masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta sangat kental dengan kelas bandara ini, hal itu disebabkan karena Yogyakarta terdapat dua keraton yang menjadi identitas Yogyakarta sebagai daerah istimewa. Kedua keraton tersebut adalah keraton kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Sri Sultan HB, serta keraton Paku Alam yang dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam. Seseorang dikatakan sebagai bandara apabila dia memiliki garis keturunan dari keraton, atau dengan istilah lain dikenal dengan darah biru. Seorang bandara mempunyai gelar kebangsawanan yang didaskan atas derajat kekerabatannya dengan keraton. Adapun dalam kelas bandara diterapkan berbagai tingkatan sesuai dengan posisinya di dalam keraton. Tingkatan tersebut dapat dijumpai pada gelar yang 45 disandangkan di depan nama orang kelas bandara seperti GKR Gusti Kanjeng Ratu, KPH Kanjeng Pangeran Haryo, GBPH Gusti Bandara Pangeran Haryo. Kelas selanjutnya dikenal dengan istilah priyayi. Kelas ini merupakan kelas orang-orang elit, yaitu orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Seperti pegawai pemerintahan dan pegawai badan usaha milik negara. Kaum priyayi dalam masyarakat Jawa memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Hal itu dikarenakan kaum priyayi biasanya dijadikan sebagai pemimpin yang bisa mengatur dan membimbing masyarakat luas. Tingkatan di bawah priyayi terdapat kelas sodagar, yaitu sekelompok orang yang berprofesi sebagai pedagang. Pedagang yang dimaksud adalah pedagang-pedagang pasar yang menjual hasil bumi dari petani serta kebutuhan- kebutuhan hidup seperti tekstil, hasil ternak yang mereka bawa dari desa ke pasar. Kelas yang paling rendah biasa disebut dengan istilah tiyang alit, yaitu kelas yang berisikan petani apa bila mereka hidup dan berkembang di desa. Adapun jika mereka yang tinggal di kota biasanya sebagai buruh kecil atau kuli dalam lingkungan industri, tukang-tukang yang banyak berada di pinggir jalan, atau di warung-warung.

5. Feminisme sebagai Bentuk Perlawanan terhadap Patriarki