Kerangka Teori TINJAUAN PUSTAKA

commit to user xxxv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

a. Tinjauan Tentang Putusan

a. Pengertian Putusan

Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-11 KUHAP, “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang”. Sedangkan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikerluarkan oleh Kejaksaan agung RI tahun 1985 adalah hasil kesimpulan dari sesuatu yang dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Ada juga yang mengartikan putusan merupakan terjemahan dari kata “vonis”, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan Lilik Mulyadi, 2006 : 52. Dalam ketentuan Pasal 182 ayat 6 KUHAP bahwa putusan sedapat mungkin merupakan hasil musyawarah majelis dengan permufakatan yang bulat, kecuali hal ini telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara yaitu: 1 Putusan diambil dengan suara terbanyak 2 Jika dengan cara ini tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

b. Jenis-jenis Putusan

Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak pada surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan meliputi apa yang didakwakan dalam surat terdakwa terbukti, atau tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali. Bertitik tolak pada kemungkinan- commit to user xxxvi kemungkinan di atas, putusan yang dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara bisa berbentuk sebagai berikut : 1 Putusan Bebas Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum vrijspaark atau acquittal . Inilah pengertian terdakwa diputus bebas, terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya terdakwa ”tidak dipidana”. Berikut beberapa pengertian putusan bebas vrijspraak yang dikemukakan oleh kalangan doktrina, diantaranya: Djoko Prakoso mengemukakan, Vrijspraak adalah putusan hakim yang mengandung pembebasan terdakwa, karena peristiwa- peristiwa yang disebutkan dalam surat dakwaan setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidangan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti Djoko Prakoso, 1985: 270. Menurut Soekarno, bahwa Vrijspraak adalah, Salah satu dari beberapa macam putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan Soekarno, 1978: 15. Harun M. Husein berpendapat sesuai dengan rumusan pengertian bebas dalam Pasal 191 ayat 1 KUHAP, maka dapat kita definisikan bahwa yang dimaksud dengan putusan bebas, ialah putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa dari dakwaan, karena menurut pendapat pengadilan terdakwa tidak terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya Harun M. Husein, 1992: 108. Sehubungan dengan putusan bebas ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono Projodikoro yang dikutip oleh Harun M. Husein, ”Kalau peristiwa-peristiwa yang tersebut dalam surat tuduhan commit to user xxxvii dakwaan seluruhnya atau sebagian, oleh hakim dianggap tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari tuduhan vrijgesproken ” Harun M. Husein, 1992: 108. Dalam praktek peradilan, putusan bebas dibagi menjadi : a Putusan bebas Murni de “ zuivere vrijspraak” Putusan bebas murni adalah putusan akhir dimana hakim mempunyai keyakinan mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa adalah tidak terbukti Rd. Achmad S. Soemadipradja. 1981:89 . Pandangan Mahkamah Agung, bahwa hanya pembebasan murnilah yang tidak dapat diajukan dalam pemeriksaan kasasi Oemar Seno Adjie, 1985:163. b Putusan Bebas Tidak Murni niet zuivere vrijspraak Oleh Prof. Van Bemellen pernah diajukan beberapa putusan bebas tidak murni, yang mestinya bersifat lepas dari segala tuntutan hukum. Pembebasan tidak murni pada hakikatnya merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung, dapat dikatakan apabila dalam suatu dakwaan unsur delik dirumuskan dengan istilah yang sama dalam perundang- undangan, sedangkan hakim memandang dakwaan tersebut tidak terbukti Oemar Seno Adjie, 1985:167. Yurisprudensi konstan dari Mahkamah Agung menyatakan bahwa tidak bisa diajukan upaya hukum terhadap putusan bebas, dan masih membuka untuk pemeriksaan dalam tingkat kasasi terhadap putusan bebas tidak murni. Maka yurisprudensi ini dijadikan dasar bagi Mahkamah Agung untuk mengadakan pemeriksaan terhadap putusan bebas tidak murni. Menurut Oemar Seno Adjie Oemar Seno Adjie, 1985:164, putusan bebas tidak murni mempunyai kualifikasi, sebagai berikut : commit to user xxxviii a Pembebasan didasarkan atas suatu penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebut dalam surat dakwaan. b Dalam menjatuhkan putusan pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, baik absolut maupun relatif dan sebagainya. Untuk mengetahui dasar putusan yang berbentuk putusan bebas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 191 ayat 1 yang menjelaskan, apabila pengadilan berpendapat: 1 Dari hasil pemeriksaan ”di sidang” pengadilan 2 Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya ”tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan Berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan: a Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim. b Tidak memenuhi asas batas minimun pembuktian Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh salah satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dalam ketentuan Pasal 183 sekaligus terkandung dua asas. Pertama, asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif yang mengajarkan prinsip hukum pembuktian, di samping kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula dibarengi dengan keyakinan hakim atas kebenaran commit to user xxxix kesalahan terdakwa. Kedua, Pasal 183 juga mengandung asas batas minimun pembuktian, yang dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah. Sedangkan di dalam KUHP, Buku Kesatu Bab III terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang hal-hal yang mengahapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa. a Pasal 44, apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa ”tidak dapat dipertanggung- jawabkan” kepadanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya, gila, epilepsi, melankolik, dsb. b Pasal 45, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun. c Pasal 48, orang yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan dalam keadaan ”pengaruh daya paksa” overmacth baik yang bersifat daya paksa batin atau fisik. d Pasal 49, orang yang terpaksa melakukan perbuatan pembelaan karena ada serangan ancaman seketika itu juga baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain atau terhadap kehormatan kesusilaan. e Pasal 50, orang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dapat dipidana, terdakwa harus diputus dengan putusan bebas. Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana dan yurisprudensi, akhirnya didapat suatu kesimpulan terkait dengan pengertian dari putusan bebas murni zuivere vrijspraak dan putusan bebas tidak murni onzuivere vrijspraak , sebagai berikut, bahwa dapat ditarik kriteria untuk mengidentifikasi apakah putusan commit to user xl bebas itu mengandung pembebasan yang murni atau tidak murni. Kriteria dimaksud, adalah: a Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang tidak murni apabila: Pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam surat dakwaan, atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya. b Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni, apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana yang didakwakan. 2 Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hakim Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging , yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat 2, yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasarkan kriteria: a Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; b Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena: a Tidak mampu bertanggung jawab Pasal 44 KUHP; b Melakukan di bawah pengaruh daya paksa atau overmacht Pasal 48 KUHP; c Adanya pembelaan terdakwa Pasal 49 KUHP; d Adanya ketentuan Undang-undang Pasal 50 KUHP; dan e Adanya perintah jabatan Pasal 51 KUHP. commit to user xli Dan dapat dilihat juga hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut ”tidak merupakan tindak pidana” tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. 3 Putusan Pemidanaan Bentuk putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Sesuai dengan Pasal 193 ayat 1 penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terdakwa, atau dengan penjelasan lain apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang ditentukan dalam Psasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidanya. 4 Penetapan Tidak Berwenang Mengadili Berdasarkan ketentuan Pasal 147 KUHAP, yang berbunyi: “Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.” Menurut M. Yahya Harahap M. Yahya Harahap, 2000: 336 : Yang pertama dan utama diperiksa adalah apakah perkara yang dilimpahkan penutut umum tersebut termasuk wewenang Pengadilan Negeri tersebut atau tidak. Seandainya Ketua Pengadilan Negeri commit to user xlii berpendapat perkara tersebut tidak termasuk wewenangnya seperti yang ditentukan dalam Pasal 84: a Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan b Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau ditahan di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi yang dipanggil pun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat dimana tindak pidana dilakukan,dan sebagainya. 5 Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat 1 KUHAP, yakni ”Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.” 6 Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan pengadilan yang berupa pernyataan dakwaan penuntut umum batal atau batal demi hukum didasarkan pada Pasal 143 ayat 3 dan Pasal 156 ayat 1. Dengan menghubungkan kedua pasal tersebut Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan putusan yan menyatakan dakwaan batal demi hukum. Baik hal itu oleh karena permintaan yang diajukan terdakwa atau penasehat hukum dalam eksepsi maupun atas wewenang hakim karena jabatannya. Dakwaan batal demi hukum dijatuhkan karena Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan commit to user xliii tidak lengkap. Mengenai surat dakwaan yang batal demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan Mahkamah Agung, Registrasi Nomor: 808KPid1984 tanggal 6 Juni yang menyatakan, ”Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap harus dinyatakan batal demi hukum”. Adapun beberapa alasan pokok yang dapat dijadikan dasar menyatakan dakwaan jaksa batal demi hukum yakni: a Apabila dakwaan tidak merumuskan semua unsur dalih yang didakwakan; b Tidak merinci secara jelas peran dan perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam dakwaan; atau c Dakwaan kabur atau obscuur libel , karena tidak dijelaskan cara bagaimana kejahatan dilakukan.

b. Tinjauan Tentang Upaya Hukum Kasasi

a. Pengertian Upaya Hukum

Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama, maka baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan keberatan atau menolak putusan atau yang di dalam KUHAP dikenal dengan istilah upaya hukum. Menurut ketentuan Pasal 1 butir ke-12 KUHAP, Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

b. Upaya Hukum Kasasi

1 Pengertian Upaya Hukum Kasasi Lembaga kasasi sebenarnya berasal dari Perancis, kata asalnya ialah casser yang artinya memecah. Suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Semula berada di tangan raja commit to user xliv beserta dewannya yang disebut Conseil du Roi . Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis, dibentuklah suatu badan hukum yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum. Jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang-undang dan kekuasaan kehakiman. Pada tanggal 21 Agustus 1790 dibentuklah le tribunal de cassation dan pada tahun 1810 de Cour de cassation telah terorganisasi dengan baik. Kemudian lembaga kasasi ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya di bawa pula ke Indonesia. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya Andi Hamzah, 2002:292. Kemudian dalam perundang-undangan Belanda, tiga alasan untuk melakukan kasasi, yaitu : 1 apabila terdapat kelalaian dalam acara vormverzuim ; 2 peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaannya; 3 apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut cara yang ditentukan undang-undang. Menurut Syafruddin Kalo Syafruddin Kalo, 2007: 46, Dalam bahasa Belanda Cassatie dalam bahasa Inggris Cassation dan dalam bahasa Perancis Caesei yang artinya “pembatalan putusan pengadilan bawahan yang telah dijatuhkan”, oleh Mahkamah Agung dengan dasar : a Transgression , melampaui batas wewenang; b Misjudge, salah menetapkan atau melanggar peraturan hukum yang berlaku; atau c Negligent; adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh suatu ketentuan undang-undang yang mengancam kelalaian itu dan bmembatalkan putusan itu sendiri. commit to user xlv Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan- pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 juncto Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung http:www.google.com kasasi,pengertian-dan-prosedurnya NM. WahyuKuncoro,SH diakses tanggal 12 Oktober 2010. Kasasi merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Upaya hukum kasasi diatur di dalam Pasal 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258 KUHAP. Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin dan uitbouwen dan voorbouwen mengembangkan dan mengembangkan lebih lanjut hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu sendiri Oemar Seno Adji, 1985:43. 2 Maksud dan Tujuan Upaya Hukum Kasasi Tujuan melakukan kasasi, ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum Andi Hamzah, 2002:292. commit to user xlvi Maksud dan tujuan kasasi erat kaitannya dengan pelaksanaan fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi, dalam memimpin dan mengawasi pengadilan bawahan, demi terciptanya kesatuan dan keseragaman penerapan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Adapun maksud dan tujuan kasasi adalah sebagai berikut Harun M. Husein, 1992: 50 : a Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan Pengadilan Negeri atau pengadilan Tinggi Koreksi atas kesalahan atau kekeliruan putusan pengadilan bawahan ini meliputi: 1 Memperbaiki kesalahan penerapan hukum. 2 Memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam cara mengadili. 3 Memperbaiki kesalahan pengadilan bawahan yang berupa tindakan melampaui batas wewenangnya. b Menciptakan dan membentuk hukum baru. c Terciptanya keseragaman penerapan hukum. 3 Alasan-alasan Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Alasan-alasan pengajuan kasasi adalah sebagai berikut: a Alasan Kasasi yang Dibenarkan menurut Undang-undang Alasan kasasi sudah ditentukan secara ” limitatif ” dalam Pasal 253 ayat 1. Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Permohonan kasasi harus mendasarkan keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat 1. Alasan kasasi yang diperkenankan atau yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat 1 terdiri dari : 1 apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; 2 apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; dan commit to user xlvii 3 apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Sedapat mungkin di dalam permohonan kasasi dapat memperlihatkan bahwa putusan pengadilan yang dikasasi mengandung: 1 kesalahan penerapan hukum; 2 atau pengadilan dalam mengadili dan memutus perkara tidak melaksanakan cara mengadili menurut ketentuan undang- undang; dan 3 atau pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, baik hal itu mengenai wewenang absolut maupun relatif atau pelampauan wewenang dengan cara memasukkan hal-hal yang nonyuridis dalam pertimbangannya. M. Yahya Harahap, 2000: 544 b Alasan Kasasi yang Tidak Dibenarkan Undang-undang 1 Keberatan Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Alasan kasasi yang memuat keberatan, putusan Pengadilan Tinggi tanpa pertimbangan yang cukup menguatkan putusan Pengadilan Negeri, tidak dapat dibenarkan dalam pemeriksaan Kasasi. Permohonan kasasi alasan keberatan yang demikian, sebab seandainya Pengadilan Tinggi menguatkan putusan serta sekaligus menyetujui pertimbangan Pengadilan Negeri, hal itu: a Tidak merupakan kesalahan penerapan hukum dan tidak merupakan pelanggaran dalam melaksanakan peradilan menurut ketentuan undang-undang serta tidak dapat dikategorikan melampaui batas wewenang yang ada padanya; b Malahan tindakan Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri masih dalam batas wewenang yang commit to user xlviii ada padanya, karena berwenang penuh menguatkan dan mengambil alih putusan Pengadilan Negeri yang dianggap telah tepat. M. Yahya Harahap, 2000: 546 2 Keberatan atas Penilaian Pembuktian Keberata kasasi atas penilaian pembuktian termasuk di luar alasan kasasi yang dibenarkan Pasal 253 ayat 1. Oleh karena itu, Mahkamah Agung tidak berhak menilainya dalam pemeriksaan tingkat kasasi. 3 Alasan Kasasi yang Bersifat Pengulangan Fakta Alasan kasasi yang sering dikemukakan pemohon ialah ”pengulangan fakta”. Padahal sudah jelas alasan kasasi ini tidak dibenarkan undang-undang. Menurut M. Yahya menjelaskan ”Pengulangan fakta adalah mengulang-ulang kembali hal-hal dan peristiwa yang telah pernah dikemukakan baik dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam memori banding.” M. Yahya Harahap, 2000: 548 Isi memori kasasi yang diajukan hanya mengulang kembali kejadian dan keadaan yang telah pernah dikemukakan pada pemeriksaan pengadilan terdahulu. 4 Alasan yang Tidak Menyangkut Persoalan Perkara Alasan yang seperti ini pun sering dikemukakan pemohon dalam memori kasai, mengemukakan keberatan ynag menyimpang dari apa yang menjadi pokok persoalan dari putusan perkara yang bersangkutan. ”Keberatan yang seperti ini dianggap irrelevan t, karena berada di luar jangkauan pokok permasalahan atau dianggap tidak mengenai masalah pokok yang bersangkutan dengan apa yang diputus pengadilan” M. Yahya Harahap, 2000 : 549. 5 Berat Ringannya Hukuman atau Besar Kecilnya Jumlah Denda Keberatan semacam ini pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan, karena commit to user xlix tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidk takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. Pada prinsipnya mengenai berat ringannya hukuman adalah wewenang judex factie, dan tidak tunduk pada pemeriksaan kasasi sepanjang hukuman itu masih dalam batas ancaman hukuman minimun atau maksimum. Akan tetapi, kalau terjadi pengurangan hukuman sedemikian rupa drastisnya tanpa mengemukakan dasar alasan pertimbangan ditinjau dari segi kejahatan yang dilakukan terdakwa terhadap pengurangan hukuman yang seperti ini dapat dibenarkan sebagai alasan kasasi M. Yahya Harahap, 2000: 551. 6 Keberatan Kasasi atas Pengembalian Barang Bukti Alasan kasasi semacam ini pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan dalam peraturan perundang-undangan, karena tentang berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan maupun tentang besar kecilnya jumlah denda adalah wewenang pengadilan yang tidak takluk pada pemeriksaan tingkat kasasi. ”Ketentuan semacam ini dapat dilihat dari putusan Mahkamah Agung Nomor 107 KKr1977 tanggal 16 Oktober 1978 memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 161976 tanggal 28 Oktober 1976” M. Yahya Harahap, 2000: 551. 7 Keberatan Kasasi Mengenai Novum Didalam kasasi hal-hal yang diperiksa mengenai hal- hal yang telah ”pernah diperiksa” sehubungan dengan perkara yang bersangkutan, baik yang dalam sidang Pengadilan Negeri maupun dalam tingkat banding. Pengajuan dalam keberatan kasasi terhadap ”hal baru” atau ”novum” tidak dapat dibenarkan karena tidak takluk pada pemeriksaan kasasi. Hal ini tercantum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 468 commit to user l KKr1979 tanggal 18 Juni 1980, ”Bahwa keberatan yang diajukan pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan karena hal yang dikemukakan adalah hal baru yang tidak pernah diajukann melalui pemeriksaan judex factie ” M. Yahya Harahap, 2000: 552. Berdasarkan alasan dalam KUHAP Pasal 253 1 maka putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dibatalkan karena: a Peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Makamah Agung Mengadili perkara tersebut. b Cara megadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang- Undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. c Pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain untuk mengadili perkara tersebut. Alasan pengajuan kasasi dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung : a Apabila peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada pelaksanaanya. b Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut undang-undang menurut undang-undang. 4 Prosedur Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Adapun pengajuan kasasi dalam perkara pidana tunduk pada ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang commit to user li menegaskan, dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana. Adapun prosedur pengajuan kasasi dalam perkara pidana adalah sebagai berikut : a Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi. b Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas Pasal 46 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan memori kasasinya. Alasan pengajuan kasasi yang dibenarkan secara hukum hanyalah alasan-alasan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undangundang; atau apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya Pasal 253 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. c Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan Pasal 46 ayat 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. d Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. commit to user lii e Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari Pasal 47 ayat 2 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985. f Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai Pasal 47 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Apabila tenggang waktu 14 hari telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan. Apabila dalam tenggang waktu 14 hari, pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu gugur. Atas anggapan menerima putusan atau terlambat mengajukan permohonan kasasi, maka panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara. g Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung Pasal 48 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan. Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya. Perlu diingat, berdasarkan Pasal 247 ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali. commit to user liii

c. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang

a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-Undang di Indonesia menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalan bahasa Belanda diartikan “ sebagian dari kenyataan” , sedang straafbaar berarti “dapat dihukum”. Sehingga jika diartikan secara harafiah straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum”. Beberapa pakar hukum pidana memberikan pengertian yang berbeda-beda mengenai straafbaarfeit . Menurut P.A.F. Lamintang pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan perkataan ” starfbaar feit ” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ” feit ” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan ” starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ” starfbaar feit ” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan P.A.F. Lamintang, 1997:181. Pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli lain yaitu : 1 Simon, artinya tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum Sudarto, 1990 : 41. 2 Van Hamel, unsur-unsur tindak pidana antara lain, perilaku manusia, dirumuskan dalam perundang-undangan, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidana Sudarto, 1990 : 41. commit to user liv 3 Metzger, perbuatan dalam arti yang luas, bersifat melawan hukum, secara pribadi dapat dipertanggungjawsabkandan diancam dengan pidana Sudarto, 1990 : 41. 4 Wiryono Projodikoro, Pelanggaran norma-norma dalam tiga dalam tiga bidang hukum lain, yaitu Hukum Perdata, Hukum Ketatanegaraan, dan Hukum Tata Usaha Pemerintah, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana Wiryono Projodikoro, 2002: 1. 5 Vos, perilaku manusia, diancam pidana oleh Undang-undang kecuali terdapat dasar untuk menghapuskannya Sudarto, 1990 : 42. Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, yang didefinisikan sebagai “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut” Moeljatno, 2002 : 54. Dari berbagai pengertian straafbaarfeit tindak pidana tersebut di atas, maka untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi, antara lain : 1 perbuatan manusia; 2 memenuhi rumusan undang-undang syarat formil; dan 3 bersifat melawan hukum syarat materiil. Menurut Moeljanto, untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana harus memenuhi unsur-unsur atau elemen tertentu Moeljatno, 2002 : 63, yaitu : 1 Kelakuan dan akibat; 2 Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; 3 Keadaan tambahan yang memberatkan; 4 Unsur melawan hukum yang objektif; atau 5 Unsur melawan hukum yang subjektif. commit to user lv Unsur-unsur Tindak Pidana yaitu: 1 Unsur Subyektif Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku ditinjau dari segi batinnya, yaitu: a kesengajaan dolus atau kealpaan culpa ; b niat atau maksud dengan segala bentuknya; c ada atau tidaknya perncanaan untuk melakukan perbuatan tersebut; dan d adanya perasaan takut, seperti yang disebut dalam Pasal 308 KUHP takut diketahui telah melahirkan bayi. 2 Unsur Obyektif Yang berhubungan dengan keadaan lahiriyah ketika tindak pidana itu dilakukan dan berada di luar batin si pelaku, yaitu : a sifat melawan hukum dari perbuatan itu; b kualitas atau kedudukan pelaku, misal sebagai ibu, pegawai negeri sipil, hakim; c kausalitas yaitu hubungan sebab akibat yang terdapat didalamnya misalnya apakah dengan pukulan yang ringan itu yang merupakan matinya korban, apakah bukan karena penyebab yang lain. Contoh Pasal 362 KUHP.

b. Pengertian Perdagangan

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya, ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu ditempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan C.S.T Kansil, 1985:1. Perdagangan menurut Kamus Hukum, yang berasal dari kata dasar “dagang”, berarti perbuatan yang berkaitan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. “Istilah perdagangan, apabila sama artinya dengan perdagangan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, berarti : membeli untuk commit to user lvi dijual lagi dan kemudian menjual, maka seorang yang membeli saja atau yang menjual saja, tidak termasuk istilah berdagang” Wirjono Prodjodikoro, 1980:85.

c. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

1 Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang Fenomena Perdagangan Manusia khususnya anak dan perempuan atau dikenal dengan istilah Trafficking bukanlah merupakan hal yang asing lagi dewasa ini. “ Traffiic ” dalam Edisi kedelapan Black’s Law Dictionary adalah To trade or deal in goods, illicit drugs or other contraband ”. Bryan A. Garner, 2004: 1534. Perdagangan manusia ini diartikan sebagai suatu fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ketempat lain, yang kemudian dibebani utang untuk biaya proses berimigrasi ini. Dalam KUHP diatur mengenai perdagangan orang. Pasal 297 KUHP menyebutkan, ”Perdagangan orang adalah perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun”. Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: a ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. “... rekrutmen, commit to user lvii transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaanpemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk- bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”. Definisi ini diperluas dengan ketentuan yang berkaitan dengan anak di bawah umur di bawah 18 tahun, bahwa: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of a child for the purpose of exploitation shall be considered “trafficking in persons” even if this does not involve any of the means set forth in subparagraph a Syafrudin. Jurnal. Vol 7. 2008: 134. Definisi tentang perdagangan anak dan perempuan menurut GAATW Global Alliance Againts Trafficking In Women Tahun 1997, adalah seluruh aktivitas yang meliputi perekrutan dan atau transport seseorang anak perempuan di dalam atau melewati batas nasional untuk dijual, bekerja, atau melayani laki-laki dengan cara kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung atau dengan ancaman kekerasan, memanfaatkan posisi dominan, biro perbudakan, penipuan, atau bentuk-bentuk paksaan dan kekerasan yang lain Riza Nizarli, 2006: 6. PBB Perserikatan Bangsa Bangsa dalam Sidang Umum Tahun 1994 menentang perdagangan perempuan dan anak perempuan adalah sebagai berikut : Pemindahan orang melewati batas nasional dan internasional secara gelap dan melanggar hukum, terutama dari negara berkembang dan dari Negara dalam transisi ekonomi, dengan tujuan memaksa perempuan dan anak perempuan masuk ke dalam situasi penindasan dan eksploitasi secara seksual ekonomi, sebagaimana juga tindakan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan manusia seperti pekerja paksa domestik, kawin palsu pekerja gelap, dan adopsi palsu commit to user lviii demi kepentingan perekrutan, perdagangan dan sindikat kejahatan. Deklarasi Stockholm membatasi trafficking sebagai: “illicit clandestine movement of persons across borders with the end goal of forcing these persons into sexually or economically oppressive and exploitative situation for profit of recruiters, trafickers and crime syndicates” ECPAT, 1999 Lindra Darnela. Jurnal. Vol. 2. 2007 : 4. Jika diterjemahkan secara bebas, dapat berarti pergerakanperpindahan orang secara rahasia dan terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah lokasi dengan tujuan akhir untuk memaksa orang-orang tersebut masuk ke dalam situasi yang secara seksual atau ekonomi bersifat menekan dan eksploitatif dan memberikan keuntungan bagi para perekrut, trafficker dan sindikat kejahatan. Dalam Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Trafficking Perempuan dan Anak digunakan pengertian definisi trafficking , sebagai berikut : Trafficking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antardaerah dan antarnegara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan pengangkutan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan ancaman dan penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain- lain, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual termasuk phaedopili , buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya Achie Sudiarti, 2007 : 186. commit to user lix Mengenai perdagangan orang secara umum di atur pula pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang menyebutkan, Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam Negara maupun antar Negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. 2 Unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang a Adanya proses perekrutan dan pemindahan manusia baik itu lintas wilayah maupun negara; b Ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dengan memanfaatkan perempuan dan anak untuk melakukan sebuah pekerjaan dibayar atau tidak, sebagai hubungan kerja yang eksploitatif secara ekonomi atau seksual, baik itu TKW, prostitusi, buruh manual atau industri, perkawinan paksa, atau pekerjaan lainnya; c Ada korban baik perempuan maupun anak yang karena keperempuanan dan kekanakannya dimanfaatkan dan dieksploitasi baik secara ekonomi maupun seksual, guna kepentingan pihak- pihak tertentu dengan cara paksa, disertai ancaman, maupun tipuan atau penculikan. Dalam hal ini termasuk juga terhadap beberapa korban yang menyatakan persetujuan yang dalam hal ini dipahami bahwa situasi-situasi tertentu yang mengakibatkan para korban setuju, misalnya karena desakan kebutuhan ekonomi, ada tekanan kekuasaan dan lain sebagainya. commit to user lx 3 Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Konvensi ILO No. 182 pengertian bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah : Pertama, segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon debt bondage dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata. Kedua, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno. Ketiga, pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan. Keempat, pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak Supriyadi Widodo Eddyono, 2005:16, diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182. Di Indonesia ditemukan beberapa bentuk perdagangan manusia menurut Ruth Rosenberg Ruth Rosenberg, 2003:41, yakni: a Buruh Migran; b Pembantu Rumah Tangga; c Pekerja Seks komersial PSK; d Perbudakan Berkedok Pernikahan dan Pengantin Pesanan; e Bentuk-bentuk Eksploitasi dan Perdagangan Lain: Buruh Ijon, Pekerja Jermal, Anak Jalanan, PerkebunanIndustri Rumah Tangga, Adopsi, Perdagangan Narkoba Internasional dan Pekerja Hiburan. commit to user lxi 4 Pihak-pihak yang Terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam perdagangan orang terdapat beberapa pihak yang terkait Ruth Rosenberg, 2003: 60, yaitu : a PJTKI – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia karena tindakan-tindakan mereka seperti memaksa seorang perempuan untuk terus bekerja bahkan setelah perempuan tersebut meminta untuk berhenti atau kembali kerumah buruh ijon, menyuruhnya melakukan pekerjaan yang berbeda dengan yang dijanjikan serta mencegah seorang perempuan untuk menemui keluarganya saat dia berada di tempat penampungan. b Calo – Mereka terlibat perdagangan manusia saat mereka mengatur pemalsuan surat-surat atau saat mereka berbohong mengenai alasan mereka merekrut TKW. c Pemerintah – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat pegawai pemda terlibat dalam pemalsuan dokumen atau saat mereka mengabaikan pelanggaran ketenagakerjaan seperti pada tempat penampungan. d Majikan – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia jika mereka memaksa orang lain untuk bekerja pada kondisi yang eksploitatif. e Calo pernikahan – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat perempuan mengalami kondisi yang eksploitatif dalam pernikahan yang telah mereka atur. Mereka bertanggung jawab bahkan jika mereka tidak menyadari keadaan eksploitatif pernikahan yang telah diatur tersebut. f Orang tua dan kerabat – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat mereka dengan sadar “menjual” anak atau anggota keluarga mereka kepada agen, calo atau majikan. Mereka juga terlibat jika mereka menerima pembayaran dimuka untuk kerabat mereka tersebut yang sekaligus menjerat orang tersebut kedalam jeratan hutang. commit to user lxii g Suami – Mereka terlibat dalam perdagangan manusia saat mereka menikahi dan memindahkan istri mereka dengan tujuan membawa mereka ke kondisi yang eksploitatif. 5 Faktor-faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan bukanlah fenomena yang sederhana, dan faktor- faktor yang membuat perempuan dan anak semakin rentan terhadap perdagangan bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain Ruth Rosenberg, 2003: 25. b Kemiskinan. Kemiskina telah memaksa banyak keluarga untuk merencanakan berbagai strategi untuk penghidupan mereka termasuk bermigrasi untuk bekerja dan bekerja karena jeratan hutang, yaitu melakukan pekerjaan apapun yang dilakukan seseorang guna membayar hutang atau pinjaman. c Ketenagakerjaan. Semakin sempitnya lapangan kerja dewasa ini tidak seimbang dengan pertambahan penduduk yang tinggi, sehingga banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan penghasilan. d Pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan menyulitkan perempuan dan anak untuk mencari pekerjaan lain atau jalan lain agar dapat membantu perekonomian keluarga mereka. e Migrasi. Banyak orang melakukan migrasi di dalam maupun ke luar negeri untuk mencari pekerjaan menjadi korban dari perdagangan perempuan dan anak tanpa menyadari telah terjadi penipuanuntuk menjebak mereka. f Kondisi keluarga, karena pendidikan rendah, keterbatasan kesempatan ketidaktahuann akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif antara lain fakor yang merupakan titik lemah ketahanan keluarga. commit to user lxiii g Sosial budaya, anak seolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidakadilan gender atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh di tengah kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. h Media massa, masih belum memberikan perhatian penuh terhadap berita dan informasi yang utuh dan lengkap tentang trafiking, dan belum memberikan kontribusi yang optimal pula dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru sering kali memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografi yang mendorong menguatnya kegiatan trafiking dan kejahatan susila lainnya.

d. Tinjauan Tentang Penuntut Umum

a. Pengertian Penuntut Umum

KUHAP memberikan uraian pengertian Jaksa dan Penuntut Umum pada Pasal 1 butir 6a dan b serta Pasal 13. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Pasal 1 butir 6a KUHAP. Penuntut Umum adalah yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk melaukan penunutan dan melaksanakan penetapan hakim Pasal 1 butir 6 b KUHAP. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dimaksud jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuasaan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Sedangkan Penuntut Umum menurut Pasal 1 angka 2 adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. commit to user lxiv

b. Wewenang Penuntut Umum

Menurut Pasal 14 KUHAP Penuntut umum mempunyai wewenang sebagai berikut : 1 menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2 mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat 3 dan ayat 4, dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3 memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4 membuat surat dakwaan; 5 melimpahkan perkara ke pengadilan; 6 menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada erdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7 melakukan penuntutan; 8 menutup perkara demi kepentingan hukum; 9 mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; dan 10 melaksanakan penetapan hakim. commit to user lxv

B. Kerangka Pemikiran

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PENGADILAN NEGERI GIANYAR DALAM PERKARA SUMPAH PALSU DAN PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN

0 4 12

ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH

0 2 69

KAJIAN ANALISIS KOMPARATIF TENTANG UPAYA HUKUM KASASI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK).

0 1 20

PUTUSAN BEBAS TIDAK MURNI SEBAGAI DASAR UPAYA HUKUM KASASI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KELAS IA PADANG).

0 0 6

kajian yuridis upaya hukum kasasi oleh penuntut umum terhadap putusan bebas (vrijsvraak) dalam sistem peradilan pidana.

0 0 32

PENGABAIAN FAKTA-FAKTA PERSIDANGAN OLEH JUDEX FACTIE SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PERKARA PENGGELAPAN DALAM JABATAN (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1455 K / Pid / 2013).

0 0 12

TINJAUAN TENTANG KESALAHAN PENERAPAN HUKUM PEMBUKTIAN OLEH HAKIM PENGADILAN NEGERI TIPIKOR BANDUNG SEBAGAI ALASAN PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN BEBAS PERKARA KORUPSI (Studi Kasus Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1692 K/Pid.Sus/2014).

0 0 14

Tinjauan Diabaikannya Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP oleh Hakim Sebagai Dasar Alasan Pengajuan Kasasi Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pemalsuan Uang.

0 0 15

TINJAUAN TENTANG PENGAJUAN KASASI OLEH PENUNTUT UMUM ATAS DASAR PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YANG TERLALU RINGAN (STUDI PERKARA PERLINDUNGAN ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 828 K/PID.SUS/2012).

0 1 1

TELAAH YURIDIS PENGESAMPINGAN HUKUM PEMBUKTIAN OLEH JUDEX FACTIE SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI PENUNTUT UMUM KEJAKSAAN NEGERI SURABAYA TERHADAP PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA PENGGADAIAN TANAH SECARA MELAWAN HUKUM (STUDI KASUS DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG N

0 0 11