Implementasi undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf : studi pengelolaan wakaf produktif di Yayasan yatim dan Dhuafa Al-aulia Serua Bojongsari - Depok

(1)

(Studi Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia Serua, Bojongsari-Depok)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)

Oleh:

INTAN PRATIWI 1111044100081

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN

2004 TENTANG WAKAF

(STUDI PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF di YAYASAN YATIM DAN DHUAFA AL-AULIA SERUA, BOJONGSARI DEPOK)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.sy)

Oleh INTAN PRATIWI NIM: 1111044100081

PEMBIMBING

Dr. H. Sumuran Harahap, M.Ag., MM., MH., M.Si NIP: 195303261979031002

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(3)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini saya cantumkan sesuai

dengan ketentan yang berlaku di Universitas Islm Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau merupakan hasil

jiplakan atau plagiat dari karya orang lain, maka saya yang bersangkutan bersedia meneriama sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,


(4)

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF (Studi Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Yatim dan Dhuaf Al-Aulia) Serua, Bojongsari-Depok. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Juli 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Peradilan Agama.

Jakarta, 13 Juli 2015

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA NIP.196912161996031001 Disahkan oleh Tim Penguji Sidang Munaqasyah:

Ketua : Dr. Abdul Halim, MA (...)

NIP. 196706081994031005

Sekretaris : Arip Purkon, S.HI, MA. (...)

NIP. 197904272003121002

Pembimbing : Dr. Sumuran Harahap, M.Ag (...)

NIP. 195303261979031002

Penguji I : Prof. Dr.H. Salman Maggalatung (...)

NIP.195403031976111001

Penguji II : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA (...)


(5)

(Studi Pengelolaan Wakaf Produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia) Serua Bojong sari-Depok. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum. Program Studi Peradilan Agama/ Ahwal Al-Syakhsiyyah. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pembimbing: Dr. Sumuran Harahap, MM, M.Ag, MH, M.Si.

Kata Kunci: Pengelolaan Wakaf Produkti Di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia Serua Bojongsari Depok.

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui pengelolaan wakaf produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia Serua Bojongsari Depok. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dari judul tersebut adalah: (1). Bagaimana pengelolaan wakaf produktif di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia dan (2) Apa saja yang menjadi Hambatan dan Tantangan dalam pengelolaannya.

Temuan dalam penelitaian ini adalah Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia didirikan atas partisipasi para donatur dan masyarakat sehingga dari hasil partisipasi tersebut dibelikan lahan tanah dan kemudian dibangun yayasan di atas lahan tanah tersebut. Pada tahun pengurus membentuk wakaf produktif yang mana wakaf produktif tersebut dikelola dan dikembangkan di lahan tanah wakaf yayasan Al-Aulia, wakaf produktif ini secara maksimal sudah berjalan dengan baik sehingga mampu membangun kemandirian pendidikan dan menyantuni anak yatim, dhuafa serta lansia sebagaimana peruntukan wakaf dalam Undang-undang.

Penelitian ini penting untuk mengetahui apakah pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dapat berjalan dengan baik sesuai pada kenyataan atau fakta yang terjadi di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbeda-beda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat dan dukungan yang diberikan oleh keluaga dan teman-teman penulis.

Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil sehingga terselesaikannya skripsi ini. Tentunya kepada:

1. Asep Saepudin Jahar, S.Ag, MA, Ph.D selaku Dekan fakultas syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta pembantu Dekan 1, II, III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. H. Abdul Halim, MA selaku Ketua program Studi Ahwal Assyakhsiyyah serta

Arif Purkon SH.I, MA. Selaku sekretaris Program Studi Ahwal Assyakhsiyyah yang telah bekerja dengan masimal.

3. Dr. Sumuran Harahap, MM, M.Ag, MH, MS.I selaku pembimbing skripsi yang telah

banyak membimbing, memberikan pencerahan, motifasi semangat dan ilmunya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh dosen fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu yang


(7)

dan Ibunda Irmawati yang telah memberikan motivasi dan arahan. Terimakasih untuk

kakanda Amir Mufti Syar’i S.pdi dan adik tersayang Muhammad Dzacky Aulia

Hikmatullah yang tidak pernah jenuh yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara.

6. Penyemangat hidupku Muhammad Usman yang selama ini menyemangati jalannya

penulisan skripsi ini yang tidak kenal lelah untuk memberikan dukungan penuh kepada penulis.

7. Sahabat-sahabatku yang terbaik Juniarti Harahap, Vemy Zauhara, Zahratul Kamilah,

Mundalifah, Ai siti Wasilah, Denis Silvia dan Devi Chairunissa, Fadly Khairuzahdi, M. Ali Ashobuni, Savira Maharani, Lilis Sumiati, Epi yuliyanti, Robian Achmad, dan Teman-teman KKN Bandhura 2014. yang telah memberikan masukan, saran, motivasi dan menghibur penulis.

8. Teman-teman program studi Peradilan Agama angkatan 2011 dan Teman-teman

program studi Administrasi Keperdataan Islam yang telah memberikan saran dan motivasi kepada penulis.


(8)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Jakarta, 27 Juni 2015


(9)

LEMBAR PERNYATAAN...iii

ABSTRAK...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...vi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Metode Penelitian...10

E. Sistematika Penulisan...14

BAB II: TINJAUAN TEORITIS A. Wakaf 1. Pengertian Wakaf dsn Dasar Hukum...16

2. Sejara Wakaf...22

3. Macam-macam Wakaf...26

4. Syarat dan Rukun Wakaf...29

B. Wakaf Produktif 1. Konsep Wakaf Produktif...39

2. Macam-macam Wakaf Produktif...41

3. Sistem Manajemen pengelolaan...41

4. Strategi pengelolaan...43

BAB III: GAMBARAN UMUM YAYASAN AL-AULIA A. Sejarah Singkat...45

B. Visi dan Misi...46

C. Struktur Kelembagaan...52

BAB IV: HASIL PENELITIAN A. Pengelolaan Wakaf Produktif Yayasan Al-Aulia...55


(10)

B. Srategi Pemasaran...58 C. Pemanfaatan Hasil Wakaf...60 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan...63 B. Saran...65


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Tanah sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsi dan peranannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Jumlah penduduk yang bertambah, sedangkan lahan tanah yang sangat terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan sehingga mengakibatkan fungsi tanah sanagat dominan karena lahan tanah tidak

sebanding dengan kebutuhan yang diperlukan.1 Oleh karena itu, masalah

pertanahan merupakan tanggung jawab secara nasional mewujudkan cara pemanfaatkan penguasaan dan pemilikan tanah bagi kemakmuran rakyat

sebagaimana dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan

alam yang terkadung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat.2

Tanah erat sekali hubungannya dengan kehidupan manusia, sehingga orang pasti memerlukan tanah tidak hanya dalam kehidupan, bahkan dalam beribadah pun manusia memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia salah satu dari persolaan yang banyak dijumpai pada

masyarakat menyangkut persoalan mengenai sengkata tanah.3

1

Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hal

12 2

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan, ( Jakarta: Direktorat Jenderal

Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 63 3


(12)

2

Masalah tanah tersebut sangatlah kompleks, karena tanah merupakan sumber daya dan faktor produksi yang utama, baik bagi pembangunan maupun untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi anggota masyarakat. Persoalan mengenai tanah dan solusinya dalam kehidupan masyarakat sangat penting, karena tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia sehingga manusia sangat tergantung pada tanah.

Tanah dapat dinilai pula suatu harta yang permanen, berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. Tanah dapat juga untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya. Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang menyadari betapa pentingnya permasalahan tentang tanah, dan berupaya untuk membuat aturan tentang hukum agraria nasional yang bersandar pada hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada

hukum agama.4

Mengingat penting persoalan mengenai pertanahan yang berdasarkan hukum agama, sudah diatur dalam ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai berikut :

1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang

dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial,

4


(13)

diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan perolehan tanah yang cukup untuk banguanan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai

dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan

Pemerintah.5

Kata wakaf berasal dari “waqafa” dengan makna berhenti atau

diam di tempat atau tetap berdiri atau penahanan. Sedangkan wakaf

menurut bahasa Arab berarti “al-Habsu”, yang berasal dari kata kerja habasa,yahbisu,habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau

memenjarakan, kemudian kata ini berkembang menjadi “habasa” dan

berarti mewakafkan harta karena Allah SWT.6 Sedangkan dalam Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.7

5

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Direktorat

Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 79 6

Fuad Irfan al-Bustani, Munjid al-Lughah, (Beirut : dar al-Masriq), Cet. ke-21, hal.935

7

Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan Undang-Undang No. 41

tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat (1), (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 2


(14)

4

Dalam buku ke III Bab I Pasal 215 angka (1) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahasa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian benda dari miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan

ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.8

Dari penjelasan di atas, bahwa yang dimaksud wakaf adalah perbuatan seseorang atau badan hukum (Wakif) yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakan untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam. Sehingga, dengan adanya wakaf diperuntukkan untuk memfasilitasi sarana ibadah, membantu fakir miskin serta anak-anak yang terlantar, yatim piatu, beasiswa, pendidikan, kesehatan, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan Perundang-undangan.

Dilihat dari segi ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, wakaf masih kurang dapat dirasakan manfaatnya, ini terbukti selain masih banyaknya umat Islam yang mewakafkan hartanya hanya untuk tempat beribadah, dan juga masih banyak yang beranggapan bahwa wakaf peruntukanya hanya tempat ibadah menandakan masih kurangnya pemahaman masyrakat terhadap wakaf itu sendiri. Dan ini juga dikarenakan anggapan indahnya tempat ibadah menjadi tolak ukur status

8


(15)

sosial sebagian umat Islam. Kondisi muncul karena dalam pembinaan

yang berhubugan dengan wakaf para ulama, da’i, atau penceramah dewasa

ini berkisar hanya pada tempat ibadah saja.9

Wakaf sebagai bagian dari ajaran Islam tidak dijumpai secara

eksplisit dalam Al-Qur’an namun secara implisit terdapat ayat-ayat yang

memberikan petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber dalil wakaf itu sendiri. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur;an surat Ali Imran ayat 92.































Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Al-Imran:92)

Dalam konteks wakaf di Indonesia, wakaf yang selama ini banyak dipahami oleh masyarakat cenderung dan terbatas pada benda tidak bergerak tanah dan bangunan. Padahal wakaf juga berupa benda bergerak

9

Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam

Penyelenggara Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta, Departemen


(16)

6

seperti wakaf kendaraan, wakaf uang, wakaf logam mulia, hak sewa, surat

berharga, wakaf hak kekayaan intelektual yang dimiliki seseorang.10

Wakaf tanah ini bagi sebagian masyarakat Indonesia, menempati kedudukan penting dalam kehidupan mereka, terutama bagi masyarakat pedesaan yang pekerjaan pokoknya bertani. Tanah juga tidak kalah pentingnya di daerah perkotaan, baik untuk tempat pemukiman, perkantoran, maupun sebagai lokasi usaha atau tempat bisnis. Naiknya harga jual tanah ini disebabkan tanah tidak bertamabah populasi penduduk semakin bertamabah serta pesatnya pembangunan di berbagai bidang dewasa ini, sehingga muncul berbagai perbedaan. Dan perebutan dalam bentuk tanah yang sudah diwakafkan keluarga karena tidak ada bukti otentik atau sertifikat seringkali diambil oleh ahli warisnya.

Wakaf sebagai lembaga yang telah diatur dalam Islam, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan sejak agama Islam masuk ke Indonesia. Akan tetapi data mengenai jumlah seluruh aset wakaf diseluruh Indonesia belum diketahui secara akurat. Ini mengingat data-data tentang seluruh aset wakaf di Indonesia tidak terkoordinir secara baik dan terpusat di institusi profesional. Kemudian, aset wakaf tersebut belum dikelola secara produktif, padahal bisa menjadi instrumen yang kontributif bagi upaya peningkatan kualitas hidup umat Islam dan umat manusia. Dengan demikian aset wakaf tersebut tidak likuid dan mati karena tidak

10 Adijani al-Alabij,

Perwakafan Tanah di Indonesia, hal. 2. Dan lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Pasal 16


(17)

termanfaatkan dengan baik. Bahkan banyak tanah wakaf yang belum dan tidak bersertifikat sehingga menjadi objek sengketa untuk nantinya dijual belikan dengan harga murah.

Oleh karena itu penulis melihat bahwa permaslahan ini menarik untuk dikaji lebih mendalam dan melakukan penelitian, membahas dan mencari solusinya dengan menuangkannya dalam bentuk Skripsi yang berjudul : IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 (STUDI PENGELOLAAN WAKAF PRODUKTIF DI YAYASAN AL-AULIA SERUA,BOJONGSARI-DEPOK).

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan kondisi tersebut, penulis merinci kedalam beberapa identifikasi permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimana sistem pengelolaan wakaf produktif dapat berjalan

dengan baik di yayasan ?

b. Apa yang mendasari yayasan tersebut sehingga tanah wakaf dapat

diproduktifkan ?

c. Bagaimana eksistensi dan kontribusi tanah wakaf di Yayasan

terhadap masyarakat ? 2. Pembatasan Masalah

Untuk mempersempit dan mempermudah penelitian serta memperjelas pokok permasalahan yang akan dikaji dan dibahas dalam


(18)

8

Skripsi ini, maka penulis membatasi masalah tersebut pada Implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pada pasal 5, pasal 7, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan pasal 28 dan diteliti pada Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia di Serua Bojongsari Depok.

3. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagaimana implementasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41

Tahun 2004 tentang Wakaf di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia ?

b. Faktor apa yang menjadi hambatan dan solusi terhadap

masalah-masalah dalam pengelolaan wakaf produktif tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini:

a. Mengetahui pengelolaan wakaf produktif pada Yayasan Yatim

dan Dhuafa Al-Aulia

b. Mengetahui pengelolaan wakaf produkitif, hambatan, tantangan

dan solusinya 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini:


(19)

a. Secara teoritis penelitian ini selain dilakukan untuk memperoleh gelar sarjana (S-1), hasil penelitian ini juga dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji dan membahas lebih lanjut tentang Implementasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

b. Bagi penulis, menambah wawasan dan pemahaman tentang

pengelolaan wakaf produktif

c. Bagi akademis, untuk menambah literatur wakaf supaya lebih

dikembangkan sebaik mungkin.

d. Bagi masyarakat, untuk peningkatan kesejahteraan umat terutama

bagi masyarakat yang kurang mampu dan menambahkan kepercayaan masyarakat untuk mewakafkan harta atau uang yang dimiliki untuk kemaslahatan umat.

e. Bagi Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia, untuk meningkatkan

pengelolaan terhadap wakaf tersebut sehingga berlanjut dan berdayaguna.

D. Review Studi Terdahulu

Review hasil penelitian yang terdahulu yang berhubungan dan sesuai dengan aspek-aspek dalam penelitian tentang wakaf produktif sebagai berikut:

1. Badru Rochmat, 2010. Strategi Pengelolaan Wakaf Uang

Secara Produktif Pada Bitul Mal Muamalat. Dari hasil penilitian tersebut disimpulkan bahwa peneliti lebih menekankan


(20)

10

bagaimana strategi pengelolaan wakaf uang tersebut dengan menguraikan indikator sebagai alat ukurnya. Penelitian ini sama dengan penelitian penulis dengan tujuan memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang wakaf produktif tetapi berbeda pada lembaga yang akan diteliti.

2. Idik Komarudin, 2010. Efektivitas Pengelolaan Dan

Pemberdayaan Wakaf Tunai Pada Tabungan Wakaf Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa peneliti hanya menekankan kepada bagaimana wakaf tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai manfaatnya dengan ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dilihat dari sudut pandang sifat yang dihimpun, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan instrumen

penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan yang

didasarkan pada suatu pembahasan degan menggunakan metode studi

kepustakaan (library research), yaitu metode yang dilakukan dengan

mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penelitian melalui studi kepustakaan yang diperoleh melalui kajian undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di bawahnya serta bahan-bahan yang


(21)

berhubungan dengan data-data penelitian.11 Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini metode deskriptif, yakni metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan berupa kata-kata tertulis dari orang-orang atau pelaku yang

diamati.12

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dalam skripsi ini yang dilakukan yaitu selain dengan metode penulisan deskriptif dan juga menggunakan metode pendekatan normatif-sosiologi, yaitu merupakan proses pengungkapan kebenaran yang didasarkan pada penggunaan konsep-konsep dasar. 3. Kriteria dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang penulis gunakan: a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian. Data penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dan survei yang dilakukan penulis terhadap sebuah lembaga yang akan diteliti.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan

mengadakan studi kepustakaan atas pembahasan yang

11

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka

Cipta,2006) hal. 20

12 Lexi J Maelong,

Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:PT.Remaja Karya,2002), Cet. Ke-1, hal. 3


(22)

12

berhubungan dengan masalah yang diajukan yang memberikan

penjelasan tentang bahan data primer.13Data sekunder ini bersifat

pelengkap yang diperoleh dari lembaga yang ingin diteliti dan tulisan-tulisan berbagai referensi pada saat kuliah serta sumber lainnya yang relevan dengan penelitian ini, seperti jurnal yang terkait dengan penelitian, surat kabar, majalah dan sumber tertulis lainnya.

c. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa instrumen pengumpulan data, diantaranya sebagai berikut :

a. Observasi

Observasi atau pengamatan dilakukan untuk mendapatkan

gambaran secara langsung tentang informasi yang

berhubungan dengan bentuk komunikasi yang dikembangkan. Teknik observasi paling sesuai dengan penelitian sosial, karena pengamatan dapat dilakukan dengan melihat kenyataan dan mengamati secara dalam, lalu mencatat yang dianggap penting. Penulis tidak hanya mencatat kejadian atau peristiwa, akan tetapi juga mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini yang diamati sesuai

13 Ipah Farihah,

Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN jakarta dengan UIN Jakarta Press,2006), hal. 45


(23)

dengan kebutuhan yaitu komunikasi, interaksi, pemenuhan kebutuhan, dan pemecahan masalah.

b. Interview/ Wawancara

Interview atau wawancara adalah teknik pengumpulan

data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh

pewawancara kepada responden, dan jawaban responden dicatat serta direkam. Wawancara adalah teknik yang cukup efektif dalam meneliti, karena akan dapat menggunakan lebih dalam informasi dari partisipan, mengkrontuksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perassaan, motivasi, dan

sebaginya.14

c. Dokumentasi

Dilakukan untuk pengumpulan data degan mencari data mengenai variable yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, dan sebagainya.

d. Teknis Analisa Data

Proses analisa data dimulai dengan menelaah seluruh data yang

tersedia dari berbagai sumber, baik primer maupun sekunder. Setelah dipelajari dan ditelaah maka langkah penulis selanjutnya meruduksi data, dengan jalan merangkum masalah yang penulis teliti. Dalam menganalisa data penulis menggunakan pendekatan deskriptif analisis. Dianalisis secara kualitatif dan dicari pemecahannya, kemudian disimpulkan dan digunakan

14


(24)

14

untuk menjawab permasalahan yang ada. Proses analisa data dengan mendeskripsikan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan menghubungkan bagaimana implementasi Undang-Undang tersebut terhadap studi pengelolaan wakaf di Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia agar diketahui implementasi Undang-Undang tersebut.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulis dalam Skripsi ini diklasifikasikan dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan.

Dalam bab pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, review studi terdahulu, sistematika penulisan.

BAB II Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf:

Dalam bab ini dibahas meliputi pengertian wakaf dan dasar hukumnya, rukun dan syarat wakaf, macam-macam wakaf, fungsi wakaf, dan tujuan wakaf, serta implementasi Undang-undang wakaf dalam praktek pengelolaannya. BAB III Profil Yayasan Yatim dan Dhuafa Al-aulia.

Bab ini merupakan inti dari Skripsi ini dan dibahas meliputi sejarah singkat yayasan Al-Aulia, visi ialah kemampuan


(25)

melihat pada inti persoalan, pandangan, wawasan, atau angan-angan ataupun impian terhadap sesuatu yang sangat indah dan mempesona sehinga diperlukan usaha keras untuk mewujudkannya.

dan misi ialah tujuan utama yang harus dicapai atau prioritas yang harus dicapai seringkali misi juga diartikan sebagai pernyataan tentang apa yang harus dikerjakan untuk

mewujudkan visi.15 Struktur kelembagaan yayasan

Al-Aulia, dan lainnya.

BAB IV Analisa Pembahasan.

Bab ini membahas bagaimana pengelolaan wakaf produktif di yayasan Al-Aulia begitu juga di bahas tentang hambatan dan tantangan dalam pengelolaannya.

BAB V Penutup.

Bab penutup ini merupakan bab akhir dari Skripsi. Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

15

Sumuran Harahap, Wakaf Uang dan Prospek Ekonominya di Indonesia, (Jakarta: Mitra


(26)

16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perwakafan Dalam Perspektif Fiqih 1. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau diam ditempat atau tetap berdiri. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “ Habasa-Tajbisu-Tahbisan”.1

Wakaf menurut etimologis yang bermakna menahan harta dan memaanfaatkan hasilnya dijalan Allah atau ada juga yang bermaksud menghentikan seperti telah disebutkan di atas. Makna disini, menghentikan manfaat keuntungannya dan diganti untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf. Menghentikan segala aktifitas yang pada

mulanya diperbolehkan terhadap harta (ain benda itu), seperti menjual,

mewariskan, menghibahkan, dan mentransaksikannya untuk keperluan agama semata, bukan untuk keperluan si Wakif.

Para ahli fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakekat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan dan pendapat tentang wakaf itu dapat dilihat menurut istilah sebagai berikut:

1 Peter Salim MA.

Standard Indonesian-English Dictionary, (Jakarta: Modern English Press,1993) hal. 893


(27)

a. Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan benda atas milik orang yang berwakaf dan mendermakan (mensedekahkan) manfaatnya untuk

tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang akan datang.2

b. Mazhab Malikiyah

Wakaf adalah penahanan suatu benda dari bertasarruf (bertindak hukum seperti memperjual-belikannya) terhadap benda yang dimiliki serta benda itu tetap dalam pemilikan si Wakif, dan

memproduktifkan hasilnya untuk keperluan kebaikan.3

c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad Hambal

Kedua mazhab ini berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan Wakif. Setelah sempurna prosedur perwakafan. Seperti perlakuan pemilik dengan cara memindahlan kepemilikannya kepada yang lain, baik yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif

menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf’alaih

(yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana Wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila

2

Muhammad Mustafa Tsalabi, al-ahkam al-washaya wal awqaf, (Mesir: Dar

al-Ta’lif, 00 ) hal.

3 Abdul Halim,

Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press, 2005) Cet. 1 hal. 9


(28)

18

Wakif melarangnya, maka Qadli berhak memaksanya agar

memberikannya kepada mauquf alaih, karena itu mazhab Syafi’i

mendefinisikan wakaf adalah Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebijakan sosial, mazhab ini juga berpendapat bahwa wakaf itu berupa penahanan harta bertasarruf dan mensedeqahkan hasilnya serta berpindahnya kepemilikan dari orang yang berwakaf kepada orang yang menerima

wakaf dan tidak boleh bertindak sehendak hati mauquf. Imam Syafi’i

juga berpendapat bahwa wakaf ialah suatu ibadah yang disyariatkan. Wakaf itu sah bila orang yang berwakaf itu (Wakif) telah menyatakan lafadz, “saya wakafkan ini (waqaffu haza), sekalipun tanpa diputuskan Hakim. Bila harta itu telah dijadikan harta wakaf, maka orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas benda itu, walaupum harta itu tetap

berada ditangannya.4

d. Mazhab Imamiyah

Mazhab Imamiyah dalam mendifinisikan wakaf sama dengan

mazhab Syafi’i dan Imam Hambal namun berbeda dari segi

kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu milik mauquf alaih

(yang diberi wakaf), meskipun mauquf alaih tidak berhak melakukan

4


(29)

suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau

menghabisknnya.5

Selain definisi menurut fikih klasik, di Negara Indonesia

sendiri terdapat rumusan wakaf dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan

umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.6 Dan dalam Kompilasi

Hukum Islam (KHI), Pasal 215 ayat (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan

umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.7 Sedangkan menurut

Undang-Undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu sesuai kepentingannya guna keperluan ibadah

dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

5

Departemen Agama RI, Pradigma baru wakaf di Indonesia,(Jakarta: Direktorat Jendral

Bimbingan Masyarakat Islam,2007) hal. 2-4 6

Peraturan Pemerintah nomor 28 1977 tentang perwakafan tanah milik, Pasal 1 ayat (1)

7 Kompilasi Hukum Islam (KHI),

Tentang perwakafan, Pasal 215 ayat (5) dan Lihat juga Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf


(30)

20

2. Dasar Hukum Dan Macam-macam Wakaf

1. Al-Qur’an

Didalam Al-Qur’an tidak disebutkan secara eksplisit

tentang wakaf. Al-Quran hanya menyebutkan dalam pengertian umum, tentang wakaf. Para ulama fikih menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai dasar hukum wakaf dalam Islam, seperti ayat-ayat Al-Quran yang membicarakan tentang kebaikan shadaqah, infak, dan amal jariyah. Para ulama menafsirkan bahwa wakaf sudah mecakup dalam cakupan ayat Al-Quran tersebut diantaranya:































Artinya: Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.(QS. Al-Imran:92)


































(31)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj:77)

























































Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah:261)

2. Sunnah Rasulullah SAW

Al-Qur’an tidak dituliskan suatu ayat atau katapun tentang wakaf, dan secara eksplisit menjelaskan tentang wakaf dapat dilihat dalam hadist Nabi Muhammad SAW dasar hukum wakaf dan merupakan shadaqah jariyah. Adapun ketentuan dalam hadist yang dijadikan hukum wakaf, sedekah, dan zakat diantaranya hadist:


(32)

22

dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Rasulullah SAW,

bersabda: “Apabila anak adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali tiga perkara: Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendo’akan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim).8

3. Sejarah Perwakafan

Manusia telah mengenal berbagai macam wakaf sejak terbentuknya tatanan kehidupan bermasyarakat di muka bumi. Setiap masyarakat menyediakan pelayanan umum yang dibutuhkan oleh manusia secara keseluruhan atau kebanyakan anggota masyarakat. Tempat peribadatan adalah salah satu contoh wakaf yang dikenal oleh manusia sejak dahulu kala. Demikian juga mata air, jalan-jalan, dan tempat-tempat yang sering digunakan masyarakat seperti lahan tanah dan bangunan yang sering dipergunakan masyarakat, namun kepemilikannya bukan atas nama pribadi, karena itu tidak ada seorangpun yang mempunyai hak penuh untuk mengatur tempat ini, kecuali telah diberi mandat untuk pengelolaannya.

Pengertian wakaf telah berkembang di kalangan sebagian masyarakat. Pada masa Fir’aun, masyarakat telah mengenal bentuk baru wakaf yang tidak ada sebelumnya. Bentuk wakaf ini berupa tanah pertanian yang diwakafkan oleh sebagian penguasa dan orang-orang kaya

8 Departemen Agama RI,

Fikih Wakaf, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf,2003) hal. 11-13


(33)

untuk tujuan bercocok tanam dan hasilnya diberikan kepada para tokoh spiritual yang pada saat itu dikenal sebagai dukun, baik dipergunakan untuk kepentingan pribadi mereka, mendanai tempat peribadatan yang berada di bawah pengawasannya atau diberikan kepada fikir miskin. Ini merupakan wakaf untuk kepentingan agama, karena penyalurannya dilakukan oleh para pemuka agama, akan tetapi berbeda dengan wakaf

yang dipergunakan untuk kepentingan syiar agama.9

1. Wakaf Di Zaman Islam

Al-Quran menyebutkan bahwa Ka’bah merupakan tempat

ibadah yang pertama bagi manusia. Menurut pendapat sebagian

ulama yang mengatakan bahwa Ka’bah dibangun oleh Nabi Adam

AS, dan kaidah-kaidahnya ditetapkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, serta dilestarikan oleh Nabi Muhammad SAW,

maka dengan demikian Ka’bah merupakan wakaf. Wakaf pertama

yang dikenal oleh manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama. Sedangkan menurut pendapat ulama yang lainnya mengatakan bahwa Nabi Ibrahim yang membangun Ka’bah, maka Ka’bah merupakan wakaf pertama kali dalam Islam, yaitu agama Nabi Ibrahim yang benar, atau wakaf pertama untuk kepentingan agama dan menegakkan tauhid. Wakaf di zaman Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad SAW di Madinah yang ditandai dengan pembangunan Masjid

9


(34)

24

Quba yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama dan menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan agama. Peristiwa ini terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar. Kemudian disusul dengan pembangunan masjid Nabawi yang dibangun di atas tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian Rasulullah SAW telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid. Para sahabat juga telah membantu beliau dalam menyelesaikan pembangunan ini, termasuk pembuatan kamar- kamar bagi para istri beliau. Islam adalah pengawas wakaf keluarga sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklopedia Amerika, dan tidak pernah dikenal sebelumnya dalam Perundang-Undangan Negara Barat, kecuali pada abad ke-20. Dengan demikian pula, maka wakaf sosial sebagimana yang diperintahkan Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin Khatab berasal dari wahyu kenabian dan tidak mencontoh pelaksanaan wakaf yang dipraktikkan oleh orang-orang Mesir kuno maupun orang-orang Yunani dan Romawi. Sebab pengetahuan Rasulullah

tentang keadaan mereka secara detail sangat sedikit. 10

2. Wakaf Di Zaman Eropa Dan Amerika

Wakaf di Barat hanya ada dalam satu bentuk yang berupa

Gereja hingga awal abad ke-13. Karena saat itu di Jerman, Eropa

10


(35)

Tengah, dan beberapa Negara lainnya telah muncul sebagi bentuk wakaf sosial. Dalam peraturan Perundang-Undangan Barat, wakaf telah disinyalir dalam Undang-Undang Inggris tentang kegiatan sosial kemasyarakatan yang dikeluarkan pada tahun 1601, dimana wakaf bisa diketahui dari definisi istilah yang mereka sebut sebagai kegiatan sosial. Menurut Undang-Undang ini, kegiatan sosial adalah kegiatan apapun yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk memberi pelayanan atau bantuan kepada pihak umum. Kegiatan seperti ini mendapat perlakuan istimewa berkenaan dengan masalah perpajakan. Lebih detail dijelaskan dalam peraturan Perundang-Undangan tersebut, bahwa kegiatan sosial, rumah sakit, gereja dan lembaga pendidikan serta kegiatan yang mempunyai manfaat sejenisnya. Undang-Undang dan keistimewaan tersebut telah muncul sebelum terbentuknya

pemahaman kontemporer mengenai badan wakaf dalam

Perundang-Undangan Barat yang baru muncul pada abad ke-19. Kemudian wakaf ini ini dikelola oleh sebuah badan wakaf yang

disebut Foundation. Kegiatan dan bentuknya sangat jelas dan yang

paling nampak adalah bahwa yayasan tersebut bersifat independen dan non-pemerintah, non-profit, dan bertujuan untuk memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, baik berupa pelayanan kesehatan, pendidikan maupun bimbingan dan penyuluhan agama. Di Amerika, yayasan terbentuk ada dua corak pertama, yayasan


(36)

26

sosial atau public fundation, dan kedua yayasan pribadi atau private

fundation.11

4. Macam-Macam Wakaf

Wakaf ditinjau dari segi peruntukkan dan kepada siapa wakaf itu diberikan, maka wakaf dapat dibagi menjadi (2) macam:

1. Wakaf Ahli

Wakaf Ahli ialah wakaf yang ditunjukkan kepada

orang-orang tertentu, seseorang-orang atau lebih, keluarga Wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut Wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya yaitu mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini

(wakaf ahli/dzurri) terkadang disebut juga wakaf ‘alal aulad, yaitu

wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga. Wakaf seperti ini bertujuan membela nasib mereka. Dalam konsepsi hukum Islam, seseorang yang punya harta yang hendak mewakafkan sebagian hartanya, sebaiknya lebih dahulu melihat kepada sanak family. Bila ada di antara mereka yang sedang membutuhkan pertolongannya. Maka wakaf lebih afdal diberikan

kepada mereka yang membutuhkan.12

11Mundzir Qahaf,

Manajemen Wakaf Produktif, hal. 10 12


(37)

Dalam perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan ketidak jelasan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi wakaf. Di beberapa Negara tertentu seperti: Mesir, Turki, Maroko, dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif. Untuk itu, dalam pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, bahwa keberadaan jenis wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau

kembali untuk dihapuskan.13

2. Wakaf Khairi

Wakaf Khairi ialah wakaf yang secara tegas untuk

kepentingan keagamaan atau kemasyarakatan (kebijakan umum), seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan yatim dan lain sebagainya. Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatas pada pihak-pihak yang mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dalam jenis ini juga Wakif dapat mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu, seperti wakaf

13

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf,(Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan


(38)

28

masjid maka si Wakif boleh beribadah di sana, atau mewakafkan sumur maka si Wakif dapat pula mengambil air dari sumur tersebut sebgaimana yang telah di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat Utsman bin Affan. Secara substansinya, maka wakaf itulah yang merupakan salah satu segi dari cara membelanjakannya harta dijalan Allah SWT. Dan tentunya dilihat dari kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik dibidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, kemanan, dan

sebagainya.14

Wakaf Khairi ini juga pernah dilakuakan Umar bin Khatab

pada tanahnya yang berada di perkebunan Khaybar. Sebagaimana yang terdapat dalam hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Umar bin Khatab, Umar bin Kahatab berkata kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaybar, yang aku belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku? Rasulullah menjawab: “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkan

14 Departemen Agama RI,

Fiqih Wakaf,(Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf,2003) hal. 14-18


(39)

hasilnya. “Lalu Umar mewakafkan tanahnya yang ada di Khaybar”.

(HR. Bukhari Muslim)15.

5. Syarat dan Rukun Wakaf

1. Wakif (Pemberi Wakaf)

Persyaratan seorang calon Wakif agar sah harus memiliki

kecakapan hukum atau kemalul ahliyah (legal competent) dalam

membelanjakan atau memanfaatkan hartanya, kecakapan bertindak disini meliputi 4 (empat) kriteria:

a. Merdeka16

Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya)

tidak sah, karena wakaf pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, dirinya dan apa yang dimilikinya kepunyaan tuannya. Namun demikian, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqha sepakat, budak itu boleh mewakafkan hartanya apabila ada izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya.

b. Berakal Sehat

15

Sumuran Harahap, Wakaf Uang dan Prospek Ekonominya di Indonesia, (Jakarta: Mitra

Abadi Press, 2012) hal.1 16

Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Proyek Pengembangan Zakat dan


(40)

30

Wakaf yang dilakukan oleh orang gila tidak sah hukumnya,

sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakan lainnya. Demikian juga wakaf orang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakann, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya.

c. Dewasa (Baligh)

Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa

(baligh) hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.

d. Tidak Berada Di bawah Pengampuan (Boros/Lalai)

Orang yang berada dibawah pengampuan dipandang tidak

cakap untuk berbuat kebaikan (tabbaru), maka wakaf yang

dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan istishan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.


(41)

Mauquf „Alaih tujuan wakaf (peruntukan wakaf). Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang

mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT. Karena itu mauquf

‘alaih diisyaratkan harus hadir sewaktu penyerahan wakaf, harus ahli

untuk memiliki harta yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka terhadap Allah SWT, dan orang yang menerima wakaf itu harus jelas

tidak diragui kebenarannya.17

3. Mauquf Bih (Harta Wakaf)

Benda yang dimanfaatkan disebut dengan mauquf bih. Seabagai

obyek wakaf, mauquf bih merupakan hal yang sangat penting dalam

perwakafan. Namun demikian, harta yang diwakafkan tersebut bisa dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Benda harus memiliki nilai guna, Benda yang dapat disimpan dan

halal digunakan dalam keadaan normal bukan dalam keadaan darurat. Karena itu menurut mazhab Hanafi tidak sah mewakafkan sesuatu yang hukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan untuk ditempati.

b. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahuai) ketika terjadi

akad wakaf. Harta yang akan diwakafkan harus diketahui dengan

17


(42)

32

yakin, sehingga tidak akan menimbulkan persengketaan. Karena itu tidak sah mewakafkan yang tidak jelas seperti satu dari dau rumah.

c. Benda tetap atau bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.

d. Benda yang diwakfkan benar telah menjadi milik sempurna (

Al-milik At-tamm) si Wakif ketika terjadi akad wakaf.18

e. Sighat (Ikrar Wakaf), Segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa

yang diinginkannya. Namun shigat wakaf cukup dengan ijab saja

dari Wakif tanpa memerlukan qabul dari mauquf ‘alaih. Begitu

juga qabul tidak menjadi syarat sahnya wakaf dan juga tidak

menjadi syarat untuk berhaknya mauquf ‘alaih memperoleh

manfaat harta wakaf, kecuali pada wakaf yang tidak tertentu.19

f. Nazhir (Pengelola Harta Wakaf), Nazhir adalah pihak yang

menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukkannya. Posisi Nazhir sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurusi harta wakaf mempunyai kedudukan sentral dalam perwakafan. Sedemikian pentingnya kedudukan Nazhir dalam perwakafan,

sehingga berfungsi atau tidaknya wakaf bagai mauquf ‘alaih sangat

bergantung pada Nazhir. Meskipun demikian Nazhir tidak berarti Nazhir mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang

18

Departemen Agama RI, Fikih Wakaf, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan

Wakaf,2003) hal.44

19 Departemen Agama RI,

Fikih Wakaf, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf, 2006) hal. 55


(43)

diamanahkan kepadanya. Seorang Nazhir haruslah memiliki persyaratan sebagi berikut:

a. Syarat Moral

Paham tentang hukum wakaf dan zakat, infaq dan sedekah. Baik dalam tinjauan syariah maupun perundang-undangan Negara RI. Jujur, amanah, dan adil sehingga dapat dipercaya dalam proses pengelolaan dan pentasharrufan kepada sasaran wakaf.

b. Syarat Manajemen

Mempunyai kapabilitas yang baik dalam leadership, mempunyai kecerdasan yang baik secara intelektual sosial dan pemberdayaan.

c. Syarat Bisnis

Mempunyai keinginan, mempunyai pengalaman dan mempunyai ketajaman melihat peluang usaha sebagimana

layaknya enterpreunership.20

B. Perundang-undangan Wakaf

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tanggal 24 September 1960

tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 49 ayat (1) memberikan

20 Departemen Agama RI,

Pradigma Baru Wakaf Di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 49


(44)

34

isyarat bahwa “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur

dengan peraturan pemerintah”.21

2. Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tanggal 23 Maret Tahun

1961 tentang Pendaftaran Tanah, karena peraturan ini berlaku umum, maka terkena juga didalamnya mengenai pendaftaran tanah wakaf.

3. Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1963 tentang Penunjukan

Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

4. Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977 tanggal 17 Mei 1977

tentang Perwakafan Milik Tanah.

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1977 tanggal 26

november 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik.

6. Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1978 tentang Peraturan

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tanggal 10 Januari 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik.

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.12 Tahun 1978 tanggal 3

agustus 1978 tentang Penambahan Ketentuan Megenai Biaya Pendaftaran Tanah Badan-Badan Hukum Tertentu Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1978

21 Departemen Agama RI

, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006) hal. 50


(45)

8. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Mentri Dalam Negeri No.1 Tahun 1978 tanggal 23 Januari 1978 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.

9. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam,

No/Kep/D/75/787 tanggal 18 April 1978 tentang Formulir dan Pelaksanaan Peraturan-Peraturan Tentang Perwakafan Tanah Milik.

10. Keputusan Menteri Agama No.73 Tahun 1978 tanggal 9 Agustus

1978 tentang Pendelegasian Wewenang Kepala-Kepala Kantor

Wilayah Negara Indonesia Untuk Mengangkat Atau

Memberhentikan Setiap Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

11. Instruksi Menteri Agama No.3 Tahun 1979 tanggal 19 Juni 1979

tentang Pelaksanaan Keputusan Mentri Agama No.73 Tahun 1978

12. Surat Direktorat Jendra Bimbingan Islam dan Urusan Haji

No.D11/5/Ed/`4/980 tanggal 25 Juni 1980 tentang Pemakaian Bermaterai Dengan Lampiran Surat Dirjen Pajak No.5-624/Pj. 331/1980 tanggal 29 Mei 1980 yang menentukan jenis formulir wakaf nama yang bebas materai, dn jenis formulir nama yang dikenal Bea Materai dan beberapa besar Bea Materainya.

13. Surat Direktorat Jenderal Bimbingan Mayarakat Islam dan Urusan

Haji No.D11/1981 tanggal 16 April 1961 Tentang Peruntukan Pemberian Nomor Pada Formulir Perwakafan Tanah.


(46)

36

14. Surat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan

Haji No.D11/Ed/07/1981 Kepala Gurbenur, kepala Daerah Tingkat 1 diseluruh Indonesia, tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik dan Permohonan Kegiatan Pembebasan Dari Semua

Pembebanan Biaya.22

15. Undang-Undang Republik Indonesia No.41 Tahun 2006 tentang

Wakaf23

16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 tahun 2006,

tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang

Wakaf.24

C. Strategi Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf

1. Pengelolaan Wakaf Tradisional

Dalam Periode ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang

murni dimasukkan dalam kategori ibadah Madhanah (pokok), yaitu kebanyakan benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik. Seperti masjid, mushollah, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk

kepentingan yang bersifat konsumtif.25

22 Abdul Halim,

Hukum Perwakafan Di Indonesia, hal. 83-85 23

Departemen Agama RI, Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2006, (Jakarta:

Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,2006) hal. 272 24

Departemen Agama RI, Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang wakaf dan

peraturan pemerintah No.42 tahun 2006 tentang pelaksanaannya, (Jakrta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam,2007) hal. 109.110

25 Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Jakarta: Mitra


(47)

2. Pengelolaan Wakaf Semi Profesional

Periode Semi Profesional adalah masa dimana pengelolaan wakaf

secara umum sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar, dan acara lainnya. Seperti masjid Sunda kelapa, masjid Pondok Indah, masjid At-taqwa Pasar Minggu,

masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang dan lain-lain. Selain hal tersebut

juga sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan dibidang pendidikn (pondok pesantren), meski pola pengelolaannya masih dikatakan tradisional. Pola pemberdayaan wakaf seperti ini sudah dilakukan oleh pondok pesantren Assalam Gontor, Ponorogo. Adapun secara khusus mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan pendidikan seperti yang dilakukan oleh yayasan wakaf Sultan Agung, secara intensif terhadap pengembangan pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh

yayasan wakaf Paramadina.26

3. Pengelolaan Wakaf Profesional

26


(48)

38

Periode pengelolaan wakaf secara profesioanal ditandai dengan pemberdayaan potensi masyarakat secara produktif, keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek: Manajemen, SDM kenadziran, pola kemitrausahaan, bentuk benda seperti uang, saham, dan surat berharga lainnya, dukungan polotical will pemerintah secara penuh salah satunya lahir Undang-Undang wakaf. Dalam mengelola wakaf secra professsional paling tidak, ada tiga filosofi dasar yang ditekankan

ketika kita hendak memberdayakan wakaf secara produktif, pertama

pola manajemennya harus dalam bingkai “Proyek terintegrasi”, bukan bagian dari biaya yang terpisah-pisah. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam. Biaya yang terangkum

didalamnya. Kedua asas kesejahteraan Nazhir, sudah terlalu lama

Nazhir diposisikan kerja asal-asalan (dalam pengertiannya sisa waktu dan bukan perhatian utama). Oleh karena itu saatnya kita menjadikan Nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tetapi juga di dunia. Dan Alhamdulillah, di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf, pada pasal disebutkan bahwa Nazhir mendapatkan 10% dari hasil bersih

pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. Ketiga, Asas

transparasnsi dan accountabilitas dimana wakaf dan lembaga yang dibentuknya harus melaporkan tiap tahun akan proses pengelolaan dana


(49)

kepada umat dalam bentuk autited financial termasuk kewajaran dari

masing-masing pos biayanya.27

D. Konsep Wakaf Produktif 1. Pengertian Wakaf Produktif

Pengertian wakaf produktif, wakaf produktif adalah sebuah skema pengelolaan donasi wakaf dari umat, yaitu dengan memproduktifkan donasi tersebut, hingga mampu menghasilkan surplus yang berkelanjutan. Donasi wakaf dapat berupa benda bergerak, seperti uang dan logam mulia, maupun benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan. Surplus wakaf produktif inilah yang menjadi sumber dana abadi bagi pembiayaan kebutuhan umat, seperti pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Pada dasarnya wakaf itu produktif dalam arti harus menghasilkan karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah menghasilkan dimana hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya (mauquf alaih). Orang yang pertama melakukan perwakafan adalah Umar bin Khatab yang mewakafkan sebidang kebun yang subur di Khaybar. Kemudian kebun itu dikelola dan hasilnya untuk kepentingan masyarakat. Tentu wakaf ini adalah wakaf produktif dalam arti mendatangkan aspek ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Ironinya, di Indonesia sendiri, masyarakat masih banyak yang berasumsi bahwa wakaf adalah lahan yang

27


(50)

40

tidak produktif bahkan mati yang perlu biaya dari masyarakat, seperti

kuburan, masjid dll.28

Wakaf produktif juga diartikan sebagai wakaf harta yang digunakan untuk kepentingan produksi, baik dibidang pertanian, perindustrian, perdagangan dan jasa yang manfaatnya bukan pada benda wakaf secara langsung, tetapi dari keuntungan bersih hasil pengembangan wakaf yang diberikan kepada orang-orang yang berhak sesuai dengan tujuan wakaf. Disini wakaf produktif ialah untuk dapat menghasilkan barang atau jasa kemudian dijual hasilnya dan hasilnya dipergunakan

sesuai dengan tujuan wakaf.29

2. Macam-macam Wakaf Produktif

a. Wakaf Uang

Wakaf uang dalam konteks Indonesia sebagai

bangsa-negara (nation state), bahwa salah satu kemajuan penting dan

merupakan prestasi Indonesia yang perlu dicatat yang sekaligus

membawa perubahan fundamental dan monumental

pembangunannya dibidang perwakafan.30

Wakaf uang yang berupa dirham dan dinar saat itu juga

diwakafkan untuk dua tujuan yang pertama, untuk dipinjamkan

kepada orang-orang yang membutuhkannya, kemudian setelah

28

Wahyu, Pengertian dan Macam-Macam Wakaf, Di akses pada Rabu, 6 Mei 2015

19.25 pada http//www.google.com. 29

Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, hal. 23

30 Sumuran Harahap

, Wakaf Uang dan Prospek Ekonominya di Indonesia, (Jakarta: Mitra Abadi press, 2012) hal. 7


(51)

terpenuhi kebutuhannya uang tersebut dikembalikan lagi untuk dipinjamkan kepada orang lain tanpa mengambil keuntungan berupa

apapun dari pinjaman ini. Kedua, wakaf uang untuk keperluan

produksi . Wakaf uang produktif ini telah ada sejak zaman sahabat dan tabi’in.31

Wakaf uang tunai bagian dari objek wakaf selain tanah

maupun bangunan yang merupakan harta tidak bergerak. Wakaf dalam bentuk uang tunai dibolehkan, dan dalam prakteknya sudah dilaksanakan oleh umat Islam.

b. Wakaf Saham

Saham sebagai barang yang bergerak juga dipandang

mampu menstimulus hasil-hasil yang dapat didedikasikan untuk umat, bahkan dengan modal yang besar, saham malah justru akan memberi kontribusi yang cukup besar dibandingkan jenis perdagangan yang lainnya.

3. Sistem Manajemen Pengelolaan Wakaf Produktif

Sistem manajeman pengelolaan wakaf produktif merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan pradigma baru wakaf di

Indonesia. Untuk meningkatkan dan mengembangkan aspek

kemanfaatannya, tentu yang sangat berperan sentral adalah sistem manajemen pengelolaan yang diterapkan. Pola manajemen pengelolaan terhitung masih tradisioanal-konsumtif. Untuk itu, sebagai salah satu

31


(52)

42

elemen penting dalam pengembangan pradigma baru wakaf, sistem manajemen pengelolaan wakaf harus dilaksanakan dengan lebih profesioanal dan modern. Disebut profesional dan modern itu bisa dilihat pada aspek pengelolaan sebagai berikut:

a. Kelembagaan

Untuk mengelola benda-benda wakaf secara produktif, yang pertama-tama harus dilakukan adalah perlunya pembentukan suatu badan atau lembaga yang khusus mengelola wakaf yang ada dan bersifat nasional

b. Operasional Pengelolaan

Yang dimaksud dengan standar operasional pengelolaan wakaf adalah batasan atau garis kebijakan dalam mengelola wakaf agar menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak.

c. Kehumasan

Dalam mengelola benda-benda wakaf, maka peran kehumasan (pemasaran) dianggap menempati posisi penting. Fungsi dari kehumasan itu sendiri dimaksudkan untuk memperkuat image bahwa wakaf yang dikelola oleh Nazhir betul-betul dapat dikembangkan, meyakinkan kepada calon Wakif yang masih ragu


(53)

dalam mewakafkan harta bendanya, dan memperkenal aspek wakaf

yang tidak hanya berorientasi.32

4. Strategi Pengelolaan Wakaf Produktif

a. Peraturan Perundangan Perwakafan, sebelum lahir Undang-Undang

Nomor. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan di Indonesia diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan tercover dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Pokok Agraria.33

b. Pembentukan Badan Wakaf Indonesia, untuk konteks wakaf di

Indonesia, lembaga wakaf secara khusus akan mengelola dana wakaf dan beroperasi secara nasioanal itu berupa Badan Wakaf Indonesia (BWI). Tugas dari lembaga ini antara lain mengkoordinir Nazhir yang sudah ada atau mengelola secara mandiri terhadap harta wakaf yang dipercayakan kepadanya, khusunya wakaf tunai.

c. Pembentukan Kemitra Usaha, untuk mendukung suatu keberhasilan

pengembangan aspek produktif dari dana wakaf tunai, perlu diarahkan model pemanfaatan dana tersebut kepada sektor usaha yang produktif dan lembaga usaha memiliki reputasi yang baik. Salah satunya dengan membentuk dan menjalin kerjasama dengan perusahaan modal ventura.

32

Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta:

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, 2006) hal. 105-110

33 Departemmen Agam RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Direktorat


(54)

44

d. Penerbit Sertifikat Wakaf Tunai, manfaat lain dari sertifikat wakaf

tunai ialah dapat mengubah kebiasaan lama, dimana kesempatan wakaf itu seolah-olah hanya untuk orang kaya saja. Karena sertifikat tunai seperti yang diterbitkan oleh Bank. Maka sertifikat tersebut dapat dibeli oleh sebagian masyarakat muslim. Dipandang dari sisi lain, maka penerbitan sertifikat wakaf tunai dapat diharapkan menjadi rekontruksi sosial dan pembangunan, dimana mayoritas

penduduk dapat ikut berpartisipasi.34

34


(55)

45

A. Sejarah Singkat Yayasan Yatim Dan Dhuafa Al-Aulia Tempat dan Kedudukan

Yayasan AL-Aulia didirikan dengan Akta Notaris Marta Septi Riana, SH. No. 01 tanggal 14 Maret 2005 berkedudukan di Jalan H. Nawi Malik RT 03/02 No. 74 Kelurahan Serua Kecamatan Bojongsari Kota Depok. Yayasan Al-Aulia didirikan dengan maksud dan tujuan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya diantaranya berupa

pembinaan dan penyantunan anak-anak yatim/piatu dan dhu’afa serta

membantu Pemerintah melaksanakan amanah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia khususnya dalam hal menangani fakir miskin dan anak terlantar. Izin operasional yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Kota Depok No. 062/1362/PKRS/2006 tanggal 10 Mei Tahun 2006 dan telah mendapat pengesahan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum pada tanggal 29 februari 2008.

Menurut penelitian yang dilakukan mengenai kondisi umum

pendidikan anak yatim dan dhu’afa dilingkungan Rt 01/03 Kelurahan

Serua Kecamatan Sawangan Kota Depok waktu itu sampai dengan sekarang berganti menjadi Kecamatan Bojongsari terdapat 11 anak yatim dhu’afa yang tidak tamat SD, 7 yatim dhu’afa tidak tamat SMP.


(56)

46

Berdasarkan data tersebut maka didirikanlah Panti Asuhan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia.

B. Maksud dan Tujuan

Secara umum Yayasan didirikan dalam rangka membantu dan

mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Yatim Piatu dan Dhu’afa

dalam rangka kemandirian melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK), serta berketerampilan dan berakhlak mulia beriman dan bertaqwa (IMTAQ).

C. Azas

Sosial keagamaan merujuk pada syariat Islam. Yayasan ini berasaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan menjunjug tinggi syariat Islam sebagai pedoman dan tujuan hidup serta menjunjung tinggi pembangunan ilmu pengetahuan budaya-kesenian, ekonomi politik secara islami berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

D. Visi dan Misi Yayasan Yatim dan Dhu’afa Al-Aulia

a. Visi

1. Bahwa kesejahteraan hak semua manusia maka dianggap wajib

membela kaum lemah Yatim dan Dhu’afa

2. Bahwa zakat, infaq dan shodaqoh bagian dari kewajiban kaum

aghniya (orang kaya) untuk memberikan modal hidup kepada mustahiq yatim dan dhu’afa.


(57)

3. Bahwa kesejahteraan tercukupinya kebutuhan hidup lahir maupun batin yang semua itu bisa dicapai dengan kondisi hati yang ikhlas, ridha terhadap takdir.

4. Bahwa Yayasan Al-Aulia harus mampu menjadi

fasilitator/mediator antara kaum lemah Yatim Piatu dan Dhu’afa

dengan para aghniya (orang kaya).

5. Bahwa secara umum kemiskinan dapat berawal dari rendahnya

penguasaan ilmu pengetahuan dan ilmu agama, sebaliknya kebodohan atau tidak berilmu pengetahuan akibat dari kemiskinan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan.

6. Bahwa pengelolaan zakat, infaq dan shodaqoh dari umat oleh umat

untuk umat.

b. Misi

Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tuntutan visi di atas maka dilakukanlah tindakan:

a. Membentuk Panti Asuhan Al-Aulia

b. Di bentuk tim kerja/ pengumpul (amilin) sebagai lembaga amil

zakat infaq dan shodaqoh yang bernaung di bawah kendali manajemen Yayasan Kesejahteraan Umat Al-Aulia, berbadan hukum.

c. Membentuk pusat pengembangan keterampilan anak

d. Pengembangan seni Islam (marawis, nasyid, gambus, hadroh


(58)

48

e. Pengajian kitab kuning (salafi)

f. Penyantunan anak Yatim Piatu, Dhu’afa dan lansia secara

berkala

g. Melanjutkan pendidikan formal sampai dengan pendidikan

tinggi.

E. Struktur Kepengurusan

Yayasan ini dibangun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang Yayasan No. 28 Tahun 2004 dengan Susunan Organisasi Yaysan sebagai berikut:

I. Dewan Penasehat

1. KH. Ma’ruf

2. KH. M. Saidih, M.Ag

3. KH. DR.Ahmad Damanhuri, LC

II. Dewan Pembina

1. Ketua : KH. Asnawi Rais, SH., MM.Pd

2. Anggota : Naat Atmaja

3. Anggota : Iskandar S.Ag

III. Pengawas

1. Ketua : Ma’ruf Rais

2. Anggota : Asep Abdurrohim S.Pd

IV. Pengurus

1. Ketua : Amir Mufti Syar’i S.Pdi


(59)

3. Bendahara : Ahmad Zabidi

V. Pelaksana Harian Bidang Panti Asuhan

1. Badru Tamam

VI. Pelaksana Harian Bidang Kewirausahaan

1. Dede Slamet Permana S.Si CHT

VII. Pelekasana Harian Bidang Penelitian dan Pembangunan

1. Rahmatullah, M.Pd

VIII. Pelaksana Harian Bidang HUMAS

1. Jarwo Susilo

2. Agus

3. Deni Kurniawan, SE

F. Program Umum

a. Pembinaan Yatim Piatu dan Dhu’afa melalui panti

b. Pemberdayaan ekonomi umat (UKM dan Koperasi) berdasarkan

ekonomi syariah

c. Pembuatan sarana dan pengembangan pusat keterampilan (skill center)

meliputi perbengkelan, lab komputer, home industri, handy craft,

jahit/bordir, kaligrafi dan bercocok tanam.

d. Pelatihan kesenian Islami (marawis, hadroh, nasyid islami dll)

e. Dzikir manaqib dan istighasah

f. Pengkajian kitab kuning

Jangka Pendek


(60)

50

2. Pemutakhiran data Yatim dan Dhu’afa

3. Pelaksanaan pendidikan formal sesuai dengan usia dan tigkat

Yatim/Dhu’afa

Jangka Menengah

1. Peningkatan prestasi belajar dan keterampilan Yatim/Dhuafa

2. Pemenuhan sarana komunikasi dan informatika meliputi:

a. Website

b. Media syiar/pembuatan radio FM

Jangka Panjang

1. Pembuatan sarana dan prsarana umum meliputi:

a. Asrama putra dan putri

b. Gedung serba guna (sanggar kreativitas dan skill center) anak

Yatim/Dhu’afa

2. Program beasiswa (sarjana) S1 Per 1 keluarga Yatim dan Dhu’afa

3. Program kewirausahaan yayasan

a. Herbal

b. Produksi dan distribusi air mineral bekerjasama dengan PT.

Desalite Esbang Jaya

c. Agen Pulsa bekerjasama dengan pondok Pesantren Barokatul

Qodiri Al-Baghdadi


(61)

G. Alumni

1. Ikatan Alumni Al-Aulia (telah terbentuk)

2. Jumlah lulusan, sampai dengan tahun 2012 panti asauhan Al-Aulia

sudah mewisuda 12 orang dan sudah bekerja di instansi swasta dan pemerintahan, pada tahun 2012 ini dua orang santri Al-Aulia Ahmad Muzaki dan Dede Maulana mendapat beasiswa dari PT. Pertamina,

Tbk atas prestasi dibidang hifdzil qur’an(hafalan qur’an)

3. Pembinanaan karir dan profesi para alumnus, Yayasan Al-Aulia akan

terus memantau perkembangan karir dan profesi dan pengabdian kepada masyarakat para alumnusnya.

H. Aset Yayasan Saat Ini

a. Prasarana

1. Yayasan ini telah memiliki wakaf seluas ± 360 M2.

2. Akses jalan masuk ± 150 M2.

b. Sarana

1. Gedung

a. Asrama putra 2 lantai.

b. Asrama putri, mushallah dan gedung serba guna 2 lantai

(sedang dalam tahap pembangunan 40% berjalan).

c. Mobiliar kantor.

d. Perangkat IT.


(62)

52

I. Struktur Organisasi

STRUKTUR PENGURUS YAYASAN KESEJAHTERAAN UMAT

LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK “ AL-AULIA ”

SERUA BOJONGSARI KOTA DEPOK

PENDIRI

DEWAN PEMBINA H. ASNAWI RAIS, M.Pd

NAAT ATMAJA ISKANDAR, S.Ag

BENDAHARA AHMAD ZABIDI PENGAWAS

ASEP ABDURROHIM, S.Pd

MA’RUF RAIS

KETUA YAYASAN AMIR MUFTI SY, S.PdI

SEKRETARIS FAHMI DZILFIKRI


(1)

Narasumber : Amir Mufti, S.Pdi

Jabatan : Nazhir/ Pengelola Wakaf di Yaysan Yatim dan Dhuafa Al-Aulia

Lokasi wawancara : Yayasan Al-Aulia

Tanggal Wawancara : 10-Juli-2015

1. Sejak kapan yayasan yatim dan dhuafa Al-Aulia berdiri ?

Jawab: Yayasan yatim dan dhuafa Al-Aulia berdiri pada tanggal 14 Maret 2005, yayasan berdiri atas partisipasi masyarakat dan para donatur yang saling membantu dalam pembangun yayasan yatim dan dhuafa Al-Aulia. Yayasan Al-Aulia sebagai yayasan yang menampung dan membantu para yatim, dhuafa, lansia dan fakir miskin.

2. Bagaimana pengelolaan wakaf produktif di Yayasan yatim dan dhuafa Al-Aulia?

Jawab: Yayasan Al-Aulia dalam mengelola dan mengembangkan wakaf produktif didukung dengan beberapa pengurus dan bekerjasama dengan masyarakat sekitar. Yayasan Al-Aulia menggunakan lahan wakaf yang ada untuk kegiatan produksi makanan ringan, bercocok tanam, dan kegiatan belajar mengajar TPA/TPQ Al-Aulia. Ntuk produksi makanan ringan dilakukan oleh kaum ibu-ibu sekitar yayasan dan dibantu dengan santri perempuan yang tinggal diyayasan Al-Aulia, sedangkan untuk kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan santri laki-laki yang tinggal di yayasan Al-Aulia. Mereka menenam berbagai macam tanaman seperti bunga dan lain-lain, yang mana bunga tersebut akan dijual per poly bag. Untuk proses belajar mengajar di TPA/TPQ Al-Aulia pengurus terjun langsung dalam kegiatannya dengan membantu para tutor yang ada. Untuk jangka waktu panjang, yayasan Al-Aulia akan membuka usaha pengisian ulang air mineral, minimarket Al-Aulia dan kios pulsa Al-Aulia.

3. Apa yang menjadi tantangan dan hambatan dalam pengelolaan wakaf produktif di Yayasan yatim dan dhuafa Al-Aulia?


(2)

Jawab: Dalam pengelolaan wakaf produktif tentunya banyak terjadi tantangan dan hambatan, seperti pada sumber daya manusia, faktor ini merupakan faktor utama dalam menentukan sukses tidaknya pengelolaan wakaf produktif ini. Faktor lokasi juga mnentukan keberhasilan dari wakaf produktif ini, dalam pengelolaan suatu wakf produktif lokasi wakaf produktif disini masih menggunakan lahan yayasan yang seharusnya lebih baik lagi untuk lokasi wakaf produktif dipisahkan dan memiliki gedung tersendiri.

4. Bagaimana solusi atau jalan keluar yang yayasan lakukan agar pengelolaan wakaf produktif ini dapat berjalan secara maksimal dan berkepanjangan serta manfaatnya dapat dirasakan?

Jawab: Solusi pertama adalah memperbaiki sistem pengelolaan wakaf yang tadinya kurang maksimal dalam pengelolaannya menjadi maksimal dengan cara mengembangkan harta wakaf yang ada dikelola kembali kemudian di produktifkan agar mampu memiliki nilai jual yang ekonomis, dalam pengelolaan produksi makanan ringan lebih ditingkatkan dalam produksi pangan dengan memasarkan produk ke wilayah yang lebih luas lagi. 5. Apakah ada program jangka panjang yayasan dalam pengelolaan wakaf produktif?

Jawab: Untuk jangka panjang yayasan Al-Aulia akan membuka usaha pengisian ulang air mineral, minimarket Al-Aulia, dan kios pulsa. Akan tetapi untuk jangka panjang tersebut belum bisa diwujudkan karena dalam pengelolaan wakaf produktif sekarang ini masih banyak hambatan dan tantangan

Narasumber


(3)

Narasumber : H. Asnawi Rais, SH., M.mpd

Jabatan : Wakif

Lokasi wawancara : Yayasan Al-Aulia

Tanggal wawancara : 16 Mei 2015

1. Apa yang mendasari sehingga bapak memberikan wakaf uang pada saat itu?

Jawab: Saya memberikan atau mewakafkan uang pada saat itu tidak hanya sendiri, melainkan mengajak dermawan yang hatinya tersentuh untuk menolong para yatim dan fakir miskin agar dapat terus sekolah. Melihat pada kondisi lingkungan sekitar, banyak anak-anak yang putus sekolah dikarenakan faktor ekonomi dan juga kurangnya pemahan orang tua terhadap pendidikan.

2. Bagaimana solusi yang anda dan para dermawan lakukan yang pada saat itu melihat langsung kondisi sekitar?

Jawab: Solusi yang kami berikan dan kami lakukan pada saat itu adalah dengan mengumpulkan wakaf uang itu untuk kemudian di belikan lahan tanah yang di atas tanah tersebut dibangun sebuah yayasan yatim dan dhuafa lalu dibentuk sistem kepungurusan dan kemudian pengurus mengelola wakaf tersebut dengan meerapkan pengelolaan wakaf secara produktif agar dapat berkembang dan dapat meningkatkan nilai ekonomi yang kemudian hasilnya dapat dirasakan untuk kemandirian pendidikan dan juga kesejahteraan umat sebagaimana peruntukan wakaf yang tercantum dalam Undang-undang.

3. Bagaimana proses pencarian dana agar wakaf produktif dapat terus berkembang tanpa hambatan?


(4)

Jawab: Pengurus dan pengelola wakaf dalam pencarian dana pada saat itu hingga sekarang masih menggunakan dan memaanfaatkan infaq, sedeqah dan wakaf uang yang diberikan oleh para donatur.

Narasumber


(5)

Narasumber : Nahwani

Jabatan : Alumni Yayasan Yatim dan dhuafa Al-Aulia tahun 2008-2009

Lokasi wawancara : Rumah narasumber

Tanggal wawancara : 10 Juli 2015

1. Sebagai alumni dari Yayasan Yatim dan dhuafa Al-Aulia, merasa sangat puasa atau kurang maksimal dalam menerima manfaat dari wakaf produktif ini?

Jawab: Untuk masalah kepentingan sekolah memang sangat tercukupi karena adanya bantuan dari para donatur dalam bentuk infaq dan shodaqoh, untuk uang saku dan keperluan sehari-hari selama didalam yayasan masih kurang dirasakan manfaatnya. 2. Pada pengelolaan wakaf produktif apakah para anak asuh yang tinggal di dalam yayasan

ikut mengelola serta mengembangkannya atau tidak?

Jawab: Untuk pengelolaannya para anak asuh bahkan sampai sekarangpun yang sudah menjadi alumni masih ikut berperan dan membantu dalam mengembangkan harta wakaf ini agar terus berkembang dan menghasilkan surplus ekonomi yang mana hasilnya nanti dapat di rasakan tidak hanya pada anak asuh yang berada di dalam yaysan tetapi juga kepada para masyarakat umum disekitar yaysan.

3. Berikan skritik dan saran agar dengan kritik dan saran yang anda berikan dapat menambah kinerja pengurus agar lebih memaksimalkan dalam pengembangan harta wakaf !

Jawab: Kritik, seharusnya para pengurus serta pengelola dari wakaf produktif tersebut lebih meningkatkan dan mengembangkan harta wakaf tersebut agar manfaatnya bisa dirasakan terus oleh masyarakat umum dan khususnya bagi kemandirian pendidikan. Saran saya, seharusnya pengelola melibatkan langsung masyarakat agar masyarakat mengerti dan tau bagaimana harta wakaf tersebut dikelola, dikembangkan serta


(6)

manfaatnya dapat dirasakan oleh umat dan nantinya akan melatih masyarakat untuk lebih memudahkan dalam mewakafkan sebagian hartanya.

Narasumber