Peta Konflik Resolusi Konflik

korban mogok makan yang tidak sanggup bertahap lagi dapat pula dikatakan sebagai bantuan yang berharga bagi pedagang Senapelan.

3.4. Resolusi Konflik

Resolusi konflik adalah upaya- upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau dibantu oleh kelompok lain untuk menyelesaikan perselisihan yang dialami, dalam hal ini, pedagang dengan Pemkot dan investor. Upaya- upaya yang dilakukan atas inisiatif salah satu dari pihak yang berselisih, dapat di sebut sebagai upaya negosiasi atau konsiliasi. Sedangkan upaya penyelesaian dengan memanfaatkan kelompok ketiga dinamakan dengan arbitrasi atau penghakiman dan mediasi atau penengahan. 163 Gambar 4.1. Peta Konflik Peremajaan Pasar Senapelan I Dan kedua model resolusi ini pernah diupayakan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pedagang dengan Pemkot dan investor konsiliasi dan mediasi.

3.4.1. Peta Konflik

163 Op, Cit, Dahrendorf, hal. 47- 49 Pemkot Pedagang Investor Kelompok Mediasi : - DPRD - IKMR Kelompok Pendukung : - LSM - Mahasiswa - Intelektual Universitas Sumatera Utara Keterangan : = Pihak Utama Yang Terlibat Konflik = Pihak Pelengkap Dalam Konflik = Relasi Advokasi Atau Pendukungan = Relasi Konflik = Relasi Mediasi Konflik yang terjadi pada pembangunan pasar Senapelan Pekanbaru melibatkan beberapa pihak, yang dapat dibagi kedalam: 1 pihak utama yang terlibat konflik, dan 2 pihak- pihak pelengkap yang terbagi dalam kelompok penengah konflik dan kelompok pendukung pihak- pihak yang berkonflik. Pihak utama yang terlibat konflik terdiri dari Pemkot dan investor di satu pihak dengan pedagang di pihak yang lain. Sedangkan pihak sekunder terbagi atas dua, yaitu mereka yang melakukan upaya advokasi pendukungan dan mereka yang melakukan mediasi atau penyelesaian konflik. Pada awalnya konflik tersebut terjadi antara investor dengan pedagang, dengan isu harga kios yang tinggi. Tetapi pasca pembongkaran paksa yang dilakukan oleh Pemkot 15 dan 18 April 2004, menyebabkan Pemkot menjadi bagian dari konflik tersebut, di mana Pemkot dan investor berhadapan dengan pedagang. Sedangkan isu konflik yang diagkat relatif sama, cuma ada penarnbahan isu, yaitu tuntutan mundur Walikota dan tuntutan ganti rugi pedagang tentunya selain isu harga kios.Dengan demikian, baik Pemkot maupun investor berada pada pihak yang sama, yakni pihak yang melakukan penguasaan terhadap pedagang. Pemkot sebagai pembuat kebijakan politis pembuatan peraturan non koperatif, melakukan represi, dan kooptasi, sedangkan investor Universitas Sumatera Utara sebagai pihak penyelenggaranya melakukan investasi dan pembangunan pasar. Upaya advokasi dilakukan oleh kelompok pendukung pedagang. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk pembelaan terhadap kelompok yang dianggap kepentingannya tersubordinasi oleh kelompok lainnya, yaitu kelompok pedagang yang tersubordinasi oleh Pemkot dan investor. Dengan melakukan tindakan ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan kepentingan dalam konflik tersebut. Mereka melakukan tindakan pendukungan atau beraliansi dengan kelompok pedagang. Mereka terdiri dari berbagai kelompok dan personal, antara lain: aktivis dari kalangan mahasiswa dan LSM, serta individu dari kalangan intelektual setempat pangacara lokal dan tokoh masyarakat. Sedangkan kelompok keempat yang juga masuk dalam konflik ini adalah DPRD Pekanbaru dan IKMR. Mereka berfungsi sebagai lembaga mediasi atau penengah dalam penyelesaian konflik tersebut. Bersama- sama dengan pedagang, kelompok advokasi melakukan upaya penekanan terhadap Pemkot dan DPRD untuk menyelesaikan konflik ini. Upaya penekanan yang dilakukan terhadap Pemkot terjadi sebelum pembongkaran paksa kios pedagang di pasar Senapelan terjadi, sedangkan upaya penekanan terhadap DPRD terjadi setelah tindakan pembongkaran paksa dilakukan oleh Pemkot bersama investor terhadap kios mereka. Belakangan IKMR masuk dalam konflik ini sebagai mediator menggantikan posisi DPRD, akan tetapi IKMR tidak mendapat tempat di mata para pedagang dan menganggapnya sebagai institusi bentukan Pemkot. Pada akhirnya pedagang tetap mengandalkan DPRD dan advokasi yang dilakukan oleh pengacara setempat. Dalam tindakan penekanan terhadap Pemkot, pedagang berhasil memaksa Universitas Sumatera Utara Pemkot untuk mempertemukan mereka dengan pihak investor, walaupun dalam pertemuan yang memakai sistem perwakilan tersebut pedagang dan pihak investor tidak menemukan kata sepakat. Hal yang sama juga terjadi pasca pembongkaran, tekanan yang diberikan oleh pedagang terhadap DPRD Pekanbaru berhasil memaksa DPRD Pekanbaru untuk mempertemukan pedagang dengan Pemkot dan investor. Yang menarik pada konflik yang terjadi di sini adalah, upaya- upaya resolusi darnai yang dilakukan oleh pihak- pihak yang berkonflik baru terjadi setelah adanya tekanan- tekanan yang dilakukan oleh pedagang yang beraliansi dengan kelompok pendukung. Upaya konsiliasi yang dilakukan oleh Pemkot terjadi setelah pedagang mendesak Pemkot untuk mempertemukan mereka dengan pihak investor melalui aksi unjuk rasa. Sedangkan upaya mediasi atau penengahan yang dilakukan oleh DPRD juga terjadi setelah desakan- desakan beruntun dan terus- menerus yang dilakukan oleh kelompok pedagang melalui aksi unjuk rasa dan mogok makan. Konflik yang awalnya hanya terjadi antara pedagang dengan investor, meluas menjadi konflik yang terjadi antara pedagang berhadapan dengan Pemkot dan investor, kemudian meluas lagi menjadi konflik yang terjadi antara pedagang berhadapan dengan Pemkot dan investor di satu pihak dan DPRD beserta IKMR di pihak yang lain lagi. Bahkan kemudian meluas lagi dengan kelompok pendukung terutama yang berasal dari kalangan aktivis mahasiswa dan LSM. Konflik yang terjadi antara pedagang dengan Pemkot lebih disebabkan ketidak mampuan Pemkot dalam menyelesaikan permasalahan harga kios yang dipermasalahkan oleh pedagang, Pemkot setuju dengan harga yang dipatok oleh Universitas Sumatera Utara pihak investor dan menolak harga yang ditawarkan oleh pedagang. Sedangkan, konflik yang terjadi dengan DPRD dikarenakan tidak berhasilnya DPRD memaksa pihak Pemkot dan investor untuk menurunkan harga kios, walaupun DPRD berhasil memaksakan terjadinya pertemuan 25 Januari 2003. Berbeda dengan DPRD, ketidak berhasilan IKMR sebagai mediator disebabkan oleh ketidakmampuan IKMR, sebagai institusi terbesar yang ada di Pekanbaru yang menaungi seluruh etnis Minang yang ada di Riau, untuk memihak pedagang dan memaksakan terjadinya pertemuan dengan Pemkot dan investor. Sedangkan konflik dengan mahasiswa dan LSM, terjadi karena mahasiswa dan LSM lebih cenderung memperjuangkan kepentingannya sendiri. Dengan memanfaatkan jasa pedagang yang tersubordinasi, diharapkan kepentingan kelompok ataupun personal mereka dapat tercapai seperti yang dilakukan oleh Rinaldi, setelah aksi mogok makannya mendapat perhatian dari investor, ia tidak pernah menemui pedagang lagi.

3.4.2. Upaya Resolusi yang Pernah Dilakukan