BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Skripsi ini akan membahas dan melihat bagaimana dominasi pemerintahan kota terhadap pedagang Senapelan di Kota Pekanbaru Riau dan bagaimana juga
bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pedagang terhadap Pemkot Pekanbaru. Konflik yang terjadi berawal dari kebijakan Pemerintah Kota Pemkot Pekanbaru
untuk melakukan peremajaan pasar tradisional Senapelan Pekanbaru, hingga sekarang konflik itu tidak terselesaikan dengan baik, mengingat banyak pedagang
yang tidak puas dengan solusi yang ditetapkan oleh pemkot. Dengan demikian melahirkan konflik vertikal antara pemkot dan pedagang pasar senapelan yang
berkepanjangan. Kasus ini menjadi penting untuk dilihat karena konflik vertikal antara pedagang dan Pemkot Kota Pekanbaru menarik perhatian masyarakat Riau
secara umum dan masyarakat Kota Pekanbaru khususnya. Konflik adalah gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat
dalam kehidupan setiap masyarakat, dan karena itu tidak mungkin dilenyapkan
1
. Sebagai gejala kemasyarakatan yang melekat di dalam kehidupan setiap
masyarakat, ia hanya akan lenyap bersama masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, konflik yang terjadi hanya dapat dikendalikan agar tidak terwujud dalam bentuk
kekerasan atau violence.
2
Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok yang merasa kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau
1
Lihat Nasikun, Sistem Sosial di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, hal. 15
2
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kelompok lain dengan cara-cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal dengan surplus value
3
. Dan konflik ini dapat terjadi secara horizontal maupun vertiKal.
4
Konflik horizontal terjadi antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, yang dibedakan oleh agama, suku, bangsa dan lain-lain. Sedangkan
konflik vertikal biasanya terjadi antara suatu kelompok tertentu dalam masyarakat atau lapisan bawah dengan lapisan atas atau penguasa.
5
Kasus-kasus penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin yang makin marak terjadi belakangan ini di berbagai kota di Indonesia merupakan
fenomena sosial yang menimbulkan konflik vertikal. Seperti penggusuran Pedagang Kaki Lima PKL dan pemukiman masyarakat miskin yang terjadi di
wilayah Jakarta
6
, dan juga kasus penggusuran Pedagang Kaki Lima PKL serta masyarakat yang tinggal di bantaran sungai Yogyakarta
7
Konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat juga terjadi di kota Pekanbaru. Konflik ini terjadi antara pedagang tradisional pasar Kodim atau
Senapelan di kota Pekanbaru, propinsi Riau dengan pemerintah kota Pekanbaru dan pengusaha. Hal ini disebabkan oleh rencana peremajaan pasar Senapelan yang
. Dalam penggusuran tersebut melekat makna pemaksaan dan kekerasan oleh kolaborasi penguasa yang
secara politik maupun ekonomi kuat. Hampir tidak ada dialog dan penyelesaian masalah secara damai, win-win solution dalam penggusuran. Yang ada hanyalah
raungan mesin kekuasaan dan jerit tangis si korban.
3
Lihat Susetiawan, Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh Perusahaan dan Negara di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 34
4
Nasikun, Op. Cit., hal. 16
5
Lihat C. James Scott, PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hal. 20
6
Lihat Kompas, ”Penggusuran di Ibu Kota Jakarta”, 11 Oktober, Desember 2003.
7
Lihat juga Kompas, ”Satpol PP Yogyakarta Menggelar Operasi Bersih” 14 Mei 2004, hal. 12
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru disertai dengan aksi pembongkaran paksa ratusan kios lama di pasar tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota pemkot Pekanbaru dalam rangka peremajaan pasar Senapelan tersebut telah melahirkan sikap penentangan pedagang pasar Senapelan.
Kebijaksanaan yang telah direncanakan sejak empat tahun itu, sekitar tahun 2001 yang lalu, berimplikasi pada terjadinya konflik vertical.
8
Tuntutan sekitar 2000 pedagang pasar Senapelan cukup masuk akal, mereka meminta agar harga kios baru pasca peremajaan sesuai dengan kecukupan
ekonomi yang dimiliki oleh pedagang. Pedagang tidak menolak pasar yang berada di Jalan Ahmad Yani Pekanbaru tersebut diremajakan karena dapat memperindah
wajah kusam kota Pekanbaru yang sedang berbenah diri.
9
Disatu sisi, Pemerintah Kota Pemkot Pekanbaru dengan pihak investor P.T Peputra Maha Jaya PMJ
telah menyepakati harga kios baru pasca peremajaan tanpa persetujuan para pedagang pasar Senapelan.
10
Pemko menetapkan harga kios seluas 3x3 di blok A atau lantai dasar, mencapai Rp. 20 juta Per meter
2.
Sementara blok B dengan luas kios yang sama, harga ditetapkan Rp. 14,3 juta permeter
2
. blok ini berada di lantai dua dan tiga, sementara blok C berada di lantai empat dan lima dipatok dengan harga yang
sama dengan blok B
11
8
Lihat Media Indonesia, ”Bentrokan Antara Masyarakat dan Satpol PP”, 17 Mei 2004, hal. 3
9
Lihat Media Indonesia, “Pemkot Pekanbaru Berbenah” 09 Juni 2004, hal. 3
10
Ibid.
11
Lihat Media Indonesia, “Tarif Baru Harga Kios Senapelan” 09 Juni 2004, hal. 3
. Lain halnya dengan Pemkot, pedagang pasar Senapelan hanya sanggup membayar kios dengan harga tujuh 7 juta rupiah sampai dengan
Universitas Sumatera Utara
delapan 8 juta rupiah untuk blok B, dan tiga setengah 3,5 juta rupiah dengan lima 5 juta rupiah untuk blok C.
12
Selain permasalahan harga kios yang tinggi, konflik ini juga dipicu oleh kebijakan Pemkot yang tidak transparan dalam penempatan pedagang Senapelan
di lokasi tersebut. Yaitu kebijakan tersebut dibuat oleh Pemkot begitu saja tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan pedagang. Pedagang eks pasar Senapelan
akan ditempatkan di blok B dan C, sedangkan blok A ditempati pengusaha dari Jakarta dan Singapura. Lokasi blok B dan C berada di belakang blok A, sangat
tidak strategis bagi pedagang untuk melakukan transaksi jual beli, dan akan semakin merugikan pedagang lagi jika sistem satu pintu benar-benar akan
diterapkan dalam pembangunan pasar tersebut.
13
Harga kios tersebut mulai dipersoalkan oleh pedagang pasar tradisional Senapelan. Melalui rapat yang mereka lakukan, sekitar 2000 yang terhimpun
dalam Forum Komunikasi Pedagang Senapelan FKPPS menyepakati harga kios baru pascaperemajaan adalah Rp 8 juta per meter
2
dan dilunasi dengan cara mencicil kepada investor
14
. Kesepakatan harga yang dibuat oleh pedagang ini kemudian menjadikan Pemerintah Kota Pekanbaru dan investor menunda
sementara peremajaan pasar Senapelan sampai terjadi kesepakatan harga kios antara pedagang dan Pemkot.
15
Tanggal 25 Januari, 2003, terjadi kesepakatan antara Pemerintah Kota Pekanbaru yang ditandatangani oleh Wali Kota Pekanbaru, Ketua DPRD
Pekanbaru, direktur P.T Peputra Maha Jaya, dan perwakilan salah seorang
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid
Universitas Sumatera Utara
pedagang pasar Senapelan. Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa segala bentuk aktivitas pembangunan pasar Senapelan akan dihentikan hingga
kesepakatan hargai kios tercapai, dan bagi pihak-pihak yang melanggar kesepakatan yang telah dibuat tersebut akan dituntut sesuai dengan hukum yang
berlaku di negara Republik Indonesia.
16
Kesepakatan yang telah dibuat tersebut awalnya dapat dijalankan dengan baik, tetapi memasuki tahun 2004, kesepakatan tersebut mulai goyah dan berakhir
dengan aksi penggusuran pasar Senapelan dari kios mereka yang lama, tanggal 15 dan 18 April 2004. Aksi penggusuran tersebut diwarnai dengan bentrokan antara
aparat Satuan Polisi Pamong Praja Satpol PP dengan pedagan pasar Senapelan yang didukung oleh sejumlah aktivis mahasiswa dan LSM. Bentrok tersebut
berakhir dengan kekalahan di pihak pedagang dan penangkapan sejumlah pedagang dan aktivis yang turut serta memperjuangkan nasib pedagang.
17
Tindakan pembongkaran kios yang pertama, aparat berhasil mengamankan sejumlah pedagang karena dianggap menghalangi upaya pembongkaran kios.
Tindakan pembongkaran ini sempat terhenti karena ratusan pedagang yang kebanyakan adalah ibu-ibu menghalangi masuknya buldozer. Tindakan
pembongkaran itu kemudian dilanjutkan pada tanggal 18 April 2004, kali ini Pemkot berhasil meratakan seluruh bangunan kios. Dalam tindakan
pembongkaran ini, aparat kembali menahan sejumlah orang terdiri dari aktivis dan pedagang, karena dituduh memprovokasi massa.
18
Pada akhirnya, para pedagangpun terpaksa harus pindah ke TPS Tempat Penampungan Sementara yang telah disediakan sebelumnya oleh Pemkot, dengan
16
Ibid
17
Ibid.
18
Lihat Bintan Pos, “Para Pedagang dan Aktivis Ditangkap Satpol PP” 19 April 2004, hal 5
Universitas Sumatera Utara
ukuran 3x2 m
2
di jalan teratai Pekanbaru. Tempat penampungan sementara tersebut disediakan sebanyak empat blok dengan berbagai fasilitas umum yang
disediakan gratis bagi pedagang. Akan tetapi kenyataannya, sejumlah TPS ternyata harus diperoleh pedagang dengan cara membeli atau menyewa kembali
kepada pedagang lain, sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang mendalam dari pedagang terhadap kebijakan Pemkot. Kenyataan ini diperparah lagi dengan
kondisi TPS yang dijanjikan tidak sesuai dengan harapan yang dijanjikan Pemkot kepada pedagang Senapelan, kios yang tidak layak dipakai dan tidak mencukupi
untuk menampung pedagang korban penggusuran.
19
Dengan terjadinya tindakan pembongkaran kios itu, bukan berarti aksi penentangan yang dilakukan oleh pedagang pasar Senapelan juga berakhir,
malahan semakin gencar, Mulai tanggal 19 April 2004 sampai dengan akhir tahum 2004, para pedagang dengan dibantu oleh beberapa elemen masyarakat
melakukan aksi protes terhadap Pemerintah Kota Pekanbaru. Aksi tersebut dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari aksi turun kejalan, mendirikan tenda
darurat, penahanan, sampai pada aksi membakar salah satu capres tertentu sebagai bentuk kekecewaan terhadap kader dari parpol capres tersebut, yang menjadi
ketua DPRD Pekanbaru.
20
Ratusan pedagang pasar Senapelan melakukan aksi memprotes kebijakan Pemkot yang tetap melanjutkan pembangunan pasar Senapelan tersebut. Mereka
yang terdiri dari pedagan pasar, mahasiswa, dan LSM berkeinginan untuk bertemu dengan Wali Kota Pekanbaru dan menuntut agar menghentikan sementara
pembangunan pasar tersebut sampai adanya kesepakatan harga antara pedagan
19
Ibid.
20
Lihat Tempo,” Kemarahan yang Berbuah Pembakaran Foto Calon Presiden” 10 Juni 2004
Universitas Sumatera Utara
dengan investor penyelenggara pembangunan tersebut. Akan tetapi, aksi ini harus berakhir dengan kekecewaan dan di lampiaskan dengan mendirikan tenda darurat
di depan kantor Wali Kota Pekanbaru.
21
Aksi memprotes kebijakan Pemkot yang dilakukan oleh pedagang Senapelan tidak hanya dilakukan di Kantor Wali Kota Pekanbaru, aksi ini juga
dilakukan di gedung DPRD Pekanbaru
22
. Aksi protes ke gedung DPRD Pekanbaru bertujuan untuk menuntut DPRD agar bersedia menjadi mediator
mempertemukan pedagang dengan investor dan Wali Kota Pekanbaru. Tetapi tindakan ini kembali gagal mendapatkan hasil, karena DPRD hanya berjanji untuk
merealisasikan saja, akan tetapi janji tersebut tidak pernah terwujud. Tidak adanya pertemuan yang terjadi antara pedagang Senapelan, investor dan Wali Kota,
menjadikan pedagang semakin frustasi dan kecewa, bahkan para pedagang sempat menyandera ketua DPRD Pekanbaru selama beberapa jam, untuk kemudian
dilepaskan kembali.
23
Bentuk solidaritas antara sesama kaum tertindas dilakukan oleh pedagang. Para pedagang pasar Senapelan menuntut beberapa orang teman mereka yang
ditahan dalam aksi protes yang terjadi beberapa waktu lalu supaya dibebaskan. Para pedagang meminta pihak kepolisian untuk membebaskan mereka dari
tahanan karena mereka harus mencari nafkah. Selain itu mereka juga meminta polisi agar mengusut tuntas dan menghukum Oknum Satuan Polisi Pamong Praja
yang melakukan tindak kekerasan di saat aksi protes pedagang berlangsung.
24
21
Lihat Bintan Post, “Warga Bermalam di Kantor Wali Kota” 19 April 2004
22
Lihat Media Indonesia, ”Aksi Terus Berlanjut” 09 Juni 2004
23
Ibid
24
Lihat, Kompas, ”Bentrok Satpol PP dengan Pedagang Senapelan”, 7 Juni 2004.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah