1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia selain sebagai makhluk individu, juga disebut sebagai makhluk sosial. Ciri dari manusia sebagai mahkluk sosial dalam kesehariannya yaitu
memiliki harkat untuk bersatu dengan manusia lain dan bersatu dengan alam disekitar. Untuk mewujudkan kedua hal tersebut, maka manusia melakukan
interaksi dengan manusia dan dengan alam disekitar. Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antar orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang- perorang dengan kelompok manusia.
2
Selanjutnya interaksi yang
dilakukan manusia tersebut kerap kali
menimbulkan berbagai
penyimpangan. Munculnya penyimpangan itu disebabkan oleh hal-hal yang berbeda antara
individu yang satu dengan yang lain, baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja. Pelanggaran-pelanggaran ini dapat terjadi karena berbagai macam
alasan. Gambarannya sering kali lebih rumit. Tekanan ekonomi, ketiadaan lapangan pekerjaan, tingkat pendidikan yang rendah dan kerasnya orientasi orang
kepada kebendaan merupakan motivasi yang paling dominan dari setiap tindak pidana.
3
Penyimpangan tersebut kerap kali dilakukan untuk mencapai suatu
2
Soerjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT Raja Grasindo Persada, 1987, hal. 51.
3
Noach Simanjuntak dan L.Pasaribu, Kriminologi, Bandung, Tarsito Bandung, 1984, hal.10.
Universitas Sumatera Utara
2 tujuan tertentu yang tidak dapat dicapai dengan cara yang sesuai dengan norma.
Bentuk penyimpangan yang terjadi salah satunya adalah kejahatan atau tindak pidana. Seseorang yang berbuat jahat untuk mendapatkan suatu hal dengan muda
bukan merupakan suatu fenomena yang baru lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini akan selalu ada dan berkembang jenis dan motifnya dari
masa ke masa dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Bonger, arti kejahatan dipandang dari sudut formil adalah suatu
perbuatan yang oleh masyarakat diberi pidana.
4
Batasan mengenai kejahatan menurut Bonger adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh
tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.
5
Bonger juga berpendapat bahwa kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan immoral.
6
Selanjutnya Shuterland berpendapat bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan
negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya pamungkas.
7
Kejahatan dalam pandangan sosiologis diartikan sebagai semua bentuk ucapan dan tingkah laku yang melanggar norma-norma sosial, serta merugikan
dan mengganggu keselamatan masyarakat, baik secara ekonomis, politis maupun sosial-psikologis.
8
Perkembangan dan peningkatan kejahatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan
4
Suwarto, Individualisasi Pemidanaan, Pustaka Bangsa Press, Medan , 2013, hal.1.
5
Noach Simanjuntak dan L. Pasaribu, Op.Cit., hal.45.
6
Ibid.
7
Suwarto,Op.Cit., hal.2.
8
Kartini Kartono, Patalogi Sosial Jilid I, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 121.
Universitas Sumatera Utara
3 berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari
suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu dipikirkan oleh para
ilmuwan terkenal. Plato 427- 347s.m misalnya dalam bukunya “republik”
menyatakan antara lain bahwa manusia adalah sumber dari banyak kejahatan.
9
Kejahatan merupakan suatu masalah manusia dalam perhubungan masyarakat yang tak dapat lepas dari perkembangan negara kearah negara yang
lebih modern.
10
Indonesia sebagai negara hukum, harus mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada setiap individu yang ada didalamnya
agar dapat menjalankan haknya dengan baik. Salah satu unsur yang utama dari negara hukum adalah adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia dan
warga negara serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata. Sebagai konsekuensi dari negara hukum, tentunya setiap pelaku kejahatan atau pelaku
tindak pidana harus mendapat sanksi dan sanksi tersebut harus dijalankan sesuai dengan hukum dan norma yang berlaku. Sebab tujuan dari norma adalah untuk
ditaati dan untuk ditaati diperlukan sanksi.
11
Norma tersebut antara lain adalah norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat, norma agama dan norma
hukum. Diantara norma-norma tersebut bentuk sanksi yang paling hebat terdapat dalam hukum pidana yaitu sanksi berupa derita atau nestapa yang diberikan
secara sadar dan sengaja pada seseorang yang melakukan suatu pelanggaran
9
Topo Santosa dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 , hal.1.
10
Noach Simanjuntak dan L. Pasaribu, Op.Cit, hal.45.
11
Ibid, hal.46.
Universitas Sumatera Utara
4 hukum.
12
Secara umum hukum pidana memiliki fungsi yang sama dengan bidang hukum lainnya yaitu menjaga ketertiban masyarakat sehingga ketertiban dan
kesejahteraan serta kedamaian hidup dapat diciptakan disamping keadilan sebagai cita hukum yang tinggi.
13
Pemberian sanksi tersebut harus dijalankan sesuai dengan sistem peradilan pidana. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu
perbuatan tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela dan memberikan suatu sanksi
terhadapnya.
14
Penegakan hukum pidana apabila dilihat dari suatu proses kebijakan, pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa
tahapan.
15
Tahap yang pertama adalah tahap formulasi yaitu penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang atau disebut juga dengan tahap
legislative, sedangkan tahap kedua adalah tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan.
16
Tahap yang terakhir yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkret oleh aparat-aparat pelaksanaan pidana. Tahap ini disebut juga dengan
tahap eksekutif.
17
Sistem peradilan pidana berjalan dengan tujuan menegakkan hukum pidana, menghukum pelaku tindak pidana dan memberikan jaminan atas
pelaksanaan hukum disuatu negara.
18
Mardjono Reksodiputro memberikan definisi
12
Ibid, hal.47.
13
Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal.14.
14
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, PT. Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 4.
15
Ibid.
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Eva Achjani Zulfa dan Indrianto Seno Adji, Op.Cit, 2011, hal.19 .
Universitas Sumatera Utara
5 sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk
menanggulangi masalah kejahatan dalam arti mengendalikan kejahatan dalam batas-batas toleransi masyarakat.
19
Pemberian sanksi dilakukan kepada pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana semata-mata bukan hanya untuk pembalasan
atas kerugian yang diakibatkannya, namun pemberian sanksi juga diberikan sebagai upaya pembinaan bagi pelaku tindak pidana sehingga seorang pelaku
tindak pidana tersebut tidak mengulangi perbuatan jahat berulang-ulang. Pemberian sanksi atau pemidanaan harus memperhatikan asas keseimbangan
kepada pelaku kejahatan. Asas keseimbangan ini mengandung arti bahwa pemidanaan harus mengakomodasi kepentingan masyarakat, pelaku dan korban.
20
Asas keseimbangan juga diperlukan agar terdapat keselarasan antara kerugian yang diakibatkan dengan hukuman yang akan diberikan. Pemidanaan tidak boleh
hanya menekankan pada salah satu kepentingan dan tanpa memperhatikan ketentuan yang ada. Pemidanaan yang menekankan kepentingan masyarakat,
hanya akan memberi sebuah sosok pemidanaan yang menempatkan pelaku hanya sebagai objek belaka.
21
Seorang pelaku tindak pidana harus menjalani serangkaian proses hukum yang dimulai dari tahap penyidikan oleh kepolisisan, tahap penuntutan di
kejaksaan hingga pada proses persidangan di pengadilan. Sanksi kepada pelaku tindak pidana baru dapat diberikan setelah ada keputusan hakim yang berkekuatan
hukum yang tetap inkrach van gewijsde. Pelaku tindak pidana tersebut kemudian berubah status menjadi narapidana pada saat putusan pengadilan
19
Ibid.
20
Marlina, Hukum Penitensier, Reflika Aditama, Bandung , 2011, hal. 36.
21
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
6 dilaksanakan dan akan berakhir setelah narapidana selesai menjalani hukuman di
lembaga pemasyarakatan. Narapidana di lembaga pemasyarakatan akan diberikan pengertian melalui serangkai pembinaan yang dilakukan petugas lembaga
pemasyarakatan beserta dengan lembaga lain yang terkait. Lembaga pemasyarakatan selanjutnya disebut Lapas yang secara khusus
menampung para pelanggar hukum dan yang sedang menjalankan pembinaan terhadap narapidana juga tidak lepas dari permasalahan-permasalahan, baik yang
dilakukan antar narapidana maupun narapidana dengan petugas Lapas. Segala kekurangan yang dimiliki oleh Lapas sangat memungkinkan untuk terjadinya
permasalan-permasalahan selama proses pembinaan narapidana. Terlalu banyak keterbatasan, yang semakin menjauhkan cita-cita ideal dengan kenyataan.
22
Alih- alih terjadi interaksi edukasi, yang banyak ditemukan di dalam Lapas justru
kehidupan sebaliknya, Lapas masih dikotori dengan segala macam praktek tak terpuji, seperti perlakuan diskriminatif, penyuapan, pemerasan, dan tindakan
kekerasan.
23
Keadaan cenderung memburuk, karena hingga hari ini Lapas tidak saja memiliki keterbatasan tenaga petugas, dana dan fasilitas, namun juga
keterbatasan cara berfikir dan profesionalisme pengolahan.
24
Dewasa ini semakin marak terjadi perbuatan pidana yang dilakukan oleh narapidana selama proses pembinaan, dimulai dari perkelahian antar narapidana,
peredaran narkoba dalam Lapas, pembakaran, hingga pada pengerusakan Lapas yang mengakibatkan kematian. Pernyataan tersebut dapat dijelaskan dengan alur
22
Ibid.
23
David J Cookie dkk, Menyingkap Dunia Gelap Penjara, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal.xiii.
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7 berpikir sebagai berikut, secara psikologis penempatan orang penempatan orang
dalam penjara pada hakikatnya merupakan suatu pengekangan kebebasan seseorang dalam memenuhi segala kebutuhannya. Karena itulah penghuni
mengalami kesakitan akibat berbagai kehilangan baik kehilangan rasa aman, relasi seksual, otonomi maupun kehilangan kekuasaan atas barang-barang yang dimiliki.
Keadaan ini kerap menimbulkan permintaan lebih dari narapidana yang tidak mungkin dapat dipenuhi.
Perbuatan-perbuatan pidana di Lapas terjadi sebagai puncak dari adanya kekurangan dalam pelaksanaan proses pembinaan didalam Lapas. Umumnya
kerusuhan-kerusuhan yang dilakukan oleh narapidana itu disebabkan karena jumlah narapidana yang melebihi daya tampung dari Lapas, tidak optimalnya
fasilitas dan pelayanan Lapas, jumlah sipir yang minim, dan lemahnya pengawasan terhadap narapidana. Tabel berikut merupakan perbandingan jumlah
narapidana di Lapas: Tabel 1.
Data perbandingan narapidana yang masuk dan keluar dari Lapas. Tahun 2012
Tahun 2013 Tahun 2014
Masuk: 108.807 Keluar: 41.225
Rincian keluar: Bebas murni: 5.109
12 Bebas remisi: 3.165
8 PBCBCMB: 32.951
80 Total keluar: 41.225
Masuk: 135.826 Keluar: 90.795
Rincian keluar: Bebas murni: 38.216
42 Bebas remisi: 3.221 4
PBCBCMB: 49.358 54
Total: 90.795 Masuk: 88.662
Keluar: 75. 147 Rincian keluar:
Bebas murni: 44.133 59
Bebas remisi: 4.205 5
PBCBCMB: 26.809 36
Keterangan: PB: Pembebasan bersyarat
CB: Cuti bersyarat CMB: Cuti menjelang bebas
Sumber: Sistem database Pemasyarakatan Kemenkumham RI.
Universitas Sumatera Utara
8 Data diatas menyebutkan bahwa jumlah narapidana yang masuk penjara dari
tahun ke tahun lebih banyak dari narapidana yang keluar dari Lapas, sedangkan luas halaman dan bangunan Lapas untuk pembinaan tidak bertambah.
Salah satu contoh perbuatan pidana yang secara nyata dilakukan narapidana selama menjalani masa pidana adalah peristiwa pembakaran Lapas
Kelas 1 Tanjung Gusta Medan. Penyebab kerusuhan narapidana di Lapas Tanjung Gusta lalu, salah satu adalah tuntutan narapidana yang tidak terpenuhi oleh
petugas Lapas Kelas 1 Tanjung Gusta. Sebanyak lima orang tewas dalam kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Kelas I Medan, dan membuat sedikitnya 200
narapidana berhasil kabur.
25
Setiap narapidana yang melakukan kejahatan atau tindak pidana juga harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya, sama seperti pelaku kejahatan pada
umumnya meskipun diketahui bahwa masa hukuman dari narapidana pelaku kejahatan tersebut masih belum berakhir. Narapidana pelaku tindak pidana
tersebut harus mengikuti proses hukum untuk kemudian dibuktikan kesalahan apa yang disangkakan kepadanya.
Narapidana yang melakukan perbuatan pidana di Lapas juga kemudian harus dicermati apakah masih layak mendapatkan hak-haknya sepenuhnya
ataukah hanya dapat menjalankan sebagian saja. Petugas Lapas beserta dengan instansi terkait harus turut membantu penyelesaian masalah tersebut melalui suatu
kebijakan agar dapat mengerti, dan mengendalikan narapidana sehingga kejadian yang sama tidak terjadi kembali. Upaya perbaikan tidak saja harus dilakukan atas
25
http:nasional.news.viva.co.idnewsread428240-foto--kerusuhan-Lapas-tanjung- gusta-medan, diakses pada tanggal 20 April 2015.
Universitas Sumatera Utara
9 inisiatif dan para petugas Lapas dan pemerintah, namun juga seluruh pihak.
26
Perlu ada sinergi antara masyarakat dan bahkan para napi dan mantan narapidana sendiri yang sangat memahami keadaan di dalam Lapas.
27
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat suatu permasalahan dengan judul
” Penjatuhan Sanksi Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana Selama Menjalani Masa Hukuman Menurut
Hukum Pidana di Indonesia Studi di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan”.
B. Rumusan Permasalahan