56
BAB III SANKSI TERHADAP NARAPIDANA YANG MELAKUKAN TINDAK
PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pada Narapidana.
Thomas More membuktikan bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang utama untuk memacu efektivitas dari hukum pidana. Alasan untuk
melakukan aksi kriminal banyak dan bervariasi.
89
Ada yang dengan motivasi jelas, seperti perampok bank yang merampok untuk keuntungan materi, pecandu
yang menodong supaya ia dapat membeli narkoba, pemuda yang berkelahi karena tidak ingin kehilangan muka didepan teman-temannya, dan pemabuk yang
mempertontonkan organ intimnya karena sedang dalam pengaruh alkohol.
90
Menurut Sutherland, perilaku kejahatan adalah perilaku manusia yang sama dengan perilaku manusia pada umumnya yang bukan kejahatan.
91
Seorang menjadi deliquent karena lebih banyak berhubungan dengan pola-pola tingkah
laku jahat dari pada yang tidak baik. Menurut teori ini, perilaku kejahatan dapat bervariasi dalam frekuensinya, lamanya, prioritasnya, dan intesitasnya.
92
Keadaan bukan hanya mempengaruhi apakah seseorang akan melakukan pelanggaran, tetapi juga bentuk pelanggaran.
93
Lapas yang merupakan tempat pembinaan pun dapat menjadi tempat terjadinya pelanggaran bahkan berupa
suatu tindak pidana. Narapidana bukan saja objek melainkan juga subjek yang
89
David. J Cooke dkk, Op.Cit., hal 17.
90
Ibid.
91
Abdusallam, Kriminoligi, Restu Agung, Jakarta , 2002, hal 68.
92
Ibid., hal 69.
93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
57 tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan
kesalahan atau kehilafan yang dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas.
94
Masalah penyebab terjadinya pelanggaran itu sendiri memiliki alasan yang berbeda-beda, sehingga sangat sulit untuk dipecahkan. Penyimpangan yang
terjadi didalam Lapas sifatnya selektif dalam arti hanya dilakukan secara terbatas pada tempat-tempat tertentu saja.
95
Kebanyakan tempat itu merupakan tempat- tempat yang strategis, yang dianggap layak untuk melakukan pelanggaran.
Beberapa kasus yang ditemukan bahwa pada tempat-tempat tertentu sering dijadikan sebagai daerah kekuasaan bagi narapidana yang ada didalam Lapas.
“Bentuk- bentuk pelanggaran yang terjadi di dalam Lapas ini bermacam- macam, seperti kepemilikan telepon genggam, bertengkar, berkelahi,
kepemilikan narkotika, percobaan melarikan diri, pencurian, pemerasan bahkan yang paling parah yang pernah terjadi adalah pembakaran Lapas
oleh para narapidana. ”
96
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana secara umum di
dalam Lapas adalah: 1.
Over kapasitas penghuni Lapas Potensi penyimpangan dalam Lapas banyak dipengaruhi oleh tingkat
overcapacity dari Lapas yang bersangkutan dan pendekatan pengamanan yang digunakan.
97
Dampak yang lahir dari kelebihan jumlah penghuni dibanding dengan kapasitas ruang yang tidak memadai overcroaded maka menimbulkan
94
Dwidja Priyatna, Op.Cit, hal.103
95
Ibid.
96
Kutipan wawancara dengan Kabid. Adm. Keamanan dan Ketertiban Lapas kelas 1 Tanjung Gusta, Bpk E. Manurung, Pada 4 Juni 2015.
97
Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., Hal.11.
Universitas Sumatera Utara
58 kasus-kasus pelecehan seksual, masalah kesehatan dan masalah kekerasan.
98
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNAFEI pada tahun 2000 disejumlah negara Asia secara nyata membuktikan hal tersebut.
99
Lapas di Hongkong misalnya, masalah kelebihan jumlah penghuni mencapai 130 pada
tahun 1996 dimana terdapat indikasi jumlah imigran yang besar dari Vietnam mempengaruhi jumlah tersebut.
100
Sementara di Malaysia jumlah kelebihan kapasitas mencapai 28 dari kapasitas yang tersedia.
101
Indonesia pun tidak lepas dari masalah ini. Berikut ini merupakan daftar hunian Lapas di Indonesia pada
bulan juni 2015. Tabel 2
Jumlah penghuni seluruh Lapas di Indonesia.
No Kanwil
Tahanan Napi
Total Kapasitas
Kapasitas Over
Kapasitas 1
ACEH 1437
3783 5220
4522 115
15 2
BALI 507
1367 1874
1112 169
69 3
BANGKA BELITUNG
527 1252
1779 1253
142 42
4 BANTEN
2088 4589
6677 4764
140 40
5 BENGKULU
508 1344
1852 1652
112 12
6 YOGYAKARTA
489 862
1351 1929
70 7
DKI JAKARTA 6428
9458 15886
5891 270
170 8
GORONTALO 151
581 732
888 82
9 JAMBI
746 2193
2939 1505
195 95
10 JAWA BARAT
4488 13872
18360 15931
115 15
11 JAWA TENGAH
2931 7473
10404 9599
108 8
12 JAWA TIMUR
5559 10501
16060 11762
137 37
13 KALBAR
1353 2028
3381 2415
140 40
14 KALSEL
1977 4928
6905 2770
249 149
15 KALTENG
951 1887
2838 1794
158 58
16 KALTIM
1862 4530
6392 3046
210 110
17 KEPRI
857 2132
2989 2023
148 48
18 LAMPUNG
2108 3893
6001 3977
151 51
98
Eva Achajani dan Indrianto Seno Adji, Op.Cit., hal.120
99
Ibid, hal.120.
100
Ibid .
101
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
59
19 MALUKU
272 690
962 1185
81 20
MALUKU UTARA
244 588
832 1750
48 21
NTB 641
1155 1796
1114 161
61 22
NTT 664
2535 3199
2740 117
17 23
PAPUA 296
1034 1330
1666 80
24 PAPUA BARAT
155 541
696 936
74 25
RIAU 2737
5670 8407
2848 295
195 26
SULBAR 239
352 591
795 74
27 SULSEL
2654 3410
6064 5803
104 4
28 SULAWESI
TENGAH 626
1227 1853
1424 130
30 29
SULAWESI TENGGARA
690 1148
1838 1884
98 30
SULAWESI UTARA
839 1436
2275 1993
114 14
31 SUMATERA
BARAT 922
2378 3300
3067 108
8 32
SUMATERA SELATAN
2529 6278
8807 6704
131 31
33 SUMATERA
UTARA 7879
13194 21073
8811 239
139
Sumber : Sistem Database Pemasyarakatan
Menurut data diatas, masih hampir semua Lapas yang ada di Indonesia kelebihan kapasitas. Kebanyakan provinsi besar di Indonesia memiliki tingkat kriminalitas
yang tinggi sehingga menimbulkan banyaknya kejahatan, hal ini kemudian memunculkan banyak terpidana sementara Lapas sebagai tempat pembinaan yang
tersedia julahnya tidak bertambah. “Dampak dari kelebihan penghuni Lapas ini adalah seringnya terjadi
perkelahian atau penganiayaan antar penghuni Lapas. Perkelahian ini, hampir selalu terjadi tiap bulan. Untuk kelebihan kapasitas ini masih
belum bisa terselesaikan. Keterbatasan area yang ada cenderung membuat beberapa narapidana untuk berkuasa pada hal-hal tertentu
”
102
Problema overcapacity ini pada dasarnya melahirkan banyak masalah lain di Lapas terutama berkaitan dengan proses pembinaan yang dilaksanakan Lapas.
Keberadaan lembaga pembinaan tanpa proses pembinaan yang memadai pada
102
Kutipan wawancara dengan Kabid. Adm. Keamanan dan Ketertiban Lapas kelas 1 Tanjung Gusta, Bpk E. Manurung, pada 4 Juli 2015.
Universitas Sumatera Utara
60 akhirnya membuat lembaga ini keluar dari tujuan pemasyarakatan, bahkan
dampaknya dapat saja lebih jauh dari itu yaitu menjadi school of crime atau sering orang menyatakan sebagai perguruan tinggi ilmu kejahatan dam melahirkan para
residivis baru.
103
2. Pengawasan yang lemah.
Lemahnya pengawasan merupakan salah satu penyebab terjadinya pelanggaran. Lemahnya pengawasan tidak lepas dari jumlah petugas
pemasyarakatan yang tidak seimbang dengan narapidana penghuni Lapas. Sama dengan persoalan over kapasitas, minimnya jumlah petugas pemasyarakatan juga
merupakan masalah yang dihadapi hampir disetiap Lapas di Indonesia. Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyebutkan, rata-rata rasio petugas dibandingkan
warga binaan di Lapas adalah 1:45, artinya, satu petugas mengawasi 45 warga binaan.
104
Jumlah ini masih jauh dari ideal. Ujian lain bagi pemasyarakatan adalah terdapatnya berbagai kekurangan yang masih harus dikoreksi satu sama lain,
yaitu:
105
a. Kualitas dan kuantitas pegawai belum memadai, mengingat jam kerja yang
dilakukan 24 jam dengan tiga kali shift. Hampir 81 dari 25 ribu pegawai belum pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis pemasyarakatan
dan kesemaptaan. b.
Minimnya tenaga ahli seperti dokter, psikologi, psikiater, sosiolog, social worker dan instruktur-instruktur di bidang keterampilan.
103
Eva Achajani dan Indrianto Seno Adji, Op.Cit., hal.122.
104
http:print.kompas.combaca20150427Kemenkumham-Tambah-Lembaga- Pemasyarakatan-untuk-Ku.
105
Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., Hal.40.
Universitas Sumatera Utara
61 c.
Masih rendahnya tingkat kesejahteraan petugas pemasyarakatan. Meningkatkan kesejahteraan petugas pemasyarakatan dapat dilakukan
dengan penyediaan perumahan, tersedianya perlengkaan tugas yang memadai, terjaminnya
pelayanan kesehatan,
serta meningkatkan
tunjangan pemasyarakatan.
106
Kurangnya kesejahteraan petugas ini juga dapat menjadi faktor terjadinya pelanggaran di Lapas. Akibat lemahnya pengawasan banyak
petugas Lapas yang menerima pesanan dari narapidana maupun keluarga narapidana. Sesungguhnya tantangan terbesar dari pemasyarakatan adalah dalam
pelaksanaan tugasnya sangat berpotensi mengandung hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, misalnya saja hukuman disiplin bagi pelanggar aturan
yang tidak sesuai prosedur, cara pengawalan yang tidak manusiawi, penggunaan senjata api yang tidak sesuai.
107
Banyak juga petugas pemasyarakatan yang melakukan diskriminasi terhadap narapidana yang tertentu. Narapidana yang
merasa dirugikan, akan merasa terganggu dan kemudian bersikap berontak, dan berujung pada terjadinya pelanggaran.
3. Sarana dan prasarana yang tidak memadai.
Masih banyak Lapas diseluruh Indonesia yang belum memiliki sarana dan prasana pembinaan yang memadai. Seperti misalnya peralatan keamanan untuk
pintu masuk Lapas, jumlah sel pada Lapas dan juga tempat pendukung pembinan Lapas lainnya.
106
Ibid.
107
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
62 Masih banyak gedung-gedung yang belum memiliki standar keamanan yang
memadai, minimnya kamera pengawas dan kurangnya tempat untuk olahraga para narapidana dan lapisan pagar pembatas yang tidak kokoh.
“Minimnya sarana dan prasana di Lapas ini terjadi akibat keterbatasan biaya yang dialokasikan untuk Lapas. Sebagai contoh misalnya tidak semua Lapas
yang masih memiliki alat pendeteksi sinar x x-ray. Alat ini sangat penting bagi Lapas khususnya untuk mendeteksi barang-barang yang dibawa oleh
pengunjung Lapas. Tanpa adanya alat itu, pemeriksaan barang bawaan
pengunjung Lapas tidak optimal.”
108
Keterbatan-keterbatasan ini terjadi juga dapat menimbukan pelanggaran- pelanggaran didalam Lapas. Tidak adanya kamera pengawas yang cukup dan
petugas pemasyarakatan yang memadai, membuat peluang untuk melakukan pelanggaran semakin besar.
4. Dorongan dari dalam diri narapidana
Banyak narapidana merasa terhina dan takut, terutama ketika pertama kali masuk bui.
109
Berbagai macam reaksi bisa muncul, marah, frustasi, bingung, agitasi, putus asa, atau depresi.
110
Ada narapidana yang sengaja merusak selnya supaya dipindahkan keruang isolasi, bahkan ada narapidana yang menyandera
hanya karena bosan.
111
Narapidana tidak hanya mengalami tekanan di Lapas, sebab mereka juga mungkin mempunyai masalah diluar. Isterinya mungkin
selingkuh , anaknya bermasalah dengan polisi, ayahnya mungkin sedang sakit
108
Kutipan wawancara dengan Kabid. Adm. Keamanan dan Ketertiban Lapas kelas 1 Tanjung Gusta, Bpk E. Manurung, pada 4 Juli 2015.
109
Eva Achajani dan Indrianto Seno Adji, Op.Cit.,hal.86.
110
David J Cooke dkk, Op.Cit., hal 84.
111
Ibid, hal.2.
Universitas Sumatera Utara
63 keras, atau putrinya mungkin telah memakai narkoba. Kesulitan ini akan menjadi
sangat berat dengan berada di Lapas.
112
“Penyebab pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta Kelas 1 ini biasanya terjadi karena adanya selisih paham antar sesama
penghuni Lapas, tingkat emosional yang tinggi karena terbatasnya aktifitas, tidak adanya kunjungan yang tinggi, bahkan pelanggaran kerap
dilakukan karena narapidana meluapkan emosi karena desas-desus yang berkembang tentang keluarganya yang di tinggalkannya. Khusus
kerusuhan Lapas Tanjung Gusta, faktor penyebab salah satunya adalah tuntutan narapidana tentang pengetatan pemberian remisi. Dalam
beberapa kasus juga ditemukan penyebab pelanggaran adalah kecanduan pada obat-obat terlarang yang masih belum bisa terobati. Ada juga
narapidana yang melakukan pelanggaran berulang-ulang, ternyata setelah ditelusuri, narapidana tersebut telah terkena gangguan pikiran. Banyak
narapidana yang secara psikologis belum siap menerima pembinaan pada Lapas. Jika dalam keadaan bisa, mereka dapat bertindak apa saja dan
dapat pergi kemana saja, namun setelah dipidana, kebebasan tersebut secara tiba-tiba diambil kemudian diganti dengan rutinitas yang sama
secara berulang-ulang dalam kehidupan mereka. Keadaan inilah yang membuat mereka kerap melakukan pelanggaran.
”
113
Salah satu pelanggaran narapidana yang paling berbahaya yang pernah adalah kerusuhan Lapas. Kondisi fisik Lapas yang rawan terhadap kerusuhan,
diduga terjadi akibat over kapasitas, bercampurnya jenis tindak pidana terutama antara narapidana kasus narkoba dengan kasus lain, minimnya sarana dan
prasarana kamtib serta sarana dan prasana pendukung lainnya.
114
Khusus untuk kerusuhan yag terjadi pada Lapas Tanjung Gusta salah satu penyebabnya adalah
akibat adanya pengetatan pemberian remisi kepada narapidana tertentu. Pengaturan pemberian remisi awalnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Tahun 2012, pemerintah kemudian semakin memperketat
112
Ibid.
113
Kutipan wawancara dengan Kabid. Adm. Keamanan dan Ketertiban Lapas kelas 1 Tanjung Gusta, Bpk E. Manurung, pada 4 Juli 2015.
114
Josias Simon dan Thomas Sunaryo, Op.Cit., hal.35
Universitas Sumatera Utara
64 pemberian remisi dengan diperbaharuinya pemberian remisi dengan keluarnya
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 34 PP Nomor 12 Tahun 2012 sebelumnya diubah dan diatur bahwa persyaratan perlakuan baik untuk
memperoleh remisi dibuktikan dengan tidak menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 enam bulan terakhir dan mengikuti program pembinaan dengan
program baik. Ketentuan Pasal 34A diubah menjadi sebagai berikut; 1
pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional yang terorganisir lainnya, selain harus
memenuhi pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan : a.
Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. Telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh
Lapas danatau
Badan Penanggulangan
Terorisme, serta
menyatakan ikrar: 1
Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2 Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme
secara tertulis bagi narapidana Warga Binaan Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana Terorisme.
2 Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika
dan prekursor narkotika, Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 lima tahun.
3 Ketersediaan untuk bekerjasama dimaksud pada ayat 1 huruf a harus
dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
115
115
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 34.
Universitas Sumatera Utara
65 Pasal 34B selanjutnya menentukan bahwa remisi sebagaimana yang
dimaksud pada Pasal 34A diberikan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Menteri atau pimpinan lembaga terkait. Jika dibandingkan dengan
pemberian remisi sebelumnya, pemberian remisi sekarang dapat menunda diberikannya remisi kepada narapida tertentu untuk cukup waktu yang lama.
Peraturan pemberian remisi menurut PP Nomor 28 Tahun 2006 menentukan bahwa pemberian remisi hanya menentukan bahwa narapidana yang dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat,
dan kejahatan transnasional yang terorganisir lainnya dapat diberikan apabila berkelakuan baik dan telah menjalani 13 satu per tiga masa pidana.
Dapat dilihat aspek psikologis dibalik perilaku-perilaku negatif tadi berbeda-beda.
116
Untuk mengerti, mengontrol dan mengendalikan narapidana, kita harus mengerti cara memotivasi dan cara beripikir mereka, bagaimana setiap
narapidana secara unik menghadapi kehidupan masing-masing.
117
Pelanggaran yang kerap kali terjadi mengindikasikan bahwa narapidan belum mengetahui apa
esensi dari pembinan itu sendiri.
B. Jenis Sanksi Yang Diberikan Terhadap Narapidana Yang Melakukan Tindak Pidana