moderat. Sumber :Hasil Penelitian 2015
4.1.3. Pengungkapan Diri self diclosure Gay
Pengungkapan diriself disclosuremerupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat
deskriptif atau evaluatif.Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan
pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang disukai atau hal-hal yang tidak disukai atau dibenci dan merupakan proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola
hubungan mereka, melaksanakan tangung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna. Lesbian adalah salah satu bagian dari keberagaman seksualitas yaitu identitas seksual.
Gay adalah ketertarikan baik secara emosional, psikologis dan seksual kepada sesama jenis
laki-laki.
Pengungkapan diri gay dengan lingkungannya pada umumnya tidak berbeda dengan kaum heteroseksual. Hal ini dikarenakan gay juga manusia yang sama dengan manusia
lainnya. Berbicara tentang perbedaan, manusia memang sudah dilahirkan berbeda mulai dari jenis kelamin, agama, ras, etnis, orientasi seksual, dan perbedaan lainnya. Pemikiran bahwa
kaum heteroseksual pada dasarnya lebih mudah berinteraksi dengan lingkungannya dibandingkan kaum gay sama sekali tidak terbukti. Faktanya, gay adalah identitas seksual
yang tidak ada satu orang pun yang bisa mendeklarasikannya kecuali dirinya sendiri. Kaum gay sangat jarang coming out mendeklarasikan dirinya sebagai gay di
lingkungan yang menurutnya belum bisa menerima dirinya sebagai gay. Yang menjadi
persoalannya sebenarnya adalah bahwa gay sering diidentikkan dengan laki-laki yang feminim, melambai dan lain-lain. Padahal belum tentu laki-laki yang feminim memiliki
identitas seksual sebagai gay karena menjadi feminim adalah sebuah ekspresi gender.
Informan I
Seperti yang diutarakan Dika, selaku informan I dalam penelitian ini mengatakan bahwa komunikasi antara dirinya terutama pengungkapan diri dengan lingkungannya tidak
berbeda dengan temannya yang lain kaum heteroseksual. Dika mengaku memang ada perbedaan ketika dirinya belum coming out dang setelah coming out. Sebelum coming out
Dika merasa dirinya adalah seorang pendosa, sesat, menyimpang dan merasa bersalah karena tertarik dengan sesama jenis. Oleh karena itulah, Dika merasa bahwa perlu belajar dan
mempelajari tentang dirinya untuk membuktikan apakah dia sedang sakit atau seperti apa. Dika telah belajar banyak hal tentang seksualitas dan paham akan dirinya maka Dika
pun tidak takut untuk coming out sebagai seorang gay meskipun tidak di semua tempat. Coming out ini berdampak dua hal terhadap apa yang dia rasakan yakni, diapresiasi dan
dikucilkan. Meskipun ada yang mengucilkan dirinya tidak pernah menyesal sudah coming out karena itu menjadi pilihan yang tepat dan bisa menjadi motivasi untuk teman-teman gay yang
lainnya. “Sejauh ini sih aku nyaman-nyaman aja, baik di depan orang yang
sudah tau aku gay maupun tidak. Meskipun setelah coming out banyak teman-teman di kampus yang menjauh dan menghindar tapi
itu tidak masalah samaku, aku juga masih punya lebih banyak teman di kampus dibandingkan yang tidak mau berteman denganku. Ya
kalau hanya karena mereka tau aku gay lantas mereka meninggalkanku ya tidak masalah, aku hanya berpikir mereka adalah
teman yang tidak setia kawan. Yang pasti selama ini aku tidak pernah merugikan mereka dalam hal apapun, justru aku selalu berusaha
untuk menjadi yang terbaik dimana pun aku berada. Aku juga ga di
semua tempat coming out, liat situasi dan kondisi dan orang di dalam lingkungan tersebut. Aku coming out di kampus karena aku tau dan
sadar berada di tengah-tengah kaum intelektual dan mau belajar dan menghargai hal baru yang belum pernah didengar. Yang penting sih
selagi tidak merepotkan dan merugikan orang lain ya tidak ada masalah.” wawancara pada 7 Maret 2015.
Dika pernah dijauhi sahabat-sahabatnya di kampus bukan membuatnya tertutup, malu atau putus asa justru membuatnya semakin semangat dan aktif di kampus sehingga menjadi
panutan untuk teman-temannya dan dikenal dosen sebagai orang yang pintar. Dika tidak mengalami kesulitan untuk bertemu dengan orang-orang baru dan membina hubungan
pertemanan dengan orang lain. Dika memiliki dua sahabat perempuan Soraya dan Kristina teman satu jurusan di kampusnya yang sudah lama berteman dengannya dan kedua
sahabatnya ini tidak berubah terhadapnya sebelum dan sesudah mengetahu identitas seksualnya sebagai gay. Dalam lingkungan keluarganya Dika lebih dekat dengan adik
perempuannya yang sejak SMA tinggal serumah dengannya di Medan. Adiknya sendiri sudah mengetahui bahwa Dika adalah gay dan tidak menjadi masalah karena adiknya tahu bahwa
abangnya seorang gay, walaupun satu-satunya laki-laki di keluarganya adalah sosok yang hebat, pintar dan membanggakan untuk keluarganya.
“Aku sih dekat dengan semua orang dikeluargaku, mulai dari mama, kakak, adik hingga saudara-saudara lainnya kecuali ayah karena aku
masih sangat kecil dia sudah meninggal. Tapi yang yang lebih dekat dan mengerti aku itu adik perempuanku yang paling kecil, walaupun dia tau
aku gay dia tidak pernah benci samaku, kasih sayangnya samaku sebagai abang tidak berubah sama sekali. Sejak kecil memang aku termasuk orang
yang pintar di keluargaku karena aku selalu bisa berprestasi di sekolah. Setiap kali menerima raport mama langsung memelukku karena bangga
melihat nilaiku yang bagus dan juara. Mama pernah agak curiga samaku karena kakakku memberitahukan bahwa aku ikut organisasi homoseksual.
Mama juga pernah menanyakan hal itu samaku dan aku bilang bahwa mama harus percaya dengan anaknya ini. Bukan bermaksud
membohonginya tapi jika dia tau dia pasti akan sangat menderita apalagi dia seorang sintua di gereja.” wawancara pada 7 Maret 2015
Berbicara soal lingkungan kerja, Dika mengaku bahwa orang-orang dilingkungan kerjanya adalah keluarga kedua baginya setelah keluarga yang sudah membesarkannya.
Menurut penuturan Dika rata-rata teman ditempat kerjanya mengetahui dirinya sebagai gay tapi tidak mengucilkan dirinya melainkan merima dirinya apa adanya.
“kalau di tempat kerja ya sejauh ini semuanya baik-baik aja termasuk dengan kawan-kawan. Mereka semua yang udah tau aku gay bisa kok
menerima aku dan beberapa diantara mereka menjadi teman curhat tentang perasaan, cinta, pekerjaan, keluaraga dan hal lainnya. Walaupun
secara ketertarikan aku berbeda dengan mereka tapi aku bisa dengan bebas curhat dengan mereka. Tapi walaupun banyak yang bisa menerima
aku ada juga yang merasa menjauh dan tidak mau berkawan samaku. Tapi aku cuek aja, orang yang ga mau berkawan denganku kan bukan
masalahku tapi masalah dianya sendiri.” wawancara pada 7 Maret 2015.
Dika termasuk orang yang gampang bergaul. Sejak kuliah dia memang sudah mulai aktif berorganisasi. Hobinya adalah membaca dan berdiskusi. Dika adalah orang yang mudah
memahami suatu bacaan dan tingkat analisisnya sangat tinggi. Baginya berorganisasi adalah salah satu agenda perjuangan yang akan mencipatkan perubahan yang lebih baik. Rajin
membaca bukan berarti dia dijuluki sebagai seorang “kutu buku” karena dia tidak setiap saat membaca. Hanya saja dia orang yang pintar mengatur waktu sehingga hari-harinya selalu
menyempatkan untuk membaca, baik buku, artikel, novel, koran dan lain-lain. “aku dari kuliah itu sudah suka berorganisasi dan berdiskusi, kalo soal
membaca dari kecil memang aku sudah suka. Dari pada memilih pulang kuliah pulang ke kos kan mending membentuk kelompok diskusi. Selain
menambah ilmu juga menambah jaringan dan teman. Toh juga siap kuliah kita tidak bisa hanya mengandalkan IPK indeks prestasi kumulatif yang
tinggi. Lagipula ga ada hubungannya sih rajin berorganisasi dengan lama kuliah dan IPK indeks, prestasi, kumulatif yang rendah yang selama ini
ada dipikiran orang. Buktinya aku aktif diorganisasi dan juga berkerja sewaktu kuliah aku bisa selesai tepat waktu dan memiliki IPK indeks,
prestasi, kumulatif di atas 3 tiga. Tinggal sekarang kita bagaimana memilih organisasi yang cocok untuk kita dan bisa mendukung kita secara
akademik juga.” wawancara pada 7 Maret 2015.
Informan II
Hasri yang belum lama ini telah menyelesaikan kuliahnya di jurusan Akuntansi Universitas Al-Azhar mengaku bahwa banyak hal yang membuat dirinya tidak nyaman
berkomunikasi dengan lingkungannya sejak ia kecil. Hal ini karena Hasri adalah seorang laki-laki yang menyukai sesama laki-laki dan juga berpenampilan feminim. Hasri lahir
dikeluarga yang menganut agama Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran agamanya. “sejak kecil aku sudah sering merasa tidak nyaman dilingkunganku baik di
rumah, sekolah hingga saat aku di kampus. Aku sering merasa dikucilkan dan diejek. Bukan karena aku seorang gay melainkan karena ekspresiku
yang feminim, jalanku ngondek dan aku waktu kecil aku sudah suka main mainan perempuan seperti masak-masak, berdandan, main boneka dan
lain-lain. Aku juga kek gini kan bukan karena keinginanku tapi aku kek gini karena aku merasa nyaman. Aku ga bisa seperti abangku yang maco.
Penampilanku yang feminim membuatku sering dibedakan di rumah, mulai dari uang jajan, beli pakaian dan lain-lain. Bahkan sejak aku SMP aku
harus mencuci bajuku sendiri sedangkan saudaraku yang lain dicucikkan sama ibuku. Kalo di keluarga itu ga ada yang respect samaku. Malah aku
sering berpikir jangan-jangan mereka menyesal punya saudara sepertiku.” wawancara pada 20 Maret 2015.
Hasri mengaku bahwa dirinya adalah sosok yang pendiam dan tidak suka bergaul dengan orang lain dilingkungannya. Hal ini menurutnya karena sejak kecil dia sudah sering
dilakoni sebagai bencong atau banci oleh teman-temannya. “aku orangnya pendiam dan tidak begitu suka bergaul, karena waktu kecil
aku suka bergaul dengan teman-temanku perempuan tapi kemudian dilarang oleh ibuku dan orang-orang menyebutku bencong. Dari pada aku
harus bergaul dengan orang yang ga kusuka lebih baik aku tidak usah berkawan. Sejak kecil tidak ada yang memberikan rasa nyaman untuk
tempat dia berceritas tentang apa yang dirasakan karena sudah terlebih dahulu dikucilkan.” wawancara pada 20 Maret 2015.
Pengalaman Hasri diatas, terlihat bahwa sejak kecil dirinya sudah menerima tekanan- tekanan yang sangat menyakitkan dikeluarganya. Banyak diskriminasi yang dialami
dilingkungan dekatnya. Tidak ada yang memberikan kasih sayang yang tulus untuknya dan menerima apa adanya. Hal ini juga membuat dirinya menjadi seorang yang tertutup, pendiam
dan tidak suka bergaul. Seiring berjalannya waktu, umur Hasri pun semakin bertambah dan dewasa. Sejak SMA dia sudah mulai menjalin hubungan dengan laki-laki secara diam-diam
meskipun dirinya merasa yang dia lakukan waktu itu adalah dosa. Akan tetapi paling tidak
menurutnya itu lebih baik karena bisa curhat dang ngobrol dengan orang yang dianggapnya mengerti tentang hidupnya.
Hasri tidak disukai dikeluarganya, namun orangtuanya tetap di sekolahkan hingga ke jenjang perkuliahan. Sebenarnya awalnya dia tidak mau kuliah karena dia merasa bahwa apa
yang terjadi sewaktu kecil akan terulang lagi di kampus yang akan dia tempati menempuh ilmu. Apalagi saat itu orangtuanya mendaftarkannya kekampus berbasis agama Islam. Tapi
keputusan terakhirnya dia memilih untuk kuliah karena ini juga akan membantunya dimasa yang akan datang.
“aku awalnya ga mau kuliah karena takut di cap teman-teman kampus yang negatif, nanti malah membuatku stres dan putus asa. Selepas SMA aku
pernah berpikir akan pergi ke Jakarta, tapi karena menjaga perasaan orangtuaku makanya aku kuliah. Awalnya aku sudah menyiapkan diri untuk
berhadapan dengan orang-orang di kampus yang tidak suka samaku. Tapi ternyata setelah aku kuliah biasa aja, mahasiswa lainnya tidak begitu
peduli dengan penampilanku. Mereka cuek-cuek aja walaupun ada beberapa yang mungkin merasa risih. Aku merasa nyaman-nyaman aja
jadinya, aku berkawan sama perempuan semua pun tidak ada yang keberatan, beda sama sewaktu aku kecil. ” wawancara pada 20 Maret
2015.
Hasri dikampus tidak ada yang mengetahuinya seorang gay, tapi karena dia tidak punya pacar dan mengaku belum pernah pacaran maka teman dekatnya Kristina
mendorong dia untuk segera punya pacar. “Teman-temanku sering bilang, masa sudah kuliah ga ada pacar, masa
tinggal di kota ga pernah pacaran, mustahil lah itu. Tapi aku bawa ketawa aja menanggapinya dan aku bilang kalo mereka bisa mencarikan pacar
yang pas untukku meskipun diantara beberapa orang yang dijodohkan tidak ada yang menjadi pacar. Aku memang tidak pernah pacaran dengan
perempuan karena aku ga mau menyakiti dan membohongi mereka.” wawancara pada 20 Maret 2015.
Hasri saat menjalani kuliah di tingkat akhir, Hasri mulai memilih bergabung di organisasi yang memperjuangkan tentang hak-hak dirinya. Hasri pun mulai mencari
organisasi seperti itu di Kota Medan dan bertemu dengan salah satu komunitas gay. Di
komunitas gay, Dika memperkenalkan dirinya sebagai ketua sebuah organisasi LGBT lesbian, gay, biseks dan transgender yaitu Cangkang Queer. Hasri bergabung dengan
organisasi tersebut dan mulai mengikuti pelatihan-pelatihan tentang seksualitas. Di organisasi inilah Hasri merasa dan menjadi dirinya yang seutuhnya dan menganggap Cangkang adalah
keluarganya yang sebenarnya. Dia bebas berekspresi tanpa ada yang menghalangi dan membatasi.
“Sebelum aku berorganisasi aku selalu berpikiran bahwa ini adalah suatu penyakit, dosa dan lain-lain. Pokoknya semua tentang diriku selalu
kuanggap dan dianggap orang lain salah. Tapi setelah aku bergabung di organisasi Cangkang Queer aku merasa nyaman dan menemukan keluarga
yang sebenarnya. Aku sangat dihargai di sini. Tidak pernah merasa dibedakan. Apalagi setelah beberapa lama kenal dengan Cangkang aku
diberikan kepercayaan untuk menangani jalannya website, fb, dan twitter cangkang. Aku jadi divisi infokom di Cangkang ini. Dengan segala
keterbatasan aku selalu diajari dan kami sama-sama belajar.” wawancara pada 20 Maret 2015.
Informan III
HS sejak kecil tidak mengalami diskriminasi dan bullyng baik dikeluarga, sekolah maupun lingkunganya. HS merasa diperlakukan adil oleh keluarga di rumah dan malah
menjadi kesayangan banyak guru di sekolah tempatnya menuntut ilmu. HS memang berpenampilan seperti kebanyakan teman laki-lakinyadan tidak feminim. Hubungannya
dengan teman-temannya juga sangat baik, HS memiliki teman laki-laki dan perempuan baik di lingkungannya maupun di lingkungan sekolah dan kampus.
“Sejak kecil aku tidak pernah dibeda-bedain kok, kan penampilanku biasa aja. Aku bukan org yg suka berdandan atau melakukan hal-hal yang pada
umumnya dilakukan oleh perempuan seperti masak-masak, main boneka dll.” wawancara pada 3 April 2015.
HS mengaku dirinya sebagai gay setelah bekerja di sebuah NGO. Sebelumnya HS tidak pernah tertarik dengan siapapun baik perempuan maupun laki-laki. Di NGOlah dia
mengetahui bahwa ketertarikannya terhadap sesama jenis muncul ketika ia jatuh cinta
terhadap salah satu orang yang bekerja di tempat yang sama dengannya. HS juga tidak menduga bahwa dirinya seorang gay dan pada saat pertama mengaku suka dengan laki-laki
dirinya merasa sangat bersalah dan berdosa. Bahkan hingga beberapa lama HS masih memendam perasaan itu karena takut akan dibenci teman sekantornya.
“waktu itu aku merasa bahwa aku memilik perasaan suka dengan seorang teman dikantor. Aku merasa sangat aneh dan bingung. Aku bertanya dalam
hati bagaimana mungkin aku jatuh cinta dengan orang yang sama denganku. Kenapa aku tidak menyukai lawan jenis seperti mana yang
sudah dikodratkan Tuhan, aku sering mikir gitu dulu. Karena rasa bersalah aku ga mau ngungkapin perasaan aku sama dia, aku takut ditolak dan
malah dimaki. Tapi dari awal bekerja di kantor ini memang aku sudah merasakan hal yang beda sama dia. Aku sangat peduli, perhatian dan baik
kali lah pokoknya sama dia. Aku sering membelikan dia makan sewaktu sudah akan makan siang di kantor bahkan sering nongkrong bareng sama
dia. Pokoknya awalnya aku merasa ini hal biasa dilakukan sebagai teman tapi lama kelamaan perasaan itu semakin beda dan aneh.” wawancara
pada 3 April 2015
HS sejak bekerja di NGO, HS sering mengikuti pelatihan-pelatihan keberagaman tentang seksualitas. Di tempatnya bekerja HS dibentuk menjadi orang yang lebih percaya diri
dan lebih menerima dirinya sebagaimana adanya. Belajar dan diskusi membuat dirinya semakin paham tentang dirinya sendiri. Dia pun memahami bahwa ternyata teman-teman
sekantornya sudah menerima perbedaan identitas seksual orang lain seperti gay, lesbian dan biseksual. Paham bukan berarti HS langsung 100 menerima dirinya sebagai gay, kadang dia
juga masih merasa sebagai pendosa. Akan tetapi, semangat dan proses belajar yang dia jalani membuatnya benar-benar fight dan mensyukuri apa yang ada pada dirinya. HS pun curhat
dengan salah satu temannya di kantor tentang perasaan yang sedang ia alami. “aku sih awalnya ga tau apa-apa soal seksualitas ini, diotakku ketika
berbicara tentang seksualitas ya seks atau bercinta. Ternyata ga, seksualitas sangat luas mencakup semua yang ada dalam tubuh dan diri
seseorang baik yang tampak maupun tidak. Aku sejak kerja di sini baru mengenal dan menerima diriku seutuhnya. Pokoknya nyaman kali lah aku
di sini, walaupun gajinya sedikit tapi yang paling penting itu senang dan nyaman. Aku pun terus belajar untuk menambah kapasitasku, karena
sebelum aku harus bicara di keluargaku bahwa aku gay aku harus terlebih dahulu membanggakan di keluarga. Paling tidak kuat secara ekonomi dan
pendidikan tinggi makanya aku mau sekolah S2 lagi.” wawancara pada 8 April 2015
Seiring berjalannya waktu, usia HS pun semakin bertambah. Saat in ini dia berumur 28 tahun. Sebagai seorang anak laki-laki dan sulung, tentu saja keluarga mendorongnya untuk
segera menikah. Menikah memang bisa saja dilakukan oleh HS tapi menurutnya pernikahan bukanlah hanya sekedar menghasilkan keturunan akan tetapi juga harus hidup dalam
kebahagiaan. HS berpikir bagaimana mungkin ia akan bahagia atau akan membahagiakan istrinya jika dia menyimpan sebuah kebohongan.
“Akhir-akhir ini keluarga terutama orangtua sudah sering menyinggung soal pernikahan. Katanya mereka sudah pengen punya cucu dan merasa iri
melihat anak tetangga yang seumuran denganku sudah besar-besar. Apalagi adekku yang nomor 2 katanya sudah mau menikah. Orangtua
menyarankan supaya tidak saling mendahului tapi bagiku sih itu tidak jadi masalah. Pernikahan itu kan sekali seumur hidup dan harus dilakukan
ketika sudah siap. Kalo adekku sudah yakin dia siap membentuk keluarga baru ya silahkan, aku sih sah-sah aja dan bakalan mendukung. Yang
penting ingat bahwa pernikahan itu akan memberikan kebahagian bukan kesengsaraan. Nah, kalo aku nikah sudah jelas aku akan menyakiti istriku
karena aku membohongi dan menipunya. Artinya, pernikahanku sudah tidak sehat lagi. Jadi, kalo sekarang disinggung tentang pernikahan aku
ketawa dan senyum aja. Makanya juga aku memilih untuk lanjut S2 supaya aku punya alasan kalo aku harus selesai dulu.” wawancara pada 8 April
2015
Tabel 4.2 Pengungkapan Diri
self disclosure kaum gay
No Informan I
Iforman II Informan III
Nama Dika
Hasri
HS
Pengungkapan Diri
- Dika mengaku bahwa dirinya
menyukaisesamany a merasa berdosa,
-Hasri mengaku bahwa dirinya
banyak hal yang membuatnya tidak
-
HS mengaku diperlakukan
adil oleh keluarganya dan
perilaku menyimpang dan
merasa bersalah. Sehingga, Dika
mempelajari tentang dirinya
untuk membuktikan apakah dia sedang
sakit atau apa. -Dika banyak
belajar tentang seksualitas
sehingga dia paham dirinya sehingga
Dika coming out sebagai seorang
gaydimana Dika berada.
-Sewaktu Dika coming out merasa
dirinya dikucilkan dan diapresiasi
akan tetapi Dika tidak menyesal
bahwa dirinya telah nyaman
berkomunikasi lingkunganya sejak
kecil karena Hasri suka berpenampilan
feminim -Hasri merasa
dikucilkan dan diejek bukan karena
gay melainkan karena
penampilanya feminim seperti cara
jalanya ngondek. -Hasri waktu kecil
suka mainan perempuan seperti
masak-masakan, berdandan dan main
boneka. -Hasri merasa sangat
dibedakan dirumah sama orang tuanya
karena penampilanya
HS juga anak kesayangan
banyak guru sewaktu sekolah
-HS berpenampilan
seperti laki-laki dan tidak
tampak sedikitpun
feminim -Hubungan HS
dengan teman- temanya baik-
baik saja dan HS juga berteman
dengan perempuan dan
laki-laki sewaktu
sekolah, kampus maupun tempat
kerja. -HS coming out
atau
coming out malah Dika memberikan
motivasi kepada teman-temanya gay
seperti Hasri. -Dika juga juga
pernah dikucilkan sama teman-teman
satu jurusan yaitu Antropologi,
sebagian teman ada yang menjauh
tetapi ada juga yang mendekat ingin
akrab karena ingin tahu gay itu seperti
apa. Saat Dika dikucilkan dan
dijauhi temanya dikampus tidak
mebuatnya tertutup, malu atau menjadi
putus asa justru membuatnya
semakin semangat seperti saat beli baju.
Hasri juga seperti ini bukan karena
keinginanya tetapi dia sudah merasa
nyaman dengan keadaanya seperti
itu. -Hasri juga mengaku
dirinya pendiam dan tidak suka bergaul
dengan laki-laki karena sejak kecil
lebih suka bergaul dengan perempuan
tetapi ibunya melarangnya
sehingga orang lain memanggil dia
bencong dan Hasri memtuskan lebih
baik tidak berteman kalau tidak nyaman.
-Hasri semasa kuliah tidak pernah
menerimameng akui dirinya
sebagai gay
setelah bekerja di NGO atau
LSM. Sebelumnya HS
tidak pernah
tertarik dengan perempuan,
malah sebaliknya HS
suka sama laki- laki salah satu
pegawai di tempat kerjanya.
HS juga tidak menduga dirinya
seorang gay dan ketika HS
mengaku suka sesam jenis
dirinya merasa sangat bersalah
dan berdosa.
dan aktif dikampus. Dika tidak merasa
kesulitan untuk bertemu dengan
orang baru dan membina hubungan
bertemandengan orang lain.
pacaran, temanya mengejeknya “Masa
di Kota Medan tapi tidak punya pacar,
mustahillah itu” Hasri
menanggapinya dengan biasa saja
dan menyuruh temanya mencarikan
pacar untuk dia. -Hasri mengaku
tidak pernah pacaran sama perempuan
karenadia tidak mau membohongi atau
menyakiti perasaan perempuan sebab
Hasri sukanya sama laki-laki.
-Hasri mengikuti sebuah organisasi
Cangkang Queer dan
mengikuti pelatihan tentang
Hingga beberapa
lama HS memendam
perasaan itu karena takut di
benci teman satu kantornya.
-Sejak HS bekerja di NGO
mengikuti pelatihan-
pelatihan keberagaman
tentang seksualitas dan
HS menjadi lebih percaya
diri sebagaimana
adanya. HS juga tahu bahwa
teman-teman satu kantornya
sudah memahami atau
seksualitas sehingganya Hasri
bisa coming out gay. menerima
perbedaan identitas seksual
orang lain seperti gay.
Sumber: Hasil Penelitian 2015
4.1.4. Hambatan Gay Saat Berkomunikasi dengan Lingkungan