Profil Informan Informan I :

Peneliti merasa beruntung karena dipertemukan oleh orang yang tepat yang tak lain adalah sahabat informan dan juga sahabat peneliti. Dalam proses wawancara informan tidak begitu terbuka dalam memberikan informasi sehingga peneliti tidak bisa memaksakan wawancara pada saat itu sehingga berpikir akan melanjutkannya di hari yang lain. Setelah hampir 1 satu minggu peneliti kembali menghubungi informan untuk menanyakan sekaligus meminta kesediaan untuk diwawancarai kembali. Informan pun sepakat dan menentukan jadwal pertemuan. Kali ini peneliti dan informan bertemu tanpa ditemani oleh sahabat kami yang sudah mempertemukan kami sebelumnya. Wawancara pun berjalan lancar dan informasi yang diperoleh lengkap karena informan III kemudian mau memberikan informasi dengan terbuka.

4.1.2. Profil Informan Informan I :

Informan I bernama Dika 22 Tahun,Lahir di Porsea pada tanggal 10 Juni 1992, anak ke empat dari lima bersaudara sebagai Ketua Cangkang Queer dan aktif di Forum LGBT Indonesia. Dika juga salah satu pembentuk organisasi Cangkang Queer pada tahun 2012 bersama anak-anak muda lainnya di Kota Medan. Pendidikan terakhir yang ditempuh adalah Sarjana Sosial dengan Jurusan Antropologi Sosial di Universitas Sumatera Utara USU. Selain aktif di Cangkang Queer Dika juga aktif di forum LGBTIndonesia. Sejak kuliah di Antropologi Sosial Dika memang sudah fokus mempelajari dan mendalami kuliah di kajian gender dan seksualitas. Hingga pada tahap penyusunan skripsi Dika menulis tentang LGBT spesifik tentang gerakan homoseksualitas di Kota Medan. Dika berasal dari keluarga yang sejahtera, harmonis dan luar biasa bagusnya. Ibunya seorang pendeta dan sudah meninggal tahun 2013 yang lalu sedangkan ayahnya sudah lama meninggal sejak dia berumur 2 tahun. Sewaktu Dika tinggal bersama keluarganya aktivitasnya dirumah seperti aktivitas laki-laki pada umumnya yang sudah dibentuk oleh masyarakat sejak dahulu kala seperti laki-laki harus main sepakbola. Dika waktu SMP sudah mengalami puberitas mimpi basah dimana pertama sekali tertarik dengan laki-laki. Dika SMP di Pekanbaru waktu itu juga belum berani pacaran karena masih takut untuk mengungkapkanya karena suka sama laki-laki. Ketika Dika melanjutkan sekolahnya di salah satu sekolah farmasi di Kota Medan dan sewaktu di sekolah tersebut Dika memiliki teman yang mayoritas perempuan sedangkan laki-laki hanya sedikit sekitar empat orang dan ke empat orang ini mempunyai pacar perempuan. Teman-temanya menyuruh Dika untuk mencari pacar karena hanya dia yang tidak punya pacar tapi dia berpikir aku sukanya sama laki-laki, bagaimana mungkin akan pacaran dengan perempuan. Atas saran teman-temannya Dika pun mencoba untuk pacaran dengan perempuan. Dika mengaku bahwa dirinya memang sayang sama perempuan itu dan perempuan itu sayang juga sebaliknya. Namun kasih sayang dan ketertarikan itu hanya sekedar ketertarikan emosional bukan ketertarikan secara seksual. Hingga memasuki kelas kelas tiga SMA, Dika masih belum tahu mengapa dirinya seperti itu dan terus bertanya dan mencari jawaban-jawaban dari kebingungan-kebingungan tersebut. Kemudian, Dika mencari sebuah aplikasi chatting MIRC media, internet, relay and chat dan menemukan seorang laki-laki. Sejak saat itu dia mulai membangun relasi dengan laki-laki. Masuk perguruan tinggi Dika mencoba mencari informasi tentang jurusan yang menyangkut dengan gender ternyata ada yaitu jurusan Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara FISIP USU. Dika mulai mempelajari tentang gender, mulai paham dan mencari buku-buku sehingga pada akhirnya sudah mulai menerima dirinya sendiri dan sudah berani berkata bahwa I am Gay di kampus dan di ranah publik lainnya. Seiring berjalannya waktu dan seringnya melakukan diskusi membuat dirinya percaya diri dan paham akan dirinya dan seksualitas. Dia pun mengaku bahwa kepuasan yang dia rasakan pacaran dengan sesama jenis adalah sama ketika seorang laki-laki pacaran dengan seorang perempuan dan dia pun berani berkata I am like that. Suka terhadap laki-laki itu adalah pilihan dan puas dengan dia menjadi diri sendiri. Ibunya tidak pernah memaksanya untuk pacaran dan membawa perempuan kerumahnya. Malah, Ibunya selalu menyarankan agar fokus terhadap study dan belajar dengan baik. Bahkan, tidak ada paksaan atau dorongan dari ibunya harus menikah kalau sudah tamat sarjana. Dika sudah merasa nyaman dengan keadaanya sekarang sebagai seorang gay karena memang ini lah diriku sendiri. “Sampai sekarang ini aku merasa tidak ada yang salah, tetapi waktu dulu masih mencari dimana yang salah. Aku laki-laki ko gak suka sama perempuan kok malah aku sukanya sama laki-laki. Menurut aku ngapai pacaran sama perempuan kalo aku memang gak suka kasihan perempuan”. wawancara pada 19 Maret 2015. Ibunya tidak tahu bahwa Dika seorang gay. Tetapi sewaktu dulu ibunya masih hidup sempat curiga karena Dika aktif ikut dalam diskusi kajian seksualitas di Antropologi dan aktif juga di gerakan perjuangan LGBT. Sehingga sempat ada isu dikeluarganya bahwa dia seorang gay yang berawal dari kecurigaan kakaknya yang pernah datang ke Medan dan melihat teman-teman Dika feminim, ada yang banci, dan ada juga perempuan yang sifatnya seperti laki-laki. “Kakak saya langsung curiga dan menceritakanya sama ibu dan berkata bhawa siabang Dika itu temanya semua laki-laki jangan-jangan dia homo. Kemudian, ibu saya langsung telfon dan berkata abang anak mama kan sambil menangis trus kakak cerita tentang pergaulanmu nak, kalau katanya abang itu homo yang suka sama laki-laki itu”. Dika pada saat itu masih kuliah dan tidak mau jujur karena dia tidak mau terjadi sesuatu hal yang buruk terhadap ibunya seperti sakit dan lain-lain. Dika sebenarnya tidak ingin menyembunyikan hal ini tapi menutupi adalah proses yang harus dijalani sebelum berkata yang sebenarnya suatu saat nanti. Setahu ibunya selama ini Dika hanya aktif didalam kelompok LGBT dimana kelompok tersebut masih dikucilkan, diskriminasi, ditindas, kekerasan oleh masyarakat. Dika tidak tau apakah ibunya menghilangkan firasat buruk itu. Namun, setelah kejadian itu keluarganya baik-baik saja dan tidak pernah lagi menyinggung tentang masalah itu. Dika menutupi dirinya sebagai gay dari keluarganya merupakan pilihan yang harus dipilih, akan tetapi ada satu anggota keluarganya yaitu adik kandungnya yang mengetahui dirinya seorang gay. Adik perempuannya ini cukup moderat dan tidak mempermasalahkan dirinya sebagai gay. Sepengetahuan adiknya Dika adalah abang yang sangat pintar, cerdas, baik dan sangat menyayangi semua keluarganya. Adiknya bahkan mengatakan bahwa jika tertarik dengan laki-laki adalah sebuah kebahagian maka lanjutkanlah. Berbeda dengan dikampus sebagian besar mahasiswa dan dosen khusunya di Antropologi Sosial sudah mengenal Dika seorang gay. Apalagi sejak Dika coming out di kampus pada saat belajar Antropologi Psikologi. Selain itu, dia juga pernah masuk majalah kampus Suara Universitas Sumatera Utara USU tentang gay LGBT edisi April 2012. Ketika orang tahu bahwa dia seorang gay terutama dikampus banyak tanggapan dan reaksi dari teman-temannya. Sebelum Dika mengakui dirinya gay, teman-temannya mempunyai pandangan negatif tidak mau dekat. Sehingga pada moment belajar tentang seksualitas dalam antropologi psikologi, Dika berani mendeklarasikan dirinya didepan Dosen dan teman-teman kelas bahwa dirinya seorang gay. Hal ini membuat suasana dikelas ribut dan banyak pertanyaan dan pernyataan tentang gay seperti ungkapan teman-temannya bahwa gay adalah dosa dan lain-lain. Tetapi salah satu Dosen Ibu Nita yang mengajar saat itu berusaha menetralkan situasi tersebut. Sejak itu teman-temannya ada yang menjauh, beranggapan akan ketularan, tetapi ada juga yang makin dekat dan semakin senang berdiskusi dengan Dika tentang seksualitas. Informan II: Informan II bernama Hasri 22 tahun adalah anak ke 2 dari 6 bersaudara, lahir di Medan pada tanggal 12 April 1993. Hasri berasal dari keluarga yang sederhana, meskipun ayahnya hanya seorang wiraswasta dan ibunya seorang ibu rumah tangga namun masih berkecukupan dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Bahkan bukan hanya memenuhi biaya sandang, pangan dan papan akan tetapi kedua orangtuanya terus bekerja keras untuk mencari uang hingga anak-anaknya bisa bersekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Hasri sendiri menempuh pendidikan hingga keperkuliahan dan baru saja menyelesaikan kuliahnya dari Universitas Al-Azhar di Medan dengan mengambil jurusan Akuntansi. Hasri sejak kecil sering merasa bahwa ada yang berbeda dengan dirinya. Semasa SD dia suka bermain masak-memasak dan main boneka dengan teman-temannya perempuan. Dia juga pernah berpikir bahwa dirinya yang seperti ini disebabkan oleh faktor keinginan ibunya mempunyai anak perempuan pada saat itu. Bahkan dia menganggap bahwa pemberian nama “Hasri Dwi Manda” untuknya adalah disebabkan oleh hal tersebut. Dia pun sering merasa tidak nyaman dengan nama itu. Sejak kecil dia memang sudah suka berdandan seperti pakai lipstik. Dan memasuki SMP dia sudah menyadari bahwa dirinya lebih nyaman feminim dan mulai menyadari bahwa dirinya tertarik dengan laki-laki ketika pertama kali jatuh cinta. Dia pun mulai mencari jati dirinya dengan mencari situs di internet tentang kumpulan gay dan mulai mengenal group gay. Hasri seorang gay yang belum lama coming in atau menerima dirinya sebagai gay. Pada tahun 2014 lalu Arus pelangi sebagai sebuah organisasi LGBT di Jakarta melakukan pelatihan tentang SOGIE sex, orientation, gender, identity and expression dan HAM hak asasi manusia di Medan. Pada saat itu salah satu anggota Cangkang mengenalnya dan merekomendasikan dirinya untuk ikut sebagai salah satu peserta di pelatihan tersebut. Sejak pelatihan itu, Hasri semakin membuka diri dan pikiran untuk belajar lebih dalam tentang dirinya dan SOGIE. Hasri pun semakin sering datang ke sekret Cangkang dan ikut diskusi. Pada tahun 2015 Hasri bersedia untuk menjadi Divisi Infokom di Cangkang sebagai pengelola website, fb, twitter dan media sosial lainnya. Sejak berada di Cangkang dia mengaku menemukan keluarga baru yang membuatnya nyaman dalam menceritakan apapun tentang keluarganya, hubungan percintaan hingga ketika dia mengalami masalah-masalah dalam hidupnya. Hubungan Hasri dengan keluarganya sampai saat ini baik dan biasa karena dalam kehidupannya Hasri memiliki strategi-strategi tertentu untuk tidak menimbulkan kecurigaan terhadap keluarganya. Di rumah dan di ranah privat lainnya Hasri tidak seperti berada di Cangkang. Jika di Cangkang Hasri bebas berekspresi maka di rumah tidak begitu vulgar, dia lebih menunjukkan sikap-sikap yang bisa diterima keluarganya. Hasri laki-laki yang feminim, dalam hal ini dia ditegur oleh keluarganya khususnya ibunya. Hasri juga menganut agama Islam dan berasal dari suku Minang yang dalam pandangan dia dan keluargnya bahwa nilai-nilai agama dan adat-istiadat yang dianutnya selalu mendidiknya dengan “wajar” sebagai laki-laki yang selayaknya laki-laki. Meskipun dia tidak nyaman dalam posisi itu, tapi dia tetap mengikuti sistem yang sedang berlaku dan berharap sistem akan berubah dan merubah pandangan manusia tentang dirinya. Hasri sangat taat beragama, dia tidak pernah lupa untuk shalat 5 waktu dan sholat Jumat kecuali dalam kondisi tertentu. Tidak hanya di rumah tetapi juga di luar rumah. Di keluarga Hasri lebih dekat dengan ibunya. Meskipun dia yakin maksud dan tujuan ibunya ketika memberikan teguran adalah baik, namun dia sering merasa terganggu dan tidak nyaman. Hasri orang yang suka berdandan dan biasanya dengan waktu lama di depan kaca. Oleh karena itu, ibunya sering menegurnya dan mengatakan bahwa laki-laki itu tidak boleh berdandan Ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga, sedangkan ayahnya bekerja sebagai pedagang kakilima. Ayahnya tipe orang yang sangat cuek dan tidak terlalu peduli dengan penampilan Hasri. Hasri sangat dekat dengan ibunya, tetapi Hasri merasa seperti anak tiri di rumahnya. Misalnya, ibunya sering membedakan dirinya dengan abangnya seperti ketika ibunya membelikan baju dan untuknya tidak. Meskipun kadang ibunya membelikan baju untuk Hasri belum tentu bisa dipakai karena bukan tipe baju yang dia suka. Hasri pun sering merasa sendiri dan merasa seperti anak kos karena harus mencuci dan menyetrika bajunya sendiri sedangkan abangnya dan keluarga lainnya tidak. Hasri pada waktu SMA pernah pergi meninggalkan rumah selama beberapa hari karena dia merasa ibunya terlalu membatasi dia dalam bergaul dan keluarrumah. Berbeda dengan saudaranya yang lain yang tidak begitu dibatasi dalam hal apapun. Karena tidak kembali kerumah, ibunya merasa khawatir sehingga keesokan harinya ibunya pergi ke sekolah untuk menjemput Hasri tersebut. Hal yang tidak disangka ibunya ternyata Hasri tidak sekolah. Pihak sekolah pun menanyakan keberadaan Hasri kepada teman-temannya tapi tidak ada satupun yang tau. Ibunya semakin sedih dan menangis karena sampai beberapa hari anaknya tak kunjung pulang ke rumah. Ibunya pun kembali ke sekolah dan bertanya dengan salah satu Gurunya, apakah Hasri sudah masuk sekolah? ternyata belum. Ibunya hampir putus asa dan tidak tau harus melakukan apa lagi. Tidak lama dari kejadian itu, Hasri dengan sendirinya pulang ke rumah yang membuat ibunya terkejut lalu memeluknya. Informan III: Informan III bernama HS 28 tahun, Lahir di Medan 20 Februari 1986 anak sulung dari 3 bersaudaradan kedua adiknya laki-laki. HS bekerja sebagai Staf Keuangan di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat LSM. HS tidak suka disebut namanya asli dan biasanya dia dipanggil dengan nama inisial pada saat wawancara. Sejak kecil hingga sekarang tinggal di Kota Medan. Ayahnya seorang kuli bangunan dan ibunya seorang ibu rumah tangga. HS berasal dari keluarga yang berkecukupan dan harmonis. Ayahnya merupakan sosok laki-laki yang sangat hebat juga ibunya demikian merupakan perempuan yang sangat hebat dalam kehidupannya. Saat ini kedua adiknya masih berada di bangku sekolah SMA dan SMP, keduanya akan segera tamat dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. HS sendiri merasa sangat beruntung karena bisa disekolahkan sampai sarjana. HS menyelesaikan pendidikan terakhirnya di salah satu Universitas Swasta di Medan dengan mengambil jurusan Teknik Komputer. HS waktu kecil cukup menyenangkan karena dia dibimbing dan diajari di keluarga yang sederhana dan harmonis. Menurut ingatan HS, kedua orangtuanya tidak pernah berkelahi atau pun berselisih paham. Menurutnya kedua orangtuanya cukup pantas untuk menjadi contoh di keluarganya. Meskipun ayahnya sangat sibuk bekerja namun ayahnya selalu memberikan waktu untuk berkumpul dengan anak-anaknyadan istrinya. Bahkan ketika ayahnya harus bekerja ke luar kota dalam waktu yang lama tetap tidak lupa untuk memberikan perhatian kepada keluarganya meskipun hanya melalui telepon. HS sejak kecil berperilaku seperti kebanyakan temannya laki-laki dan tidak suka dengan permainan atau hal-hal yang bersifat feminim. Cara berpakaian, tatanan rambut dan lain-lain adalah seperti laki-laki pada umumnya. Sampai duduk dibangku kuliah HS tidak pernah jatuh cinta dan tidak pernah pacaran dengan siapapun baik laki-laki maupun perempuan. Diantara teman-temannya HS termasuk orang yang tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu. Sejak kuliah HS tinggal di rumah pamannya bersama saudara-saudaranya yang lain. Pamannya merupakan salah satu pekerja NGO di Jakarta. Pamannya sengaja membelikan rumah di Medan untuk tempat tinggal saudara-saudara yang datang dari kampung untuk sekolah di Medan. Karena rumah kontrakan tersebut dekat kampus HS maka HS pun tinggal di sana selama kuliah. HS pada waktu SD hingga kuliah bukanlah orang yang terlalu menonjol di kelasnya begitu juga dengan kedua adiknya namun ketiganya juga tidak tergolong orang yang tidak mampu secara akademisi. Di sekolah dia memiliki banyak teman dan guru-guru senang dengannya karena rajin sekolah dan rajin mengerjakan tugas yang diberikan guru. Oleh karena itu, HS selalu naik kelas bahkan setelah kuliah dia berhasil menyelesaikan kuliahnya selama 4 empat tahun untuk S1. HS terdiri dari tiga bersaudara dan ketiganya laki-laki tidak mempunyai saudara perempuan. Tetapi, tanpa ada anak perempuan tidaklah masalah bagi kedua orangtuanya dan Hasri juga adik-adiknya tidak masalah tanpa ada saudara perempuan. Meskipun demikian, sesekali mereka merindukan kehadiran sosok saudara perempuan yang menurutnya akan jauh lebih bahagia ketika itu terjadi. HS selalu percaya bahwa apa yang diberikan Tuhan saat ini untuknya adalah anugerah terindah sepanjang hidupnya. Ketika ayahnya jatuh sakit HS pun sangat sedih karena sebagai anak sulung dia harusnya sudah bisa menggantikan posisi ayahnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. HS memang tidak pernah dituntut untuk memberikan uang kepada orangtuanya setelah bekerja. Orangtuanya hanya berharap kelak anaknya bisa mapan, menikah dan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Menjadi seorang staf di sebuah NGO bukanlah sesuatu yang menguntungkan baginya. Bahkan sudah sangat lari dari apa yang dia cita-citakan. HS memiliki cita-cita yang sangat besar yang dia tidak mau menyebutkannya dan yang pasti bukan menjadi seorang staf di NGO. Meskipun bekerja di NGO bukan merupakan cita-cita terbesar dalam hidupnya namun dia menyadari bahwa bekerja di NGO tersebutlah dia mulai mengenali dirinya sendiri, bangga akan dirinya sendiri dan percaya diri. HS bekerja di sebuah kantor notaris di Medan dengan gaji Rp 800.000bulan. Meskipun tergolong sedikit tapi HS bisa mengelolanya dengan baik, bahkan selama kurang lebih 2 tahun bekerja HS bisa membelikan sepeda motor dan laptop dari hasil tabungannya setiap bulannya. HS memang dari kecil sangat disiplin, hemat, rajin dan ulet. Jadi tidak heran jika gajinya yang sedikit bisa memiliki tabungan. Setelah dua tahun bekerja HS pun meninggalkan pekerjaannya di kantor notaris dan berniat akan mencari pekerjaan yang lain. Lebih satu tahun setelah keluar dari kantor notaris, HS belum juga mendapatkan pekerjaan pengganti. HS hampir setiap hari dia mengantar lamaran ke perusahaan-perusahaan dan instansi- instansi yang lain akan tetapi tidak ada yang menerima.HS mendapatkan telepon untuk mengikuti interview tapi hanya sampai itu saja. HS pun bosan dan lelah hingga pada suatu saat HS di telepon oleh pamannya yang bekerja di NGO di Jakarta. Pamannya menanyakan sudah kerja dimana sekarang dan HS menjawab belum bekerja dan pada saat itu juga pamannya menawarkan HS untuk bekerja di NGO di Medan. HS tidak mengerti apa itu NGO atau LSM lembaga swadaya masyarakat, dia bahkan baru mendengarnya pada saat itu. HS pun menerima tawaran itu dan segera membuat lamaran kerja di sebuah NGO di Medan. HS sejak itu bekerja di NGO sebagai staf keuangan dan administrasi yang menjalani trainingselama 2 dua bulan untuk mempelajari keuangan NGO. Setelah beberapa bulan bekerja di NGO tersebut, HS jatuh cinta dengan seorang laki-laki di tempat kerjanya, bedanya HS sudah menjadi staf sedangkan laki-laki yang disukainya adalah sebagai volunteer karena masih berstatus mahasiswa. Laki-laki itu bernama EF, kuliah di salah satu kampus negeri di Medan. EF mengaku sebagai seorang gay dan teman-teman yang lain di kantor itu sudah mengetahuinya dan bisa menerimanya dengan baik tanpa ada diskriminasi. Sedangkan HS yang baru beberapa bulan bekerja belum mengetahui hal itu. HS jatuh cinta dengan EF dan HS pertama kali jatuh cinta sama laki-laki, tetapi HS juga bertanya-tanya dalam hatinya dan merasa kagum. HS merasa aneh pada saat itu dan memendam perasaannya dan tidak bicara sama siapapun. HS tidak menyampaikan perasaannya tersebut namun menunjukkan sikap yang baik kepada EF, bahkan HS sering mentraktir EF saat makan siang di kantor. Lama kelamaan, HS mulai merasa bahwa ini bukan lagi hanya sekedar “mengagumi” dan kebaikan yang dilakukan bukan lagi hanya sebatas “teman sekantor”. HS tak kuasa menahan perasaan yang semakin dalam dan tidak biasa itu dan kemudian dia cerita kepada salah satu teman sekantornya yang menurutnya sangat baik kepada siapapun dan tidak mau membeda- bedakan. HS menceritakan semua tentang apa yang dirasakan terhadap EF sampai hatinya benar-benar plong. Teman sekantornya juga memberitahukan HS bahwa EF juga suka dengan sejenis. HS sangat senang dengan berita itu karena ternyata dia punya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya kepada EF. Tidak lama kemudian HS menyampaikan perasaannya lewat inbox facebook, HS merasa tidak sanggup jika harus menyampaikannya face by face. EF yang pada saat itu merasa senang atas kejujuran HS padanya. Akan tetapi EF tidak bisa menerima cintanya karena dirinya sudah punya pacar. EFberkata jujur tidak suka pacaran dengan teman sekantor atau satu kerja, teman sejurusan di kampus dan lain-lain. HS tidak masalah ketika ditolak oleh EF, yang pasti sejak saat itu dia merasa nyaman dan punya teman baru untuk bercerita lebih leuasa lagi tentang cinta, pekerjaan, perasaan dan lain-lain. Sejak di NGO tersebut HS sering mengikuti pelatihan-pelatihan keberagaman termasuk keberagaman seksualitas, mengerti tentang orientasi seksual, mengerti bahwa gay bukanlah sebuah penyakit atau tidak normal. Meskipun demikian tidak serta merta HS menerima dirinya sebagai seorang gay tapi butuh waktu yang lama untuk bisa menerima dirinya sendiri. HS kemudian tidak lagi merasa bersalah ketika jatuh cinta terhadap sesama jenis, HS merasa bahwa itu juga Anugerah dari Tuhan. Setelah melupakan cintanya terhadap EF, HS berkeinganan untuk memiliki pasangan atau sering disebut pacar. HS bertemu dengan seorang laki-laki di sebuah pertemuan dan saling jatuh cinta dan mereka pun pacaran cukup lama. Jatuh cinta, menjalin hubungan asmara juga tidak selamanya terasa indah kadang ada saatnya dimana seseorang dalam cintanya hanyut dalam kesedihan. Itulah yang dirasakan oleh HS ketika berpisah dengan pacarnya karena pacarnya tersebut akan pergi ke luar kota. Perpisahan ini merupakan kesepakatan keduanya karena sama-sama tidak suka LDR Long Distance Relationship atau pacaran jarak jauh. HS selama pacaran keduanya saling bahagia, saling menghormati, saling terbuka dan sangat jarang berselisihpaham. Kenangan-kenangan yang selama ini dibangun sangat sulit untuk dilupakan dan akan menjadi kenangan terindah. Sejak putus dengan pacarnya satu tahun yang lalu, HS belum pernah pacaran dengan orang lain dan belum berniat untuk mencari pacar pengganti sang mantan. HS memilih akan lebih fokus terhadap pekerjaannya serta mimpi-mimpinya dan tidak pacaran dulu. Waktu demi waktu terus berjalan bahkan satu tahun pun tidak terasa. HS pun sudah berumur 28 tahun dan akan dituntut untuk menikah oleh keluarganya terutama kedua orang tuanya. HS sendiri belum pernah memikirkan untuk menikah akan tetapi di ulang tahunnya yang ke-28 semua pihak baik keluarga, teman satu kerja dan juga teman satu kuliahnya dulu mendoakannya untuk segera dapat jodoh dan segera menikah serta memiliki anak. HS hanya tertawa menanggapi pernyataan-pernyataan tersebut seolah mengabaikannya. HS hingga saat ini sering dipertanyakan oleh keluarga tentang kapan akan menikah dan siapa calon istrinya. Ibunya menasehatinya agar tidak terlalu lama menikah dan sebagai anak sulung sudah pantas untuk menikah agar tidak menghambat adik-adiknya kedepan jika ingin menikah. Hal tersebut suatu tuntutan dan sangat menyiksa hati HS karena tidak mungkin dia menikah dengan laki-laki, dan jika menikah dengan perempuan dia takut tidak bisa mencintai istrinya malah akan menyakitinya apalagi suatu ketika jika istrinya tahu bahwa suaminyaadalah seorang gay. Tabel 4.1 Profil Informan No. Informan I Informan II Informan III Nama Dika Hasri HS Tempat Tanggal Lahir Porsea, 10 Juni 1992 Medan, 12 April 1993 Medan, 20 Februari 1986 Hoby -Membaca -Berdiskusi -Menonton Film -Bercerita-cerita -Membaca Pekerjaan -Bekerja di sebuah organisasi Cangkang Queer sebagai ketua Aktif di forum LGBT -Hasri belum ada kerjaan yang pasti, tapi Hasri hanya mengikuti sebuah organisasi LGBT di Cangkang Queer -Bekerja di LSM atau NGO sebagai staf keuangan Hubungan dengan keluarga -Hungan Dika dengan keluarganya baik- baik saja.Dika pernah dicurigai kakaknya dan -Hubungan Hasri dengan keluarganya baik karena Hasri memiliki strategi untuk menutupi untuk tidak menimbulkan -Hubungan HS degan keluarganya baik, tidak ada kecurigaan bahwa HS ibunya bahwa Sika seorang gay, sebab Dika pernah dikunjungi kakaknya, dika berteman sama bencong, perempuan. -Dika berusaha menjelaskan kepada kakak dan ibunya serta menutupi tetepai tidak bermaksud untuk membohongi karena hal tersebutlah hal buruk terhadap ibunya. -Adiknya Dika sendiri tahu bahwa Dika seorang gay tetapi adiknya tidak mempermasalahka n, adiknya cukup kecurigaan terhadap keluarganya seorang gay. moderat. Sumber :Hasil Penelitian 2015

4.1.3. Pengungkapan Diri self diclosure Gay