Epidemiologi Debu Tepung Gandum

9 Gejala rinitis yang memburuk karena pekerjaan dicetuskan oleh berbagai kondisi kerja seperti agen iritan yang berasal dari kimia, debu, asap, faktor fisik karena perubahan temperatur, emosi, mantan perokok, bau parfum, dan lain-lain. Gambaran klinisnya serupa dengan RAK, tapi mekanisme yang mempengaruhi timbulnya rinitis sulit untuk diselidiki. 7

2.4. Epidemiologi

Houba R, Heederik D, Doekes G 8 melakukan studi potong lintang pada 393 pekerja dari 21 pabrik roti dengan menggunakan pengukuran immunoassay , mendapatkan suatu asosiasi positif dan kuat antara pajanan alergen tepung terigu dan sensitisasi tepung terigu. Pada pajanan tinggi dan sedang alergen tepung diperoleh odds ratio atau OR 5,2 1,6-16,2 dan 2,7 0,5-14,5 untuk pekerja atopi dan 2,5 2,8-7,5 dan 1,4 0,3-6,4 untuk non atopi, dibandingkan dengan pekerja dengan pajanan rendah alergen tepung. Pada pekerja yang tersensitisasi dan dengan kenaikan pajanan alergen lebih sering mendapat gejala yang berhubungan dengan kerja dengan OR untuk pajanan tinggi dan sedang alergen tepung yaitu 3,5 1,6-7,5 dan 2,6 0,9-7,8 dibandingkan dengan pekerja dengan pajanan rendah alergen tepung. Smith TA dan Smith PW 20 melaporkan prevalensi uji tusuk kulit positif pada tepung gandum pada pekerja pembuat roti sebesar 6 dan 3 pada pekerja pembuat kue dengan populasi yang terdiri dari 394 pekerja pembuat roti dan 77 pekerja pembuat kue di Inggris. Studi kasus kontrol yang dilaporkan Fahrudin I 9 pada suatu PT produsen tepung gandum yang mempelajari hubungan antara faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan rinitis akibat kerja mendapatkan riwayat atopi dan pemakaian alat pelindung diri yang kurang baik berhubungan dengan terjadinya rinitis akibat kerja yaitu masing-masing dengan OR 4,24; p 0,00; 95CI 2,35- 7,66 dan OR 2,06; p 0,014; 95CI 1,16-3,65. Studi yang dilakukan oleh Walusiak J, Hanke W, Gorski P, dan Palczynski C pada pekerja pembuat roti, seperti yang dikutip oleh Walusiak J 21 mendapatkan 10 insiden rinitis akibat kerja yang meningkat yaitu 8,4 setelah 1 tahun bekerja dan 12,5 setelah 2 tahun bekerja.

2.5. Patofisiologi

Inflamasi mukosa hidung pada RAK dapat disebabkan oleh dua mekanisme, yaitu: 1 mekanisme imunologi melalui sensitisasi oleh zat dengan berat molekul tinggi dengan jalur yang diperantarai IgE atau konjugasi hapten- protein oleh zat dengan berat molekul rendah, baik episodik maupun persisten, 2 mekanisme nonimunologi oleh karena inflamasi iritasi. 16,17

2.5.1. Mekanisme imunologi atau alergi

Menurut pembagian Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma tahun 2008 rinitis alergi dapat digolongkan dalam 2 klasifikasi yaitu intermiten bila gejala kurang dari 4 hari per minggu atau dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu dan persisten bila gejala ditemukan lebih dari 4 hari per minggu dan dalam kurun waktu lebih dari 4 minggu. 22 Rinitis alergi akibat kerja merupakan reaksi alergi hipersensitifitas tipe I yang merupakan respons yang diperantarai IgE yang terdiri dari tiga fase: sensitisasi, fase cepat dan fase lambat. Selama fase sensitisasi alergen yang berasal dari lingkungan sekitar mengalami kontak dan melekat dengan mukosa epitelium dari membran hidung dan mengawali terjadinya presentasi antigen terhadap sel imun. Antigen presenting cells seperti makrofag dan sel dendrit mencerna dan memecahkan alergen menjadi peptida kecil yang kemudian mempresentasikan kepada sel limfosit Th0. Limfosit Th0 mengenali peptida antigen dan mengawali diferensiasinya menjadi Th1 dan Th2 serta melepaskan produk-produk inflamasi. Rinitis alergi biasanya melibatkan sel limfosit Th2. Limfosit Th2 mengeluarkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10 dan IL13. IL4, IL10 dan IL13 mempromosikan proliferasi limfosit B yang menghasilkan antibodi IgE. Antigen peptida dan antibodi IgE memegang peranan penting pada alergi fase cepat. IgE yang berada di sirkulasi darah melekat pada reseptor sel mastosit dan basofil yang memiliki afinitas yang tinggi, sehingga menyebabkan 11 degranulasi. Degranulasi sel mastosit merupakan saat yang penting dalam mengawali fase cepat dan proses pelepasan histamin, prostaglandin, triptase, leukotrien dan faktor kemotaktik lainnya yang merangsang pengeluaran sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil. 16,23 Gambar 2. Mekanisme imunologi pada rinitis alergi dikutip dari Diseases of the Immune System. Pathologic basis of Disease. 8 th , 2010 25 12 Mediator yang dilepaskan sel mastosit akan memberikan efek terhadap pembuluh darah seperti vasodilatasi, penebalan mukosa, peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore. Efek pada ujung saraf vidianus akan menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin selain itu kelenjar mukosa dan sel goblet juga akan mengalami hipersekresi. Jika pajanan dihentikan, reaksi akan hilang dalam beberapa jam. Jika pajanan terjadi terus menerus, akan terjadi reaksi fase lambat yang ditandai dengan edema mukosa serta sumbatan hidung yang lebih berat. Reaksi ini dimulai 4 sampai 12 jam setelah pajanan awal dan dihubungkan dengan terbentuknya sel inflamasi seperti eosinofil, basofil dan neutrofil yang mengikuti reaksi fase akut. Reaksi fase lambat akan berakhir setelah 72 jam pajanan dihentikan. Hal ini menjelaskan mengapa tidak terjadi perbaikan gejala pada pekerja pada saat libur akhir pekan , sehingga dapat membingungkan dalam menegakkan diagnosis rinitis akibat kerja. Cuti dengan jangka waktu yang lebih lama mungkin diperlukan agar kecurigaan adanya penyebab di tempat kerja dapat diyakini. Pada pekerja dengan alergi, biasanya bereaksi terhadap beberapa alergen di rumah, di luar rumah serta di tempat kerja. Hal ini merupakan salah satu penyebab sulitnya menegakkan RAK. 16,24 Eosinofil melepaskan mediator yang menyebabkan disfungsi epitel hidung sehingga menyebabkan sumbatan hidung, pernapasan yang berat serta gangguan tidur dan mendengkur. Inflamasi lokal akan bertambah dengan pengaruh sekresi yang terus-menerus dari sitokin yang berbeda yaitu faktor nekrosis tumor alfa atau TNF  , yang dihasilkan oleh sel mastosit, makrofag, eosinofil dan limfosit yang merangsang serabut sensoris di mukosa hidung. Perangsangan saraf ini akan menyebabkan hipereaktif dan hipersensitif dari mukosa hidung meskipun terpajan dengan rangsangan nonalergi seperti udara dingin dan asap rokok. Hal ini juga menjelaskan mengapa pekerja yang menderita rinitis akibat kerja, gejala akan muncul di luar lingkungan kerja ketika mereka terpajan dengan zat iritan. 16

2.5.2. Mekanisme nonimunologi atau inflamasi iritasi

Berbeda dengan mekanisme alergi yang merupakan respons imun spesifik, mekanisme inflamasi iritasi merupakan mekanisme respons imun natural yang 13 melibatkan membran mukosa yaitu epitel dan mukus, komplemen, fagosit, mediator atau efek langsung pada saat zat iritan kontak dengan mukosa hidung, walaupun masih banyak yang menyatakan patofisiologinya masih belum jelas. Pada mekanisme kontak langsung, zat iritan menyebabkan rangsangan pada mukosa yang hipereaktif sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, sensitivitas serabut sensoris dari percabangan N.V sehingga terjadi rinitis. 13,14 Proses pengaktifan reseptor iritan pada saluran napas dapat menimbulkan bermacam-macam keluhan yaitu bersin, rinore, hidung tersumbat, ingus belakang hidung, epistaksis, gangguan penghidu, batuk, asma, nyeri dada, bronkospasme, disfungsi laring, dan lain-lain. Bersamaan dengan udara dingin dan kering, bahan kimia yang bersifat iritan dapat mencetuskan gejala saluran napas atas yang memiliki gambaran yang hampir sama dengan rinitis alergi, sehingga kadang- kadang sulit untuk menegakkan diagnosis rinitis iritan. 13,14,19,26 Gambar 3. Mekanisme inflamasi hidung karena zat iritan Dikutip dari Sarin S 14 Rinitis yang disebabkan oleh iritasi cenderung hilang segera setelah pajanan dihentikan. Gambaran klinis ditandai dengan rasa terbakar pada hidung atau gatal, rinore serta hidung tersumbat. Rasa terbakar ini disebabkan oleh iritasi 14 sensoris pada serabut C dan A  dari percabangan N.V pada saat terpajan debu, gas larut air dan uap zat kimia. Untuk mengetahuinya biasanya dengan cara mengidentifikasi zat penyebab atau dengan melakukan swab sekret hidung, kerokan mukosa hidung atau biopsi. 12-14

2.6. Debu Tepung Gandum

Debu merupakan partikel-partikel zat padat yang dihasilkan oleh kekuatan- kekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain, baik dari bahan organik maupun non-organik. Debu organik yaitu debu yang berasal dari tumbuhan, binatang dan mikrobial. 3,4 Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat pajanan debu. Debu tepung gandum termasuk debu organik yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis alergi pada penderita alergi. Ukuran debu sangat bervariasi, umumnya debu yang berukuran lebih dari 10 μm akan diendapkan di saluran napas bagian atas dan debu yang berukuran lebih kecil akan masuk ke saluran napas bagian bawah. Debu respirable yaitu debu dengan diameter antara 1- 10 μm dan dapat masuk ke saluran napas atas sampai alveoli. 2,4 Dahulu beberapa debu dianggap tidak berbahaya atau debu inert karena debu yang berukuran 5- 10 μm yang masuk ke dalam saluran napas akan dikeluarkan seluruhnya. Hal ini terjadi jika jumlah debu yang masuk kurang dari 10 partikel. Jika jumlah debu yang masuk lebih dari 1000 partikel maka sekitar 10 akan tertimbun dalam saluran napas. Jika jumlahnya mencapai lebih dari 100.000 partikel maka persentase penimbunannya akan bertambah besar lagi. 2,4 Berdasarkan fibrogenitasnya terhadap jaringan dibedakan debu fibrogenik dan nonfibrogenik . Debu fibrogenik yaitu debu yang menimbulkan fibrosis jaringan, misalnya debu batubara, debu silica dan debu asbes. Sedangkan debu nonfibrogenik yaitu debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan. Pada awalnya debu golongan ini dianggap tidak berbahaya bagi kesehatan, tetapi kemudian diketahui kadar debu yang tinggi akan menyebabkan reaksi saluran napas seperti 15 hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja. 2,4 Pada industri pembuatan roti, pajanan debu tepung gandum umumnya terjadi pada saat proses pengolahan. Debu tepung gandum menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia, mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung maupun peradangan pada sinus paranasalis. Berbagai penelitian efek debu tepung gandum terhadap saluran napas atas terbukti menimbulkan rinitis alergi. 9 2.7. Faktor-Faktor Predisposisi Rinitis Akibat Kerja 2.7.1. Genetik