Politik Islam Syiah Politik Islam Sunni
Thalib, baik secara politis maupun militer dalam peristiwa karbala. Dalam peristiwa itu, Husain bersama hampir seluruh keluarga dan pengikutnya dibantai.
71
Sejak itu, yakni mulai pada masa Ali Zain al-Abidin 38 H658 M-94 H712 M, putra Husain yang selamat dari pembantaian Karbala, quietisme dimulai. Imam
Ali ibn Husain dikenal dengan gelar Zain al-Abidin yang ibadahnya paling baik dan al-Sajjad si banyak sujud. Dalam sejarah , ia memang dikenal sebagai ahli
ibadah. Satu-satunya “protes politis” kalau bisa disebut demikian-adalah upaya yang dilakukannya untuk menyusun sebuah kumpulan doa yang amat artikulatif, dikenal
sebagai al-shahifah al sajjadiyyah antologi al-Sajjad Masa-masa Imam Muhammad al-Baqir 57 H676 M-114 H732 M dan
Imam Ja’far al-Shadiq 80 H699 M-148 H765 M setelah itu, dikenal sebagai masa perkembangan keilmuan di kalangan Syi’ah yakni Syi’ah Itsna Asyariyyah atau
Syi’ah dua belas Imam atau Syi’ah Imamiyah yang berpuncak pada kodifikasi fiqih Syi’ah aliran lain. Kodifikasi fiqih ini memang kemudian dikenal sebagai fiqih
madzab Ja’far berasal dari nama imam Ja’far sebagai founding father-nya. Memang, dalam sejarah Islam dikatakan bahwa imam Ja’far al-Shadiq berhasil secara relative
leluasa, menghimpun sekitar 4.000 murid yang belajar dengannya termasuk Imam Abu Hanifah dan Imam Malik yang belakangan menjadi dua di antara empat imam
terbesar dalam sejarah pemikiran fiqih Sunni, selain Imam Syafi’I dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Betapapun hal ini bias dilakukan oleh Imam Ja’far berkat kenyataan
bahwa kekhalifahan pada masa itu memberikan keleluasaan kepadanya untuk melaksanakan kegiatan keilmuan.
72
71
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h. 102
72
Munawir sjadzali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI-Press, 2993, h. 212
40
Hal ini berbeda, misalnya dengan peran Zaid ibn Ali Zain al-Abidin ibn Husain ibn Ali Ibn Abi Thalib saudara Imam al-Baqir yang secara terbuka
melancarkan konfrontasi terhadap kekhalifahan Umayyah pada masa itu, dan menghimpun kekuatan militer serta melancarkan pemberontakan. Demikianlah,
madzab Zaidiyyah, salah satu dari tiga madzab besar dalam Syi’ah selain Ismailiyyah dan Itsa Asyariyyah yang terbentuk pada masa ini, dikenal antara lain
oleh doktrinnya yang mengharuskan seorang imam melancarkan konfrontasi terbuka terhadap kekuasaan yang tidak sah. Bagai sebagian orang, hal ini ditafsirkan sebagai
kritik kepada sikap Imam al-Baqir yang cenderung memilih tindakan nonkonfrontatif untuk mengatasi persoalan zaman.
Demikian pula halnya dengan Imam Ali Ridha imam kedelapan. Dalam sejarah, ia ditunjuk oleh Khalifah al-Makmun 198 M813 H-218 M833H sebagai
putra mahkota yang akan menggantikan kekhalifahan Dinasti Abbasiyyah. Betapapun hal ini dimungkinkan sekali lagi lebih karena prakarsa al-Makmun untuk
mengembalikan institusi kekhalifahan kepada keluarga Hasyimiyyah. Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa upaya al-Makmun itu merupakan bagian dari maneuver
politiknya untuk mengambil hati dan memperoleh legitimasi dari lebih banyak kaum Muslim yang menganggap bahwa kekhalifahan itu merupakan hak bani Hasyim.
Pada kenyataanya, banyak ahli sejarah Syi’ah sepakat bahwa Imam Ali Ridha sendiri wafat karena diracuni oleh kaki tangan al-Makmun.
73
Demikianlah sejarah para imam di Syi’ah ini terus berlanjut hingga masa imam mahdi yang dipercayai menghilang dan suatu saat nanti kembali lagi ke dunia
73
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.103
41
ini untuk memimpin gerakan kaum mustadh’afin kaum tertindas merebut kembali kepemimpinan umat manusia
Sampai pada titik ini kita dapat menyimpulkan bahwa, pertama, sejarah Syi’ah Itsa Asyariyyah pra-modern diwarnai oleh kekalahan politik, oleh quietisme
dan bukan aktivisme. Kesimpulan kedua terkait erat dengan konsep ruj’ah kembali Imam Mahdi seperti tersebut di atas. Dalam pemahaman ini terkandung
suatu mafhum mukhalafah bahwa sampai kembalinya imam Mahdi orang Syi’ah hanya bisa menunggu. Konsep ini antara lain secara doctrinal menjadi kaum Syiah
quietis. Selain itu sepanjang sejarah politik Islam pasca Khulafa Rasyidin telah didominasi oleh kaum Sunni, sehingga kaum Syi’ah hanya menjadi kelompok
pinggiran dan cenderung tertindas. Selain itu adanya konsep Mahdiisme membuat kaum Syi’ah lebih memisahkan diri dari percaturan politik dan hidup dalam
komunitas yang tertutup dengan konsekuensi menjadi independent dari politik pusat kekuasaan.
Sikap itu didukung oleh konsep taqiyyah, yakni menyamarkan keyakinan kesyi’ahanya dengan tujuan menyelamatkan mereka dari kepunahan dan
berkembang secara alami. Kalaupun dalam sejarah terbukti ada dinasti Syi’ah yang besar, diantaranya dinasti Buwaihiyyah 932-1062 M dan dinasti Shafawiyyah
1501-1722 M kenyataannya dinasti-dinasti ini dibentuk bukan sebagai bagian dari upaya komunitas Syi’ah untuk merahi kekuasaan, melainkan paling tidak pada
awalnya malah tidak berkaitan dengan Syi’ah sebagai madzab. Yang terjadi adalah munculnya orang-orang dari suku tertentu, yang kebetulan penganut Syi’ah yang
mempunyai aspirasi kekuasaan dan berhasil membangun sebuah dinasti. Baru belakangan mereka melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan ke-Syi’ah-an
42
mereka. Bahkan dinasti Shafawiyyah didirikan oleh para pengikut tarekat yang awalnya bukan bagian komunitas Syi’ah.
74
Seiring waktu dalam ajaran Syiah terdapat perubahan yang dimulai dengan tercetusnya revolusi Islam di Iran. Doktrin quietisme yang selama ini mengkristal
didobrak oleh pemikir politik Syi’ah. Mereka meyakinkan bahwa umat Syi’ah harus pro aktif dalam mempersiapkan panggung bagi kemunculan kembali Imam Mahdi.
Para revolusioner berargumen bahwa imam Mahdi tidak akan muncul kembali secara anakronistik di panggung sejarah, hal itu terjadi jika masyarakat sudah siap
untuk dipimpinnya dalam merebut kekuasaan di dunia. Revolusi doctrinal inilah yang mentransformasikan quietisme Syi’ah menjadi aktivisme revolusioner.
Meskipun demikian, terdapat varian-varian pendapat mengenahi sikap politik Syi’ah di masa ghaibah Imam di dalam tubuh Syi’ah sendiri. Di sepanjang sejarah
dapat ditemukan situasi-situasi yang di dalamnya kaum Syi’ah hampir selalu berada dalam posisi tertindas sehingga bersikap akomodatif terhadap kekuasaan de facto.
75
Hamid Henayat mengatakan, dalam kepustakaan sejarah dini Syi’ah, khususnya dalam karya-karya Syaikh Thusi w. 461 H-1068 M dan Ibn Idris w.
598 H-1202M, kaum muslim Syi’ah dianjurkan dan diinstruksikan untuk ber- bai’ah kepada sejenis penguasa yang disebut “penguasa yang saleh dan adil” al-
sulthan al-haqq al-adil. Yang disebut terakhir ini tentu saja berbeda dengan Imam.
76
Dalam etika politik Syi’ah, seperti yang dikemukakan oleh al-Maududi bahwa kedaulatan dalam semua aspek berada di tangan Tuhan. Ini didasarkan atas
teks al-Qur’an yang artinya; ” Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
74
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.106
75
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.108
76
Hamid Henayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah, Bandung: Pustaka, 1988 h. 37
43
Allah, Maha suci Allah, Tuhan semesta alam ” al-A’raf, 7: 54. Sementara yang mengoperasionalisasikan kedaulatan Tuhan di bumi adalah para Nabi. Setelah
berakhir kenabian, maka yang mendapat limpahan disposisi adalah ulil ’amrih pemerintah. Dalam konteks syi’ah, ulil ’amrih direpresentasikan oleh imam yang
berjumlah 12 syi’ah itsna ’asyariyah. Para imam dianggap penerus para nabi yang bertugas menjelaskan syariat. Dengan demikian seorang imam bukan hanya
penguasa temporal, melainkan juga spiritual. Dalam dua aliran dalam teologi Islam di atas, jika ditelusuri lebih dalam
sebenarnya terdapat perbedaan penting antara politik Islam Syi’ah dan Sunni dalam hal sikap akomodatif kedua kelompok ini terhadap penguasa de facto yang dianggap
tidak sah. Bagi Sunni yang diwakili oleh para teoritis politik seperti al-Mawardi, al- Ghozali, dan ibn Taimiyah cenderung kompromi dengan gagasan-gagasan politik
islam dengan kenyataan actual dan kemudian mengembangkan teori-teori politik yang sesuai dengan kondisi. Kaum Sunni tidak menentukan secara formal bentuk
pemerintahan dan negara, melainkan secara substansial harus mengandung nilai- nilai Qur’an dan hadist seperti, musyawarah, persamaan, hak-hak asasi manusia,
perdamaian, keamanan, dan lain-lain yang bisa direalisasikan dalam konteks bernegara.
Sedangkan Syia’ah umumnya mengambil sikap akomodatif sebagai bagian program ad hoc yang tidak perna benar-benar berpengaruh terhadap kesatuan teori
politik Syi’ah. Bagi Syi’ah hal ini juga merupakan bagian dari sikap taqiyyah, menutup-nutupi keyakinan untuk menyamarkan atau memodifikasikannya secara
taktis dan temporer.
44
Ahmad Subhi, seorang ulama Sunni menunjukkan perbedaan antara sunni dan syi’ah dalam hal kepemimpinan. Sepanjang sejarah Syi’ah memiliki figur atau
tokoh dengan kepribadian besar dan ini bukan hanya diakui penganutnya, tapi juga diakui kebesarannya dan ketokohannya oleh kaum Sunni. Sementara itu, kaum
syi’ah bisa belajar mengenahi prinsip-prinsip musyawarah atau demokrasi dari kaum sunni.
77
77
Yamani, Antara al-Farabi dan Khomaini: Filsafat Politik Islam, h.109
45
BAB IV KONSEP ETIKA POLITIK PERSPEKTIF
ALI SYARI’ATI
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa, etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban. Selanjutnya, etika juga
sebagai kumpulan asas nilai yang berkenaan dengan perbuatan, tindakan dan sikap.
78
Seperti apa yang dikatakan oleh Socrates, etika merupakan penilaian yang baik tidak berdasarkan sebab-akibat, akan tetapi prinsip batin atau kesenangan jiwa
merupakan salah satu komponennya.
79
Demikian juga Aristoteles mengatakan, bahwa etika merupakan satu nilai yang memiliki tujuan kebahagian dalam hidup.
Sebagaimana etika, politik dapat dimaknai sebagai konsep yang berkenaan dengan soal pemerintahan. Makna politik disini mengandung nilai estetik dan nilai
etis yang memerlukan seperangkat unsur, seperti halnya menjalankan pemerintahan, mengatur pola aktivitas keseharian masyarakat.
80
Maka dari itu, politik seyogyanya dapat mengukur perilaku buruk dan baik manusia, serta mengatur perilaku hidup
tersebut kearah yang lebih baik lagi.
81
Dalam arti yang lebih filosofis, bahwa politik memiliki peran dan fungsi ganda, dituntut untuk berbuat baik kesesama manusia,
pada saat yang sama juga kebijakan negara harus mempertimbangkan kebaikan masyarakat yang lebih luasa.
Dengan demikian, politik bukanlah bertujuan untuk kekuasaan belaka, melainkan juga untuk dapat mewujudkan kesejahteraan secara umum. Bila diamati
78
K. Bertens, Etika Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2004 hal 5.
79
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Cetakan ketiga Jakarta; Gramedia, 2002 hal 217.
80
Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dus Yogyakarta: Ar-Ruz, 2004 hal 186.
81
Ramlan Surbakti, Memahamai Ilmu Politik Jakarta; Gramedia, 1992 hal 1
46
lebih lanjut, politik dan etika, merupakan sebuah relasi yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya diibaratkan dua sisi yang saling membutuhkan. Ketika yang satu terapung
maka satu sisi lainnya akan tenggelam. Franz Magnis Suseno mengartikan etika politik dengan sejumlah nilai luhur
yang seharusnya diterapkan dalam politik. Etika politik juga merupakan kewajiban hati nurani yang tidak difokuskan pada apa yang baik atau benar secara abstrak,
tetapi pada apa yang baik dan benar dalam situasi yang konkrit. Etika politik bukan hanya masalah moral individual belaka, melainkan masalah moral sosial tidak bisa
dilepaskan dari tindakan kolektif. Sederhananya, etika politik bertujuan untuk mengulas prinsip moral
kenegaraan bukan etika kelakuan politisi. Melakukan pengajian pandangan- pandangan dasar yang berkembang selama lebih dari dua ribu tahun, terutama dalam
tiga ratus tahun terakhir, tentang bagaimana harkat manusia dan keberadaban kehidupan masyarakat dapat dijamin berhadapan dengan kekuasaan negara.
82
Etika politik menjawab dua pertanyaan, pertama, bagaimana seharusnya menata masyarakat yang ideal dan bagaimana etika kepemimpinan yang bisa
menjaga lembaga-lembaga negara seperti hukum dapat berjalan dengan adil dan bijaksana. Selain itu membahas tentang bagaimana bentuk negara yang seharusnya
demokratis. Kedua, apa yang seharusnya menjadi dasar dan tujuan segala kebijakan politik.
Dalam pandangan Ali Syari’ati menjelaskan, bahwa politik adalah pemerintahsystem pemerintah yang mempunyai tanggung jawab memelihara agar
masyarakat bisa aman dan menyediakan sarana-sarana kesejahteraan bagi warganya
82
Franz Magnis Suseno, Etika Politik , Jakarta: Gramedia, 2003 h. xiii
47
sebagai suatu tugas administrasi Negara. Istilah politique muncul di tengah suasana pemerintahan di Yunani, karena seluruh kota pada masa itu membentuk diri sebagai
Negara-negara kota cite etat. Kota Athena misalnya, merupakan Negara tersendiri dengan bentuk pemerintahan tersendiri pula. Maka menjadi identiklah istilah negeri
dengan Negara, kepala negeri dengan kepala Negara. Politik adalah administrasi kota dan ia mencakup sejumlah tanggung jawab yang terletak dalam wilayah
pemerintahan atau Negara. Dalam pengertian ini, pemerintah yang bertugas dalam bidang administrasi
kota, dalam bentuknya yang paling ideal merupakan tanggung jawab kenegaraan dalam suatu kota. Lembaga Negara yang ada di kota tersebut sama sekali tidak
memikul tanggung jawab apa pun dalam soal-soal memperbaiki pandangan hidup masyarakat, cara berfikir kaum muda, pengembangan pendidikan anak yang harus
diterapkan oleh orang tua, modernisasi pemikiran keagamaan, atau melakukan perbaikan moral masyarakat. Tugas-tugas seperti ini berada di luar tanggung jawab
kenegaraan dan kepala negaranya. Sebab, sebuah Negara kota hanya bertanggung jawab terhadap administrasi kota dalam bentuk yang sedemikian, sehingga warga
kota tersebut bisa memperoleh kebebasan dan kesejahtraan serta memelihara sistem- sistem umum yang ada.
83
Dengan demikian bahwa Syariati memandang peran negara bukan hanya dalam bidang administrasi, namun juga peran-peran etis untuk membangun
masyarakat dan negara yang bermoral. Disinilah pengejawantahan etika politik harus diterapkan dalam sebuah negara, meskipun Ali Syariati tidak mendefinisikan
secara jelas tentang etika politik, namun dalam konsep politik Syariati menunjukkan
83
Dr. Ali Syari’ati, Umah dan Imamah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995 , Cet. Ke-2, h. 55-56
48
landasan etika politik dalam mendefinisikan politik. Ini bisa dilihat dari konsep negara Syariati yang mempunyai arti birokrasi atau administrasi dan tanggung jawab
kenegaraan untuk mendidik atau memperbaiki pandangan hidup masyarakat. Atas dasar itu penulis mengulas tentang konsep masyarakat ideal dalam
pemikiran Syariati sebagai dasar pandangannya terhadap tata kenegaraan dan konsep etika politik sesuai dengan zamannya.