Islam Sebagai dasar Etika Politik Islam Ali Syariati
bukan dengan maksud mendatangi bangunan tua, melainkan mendatangi “rumah Allah” untuk beribadah.
Dalam studi dunia kontemporer, Syariati tidak menolak mentah-mentah, melainkan menelaah secara mendalam sehingga menemukan bagian-bagian yang
harus ditolak dan bagian yang bisa ditiru. Bagi Syariati bagian yang harus ditolak dari kemodernan adalah konsumerisme dan pencerabutan akan keautentikan Islam,
sedangkan yang bisa diambil contoh dari moderinisme adalah spirit untuk berkarya dan berproduksi. Dalam hal ini Syariati mencontohkan ketika berhadapan dengan
marxisme. Marxisme merupakan paham yang diproduksi oleh Karl marx, yang menginginkan terciptanya masyarakat yang sosialis, dimana antara kelompok
borjuis dan proletar setara. Perhatian Syariati terhadap marxisme adalah karena kepekaannya pada realitas sosial, sejarah sebagai sumber kebenaran, analisisnya
tentang kapitalis dan imprealisme, dan seruan kepada revolusi. Sedangkan yang ditolak olehnya adalah masalah kemanusiaan yang merupakan bentuk modus
produksi material
101
Lebih lanjut Ali Syariati menekankan pentingnya menghidupkan ajaran Islam dan kembali kepada sumber yang asli. Realitas yang dihadapi pada era ini
sangat kompleks dan terdapat percampuran antar ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam. Untuk itu perlu adanya tanggung jawab bagi umat islam untuk membersikan
unsur-unsur luar yang melekat pada pola pikir keyakinan keagamaan yang diciptakan oleh kediktatoran, perbedaan kelas, dan interes politik dan kembali
kepada akar islam yang asli.
102
101
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, h. 139
102
Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 22
57
Sedangkan yang berkaitan dengan hal mistik dalam Islam, menurutnya harus dipahami dan tidak diabaikan. Walaupun bersifat irasional, namun pengalaman
mistik dapat dijadikan sebagai pertanda bahwa seorang hamba melakukan pendekatan spiritual terhadap diri Allah. Hal ini tercermin dalam pengalaman mistik
Ali Syariati ketika kelas lima sekolah dasar. Ketika itu ia mendengar suara bel berbunyi yang membuat dirinya terduduk di tanah, badannya gemetar, dan kepala
berputar-putar. Sejenak kemudian Syariati menemukan misi mengenahi vigur magis berwarna hijau yang turun dari langit, seperti petir menembus melalui matanya dan
berjalan menuju hatinya, kemudian kehilangan jejaknya. Syariati memahami arti itu pada usia sudah dewasa ketika mempelajari ajaran tokoh sufi Al-Jilli, ia memahami
bahwa figur mistik warna hijau adalah metafor untuk sinar pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dipilih-Nya dan pendistribusian penyatuan
seorang hamba dengan Tuhan.
103
Dalam hal politik praktis, Ali Syariati menganut jalan tengah. Pada masa itu dunia terbela menjadi dua blok besar yaitu, blok Barat dan blok Timur. Blok barat
adalah Amerika Serikat dan Eropa Barat yang kapitalis dan liberalistik, sedangkan blok timur adalah Uni Soviet dan Eropa Timur yang komunistik dan sosialistik. Dua
blok ini selalu berhadapan, baik dalam masalah ekonomi, politik, budaya, dan militer, sehingga tatanan dunia tergantung kepada dua blok ini. Pada kondisi yang
demikian Ali Syari’ati menawarkan posisi negara-negara Islam menjadi kelompok independen. Ini bertujuan untuk menjadi bumper dan mengurangi ketegangan antara
dua blok transisional dan melawan intervensi yang tidak adil dari kedua blok dalam urusan yang berkaitan dengan negara Islam.
104
103
Ali Rahmena, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, h. 233
104
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, h. 140
58
Pemikiran Syari’ati ini terbukti ketika salah satu blok ini runtuh, negara- negara Islam tidak terlalu terimbas dampak negatif. Bahkan ada negara Islam yang
terus melangkah maju dengan berpegangan keautentikan sebagi negara islam dengan tetap modernis, seperti negara Qatar. Jalan tengah yang diambil Syariati ini juga
nampak ketika ia mengapresiasi revolusi Iran yang berhasil menjatuhkan diktator rezim Syah. Keberhasilan itu bagi Syari’ati tidak terlalu disambut dengan eforia.
Kehadiran rezim baru pengganti rezim Syah, yaitu rezim yang berada di bawah kendali ulama dikhawatirkan ditunggangi kepentingan pihak luar yang manipulator
masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi sebagai penjara. Ali Syariati memandang bahwa rezim Syah tidak membangkitkan agama tapi mempertahankan
kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemadekan islam. Sikap jalan tengah yang ditempuh Ali Syari’ati ini berdasarkan dari
pemahamannya tentang etika politik. Baginya politik mempunyai pengerian pendidikan, pembaruan, dan penyempurnaan. Selain itu bertugas dalam bidang
administrasi kota dalam bentuk yang ideal dan bertanggung jawab. Dengan demikian Syari’ati mengartikan pemeritahan menjadi dua pandangan hidup dan
tanggungjawab, yakni menjalankan kewajiban memimpin dan mendidik manusia mencapai bentuk yang lebih baik, yang didasarkan pada mazhab tertentu, sehingga
dengan demikian ia menjadi guru dan sekaligus pemimpin politik, atau menjadi administrator, supervisor, dan birokrat bagi masyarakat politis.
105
Dalam konteks situasi saat Syari’ati hidup, pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu, Islam yang
dipahami banyak orang di masa itu adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual
105
Ali Syariati, Ummah dan Imamah, h. 56
59
dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana
beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau pentunjuk untuk membela
kaum tertindas mustad’afin. Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan
mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Wacana Islam mainstreem itulah yang digunakan oleh sebagian besar ulama untuk mendukung kekuasaan rezim Syah. Ketika rezim Syah menindas rakyat, para
ulama rezimis tidak mampu berbuat banyak untuk kepentingan rakyat. Justru ulama dipaksa untuk memberikan justifikasi keagamaan atas kebijakan-kebijakan Syah.
Bagi Syari’ati hal demikian menganalogkan bahwa Islam yang demikian itu sebagai Islam gaya penguasa Islamnya Usman bin Affan . Sementara Islam otentik,
sebagaimana yang dinyatakan Syariati adalah Islam Abu Zar,
106
sahabat Nabi sang pencetus pemikiran sosialistik Islam.
107
Islam dalam pandangan Syariati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan sang
106
Abu Zar menyaksikan peristiwa yang memalukan ini dan karena tidak bisa lagi menerima hal itu itu, maka dia tidak lagi bisa diam, ia pun melawan, suatu perlawanan yang sangat
bagus dan jantan; suatu perlawanan yang menyebabkan timbulnya perlawanan di semua wilayah Islam melawan kekuasaan Usman; suatu perlawanan dari gelombang gairah Islam yang tetap
dirasakan sampai zaman sekarang di dalam sejarah umat manusia. Abu Zar sedang berusaha untuk membangun kesatuan ekonomi dan politik Islam dan rejim Usman sedang menghidupkan kembali
aristocracy. Abu Zar percaya Islam sebagai tempat perlindungan orang yang membutuhkan pertolongan, si tertindas dan orang-orang yang terhina dan ‘Usman menjadikan Islam sebagai alat
kapitalisme yang berarti pula benteng untuk memelihara para lintah darat, orang-orang kaya dan kaum ningrat. Lihat dalam, Ali Syariati, And Once Again abu-Dhar, diakses tanggal 22 Pebruari
2008, dari
http:www.iranchamber.compersonalitiesashariati worksonce_again_abu_dhar7.php
,
107
Azyumardi Azra, “Akar-Akar Ideologis Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati”, dalam Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme
Hingga Post-Modernisme Jakarta: Paramadina, 1996, hlm.77
60
Khaliq, tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan. Seperti yang ditulis dalam salah satu karyanya: adalah perlu
menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Dengan kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalifah. Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas;
bukan Islam penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam pembebasan, kemajuan, dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujahid;
bukan Islam kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggung jawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi, keagamaan, wasilah ulama dan campur
tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis kepada ulama.
108
Dalam tulisan selanjutnya Ia katakan : tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita
maksud: Islam Abu Zar atau Islam Marwa bin Affan, sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya.
Satunya adalah Islam ke-khalifah-an, istana, dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah
dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian kepada kaum miskin dan tertindas. Khalifah yang korup juga berkata demikian, Islam yang benar
lebih dari sekadar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan.
109
Gagasan Syariati tentang Islam revolusioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan theology of liberation yang banyak
108
Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami “Kemelut” Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan ed., Melawan Hegemoni Barat: Ali
Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia Jakarta: Penerbit Lentera, 1999, hlm. 61
109
Azyumardi Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, h. 77-78
61
diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama yakni
ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan ulama, gereja yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan dan berpaling dari kenyataan ril umat
yang selalu ditindas oleh kekuasaan. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi
kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner yang diusung Syariati juga merupakan bentuk pengembalian hak menafsirkan agama itu kepada
rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan rakyat.
110
Seperti yang dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari kenyataan nyata, suatu praksis yang
sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya ia mengungkapkan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan
sektor-sektor penting sistem sosial keagamaan, seperti para elit kegamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis
keagamaan.
111
Teologi pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin kegamaan yang benar-benar masuk akal.
Teologi pembebasan telah memberikan sumbangsi yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah
membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagamaan yang mapan.
110
Robert D. Lee, “Ali Shari’ati”, dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni Bandung: Mizan, 2000, hlm. 140
111
Michael Lowy, Teologi Pembebasan Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 27
62
Beberapa diantara doktrin ini adalah: 1 Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil
dan menindas, 2 Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-sebab kemiskinan, 3 pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan
terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4 suatu pembacaan baru terhadap teks agama, 5 perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama,
6 kecaman terhadap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
112
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas
dan eksploitasi. Ajaran Nabi mengatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umat untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari
keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat bagi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan
hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm penindas.
113
Dalam konteks Iran, bagi Syari’ati ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif dan menjadi agama negara.
Sedangkan dalam pihak lain ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta, karena ulama Syiah memperoleh
pemasukan dari Khams sedekah dari sahm Imam bagian dari zakat
114
112
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, metode, praksis, dan isinya, Yogyakarta: LkiS, 2000, h. 23-25
113
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet. III, hlm. 7
114
Ali Rahnema, “Ali Syari’ati: Guru, Penceramah, Pemberontak”, dalam Ali Rahnema ed., Para Perintis Zaman Baru Islam Bandung: Mizan, 1996, hlm. 234.
63
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilai sebagai akhud, Ia kemudian menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal secara sederhana
adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Ia mencontohkan ulama seperti al-Afgani sebagai idola.
115
Nampaknya pemikiran Ali Syari’ati tentang Islam secara konsisten berada dalam aras Islam progresif dan revolusioner. Corak Islam yang demikian itu
dihasilkan dari pemahaman bahwa dalam ajaran Islam, Tuhan telah menugaskan kepada manusia sebagai khalifah di bumi
116
. Khalifah haruslah dalam posisi pro- aktif memperjuangkan prinsip-prinsip keadilan, bukan pasra dengan nasib secara
take for granted. Bagi Syari’ati Islam merupakan agama yang dinamis dibanding agama lain.
Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata ”politik” berasal dari bahasa Yunani ”polis” kota, sebagai suatu unit administrasi yang
statis, tetapi pada kata Islamnya adalah ”siyasah”, yang secara harfiah berarti ” menjinakkan seekor kuda liar”, suatu proses yang mengandung makna perjuangan
yang kuat untuk mencapai kesempurnaan yang sempurna. Ini artinya ideologi Islam sebagai dasar dalam etika politik Ali Syari’ati mampu menggerakkan masyarakat ke
arah yang lebih baik, dan akhirnya menjadikan sebuah bangsa baldatun tayyibatun wal ghofururrohi.
115
Azyumardi Azra, Akar-Akar Ideologis…, h. 82
116
Khalîfah dalam hal ini adalah pemangku tugas pembaharu dan selalu memimpin dunia dengan keadilan dan kearifannya. Jika ditemukan dalam penggalan sejarah manusia-manusia serakah
yang aksinya menindas dan memperkosa hak-hak manusia lain, maka menjadi tugas khalîfah untuk menyingkirkan jenis manusia itu dari muka bumi.
64
BAB V PENUTUPAN