Konsep Kepemimpinan Politik Konsep etika politik dalam perspektif Ali Syari'ati

umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagai individu terhadap ketenangan dan kenyamanan. 92 Dalam tulisan yang lain Syariati mengatakan, ” pemimpin dalam pemikiran Syiah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat diatas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan”. 93 Tugas seorang pemimpin tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam satu aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir, atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada masyarakat dalam semua aspek kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang pemimpin tidak hanya terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi juga selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya. 94 Walau sedemikian tinggi makna karakteristik seorang pemimpin bagi Syariati namun ia mengingatkan bahwa pemimpin bukanlah supra-manusia tetapi hanya manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain dan manusia super. 95 Kalaupun demikian agung dan tinggi hakikat seorang pemimpin, kemudian bagaimana cara pemilihan pemimpin? Dalam menjawab Ali Syariati memulai dengan pertanyaan, ”bagaimana imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan, ataukah berdasar penunjukan dari Nabi Saw. atau imam sebelumnya?” kemudian ia menjawab secara teoritis, ” bahwa imam adalah suatu hak yang bersifat esensial 92 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 63 93 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 65 94 Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Bandung: Mizan, 1992, h. 65 95 Ali Syariati, on the sociology of islam h. 114 53 yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan”. ”Dia adalah seorang imam, tak perduli apakah ia muncul dari penjara al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keagungannya oleh tujuan atau delapan kelompok orang saja”. Bagi Syariati imam tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada. Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya sebagi imam. 96 Dalam teori politik Islam kita mengenal istilah Imamah dan Khilafah, dalam hal ini Ali Syariati mempunyai pengertian istilah tersebut. Baginya Imamah 97 yang diakui adalah pribadi tertentu sebagaimana halnya dengan nubuwah dan mempunyai tanggung jawab terbatas. sedangkan Khilafah yang dipilih merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaikan perbedaan di atas, Ali Syariati memaparkan bahwa imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujuan dengan keterbatasan, seperti setelah dikemukakan di atas dimana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam. 98 Dalam pandangan Syariati hubungan khilafah dengan Imamah yang ada pada suatu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik, dan 96 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 141-145 97 Ada dua makna imamah: imamah dalam arti jabatan dan imamah dalam arti sifat atribut. Pemisahan imamah dan khilafah dalam arti jabatan akan bermuara pada pemisahan negara dengan agama. Pemisahan khilafah dan imamah sifat atribut tidak bermuara ke sana. Dan yang terakhir ini yang disetujui Syariati. 98 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 156-158 54 sosial dengan penguasa, sebagaimana Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi imam sholat. Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. selain itu terjadi pereduksian peranan imamah dak khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit. Adapun yang dimaksud Syariati dengan pemisahan khilafah dan Imamah atributsifat di atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok lain memilih orang lain menjadi khilafah. Bagi Syariati imamah bukanlah jabatan tetapi atribut sifat. Bentuk seperti ini di mata Syariati adalah wajar, sedangkan pemisahan antara kedua tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan kehormatan Imam. Ini sesuai dengan posisi Muhammad sebagai seorang Rasul dan menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa Arab atau muslim Emperoro Islam. Dalam bangsa Barat kita mengenal kepemimpina Yesus dalam hal spiritual dan dilain pihak terdapat Kaisar yang memimpin politik. 99 Bagi Syariati, dalam ajaran Islam tidak mengenal pemisahan antara urusan negara atau politik dengan agama. Jika terjadi pada suatu masa adanya imam dan adanya khilafah maka hubungan yang terjadi adalah saling melengkapi dengan tanggung jawab masing-masing. Imam meskipun diam di rumah tidak berarti ke- imam-annya hilang, karena imam adalah atribut sifat dengan tanpa melewati pemilihan. dengan demikian tanggung jawab seorang imam meskipun tidak terpilih sebagai khilafah tetaplah ada. 99 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 161 55 Bagi Syariati inilah yang membedakan dengan konsep Barat yaitu pemisahan antara negara dan agama. Bagi Islam seorang imam adalah pemimpin spiritual sedangkan khilafah pemimpin politik. Jika kemudian imam terpilih sebagai pemimpin politik, maka bukanlah hal yang baru sepertihalnya Imam Ali dan Imam Hasan. Inilah yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekuler karena pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah atribut jabatan tersendiri.

C. Islam Sebagai dasar Etika Politik Islam Ali Syariati

Ali Syariati dikenal sebagai intelektual Iran yang cemerlang. Ia bukan saja bergelut pada tataran wacana, tapi juga terlibat pada tataran politik praktis, yaitu dengan turun menggerakkan revolusi Iran tahun 1979. Gerakan intelektual dan praktis Ali Syariati ini diarahkan demi terwujudnya Islam Sejati, yaitu Islam yang dihadirkan sebagai ideologi revolusioner, yang mampu membangkitkan idealitas- idealitas yang di transformasikan ke dalam sistem etika politik dan relasi sosial. 100 Untuk mengejawantahkan wacana etika politik Islam, Ali Syariati menggunakan empat pendekatan; yaitu sejarah Islam, studi dunia kontemporer dan kebutuhannya, teks-teks Islam, dan kepekaan terhadap elemen mistis dari agama. Sejarah Islam yang dimaksud adalah sejarah yang dipahami melalui teks Islam, bukan teks sejarah yang sesuai dengan ruang dan waktu. Misalnya dengan melihat cara Nabi Muhammad mempertahankan kebiasaan Arab pra-Islam yaitu, ziarah keagamaan tradisional di Makkah Ka’bah. Nabi mengubah kandungan dan isinya, jiwa, arahnya, serta aplikasi praktisnya dengan cara yang etis. Mendatangi Ka’bah 100 Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun. Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Mizan, 2000, h. 140 56 bukan dengan maksud mendatangi bangunan tua, melainkan mendatangi “rumah Allah” untuk beribadah. Dalam studi dunia kontemporer, Syariati tidak menolak mentah-mentah, melainkan menelaah secara mendalam sehingga menemukan bagian-bagian yang harus ditolak dan bagian yang bisa ditiru. Bagi Syariati bagian yang harus ditolak dari kemodernan adalah konsumerisme dan pencerabutan akan keautentikan Islam, sedangkan yang bisa diambil contoh dari moderinisme adalah spirit untuk berkarya dan berproduksi. Dalam hal ini Syariati mencontohkan ketika berhadapan dengan marxisme. Marxisme merupakan paham yang diproduksi oleh Karl marx, yang menginginkan terciptanya masyarakat yang sosialis, dimana antara kelompok borjuis dan proletar setara. Perhatian Syariati terhadap marxisme adalah karena kepekaannya pada realitas sosial, sejarah sebagai sumber kebenaran, analisisnya tentang kapitalis dan imprealisme, dan seruan kepada revolusi. Sedangkan yang ditolak olehnya adalah masalah kemanusiaan yang merupakan bentuk modus produksi material 101 Lebih lanjut Ali Syariati menekankan pentingnya menghidupkan ajaran Islam dan kembali kepada sumber yang asli. Realitas yang dihadapi pada era ini sangat kompleks dan terdapat percampuran antar ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam. Untuk itu perlu adanya tanggung jawab bagi umat islam untuk membersikan unsur-unsur luar yang melekat pada pola pikir keyakinan keagamaan yang diciptakan oleh kediktatoran, perbedaan kelas, dan interes politik dan kembali kepada akar islam yang asli. 102 101 Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, h. 139 102 Ali Syariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, h. 22 57