Aspek Hukum Dalam Perjanjian Leasing Ditinjau Dari Peraturan Menteri No.84/PMK.012/2006 Dan Kaitannya Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(1)

ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU

DARI PERATURAN MENTERI NO. 84/PMK. 012/2006 DAN

KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

JULI HARIANTO SILAEN NIM : 060200194

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU

DARI PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN

KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh

JULI HARIANTO SILAEN NIM : 060200194

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Nip : 196204211988031004 Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.s.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.

Nip : 195611101985031022 Nip : 131568378

Muhammad Siddik, S.H., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM


(3)

MEDAN 2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universrtas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah : “ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA”.

Skripsi ini berisikan tentang Leasing, dimana leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan, leasing sebagai suatu bentuk usaha di perekonomian Nasional. Usaha leasing dalam perwujudannya asalah membiayai penyediaan barang-barang modal, yang akan dipergunakan lessee untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan suatu perjanjian leasing.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :

1. Bapak. Prof.Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan dan juga sekaligus merupakan Dosen pembimbing I penulis, yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Tan. Kamello, S.H., M.S selaku ketua Departemen Hukum Keperdataan.

3. Bapak Muhammad Siddik S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(4)

4. Alm. Bapak. LH. Nainggolan, selaku Dosen Wali Penulis selama mengikuti masa perkuliahan.

5. Bapak dan Ibu Dosen serta para pegawai Fakultas Hukum Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penuls selama mengikuti perkuliahan.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus yang telah memberi penulis berkat dan kekuatan yang tak terhingga, sehingga penulis hingga saat ini masih dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Orang tua penulis yang tercinta, J.P. Silaen/ R.br. Nainggolan yang telah memberikan segenap kasih sayang, perhatian dan dukungan baik secara moril maupun materil kepada penulis.

3. Kakak dan abang serta adik dari penulis yang telah memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis, serta kepada kawan-kawan penulis yang juga telah mendukung penulis.

4. Buat yang paling special, rina uli yang telah memberikan semnagat dan inspirasi yang membuat penulis menjadi lebih bersemangat dalam mengerjakan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adana saran dan kritik yang bersfat membangun dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skipsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi semua pihak.

Medan, mei 2010 Penulis


(5)

NIM : 060200194

DAFTAR ISI

KATA PENGHANTAR ... i,ii DAFTAR ISI ... iii, iv, v

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Tinjauan Kepustakaan ... 6

E. Metode Penelitian... 10

F. Keaslian Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II PERUSAHAAN PEMBIAYAAN A. Pengertian Perusahaan Pembiayaan ... 14


(6)

C. Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan ... 17

D. Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan ... 20

E. Merger, Konsolidasi, dan akuisisi Perusahaan pembiayaan... 21

F. Pengertian dan Sejarah Berkembangnya leasing di Indonesia ... 23

G. Dasar Hukum Leasing dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Leasing ... 27

H. Jenis-Jenis Leasing ... 33

BAB III. PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian... 40

B. Unsur-Unsur Perjanjian ... 43

C. Asas-Asas Hukum Perjanjian ... 44

D. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian ... 48


(7)

BAB IV ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A. Perjanjian Leasing Dalam KUHPerdata dan

Perbedaannya dengan Perjanjian lainnya ... 56 1. Perjanjian Leasing Dalam KUHPerdata ... 56 2. Perbedaan Perjanjian Leasing dengan

Perjanjian Lainnya ... 57 B.Prosedur Pembuatan Perjanjian Leasing pada suatu

Perusahaan Pembiayaan serta Hak dan Kewajiban Para

Pihak dalam Perjanjian Leasing ... 62 1. Prosedur Pembuatan Perjanjian Leasing pada

suatu Perusahaan Pembiayaan ... 62 2. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam

Perjanjian Leasing ... 65 C. Isi dan Bentuk Perjanjian Leasing ... 68 D. Wanprestasi dalam Perjanjian Leasing dan

Penyelesaiannya ... 72

1. Faktor- Faktor Terjadinya Wanprestasi dalam

Perjanjian Leasing ... 73 2. Akibat Wanprestasi dalam Perjanjian Leasing ... 74


(8)

3. Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjinjian

Leasing ... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Juli Harianto Silaen*

Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum** Muhammad Siddik, S.H., M.Hum**

Kebutuhan akan dana bagi seseorang merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga konvensioanl yang namanya bank, ternyata tidak cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana nagi masayrakat. Kemudian dicarilah bentuk-bentuk penyandang dana untuk membantu penyaluran dana, salah satunya adalah Leasing. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan perjanjian Leasing dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan apa perbedaannya dengan perjanjian lainnya, bagaimana proses pelaksanaan perjanjian Leasing oleh sebuah perusahaan pembiayaan dan apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak, apa saja isi dan bagaimana bentuk perjanjian Leasing, serta faktor-faktor apa saja yang menyebabkan wanprestasi dalam sebuah perjanjian Leasing, apa yang menjadi akibatnya dan bagaimana penyelesaiannya.

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan dimana penulis mengumpulkan data berdasarkan sumber-sumber kepustakaan, pendapat sarjana, dan peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan bagi penulis.

Perjanjian Leasing merupakan jenis perjanjian yang berkembang dalam masyarakat modern atas kebutuhan dari masyarakat.. Perjanjian Leasing tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan juga memiliki berbagai perbedaan dengan perjanjian lainnya Dalam membuat sebuah perjanjian Leasing, perusahaan pembiayaan biasanya melakukannya dalam beberapa tahap. Dalam Leasing, tiap-tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Lessor mempunyai hak untuk menerima uang angsuran dan denda juka terjadi keterlambatan pembayaran angsuran. Sedangkan Lessee mempunyai hak untuk menerima dan memakai barang modal. Kewajiban dari Lessor adalah untuk menyediakan barang modal bagi Lessee, sedangkan kewajiban Lessee adalah membayar angsuran atas barang modal kepada Lessor. Juka terjadi wanprestasi, maka pihak Lessor selaku perusahaan pembiayaan akan memberikan peringatan tertulis kepada pihak Lessee sampai pada peringatan yang ke 3 (tiga). Jika Lessee tidak juga membayar kewajibannya, maka Lessor dapat menarik kembali barang modal tersebut. Wanprestasi yang terjadi dapat diselesaikan dengan 2 (dua) cara yaitu melalui perdamaian dan Over Credit.

Departemen Hukum Perdata

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kebutuhan akan dana bagi seseorang merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maupaun dalam hal berusaha di berbagai bidang bisnis.

Di lain pihak, banyak juga orang/kumpulan orang-orang/Lembaga/Badan Hukum yang justru kelebihan dana meskipun hanya bersifat momentum. Oleh karena itu, dana yang berlebihan tersebut perlu diinvestasikan dengan cara yang paling menguntungkan, baik secara ekonomis ataupun sosial. Akhirnya terciptalah suatu institusi, yang secara tradisional pihak yang kelebihan dana mensuplai dana langsung kepada pihak yang membutuhkan dana.

Dewasa ini, perkembangan sektor Hukum bisnis sangat cepat, hal ini membawa konsekuensi terhadap perlunya sektor Hukum di bidang ini ditelaah ulang, agar tetap up to date, sesuai dengan perkembangan masa. Dalam hal ini, jika yang mengatur perbankan dikenal dengan Hukum perbankan, atau yang mengatur perkreditan dikenal dengan Hukum perkreditan, tentunya yang mengatur bantuan finansial lewat lembaga pembiayaan dikenal juga dalam cabang Hukum bisnis yang namanya Hukum pembiayaan. Lembaga konvensional yang namanya bank, ternyata tidak cukup ampuh untuk menanggulangi berbagai keperluan dana dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena keterbatasan jangkauan penyebaran kredit oleh bank tersebut, keterbatasan sumber dana dan keharusan memberlakukan prinsip bernuansa kehati-hatian.

Kemudian dicarilah bentuk-bentuk penyandang dana untuk membantu pihak bisnsis ataupun diluar bisnis dalam rangka penyaluran dana. Sehingga terciptalah lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dari bank. Inilah yang dikenal sebagai Lembaga Pembiayaan, yang menawarkan model-model formulasi baru terhadap pemberian dana, salah satu diantaranya adalah Leasing .


(11)

Usaha Leasing mulai timbul di Indonesia sejak tahun 1974, yakni dengan adanya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122/MK/IV/1974, Nomor : 32/M/SK/ 2/1974, Nomor : 30/Kpb/74, tertanggal 7 Februari 1974, tentang Perizinan Usaha Leasing . Industri Leasing dalam pertumbuhan dan perkembangan dapat dibagi 2 ( dua ) tahap yaitu tahap I sampai dengan 1988, dan tahap selanjutnya setelah 1988 atau tahap setelah deregulasi Paket Desember 1988.1

Leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan. Di lain pihak, bank melakukan usahanya dalam pembiayaan juga. Sepintas bidang ini seolah-olah dilaksanakan oleh dua instansi yang berbeda. Di dalam kenyataanya memang pembiayaan yang dilakukan oleh usaha Leasing tidak sama dengan pembiayaan yang dilakukan oleh bank. Aktivitas Leasing dibandingkan dengan aktivitas perbankan sangat berbeda , walaupun sama-sama lembaga keuangan, di mana perbankan dapat melakukan penarikan dana langsung dari masyarakat,

Dalam tahap I sampai dengan 1988, Leasing dapat dikatakan sebagai industri yang masih balita sampai tahap remaja. Pertumbuhan pada masa ini masih dapat dikatakan merangkak dan jumlah perusahaan masih sedikit.

Tahap setelah deregulasi diawali dengan Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan yang diikuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan No.1251 tahun 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Dalam periode ini pemerintah mulai melakukan pembenahan, dimana pada waktu itu peraturan yang semula terdiri dari berbagai ragam dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan satu peraturan yang diharapkan bisa mencakup sebagian besar masalah yang perlu diatur.

Karena adanya deregulasi, jumlah perusahaan dan jumlah pembiayaan mengalami peningkatan yang cukup mencolok. Selain adanya faktor deregulasi tersebut, perkembangan usaha juga diakibatkan oleh perkembangan ekonomi yang sangat pesat.

1

Budi Rachmat, multi finance Handbook ( Leasing . Faktoring,Consumer Finance)


(12)

sedangkan Leasing tidak dapat melakukan penarikan dana langsung dari masyarakat. Khusus untuk metode pembiayaan, antara perbankan dengan Leasing hampir sama, tetapi yang membedakan adalah pendekatan dan kecepatan dalam pelayanan kepada masyarakat. Selain itu yang membedakan perbankan dengan Leasing adalah bank lebih berorientasi kepada jaminan atas pemberian kredit (collateral basis), sedangkan Leasing tidak berorientasi kepada jaminan, karena barang yang dibiayai merupakan objek pembiayaan (non collateral basis).

Leasing merupakan pranata Hukum yang kurang jelas, di satu pihak Leasing mirip dengan sewa-menyewa, tetapi di lain pihak, Leasing juga mengandug unsur jual-beli, bahkan unsur perjanjian pinjam-meminjam pun juga ada. Namun demikian, bangunan Hukum yang disebut Leasing , walaupun usianya masih terbilang muda, namun sudah cukup popular dalam dunia bisnis dewasa ini. Hampir seluruh bidang bisnis maupun non bisnis telah dimasuki oleh bisnis Leasing . Dan tidak terlalu mengherankan jika Leasing cepat sekali perkembangannya di Indonesia.

Leasing sebagai suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan, dianggap penting peranannya dalam peningkatan perekonomian Nasional. Usaha Leasing dalam perwujudannya adalah membiayaaai penyediaan barang-barang modal, yang akan dipergunakan oleh suatu perusahaaan atau perorangan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala, yang disertai hak pilih (opsi) bagi perusahaan atau perorangan tersebut untuk menbeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu Leasing .

Dana merupakan salah satu sarana penting dalam rangka pembiayaan. Kalangan perbankan selama ini diandalkan sebagai satu-satunya sumber dana dimaksud, sehingga keberadaan dana dianggap belum memadai. Dengan adanya usaha Leasing , diharapkan keperluan akan dana dapat diatasi. Disamping itu, kiranya kesulitan realisasi akan pemerataan kredit bank, terutama bagi pengusaha golongan rendah dapat diatasi dengan Leasing .

Kehadiran Leasing di Indonesia, ternyata juga telah menciptakan wahana baru untuk pengembangan investasi bagi dunia usaha, baik usaha kecil,


(13)

menengah, maupun usaha besar. Dengan adanya Leasing , pengusaha dapat melakukan perluasan produksi dan penambahan barang modal dengan cepat dan juga dapat dijadikan alternatif pendanaan melalui sale and back lease. Selaian itu pasaran barang-barang yang bersifat konsumtif dapat ikut terdorong oleh adanya pembiayaan melaui Leasing . Hal ini dimungkinkan, karena pengadaan yang bersifat konsumtif itu turut dibiayaai oleh Leasing , baik secara individual atau perluasan usaha serta masih belum jelasnya pengertian barang yang bersifat konsumtif.

Begitu pentingnya keberadaan Leasing dewasa ini membuat tumbuh suburnya Perusahaan Pembiayaan yang bergerak dalam bidang usaha Leasing . Selain keberadaan dana yang menjadi faktor penting dalam dunia usaha yang dapat teratasi oleh keberadaan Leasing , faktor komersial dimana Leasing menjanjiakan untung yang besar membuat perusahaan yang bergerak dibidang Leasing tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Oleh sebab itu pemerintah melalui menteri keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan NO 84/PMK.012/2006 yang mengatur tentang Perusahaan Pembiayaan.

Berdasarkan uraian diatas, adapun alasan penulis dalam penulisan skripsi berjudul ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA adalah untuk mengetahui bagaimana tata laksana pendirian sebuah Perusahaan Pembiayaan dan untuk mengetahui apa yang menjadi perbedaan Leasing dengan perjanjian lainnya yang diatur dalam KUHPerdata dan kedudukannya dalam KUHPerdata. Selain itu, tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian Leasing , serta untuk mengetahui faktor-faktor, akibat dan cara penyelesaian wanprestasi dalam suatu perjanjian Leasing . Wanprestasi disini dimaksudkan adalah bahwa dalam masa berjalannya kontrak perjanjian Leasing , salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak melakukan apa yang telah diperjanjikan, melakukan apa yang telah diperjanjikan tetapi terlambat atau melakukan sesuatu ynag menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.


(14)

B.Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan perjanjian Leasing dalam KUHPerdata dan apa perbedannya dengan perjanjian lainnya?

2. Bagaimanakah syarat-syarat dan prosedur pembuatan perjanjian Leasing dan Apakah yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian Leasing ?

3. Apakah yang menjadi faktor terjadinya wanprestasi dalam suatu perjanjian Leasing , serta bagaimanakah akibat dan cara penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian Leasing tersebut?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah, adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan perjanjian Leasing dalam KUHPerdata dan perbedaannya dengan perjanjian lainnya.

2. Untuk mengetahui syarat-syarat dan prosedur pembuatan perjanjian Leasing dan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perjanjian Leasing .

3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya wanprestasi dalam perjanjian Leasing , apa yang menjadi akibat dari wanprestasi dalam perjanjian Leasing , serta bagaimana penyelesaian wanprestasi dalam perjanjian Leasing tersebut.


(15)

2. Manfaat Penulisan

Secara umum manfaat penulisan ini dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yakni: a. Secara teoritis : Diharapkan agar penulisan skripsi ini bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan pada khususnya ilmu Hukum, yakni Hukum Perdata yang berkaitan dengan perjanjian Leasing .

b. Secara praktis : Diharapkan agar penulisan skripsi ini bermanfaat untuk kepentingan Bangsa dan Negara, khususnya kepada masyarakat yang melakukan perjanjian Leasing , sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang perjanjian Leasing .

D.Tinjauan Kepustakaan

Untuk tidak menimbulkan penafsiran yang salah terhadap judul skripsi ini, maka perlu diterangkan pengertian dari judul skripsi ini. Skripsi ini diberi judul “ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI

PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA.” Selanjutnya

akan diberi penegasan terhadap judul diatas.

Aspek adalah segi pandangan (terhadap suatu hal atau peristiwa dan sebagainya), pandangan terhadap bagaimana terjadinya peristiwa dari awal hingga akhir.2

Sedangkan, hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak; segala undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup di masyarakat.3

2

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1987, hal. 62

3


(16)

Menurut J.T.C Simorangkir dan Wierjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan yaitu dengan hukum tertentu.4

Secara umum Sewa Guna Usaha (Leasing ) merupakan suatu equipment funding, yaitu suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk peralatan atau barang modal pada perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi.

Istilah Leasing sebenarnya berasal dari bahasa Inggris yakni lease, yang berarti menyewa. Karena memang dasarnya Leasing adalah sewa-menyewa. Jadi Leasing merupakan suatu bentuk derivatif dari sewa-sewa-menyewa. Tetapi kemudian dalam dunia bisnis berkembanglah sewa-menyewa dalam bentuk khusus yang disebut Leasing , yang telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia Leasing sering diistilahkan dengan “Sewa Guna Usaha”.

5

Sementara itu, Equipment Leasing Association di London, memberikan definisi tetntang Leasing yaitu :6

1. Lessor, merupakan pihak yang memberikan pembiayaan dengan cara Leasing kepada pihak yang membutuhkannya. Dalam hal ini Lessor “Leasing adalah perjanjian antara Lessor dan Lessee untuk menyewa suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh Lessee. Hak pemilikan atas barang modal tersebut ada pada Lessor, adapaun Lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.”

Berdasarkan pengertian diatas, pada prinsipnya ada beberapa pihak yang terdapat dalam perjanjian Leasing . Yaitu :

4

C.S.T. Kansil,Pengahantar Hukum Indonesia dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1979, hal. 38

5

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.47.

6


(17)

biasanya merupakan Perusahaan Pembiayaan yang bersifat multi finance, tetapi dapat juga perusahaan yang khusus bergerak di bidang Leasing . 2. Lessee, merupakan pihak yang memerlukan barang modal. Dimana barang

modal dibiayai oleh Lessor dan diperuntukkan kepada Lessee.

3. Supplier, merupakan pihak yang menyediakan barang modal yang menjadi objek Leasing , dimana barang modal dibayar oleh Lessor kepada Supplier untuk kepentingan Lessee. Dapat juga Supplier ini penjual biasa. Tetapi ada juga Leasing yang tidak melibatkan Supplier, misalnya dalam bentuk Sale and Lease Back (disewagunausahakan kembali).

4. Asuransi, merupakan pihak dalam perjanjian Leasing yang akan memberikan ganti rugi apabila objek Leasing yang diperjanjikan menagalami resiko ( misalnya kebakaran). Dalam hal ini, pihak asuransi akan menerima premi dari pihak lessee sebagai pihak yang wajib mengasuransikan objek Leasing yang diperjanjikan.

Perjanjian berasal dari kata “janji” yang artinya adalah persetujuan antara dua pihak. Dari peristiwa ini ditimbulkan suatu perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau yang dituliskan.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain, atau dimana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.7

Menurut teori klasik, yang disebut perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.

Dalam KUHPerdata dituliskan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

8

7

Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif


(18)

Sementara menurut Salim, perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lainnya dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.9

Lessor adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Leasing dengan menyediakan berbagai macam barang modal.10

Perjanjian Leasing merupakan perjanjian tentang kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal, untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala yang disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan

Menurut Pasal I angka (9) Keppres No.61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan ditentukan, bahwa perusahaan sewa guna usaha (Leasing Company) adalah badan uasaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara Finance lease maupun Operating lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, Sewa Guna Usaha (Leasing ) merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

8

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, PT Liberty, Yogyakarta, 2003, hal.118

9

Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Inominaat di Indonesia, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 17.

10

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 274.


(19)

tersebut untuk membeli barang-barang modal tersebut atau memperpanjang jangka waktu Leasing berdasarkan kesepakatan bersama.

E.Metode Penelitian

Dalam setiap usaha penelitian haruslah menggunakan metode penelitian sesuai dengan bidang yang diteliti. Adapun penelitian yang digunakan oleh penulis dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tipe penelitian.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan masalah yang diangkat didalamnya, sehingga penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian Hukum Normatif11

2. Bahan Hukum

, yaitu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis dalam buku.

Dalam menyusun skripsi ini, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku, pendapat sarjana, dan kasus hukum yang terkait dengan skripsi ini.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus huku m dan lain-lain.

3. Tehnik pengumpulan data.

11

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif (suatu Tinjauan Singkat), PT Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13-14.


(20)

Dalam hal ini, tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur dengan sumber data berupa bahan hukum primer dan ataupun bahan hukum sekunder yang ada hubungannya dengan permasalahan yang ada dalam skripsi ini.

4. Analisis data

Penelitian yang dilakukan penulis termasuk kedalam tipe penelitian hukum normatif , dimana pengolahan data pada hakekatnya adalah merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang dibahas. Hal ini dilakukan dengan menganalisa pasal-pasal dan peraturan-peraturan yang berkaitan erat dengan aspek hukum perjanjian Leasing yang kemudian dianalisa secara induktif kualitatif.

F. Keaslian Penulisan.

Pada dasarnya, penulisan skripsi yang berjudul mengenai Perjanjian dan Leasing , telah banyak diangkat dan dibahas, namun, penulisan skripsi dengan judul ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA belum pernah ada yang membuatnya. Hal ini didasarkan pada penulusuran dan pemeriksaan penulis ke perpustakaan Fakultas Hukum USU.

Dengan demikian, skripsi ini berbeda dengan skripsi yang lainnya, dan keaslian penulisan skripsi ini terjamin adanya, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan skripsi ini semata-mata hanya sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan skripsi ini, yang memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan skripsi ini.


(21)

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini dibagi dalam suatu tahap yang disebut Bab. Dimana masing-masing bab diuraikan masalahnya sendiri. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagi berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai masalah mengenai hal-hal yang bersifat umum dari tulisan ini yang terdiri dari : Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, Sistematika Penulisan.

BAB II : PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

Pada bab ini diuraikan tentang Perusahaan Pembiayaan yang terdiri atas : Pengertian Perusahaan Pembiayaan, Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan , Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan, Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan, Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Perusahan Pembiayaaan. Juga dibahas dalam bab ini adalah sekilas tentang Perjanjian Leasing yaitu : Pengertian dan Sejarah Berkembangnya Leasing di Indonesia, Dasar Hukum Perjanjian Leasing dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Leasing , dam Jenis-Jenis Leasing .

BAB III : PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PERDATA

Pada bab ini diuraikan tentang perjanjian yang diatur ataupun yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bab ini terdiri atas : Pengertian Perjanjian, Unsur-unsur Perjanjian,


(22)

Asas-Asas Hukum Perjanjian, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, dan Jenis-Jenis Perjanjian Menurut KUHPerdata.

BAB IV : ASPEK HUKUM DALAM PERJANJIAN LEASING DITINJAU DARI PERATURAN MENTERI NO.84/PMK.012/2006 DAN KAITANNYA DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Bab ini merupakan bagian yang paling pokok dalam penulisan skripsi ini. Pada bab ini, penulis membahas tentang : Perjanjian Leasing Dalam KUHPerdata dan Perbedaannya Dengan Perjanjian Lainnya, Bagaimana Syarat-Syarat dan Prosedur Pelaksanaan Perjanjian Leasing, Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing, Wanprestasi dalam Perjanjian Leasing dan Penyelesaiannya.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup atau rangkuman yang berisikan penyimpulan dari seluruh bab sebelumnya yang menjadi salah suatu kesimpulan sekaligus juga memuat saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis terhadap permasalahan dalam skripsi ini.


(23)

BAB II

PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

A.Pengertian Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan merupakan badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang perekonomian ( keuangan, industri, dan perdagangan), yang dilakukan secara terus menerus atau teratur ( regelmatig ) terang-terangan ( openlijk ) , dan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/ atau laba. 12

1. Sewa Guna Usaha;

Dalam Pasal 1 huruf (b) UU Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dijelaskan bahwa perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Sedangkan, pengertian dari Perusahaan Pembiayaan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dalam pasal 1 huruf ( b) dikatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan.

Perusahaan Pembiayaan merupakan badan usaha yang melaksanakan kegiatan usaha dari lembaga pembiayaan. Selain Perusahaan Pembiayaan, bank dan lembaga keuangan bukan bank juga meruapakan badan hukum yang melaksanakan aktivitas dari lembaga pembiayaan yaitu :

2. Modal Ventura;

3. Perdagangan Surat Berharga; 4. Anjak Piutang;

5. Usaha Kartu Kredit; 6. Pembiayaan Konsumen.

12

Abdul R Saliman, SH, MM, dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh


(24)

B. Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Kegiatan Perusahaan Pembiayaan merupakan sebagian kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan. Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, disebutkan bahwa bentuk kegiatan usaha dari Perusahaan Pembiayaan antara lain :

1. Sewa Guna Usaha; 2. Anjak Piutang;

3. Usaha Kartu Kredit; dan/atau 4. Pembiayaan Konsumen. Ad.1 Sewa Guna Usaha.

Sewa Guna Usaha (Leasing) merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

Kegiatan Sewa Guna Usaha dilakukan dalam bentuk pengadaan barang modal bagi Penyewa Guna Usaha, baik dengan maupun tanpa hak opsi untuk membeli barang tersebut. Pengadaan barang modal dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang Penyewa Guna Usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali.

Sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing) masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahaan Pembiayaan.

Ad. 2 Anjak Piutang

Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.


(25)

Dalam pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, dijelaskan bahwa kegiatan anjak piutang dilakukan dalam bentuk piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.

Kegiatan anjak piutang tersebut, dapat dilakukan dalam bentuk anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without Recourse) dan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With Recourse).

Anjak piutang tanpa jaminan dari penjual piutang (Without recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana Perusahaan Pembiayaan menanggung seluruh resiko tidak tertagihnya Piutang. Sedangkan anjak piutang dengan jaminan dari penjual piutang (With recourse) adalah kegiatan anjak piutang dimana penjual piutang menanggung resiko tidak tertagihnya sebagian atau seluruh piutang yang dijual kepada Perusahaan Pembiayaan.

Ad. 3 Usaha Kartu Kredit

Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. Kegiatan usaha kartu kredit dilakukan dalam bentuk penerbitan kartu kredit yang dapat dimanfaatkan oleh pemegangnya untuk pembelian barang dan/atau jasa.

Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha kartu kredit, sepanjang berkaitan dengan sistem pembayaran wajib mengikuti ketentuan Bank Indonesia.

Ad. 4 Pembiayaan Konsumen

Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. Kegiatan Pembiayaan Konsumen dilakukan dalam bentuk penyediaan dana untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.


(26)

a. Pembiayaan kendaraan bermotor; b. Pembiayaan alat-alat rumah tangga; c. Pembiayaan barang-barang elektronik; d. Pembiayaan perumahan.

C. Tata Cara Pendirian Perusahaan Pembiayaan.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan pada pasal 1, dijelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan didirikan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi.

Perusahaan Pembiayaan dapat didirikan oleh:

1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau

2. Badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia (usaha patungan).

Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, wajib terlebih dahulu memperoleh Izin Usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan dari Menteri, dimana Perusahaan Pembiayaan tersebut harus mencantumkan dalam anggaran dasarnya kegiatan pembiayaan yang dilakukan secara jelas.

Adapun hal-hal yang perlu dilampirkan didalam format yang diajukan kepada Menteri untuk mendapatkan Izin Usaha untuk melakukan kegiatan usaha adalah sebagai berikut :

1. Akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama dan tempat kedudukan;

b. Kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan; c. Permodalan;

d. Kepemilikan;

e. Wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas;


(27)

2. Data direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas meliputi: a. Fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)

atau paspor;

b. Daftar riwayat hidup; c. Surat pernyataan:

1) Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;

2) Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan; 3) Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;

4) Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

5) Tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Pembiayaan lain bagi Direksi;

6) Tidak merangkap jabatan lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain bagi Komisaris;

d. Bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus;

e. Fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing;

3. Data pemegang saham atau anggota dalam hal:

a. Perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);

b. Badan hukum, wajib dilampiri dengan:

1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal;


(28)

2. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan terakhir;

3. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham dan direksi atau pengurus;

4. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;

5. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk deposito berjangka pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha;

6. Rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkan rencana dimaksud;

b. Proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi bulanan dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan melakukan kegiatan operasional;

7. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa: a. Daftar aktiva tetap dan inventaris;

b. Bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor; contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan; dan

c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

8. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi perusahaan patungan;

9. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).

Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh Izin Usaha wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Izin Usaha ditetapkan, yang mana laporan atas pelaksanaan kegiatan tersebut disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu yang telah ditentukan, Perusahaan Pembiayaan tidak melakukan kegiatan usaha, Menteri mencabut Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.


(29)

D. Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan 1. Kepemilikan Perusahaan Pembiayaan.

Perusahaan Pembiayaan, dapat didirikan oleh badan hukum ataupun koperasi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan badan usaha asing untuk menanamkan sahamnya di suatu Perusahaan Pembiayaan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dijelaskan bahwa badan usaha asing, dapat memiliki saham dalam suatu Perusahaan Pembiayaan setinggi-tingginya adalah 85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor.

Sedangkan bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 50 % (lima puluh perseratus) dari modal sendiri. Modal sendiri yang dimaksud disini adalah penjumlahan dari modal disetor, agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi dari Perusahaan Pembiayaan tersebut. Sementara untuk Perusahaan Pembiayaan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum koperasi, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. Dan yang pemegang sahamnya berbentuk badan hukum yayasan, modal sendiri yang dimaksud terdiri dari aktiva bersih terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer, dan aktiva bersih tidak terikat.

2. Kepengurusan Perusahaan Pembiayaan.

Pengurus suatu perusahaan pembiayaaan terdiri dari : a. Direksi;

b. Komisaris; c. Kepala cabang.

Setiap pengurus dari suatu Perusahaan Pembiayaan ( direksi, komisaris, dan kepala cabang ) sekurang-kurangnya memiliki persayaratan sebagai berikut :


(30)

a. Tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet di sektor perbankan;

b. Tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sector perbankan; c. Tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;

d. Setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);

e. Salah satu direksi atau pengurus harus berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan

f. Tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Direksi Perusahaan Pembiayaan wajib menetap di Indonesia dan dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai Direksi pada Perusahaan Pembiayaan lain, namun diperkenankan merangkap jabatan sebagai komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan lain. Sedangakan Komisaris Perusahaan Pembiayaan, diperkenankan merangkap jabatan menjadi komisaris sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan.

E. Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Perusahaan Pembiayaan.

Suatu perusahaan pembiayaaan dimungkinkan untuk melakukan Merger, Konsolidasi ataupun Akuisisi apabila dianggap perlu. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa Merger, Konsolidasi, ataupun Akuisisi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Merger adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Pembiayaan dan membubarkan Perusahaan Pembiayaan lainnya dengan atau tanpa likuidasi.


(31)

Sedangkan Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan atau lebih, dengan cara mendirikan Perusahaan Pembiayaan baru dan membubarkan Perusahaan-Perusahaan Pembiayaan tersebut dengan atau tanpa likuidasi.

Dan yang dimaksud dengan Akuisisi adalah pengambilalihan baik seluruh maupun sebagian besar saham Perusahaan Pembiayaan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perusahaan Pembiayaan.

Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi wajib dilaporkan kepada Menteri selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari setelah Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi dilakukan. Dalam pasl 21 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dikatakan bahwa laporan tersebut harus dilengkapi dengan :

a. Risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;

b. Perubahan anggaran dasar yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang dan didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;

c. Akta Merger atau akta Konsolidasi;

d. Data pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris atau anggota, pengurus, dan pengawas;

e. Status kantor Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau Konsolidasi.

Apabila laporan tersebut telah diterima oleh Menteri, maka menteri dapat mencabut Izin Usaha yang telah ditetapkan dan menetapkan status kantor pusat dan Kantor Cabang dari Perusahaan Pembiayaan yang menggabungkan diri atau memberi izin usaha kepada Perusahaan Pembiayaan hasil Konsolidasi serta mencatat perubahan pemegang saham. Izin usaha baru yang diperoleh oleh Perusahaan Pembiayaan yang melakukan Konsolidasi berlaku sejak Konsolidasi disetujui oleh instansi yang berwenang. Dan sebelum izin usaha tersebut diberikan, Perusahaan Pembiayaan hasil dari Konsolidasi tersebut telah dapat menjalankan kegiatan usahanya.


(32)

F. Pengertian dan Sejarah Berkembangnya Leasing di Indonesia

Sewa Guna Usaha adalah istilah yang dipakai dalam peraturan tentang Lembaga Pembiayaan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris Leasing dari kata dasar Lease, yang artinya sewa menyewa. Kemudian, dalam dunia bisnis Leasing berkembang sebagai bentuk sewa-menyewa, yaitu dalam bentuk pembiyaan perusahaan berupa penyedia barang modal yang digunakan untuk menjalankan usahanya dengan mebayar sewa selama jangka waktu tertentu.13

Berdasarkan defenisi tersebut konsep Leasing sebagai bentuk sewa-menyewa yang disebut Sewa Guna Usaha sudah lebih terarah dan jelas. Hal ini dinyatakan oleh unsur-unsur berikut :

Untuk mengetahui Leasing sebagai Sewa Guna Usaha, yaitu suatu bentuk dari sewa-menyewa, perlu ditelaah ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perizinan Usaha Leasing. Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74, teertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing dalam Pasal 1, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang modal yang bersangkutan, atau memperpanjang jangka waktu Leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.

14

1. Pembiayaan Perusahaan.

Pembiayaan tidak dalam bentuk dana, melainkan dalam bentuk barang modal yang digunakan untuk kegiatan usaha bisnis.

2. Penyediaan barang modal

Dalam hal ini, biasanya disediakan oleh Supplier atas biaya Lessor untuk digunakan oleh Lessee bagi keperluan bisnis.

13

Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum: Lembaga Keuangan dan

Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal.201.

14


(33)

3. Digunakan oleh suatu perusahaan.

Barang modal tersebut merupakan bentuk pembiayaan suatu perusahaan dalam menjalankan usahanya.

4. Pembayaran sewa secara berkala.

Yaitu merupakan kewajiban Lessee membayar angsuran harga barang modal kepada Lessor yang sudah melunasinya kepada Supplier.

5. Jangka waktu tertentu.

Yaitu berapa tahun Sewa Guna Usaha dilakukan, dan setelah jangka waktu berakhir, ditentukan status kepemilikan barang modal tersebut.

6. Hak opsi untuk membeli barang modal.

Pada saat kontrak berakhir, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang modal tersebut sesuai dengan harga yang disepakati, atau mengembalikannya kepada Lessor.

Menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha ( Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

Berdasarkan defenisi tersebut, terdapat hal-hal penting yang perlu digaris bawahi di dalam transaksi Sewa Guna Usaha, yaitu :15

1. Transaksi Sewa Guna Usaha dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Sewa Guna Usaha dengan hak opsi ( Finance Lease) dan Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease). Selain itu, kegiatan Sewa Guna Usaha dapat juga dilakukan dengan cara membeli barang modal milik penyewa guna usaha yang kemudian disewagunausahakan kembali ( Sale and Lease back);

2. Objek pembiayaan Sewa Guna Usaha harus berbentuk barang modal;

15


(34)

3. Pembayaran Sewa Guna Usaha dapat dilakukan secara bulanan, dua bulanan, tiga bulanan, berdasarkan kesepakatan antara Lessor dan Lessee; 4. Transaksi Sewa Guna Usaha mensyaratkan dibuat dalam jangka waktu

tertentu.

Eksistensi Leasing di Indonesia baru terjadi di awal dasawarsa tahun 1970-an, dan perkembangan sejarah bisnis Leasing di Indonesia sangat terkait secara erat dengan kebijaksanaan pemerintah.

Perkembangan Leasing dalam sejarah di Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam (3) tiga fase, sebagai berikut :16

1. Fase Pengenalan

Yaitu merupakan fase pertama dari bisnis Leasing di Indonesia, yang terjadi antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1983. Fase pertama ini dimulai dengan keluarnya beberapa peraturan pada tahun 1974, yang khusus mengatur tentang hukum Leasing tersebut. Dalam fase ini, Leasing belum begitu dikenal dalam masyarakat, dan perkembangannya tidak begitu pesat. Konsekuensinya, jumlah perusahaan Leasing pada waktu itu belum seberapa dan jumlah transaksinya juga masih relatif kecil.

2. Fase pengembangan

Yaitu merupakan fase kedua, yang terjadi antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990. Dalam fase ini, bisnis Leasing cukup pesat perkembangannya, hal ini bersamaan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis di Indonesia. Dimana perkembangan perusahaan dan jumlah besarnya kontrak Leasing mengalami peningkatan. Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi Leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode perhitungan penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini merupakan akibat berlakunya Undang-Undang Pajak tahun 1984,

16

Munir Fuadi, Hukum Tentang Pembiayaan (dalam teori dan praktek), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,hal. 14


(35)

sementara itu sistem peloporan pajak dalam periode ini masih menggunakan Operating method seperti fase sebelumnya.

3. Fase Konsolidasi

Yaitu merupakan fase ketiga, merupakan fase Konsolidasi dari fase perkembangan Leasing di Indonesia, yang terjadi sejak tahun 1991 sampai sekarang. Pada periode ini, izin-izin pendirian perusahaan Leasing yang sebelumnya agak diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan Multi Finance juga didirikan pada periode ini. Salah satu perubahan yang terjadi pada fase ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan Operating method berubah menjadi Financial method. Perubahan sistem perhitungan pajak ini mulai berlaku sejak 19 Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991.

Sungguhpun perkembangan bisnis Leasing sudah mulai terasa di Indonesia, banyak pihak yang mengatakan bahwa perkembangannya masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut, yaitu :17

1. Karena bisnis Leasing masih terbilang relatif baru; 2. Kurangnya promosi dan lemahnya aturan hukum;

3. Masyarakat masih lebih terfokus pada barang-barang primer, dan belum terhadap barang-barang lainnya;

4. Ada anggapan sementara pihak, bahwa beban yang dipikul oleh para pihak lebih besar dibandingkan dengan fasilitas perbankan;

5. Untuk Leasing barang-barang tertentu dibutuhkan jaminan, sehingga orang cenderung memilih sistem perbankan.

17


(36)

G. Dasar Hukum Leasing dan Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Leasing 1.Dasar Hukum Leasing

Pranata hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) baru mulai diatur secara khusus untuk pertama kalinya dalam perundang-undangan Negara Republik Indonesia pada tahun 1974. Beberapa peraturan di tahun 1974 tersebut merupakan tonggak sejarah perkembangan hukum Leasing di Indonesia, peraturan-peraturan tersebut adalah :18

a. Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74, tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing;

b. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor Kep.649/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing;

c. Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor Kep.650/MK/IV/5/1974, tanggal 6 Mei 1974 tentang Penegasan Ketentuan Pajak Penjualan dan Beasrnya Bea Materai Terhadap Usaha Leasing; d. Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor :

Peng-307/DJM/III.1/7/1974, tanggal 8 Juli 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing;

e. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no : SE-499/MD/1984 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penyampaian Laporan Perusahaan Leasing;

f. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia no. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan;

g. Surat Edaran Direktur Jenderal Moneter dalam Negeri no: SE-4835/MD/1983 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pendirian Kantor Cabang dan Kantor Perwakilan Perusahaan Leasing;

18


(37)

h. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);

i. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 834/KMK.013/1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).

Leasing sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi di bidang bisnis pembiayaan bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang-undangan. Perjanjian adalah sumber utama hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) dari segi perdata, sedangkan perundang-undangan adalah sumber utama hukum Sewa Guna Usaha (Leasing) dari segi publik.19

1. Segi Hukum Perdata

Dengan demikian dasar hukum Leasing dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu dari segi perdata dan dari segi publik.

Pada setiap kegiatan usaha pembiayaan, termasuk juga Leasing, inisiatif mengadakan hubungan kontraktual berasal dari pihak pihak-pihak yang berkepentingan, terutama Lessee. Dengan demikian, kehendak pihak-pihak tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis berupa rumusan perjanjian yang menetapkan kewajiban dan hak masing-masing pihak dalam hubungan hukum Leasing. Dalam perundang-undangan juga diatur mengenai kewajiban dan hak pihak-pihak dan hanya akan berlaku sepanjang pihak-pihak tidak menentukan lain secara khusus dalam perjanjian yang dibuat. Dengan demikian, ada 2 (dua) sumber hukum perdata yang mendasari Leasing, yaitu asas kebebasan berkontrak dan undang-undang bidang hukum perdata.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam perjanjian Leasing, perjanjian selalu dibuat tertulis sebagai dokumen hukum yang menjadi dasar kepastian hukum (legal certainly). Perjanjian Leasing dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak, memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban Lessor sebagai Perusahaan

19


(38)

Pembiayaan ( Finance Company) dan Lessee sebagai perusahaan atau perorangan yang dibiayai. Perjanjian Leasing dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak (Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata).

b. Undang-Undang Bidang Hukum Perdata 1). Perajanjian Sewa-Menyewa

Perjanjian Leasing tergolong ke dalam perjanjian sewa-menyewa karena objeknya adalah barang khusus berupa barang modal, yang juga termasuk menjadi objek sewa-menyewa.

Selain itu, kedua belah pihak juga berstatus khusus sebagai Perusahaan Pembiayaan (Lessor) dan perusahaan pengguna barang modal (Lessee), yang juga termasuk dalam pengertian pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.

Mengenai perjanjian sewa-menyewa ada diatur dalam Pasal 1548 sampai dengan Pasal 1580 Kitab Undang-Undang hukum Perdata, dengan demikan ketentuan pasal-pasal tersebut juga berlaku dalam perjanjian Leasing, kecuali jika dalam perjanjian diatur secara khusus menyimpang dari peraturan tersebut.

2). Segi Perdata di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Ada juga ketentuan-ketentuan dalam berbagai Undang-Undang di luar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatur aspek perdata Leasing. Undang-Undang yang dimaksud adalah sebagai berikut :20

a) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berlakunya Undang-Undang ini apabila perusahaan Leasing hukum berbentuk koperasi, sehingga di dalam pendirian dan kegiatan juga harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

20


(39)

b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila perusahaan Leasing berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT).

c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing mengadakan perjanjian meneganai hak-hak atas tanah serta pendaftarannya.

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Lessor melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen (Lessee).

2. Segi Hukum Publik.

Sebagai usaha yang berkiprah di bidang jasa pembiayaan, Leasing banyak menyangkut kepentingan publik, terutama yang bersifat administratif. Oleh karena itu, Leasing banyak diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan Administrasi Negara.

a. Undang-Undang Bidang Hukum Publik

Berbagai Undang-Undang bidang Administrasi Negara yang menjadi sumber utama Leasing adalah sebagi berikut :21

1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing berurusan dengan pendaftaran, pendaftaran ulang, dan pendaftaran likuidasi perusahaan.

2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Leasing berhubungan dengan bank.

21


(40)

3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1991 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Berlakunya Undang-Undang ini karena Leasing membayar Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan jenis pajak lainnya. 4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, dan

peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini karena Leasing wajib melakukan pembukuan perusahaan dan pemeliharaan dokumen perusahaan.

5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan peraturan pelaksanaanya. Berlakunya Undang-Undang ini apabila Lessor melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan Undang-Undang yang secara perdata merugikan konsumen (Lessee).

b. Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan

Pertaturan tentang Lembaga Pembiayaan mengatur Sewa Guna Usaha antara lain adalah :

1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Yang diantaranya memuat tentang kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan (pasal 2 – pasal 6), tata cara pendirian (pasal 7 – pasal 13), kepemilikan dan kepengurusan (pasal 14-pasal 20), Merger, Konsolidasi dan Akuisisi (pasal 21), sanksi (pasal 44).

2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Yang diantaranya memuat tentang prinsip mengenal nasabah (pasal 2- pasal 12), pelaksanaan dan fasilitas pendukung (pasal 13-pasal 16), sanksi (pasal 18).


(41)

2. Pihak-pihak dalam Perjanjian Leasing

Dalam setiap transaksi Leasing selalu melibatkan 3 (tiga) pihak utama, yaitu:22

a. Pihak Lessor

Pihak Lessor adalah perusahaan Leasing yang memiliki hak kepemilikan atas barang modal. Perusahaan Leasing menyediakan dana kepada pihak yang membutuhkan.

Dalam usaha pengadaan barang modal, biasanya perusahaan Leasing berhubungan langsung dengan pihak penjual (Supplier), dan telah melunasi barang modal tersebut.

Lessor bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan memperoleh keuntungan, atau memperoleh keuntungan dari penyediaan barang modal dan pemberian jasa pemeliharaan serta pengoperasian barang modal.

b. Pihak Lessee

Pihak Lessee adalah perusahaan atau pengguna barang modal yang dapat memiliki hak opsi pada akhir kontrak Leasing. Lessee yang memerlukan barang modal berhubungan langsung dengan Lessor, yang telah membiayai barang modal dan berstatus sebagai pemilik barang modal tersebut. Barang modal yang dibiayai oleh Lessor tersebut kemudian diserahkan penguasaannya kepada dan untuk digunakan oleh Lessee dalam menjalankan usahanya. Pada akhir kontrak Leasing, Lessee mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor, kecuali jika ada hak opsi untuk membeli barang modal dengan harga berdasarkan nilai sisa.

c. Pihak Supplier

22


(42)

c. Pihak Supplier

Pihak Supplier adalah penjual barang modal yang menjadi objek Leasing. Harga barang modal tersebut dibayar tunai oleh Lessor kepada Supplier untuk kepentingan Lessee.

Pihak Supplier dapat berstatus perusahaan produsen barang modal atau pihak penjual biasa. Ada juga jenis Leasing yang tidak melibatkan Supplier, melainkan hubungan bilateral antara pihak Lessor dengan pihak Lessee, misalnya dalam bentuk Sale and Lease back.

H. Jenis-Jenis Leasing

Pada prinsipnya ada dua macam jenis Leasing yaitu Leasing yang berbentuk Operating dan Leasing yang berbentuk Finance.23

Financial Leasing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Namun demikian, terdapat juga berbagi bentuk lainnya yang lebih merupakan derifatif dari kedua bentuk pokok tersebut

1.Financial Lease (Hak Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi)

Financial Lease sering disebut dengan Capital Lease atau Full-Payout Lease. Financial Lease merupakan suatu corak Leasing yang paling sering digunakan.

Dalam jenis ini, Lessor adalah pihak yang membiayai penyediaan barang modal. Lessee biasanya memilih barang modal yang dibutuhkan dan atas nama Lessor, sebagi pemilik barang modal tersebut, melakukan pemesanan, pemeriksaan serta pemeliharaan barang modal yang menjadi objek transaksi Leasing.

24

23

Munar Fuadi, op. cit, hal.16.

24


(43)

a. Objek Sewa Guna Usaha (Leasing) dapat berupa barang bergerak dan tidak bergerak, yang berumur maksimum sama dengan masa kegunaan ekonomis barang tersebut.

b. Besarnya harga sewa ditambah hak opsi harus menutup harga barang ditambah keuntungan yang diharapkan oleh Lessor.

c. Jumlah sewa yang dibayar secara angsuran per bulan terdiri dari biaya perolehan barang ditambah dengan biaya lain dan keuntungan yang diinginkan Lessor.

d. Jangka waktu berlakunya kontrak relatif lebih panjang, dan resiko biaya pemeliharaan dan biaya lain (kerusakan, pajak, asuransi) atas barang modal ditanggu ng oleh Lessee.

e. Pada akhir masa kontrak, Lessee diberi hak opsi untuk membeli barang modal sesuai nilai sisa, atau mengembalikannya kepada Lessor, atau perpanjangan masa kontrak dengan pembayaran yang lebih rendah dari sebelumnya.

f. Selama jangka waktu kontrak, Lessor tidak boleh secara sepihak mengakhiri kontrak Sewa Guna Usaha (Leasing) atau mengakhiri pemakaian barang modal tersebut.

2. Operating Lease (Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi)

Operating Lease disebut juga Service Lease. Dalam jenis ini, Lessor membeli barang modal dan selanjutnya disewagunausahakan kepada Lessee. Berbeda dengan Finance Lease, jumlah seluruh pembayaran Leasing berkala dalam Operating Lease tidak mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh barang modal tersebut berikut dengan bunganya. Perbedaan ini disebabkan karena Lessor mengharapkan keuntungan justru dari penjualan barang modal yang disewagunausahakan, atau melalui beberapa kontrak Sewa Guna Usaha lainnya.

Dalam Leasing jenis ini, dibutuhkan keahlian khusus dari Lessor untuk memelihara dan memasarkan kembali barang modal yang sudah disewagunausahakan kembali.


(44)

Ciri-ciri dari Operating Lease adalah sebagai berikut :25

a. Jangka waktu kontrak relatif lebih pendek dari umur ekonomis barang modal. Atas dasar perhitungan tersebut, Lessor dapat memetik keuntungan dari hasil penjualan setelah kontrak berakhir.

b. Barang modal yang menjadi objek Operating Lease, biasanya barang yang mudah dijual.

c. Jumlah sewa secara berkala (angsuran) yang dibayar oleh Lessee kepada Lessor lebih kecil daripada harga barang ditambah keuntungan yang diharapakan Lessor (non full payout)

d. Segala resiko ekonomi (kerusakan, pajak, asuransi, pemeliharaan) atas barang modal ditanggung oleh Lessor.

e. Kontrak Operating Lease dapat dibatalkan secara sepihak oleh Lessee dengan mengembalikan barang modal kepada Lessor.

f. Setelah kontrak berakhir, Lessee wajib mengembalikan barang modal tersebut kepada Lessor.

Bahwa selain kedua bentuk utama Leasing diatas, masih terdapat bentuk-bentuknya dari Leasing, antara lain sebagai berikut :26

3. Sale and Lease Back ( Jual dan Sewa Kembali)

Dalam bentuk transaksi ini, Lessee membeli terlebih dahulu barang modal atas namanya sendiri, kemudian barang modal tersebut dijual kepada Lessor dan selanjutnya oleh Lessee disewa kembali dari Lessor untuk digunakan kembali bagi keperluan usahanya daalam suatu bentuk kontrak Leasing. Biasanya bentuk Sale and Lease Back ini mengambil bentuk Financial Lease.

Sale and Lease Back mirip dengan hutang-piutang uang dengan jaminan barang, dan pembayaran barang tersebut dilakukan secara cicilan. Tujuan Lessee mengunakan bentuk ini untuk memperoleh dana tambahan modal kerja, yang tadinya ditanggulangi sendiri, lalu dialihkan melalui kontrak Leasing.

25

Ibid, hal.208.

26


(45)

Bentuk ini banyak digunakan di Indonesia akibat masalah kesulitan impor barang modal terutama mengenai perizinan, bea masuk, pajak impor, yang banyak memakan biaya.

4. Direct Finance Lease (Sewa Guna Usaha Langsung)

Dalam bentuk transaksi ini, Lessor membeli barang modal dan sekaligus menyewakannya kepada Lessee. Pembelian tersebut dilakukan atas permintaan Lessee dan Lessee pula yang menentukan spesifikasi barang modal, harga dan Suppliernya.

Dengan kata lain, Lessee berhubungan langsung dengan Supplier dan Lessor membiayai kebutuhan barang modal tersebut untuk kepentingan Lessee. Penyerahan barang langsung kepada Lessee tidak melalui Lessor, tetapi pembayaran harga secara angsuran langsung dilakukan kepada Lessor.

Jadi, tujuan Lessee adalah memperoleh barang modal untuk perusahaannya dengan pembiayaan secara Leasing dari Lessor.

5. Syndicated Lease (Sewa Guna Usaha Sindikasi)

Dalam bentuk transaksi, seorang Lessor tidak sanggup membiayai sendiri keperluanbarang modal yang dibutuhkan Lessee karena alasan tidak memiliki kemampuan pendanaan.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka beberapa Leasing Companies mengadakan kerja sama membiayai barang modal yang dibutuhkan Lessee. Dalam pelaksanaanya, salah satu Leasing Company bertindak sebagai Coordinator of Laesing Companies untuk menghadapi Lessee dan juga pihak Supplier.

6. Leveraged Lease

Leveraged Lease merupakan suatu jenis Financial Lease, dengan mana pihak yang memberikan pembiayaan di samping Lessor juga pihak ketiga.


(46)

Biasanya Leveraged Lease ini dilakukan terhadap barang-barang yang mempunyai nilai tinggi, dimana pihak Lessor hanya membiayai antara 20% sampai dengan 40% dari pembelian barang, sedangkan selebihnya akan dibiayai oleh pihak ketiga, yang merupakan hasil pinjaman Lessor dari pihak ketiga tersebut dengan memakai kontrak Leasing yang bersangkutan sebagai jaminan hutangnya. Pihak ketiga ini sering disebut dengan Credit Provider atau Debt Participant. Biasanya dengan Leveraged Lease ini terdapat juga seorang yang disebut manager. Yakni pihak yang melaksanakan tender kepada Lessee, dan mengatur hubungan dan negoisasi antara Lessor, Lessee dan Debt Participant. 7. Cross Border Lease

Cross Border Lease merupakan Leasing dengan mana pihak Lessor dan pihak Lessee berada dalam dua negara yang berbeda.

8. Net Lease

Ini merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee yang menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak dan asuransinya.

9. Net-net Lease

Ini juga merupakan bentuk Financial Leasing, dimana Lessee tidak hanya menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pemeliharaan barang dan membayar pajak saja, bahkan Lessee harus juga mengembalikan barang kepada Lessor dalam kondisi dan nilai seperti pada saat mulainya perjanjian Leasing. Sering juga dipakai istilah Non-Maintenance Lease baik untuk Net Lease maupun untuk Net-net Lease.

10. Full service Lease

Full service Lease disebut juga dengan Rental Lease atau Gross Lease. Maksudnya adalah Leasing dengan mana pihak Lessor bertanggungjawab atas pemeliharaan barang, membayar asuransi dan pajak.


(47)

11.Big Ticket Lease

Ini merupakan Leasing untuk barang-barang mahal, misalnya pesawat terbang dan dengan jangka waktu yang relatif lama, misalnya 10 tahun.

12. Captive Leasing

Yang dimaksud dengan Captive Leasing adalah Leasing yang ditawarkan oleh Lessor kepada langganan tertentu, yang telah terlebih dahulu ada hubungannya dengan Lessor. Dalam hal ini, biasanya yang menjadi barang objek Leasing adalah barang yang merupakan merek dari Lessor itu sendiri.

13. Third Party Leasing

Transaksi bentuk ini merupakan kebalikan dari Captive Leasing. Dalam trnasaksi ini, pihak Lessor bebas menawarkan Leasing kepada siapa saja. Jadi, Lessor tidak harus mempunyai hubungan terlebih dahulu dengan Lessee.

14. Wrap Lessee

Wrap Lease merupakan jenis Leasing, yang biasanya pihak Lessor tidak mau mengambil resiko, sehingga jangka waktunya lebih singkat dari biasanya. Tetapi tentunya ini akan memberatkan Lessee, karena ia akan membayar cicilan yang besar.

Oleh karena itu, pihak Lessor biasanya melease kembali barang tersebut kepada investor yang mau menanggung resiko, sehingga jangka waktu Leasing bagi Lessee menjadi lebih panjang, sehingga cicilannya menjadi relatif kecil. 15. Straight Payable Lease, Seasonal Lease dan Return on Invescment Lease

Pembagian kepada tiga jenis Leasing ini adalah jika dipergunakan kriteria “cara pembayaran” terhadap cicilan harga barang oleh Lessee kepada Lessor.

Yang dimaksud dengan Straight Payable Lease adalah Leasing yang cicilannya dibayar Lessee kepada Lessor tiap bulannya dengan jumlah cicilan yang selalu sama.


(48)

Sementara itu, yang dimaksud dengan Seasonal Lease adalah Leasing yang metode pembayaran cicilannya oleh Lessee kepada Lessor dilakukan setiap periode tertentu, miasalnya dibayar tiap tiga bulan sekali.

Sedangkan yang dimaksud dengan Return on Invescment Lease adalah suatu jenis Leasing dimana pembayaran cicilan oleh Lessee kepada Lessor hanya terhadap angsuran bunganya saja. Sementara hutang pokoknya baru dibayar setiap akhir tahun dari keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan Lessee.


(49)

BAB III

PERJANJIAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

A.Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian sering juga disebut dengan istilah kontrak, sebagai terjemahan agreement dalam bahasa Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda.27

Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.28

Dengan membuat perjanjian, pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih.

Hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya tindakan hukum. Tindakan/ perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

27

Ibid. hal. 9

28

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.2.


(50)

perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Dengan sifat sukarela, perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian. Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut.

Dalam suatu perjanjian terdapat dua pihak atau lebih yang terikat dengan perjanjian tersebut, pihak-pihak tersebutlah yang disebut sebagai subjek perjanjian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan 3 (tiga) golongan yang terikat dengan perjanjian, yaitu :29

1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

2. Para pihak ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya; 3. Pihak ketiga.

Dalam pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa :

“Pada umumnya tak seorang dapat mengikat diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”

Kemudian dalam pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa :

“Suatu perjanjian hanya berlaku antar pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”

Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri.

Selanjutnya dalam pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa :

29


(51)

“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”

Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pihak tidak mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang disebut janji guna pihak ketiga. Janji pada pihak ketiga merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak kepada mitranya agar melakukan prestasi kepada pihak ketiga.

Dalam pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa :

“Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa hal itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya.”

Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian, maka orang tersebut dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum yang terjadi pada ahli warisnya.

Prestasi adalah objek (voorwerp) dari perjanjian. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai apa-apa bagi hukum perjanjian. Dengan demikian, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai, dan mempunyai kekuatan yang mengikat, prestasi yang menjadi objek perjanjian harus tetentu dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan.


(1)

Adapun hak dari pada Lessor dalam suatu perjanjian Leasing adalah antara lain:

a. Menerima uang angsuran dari Lessee tepat pada waktunya sebagaimana yang ditentrukan dalam perjanjian Leasing;

b. Menerima denda dalam hal terjadi keterlambatan atas pembayaran angsuran yang dilakukan oleh Lessee;

c. Surat-surat kepemilikan atas barang modal disimpan oleh Lessor atas nama Lessee selama hutang Lessee kepada Lessor belum dilunasi.

Sedangkan yang menjadi hak Lessee dalam perjanjian Leasing adalah sebagai berikut :

a. Menerima barang modal dalam keadaan baik dari Lessor;

b. Apabila Lessee menemukan suata kerusakan pada barang modal pada saat menerimanya, maka Lessee berhak memberitahukannya kepada Lessor, serta menyebutkan secara terperinci segala kerusakan-kerusakan dan keluhan-keluhan yang terdapat pada barang modal tersebut dalam tanda terima.

Adapun yang menjadi kewajiban Lessor dalam perjanjian Leasing adalah : a. Menyediakan dana untuk membeli barang modal dari Supplier untuk

keperluan Lessee;

b. Menyerahakan barang modal kepada Lessee dalam keadaan baik, untuk digunakan Lessee dalam jangka waktu tertentu.

Adapun yang menjadi kewajiban dari Lessee dalam sebuah perjanjian

Leasing adalah sebagai berikut :

a. Membayar angsuran tepat pada waktunya kepada Lessor sebagaimana ditentukan dalam perjanjian dan tidak dapat menggunakan alasan apapun untuk menunda pembayaran;

b. Dalam hal Lessee melakukan keterlambatan pembayaran angsuran kepada


(2)

dimana besaranya denda yang dibebankan tergantung pada peraturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan selaku Lessor.

Dalam membuat sebuah perjanjian Leasing oleh perusahaan pembiayaan, biasanya akan melalui beberapa tahap yaitu tahap pertmohonan, tahap pengecekan ( Desk Research Checking) dan tahap pemeriksaan lapangan (Audit Checking), tahap pengajuan proposal dan persetujuan, tahap pemesanan barang modal, tahap pembayaran kepada Supplier, tahap penagihan (Monitoring) pembayaran, tahap pengambilan jaminan.

3. Dalam hal terjadi wanprestasi dalam sebuah perjanjian Leasing ( yang biasanya dilakukan oleh pihak Lessee), maka pihak Lessor akan memberikan peringatan tertulis kepada Lessee yang biasanya dikenal dangan Surat Peringatan (SP). Adapun banyak Surat Peringatan yang dilayangkan adalah sebanyak 3 (tiga) kali. Apabila Lessee tidak juga membayar kewajibannya, maka Lessor berhak untuk menarik barang modal dari tangan Lessee.

Dalam hal wanprestasi, ada 2 (dua) cara yang dapat dilaksanakan dalam hal penyelesaian wanprestasi yang dilakukan oleh pihak Lessee, yaitu : a. Perdamaian.

Perdamaian dalam perjanjian Leasingadalah perdamaian antara pihak

Lessor dengan pihak Lessee, dimana perdamaian tersebut dilakukan diluar

sidang. Pelaksanaan perdamaian tersebut tergantung dari kedua belah pihak agar sengketa tersebut tidak dilanjutkan kembali.

b. Over Credit

Over Credit adalah pengalihan beban utang Lessee pada pihak ketiga.

Diman pihak ketiga yang dimaksud adalah pihak yang dicari dan dipilih sendiri oleh Lessee dan memang mau untuk melanjutkan beban utang

Lessee tersebut. Over Credit terjadi karena Lessee tidak sanggup lagi


(3)

B.Saran

Sebagai akhir dari tulisan ini, ada beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai saran, yaitu :

1. Hendaknya dibuat suatu peraturan yang lebih lengkap dan efektif mengenai perjanjian Leasing, yakni membuat suatu Undang-Undang tentang Leasing. Hal ini mengingat bahwa pengaturan tentang Leasing yang berlaku salama ini dapat dikatakan masih sederhana, dan kurang relevan lagi dengan perkembangan Leasing sekarang ini. Atas dasar inilah penulis menyarankan kepada pemerintah untuk membuat Undang-Undang tentang Leasing, sehingga menciptakan kepastian hukum bagi industri

Leasing.

2. Perlunya mempublikasikan Leasing sebagai Lembaga Pembiayaan kepada masyarakat, agar Leasing diminati oleh masyarakat.

3. Perlunya diadakan pengawasan oleh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan pembiayaan di Indonesia, agar tidak menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada, guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, serta untuk melindungi hak-hak para pihak terutama Lessee sebagai pihak yang lemah dalam perjanjian Leasing.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Asyhadi, Zaeni, Hukum Bisnis : Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

R. Saliman, Abdul, dkk. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh

Kasus), Kencana Renada Media Group, Jakarta, 2005.

Badrulzaman, Mariam Darus, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005.

Fuady, Munir, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

________, Penghantar Hukum Bisnis : Menata Bisnis Modren di Era Global, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

_______, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

Kasmie, Bank dean Lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Khairandy, Ridwan, Penghantar Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, Yogyakarta, 2006.

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Penghantar, PT Liberty, Yogyakarta, 2003.


(5)

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Muhammad, Abdulkadir, dan Rilda Murniati, Segi Hukum; Lembaga Keuangan

dan Pembiayaan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan : Perikatan yang

Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Nasution, A.Z, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Penghantar), PT Diadit Media, Jakarta, 2002.

Racmat, Budi, Multi Finance Handbook (Leasing, Factoring, Consumer Finance)

Indonesian Perspective, PT Pradyana Paramita, Jakarta, 2004.

Salim HS, H, Hukum Kontrak, Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

_______, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

_______, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Sinaga, Budiman N.P.D., Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari

Perspektif Sekretaris, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis; Memahami Prinsip Keterbukaan

(Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada,


(6)

Sitompul, P. Josua, SH. Skripsi: Tanggung Jawab Lessor Dalam Perjanjian

Leasing, Medan, 2009.

PERATURAN PERUNDANG-UDANGAN

Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Bergelijke weetboek).

Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan, Nomor 84/ PMK. 012/ 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.

Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/ PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank.

Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan, Nomor 1169/KMK. 01/1991 tentnag Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).

Indonesia, Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : Kep-122/MK/IV/2/1974, Nomor : 32/M/SK/2/1974, Nomor : 30/Kpb/I/74/, tertanggal