“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat
oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.
Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan
hendak mempergunakannya”
Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pihak tidak mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga, kecuali dalam apa yang
disebut janji guna pihak ketiga. Janji pada pihak ketiga merupakan suatu penawaran yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak kepada
mitranya agar melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Dalam pasal 1318 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan
bahwa : “Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa hal
itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari
sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya.” Dari pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang membuat
perjanjian, maka orang tersebut dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Beralihnya hak
kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum yang terjadi pada ahli warisnya.
Prestasi adalah objek voorwerp dari perjanjian. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasarkan tindakan hukum sama sekali tidak
mempunyai apa-apa bagi hukum perjanjian. Dengan demikian, agar perjanjian itu memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai, dan mempunyai kekuatan yang
mengikat, prestasi yang menjadi objek perjanjian harus tetentu dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kepentingan dan nilai-nilai kesusilaan.
B. Unsur-Unsur Perjanjian
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum , dikenal adanya 3 tiga unsur dalam perjanjian, yaitu :
30
1. Unsur Esensialia;
2. Unsur Naturalia;
3. Unsur Aksidentalia.
Ad.1. Unsur Esensialia Unsur Esensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketetuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu pihak atau lebih, yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut, dan yang membedakannya secara
prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur Esensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, defenisi atau pengertian dari suatu
perjanjian. Unsur Esensialia adalah unsur yang wajib ada dalam suatu perjanjian,
bahwa tanpa keberadaan Unsur Esensialia, maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan
karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Unsur Esensialia ini pulalah yang menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan
perjanjian lainnya Ad.2. Unsur Naturalia
Unsur Naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu. Bagian ini merupakan sifat bawaan dari perjanjian, sehingga diam-diam
melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual.
31
30
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 84.
31
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit. hal. 75.
Ad. 3. Unsur Aksidentalia
Universitas Sumatera Utara
Unsur Aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para
pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.
Dengan demikian maka unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.
C. Asas-asas Hukum Perjanjian.
Dengan rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki para pihak dalam suatu perjanjian, terdapat berbagai asas, yang
merupakan patokan atau pedoman, serta menjadi batas dalam mengatur dan membentuk perjanjian, serta menjadi batas dalam mengatur dan membentuk
perjanjian yang dibuat. Adapun asas-asas yang dikenal dalam hukum perjanjian sebagai berikut :
32
1. Asas Kebebasan Berkontrak.
Dasar hukum asas kebebasan berkontrak terdapat pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni dalam rumusan angka 4, Yang berbunyi :
“untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1.
Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3.
Suatu hal tertentu; 4.
Suatu sebab yang halal.” Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu
kebebasan menentukan “apa” dan “dengan siapa” perjanjian itu diadakan. Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Dengan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak
yang membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja,
32
Ibid, hal. 66.
Universitas Sumatera Utara
selama dan sepanjang prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang.
2. Asas Konsensualisme
Asas Konsensualisme menentukan bahwa perjanjian yang dibuat antara dua belah pihak atau lebih telah mengikat kedua belah pihak tersebut berdasarkan
kesepakatan yang telah mereka buat, sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan kata lain, asas
konsensualisme ini merupakan asas kesepakatan. Segera setelah para pihak mencapai kesepakatan, meskipun kesepakatan dicapai secara lisan semata.
Ini berarti, pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak melahirkan formalitas. Walau
demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitor, maka diadakanlah bentuk formalitas atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tetentu.
Seperti halnya asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme juga diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni dalam rumusan
angak 1. Yang berbunyi : “untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.”
3. Asas Kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu, bahwa satu sama lain akan
memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak akan mungkin akan
diadakan oleh para pihak. Dengan kepercayaan ini, kedua belah pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan
mengikat sebagai undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
4. Asas Kekuatan Mengikat
Di dalam suatu perjanjian juga terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak terbatas pada apa yang
diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan, kepatutan serta moral. Demikianlah asas moral,
kepatutan serta kebiasaan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. 5.
Asas Persamaan Hukum Asas ini menempatkan para pihak suatu perjanjian di dalam suatu
kedudukan derajat yang sama, tidak ada perbedaan diantara kedua belah pihak, walaupun kedua belah pihak memiliki perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu
dengan yang lainnya. 6.
Asas Keseimbangan. Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prsetasi dan jika diperlukan
kreditur juga dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad
baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. 7.
Asas Kepastian Hukum. Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian hukum ini dapat dilihat dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.
Asas ini dikenal dengan Asas Pacta Sunt Servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi :
Universitas Sumatera Utara
“Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membutnya.”
Dengan rumusan tersebut, berarti setiap pihak, sebagi kreditor yang tidak memperoleh pelaksanaan kewajiban oleh debitor atau sebaliknya, pihak tersebut
dapat atau berhak melaksanakan pelaksanaannya dengan meminta bantuan pada pejabat Negara yang berwenang, yang akan memutuskan dan menentukan sampai
seberapa jauh prestasi yang telah gagal, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan, atau dilaksanakan tidak sesuai dengan yang diperjanjkan.
8. Asas Moral.
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi
dari pihak debitur. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan
moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya. 9.
Asas Kepatutan Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas
ini diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi :
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, di haruskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang- undang.”
10. Asas Kebiasaan
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Jika suatu waktu
terjadi perselisihan diantara para pihak, memang sudah semestinya hakim harus
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian. Jika tidak ada diatur dalam perjanjian maupun Undang-Undang, maka
hakim yang berwenang harus menyelidiki perselisihan tersebut melalui kebiasaan yang sering dipergunakan dalam praktek.
Dalam hal ini, kebiasaan masih mempunyai peranan yang penting dalam lalu lintas hukum, termasuk hukum perjanjian. Hal ini dapat dimengerti karena
Undang-Undang tidak mungkin meliputi segala hal yang terdapat dalam masyarakat ramai.
D. Syarat Sahnya suatu Perjanjian.