memperhatikan apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian. Jika tidak ada diatur dalam perjanjian maupun Undang-Undang, maka
hakim yang berwenang harus menyelidiki perselisihan tersebut melalui kebiasaan yang sering dipergunakan dalam praktek.
Dalam hal ini, kebiasaan masih mempunyai peranan yang penting dalam lalu lintas hukum, termasuk hukum perjanjian. Hal ini dapat dimengerti karena
Undang-Undang tidak mungkin meliputi segala hal yang terdapat dalam masyarakat ramai.
D. Syarat Sahnya suatu Perjanjian.
Tidak semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang sah dalam pandangan hukum. Untuk itu ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Menentukan sebagai berikut :
33
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3.
Suatu hal tertentu; 4.
Suatu sebab yang tidak terlarang.” Keempat unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke dalam :
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek pihak yang mengadakan
perjanjian unsur subjektif; b.
Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian unsur objektif.
a. Syarat Subjektif
33
Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Aanvullend Recht dalam Hukum Keperdataan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 286.
Universitas Sumatera Utara
Syarat subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan
perjanjian tersebut. Seperti yang disebutkan diatas, syarat subjektif sahnya suatu perjanjian
terdiri atas dua macam, yaitu : 1
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; Tidak terpenuhinya salah satu unsur yang termasuk syarat subjektif,
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Ad. 1. Kesepakatan
Dengan diberlakukannya kata sepakat menagadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak.para pihak
tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakannya.
Pada dasarnya, sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut akan
menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin
dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati para pihak. Persyaratan tersebut dikenal dengan istilah “ penawaran” offerte.
Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus menentukan apakah akan menerima atau menolak penawaran tersebut. Apabila
menerima penawaran tersebut, maka tercapailah kesepakatan. Sedangkan jika para pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menolak tidak menyetujui
Universitas Sumatera Utara
penawaran tersebut, maka ia dapat melakukan penawaran kembali, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat memenuhi atau yang sesuai dengan
kehendaknya yang dapat dilaksanakan olehnya. Dalam hal ini maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar-menawar ini akan berlanjut hingga akhirnya
kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan para pihak dalam perjanjian tersebut.
Sehubungan dengan hal itu, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa hal yang merupakan faktor yang dapat menimbulkan
cacat pada kesepakatan dalam suatu perjanjian. Hal itu terdapat dalam Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
“Tiada suatu yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Ad.2. Kecakapan Untuk Bertindak. Adanya kecakapan bertindak dalam hukum merupakan syarat subjektif
kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam
hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan sebaliknya,
seseorang yang berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Pada
dasarnya, yang paling penting adalah masalah kecakapan bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak untuk dan atas namanya sendiri, baru
dicari tahu apakah orang yang cakap bertindak hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.
Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan : “yang tak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-
undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu.”
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang yang telah dewasa adalah cakap menurut hukum. Mereka yang dikatakan dewasa adalah mereka yang telah mencapai umur genap 21 tahun
ataupun yang sudah menikah. Apabila perkawinan dibubarkan sebelum berumur genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa.
34
Menurut Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk Undang-Undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu
menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan berada di bawah
pengampuan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing-masing adalah orang tua dan pengampunya.
35
Seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Namun sejak tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di Indonesia, wanita yang telah bersuami diangkat
ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan Pengadilan, ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya.
Dengan demikian, maka sub ke-3 dari Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah tidak berlaku lagi.
36
b. Syarat Objektif
Syarat objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan, dan causa dari objek perjanjian yang berupa prestasi
yang disepakati untuk dilaksanakan haruslah sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum.
34
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.cit, hal.78.
35
Ibid.
36
Ibid, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang disebutkan diatas, syarat objektif sahnya suatu perjanjian terdiri dari dua macam, yaitu :
1 Suatu hal tertentu;
2 Suatu sebab yang tidak dilarang.
Tidak terpenuhinya salah satu unsur yang temasuk syarat obkektif, menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut batal demi hukum.
Ad. 1. Hal tertentu dalam perjanjian Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, artinya apa yang
diperjanjikan harus jelas, sekurang-kurangnya objek yang dimaksud dapat berupa barangbenda. Syarat ini adalah perlu untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban
dari para pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksud dalam perjanjian haruslah sudah ditentukan jenisnya.
Mengenai hal tertentu, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan rumusan, yakni dalam pasal 1333, yang berbunyi :
“Suatu pejanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu
tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
Rumusan tersebut menegaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perjanjian pasti melibatkan
keberadaan dari suatu kebenaran terttentu. Ad. 2. Tentang sebab yang tidak dilarang
Undang-Undang tidak memberikan pengertian mengenai “sebab”. Namun, menurut yurisprudensi yang ditafsir causa adalah isu atau maksud dari perjanjian,
dimana perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
Universitas Sumatera Utara
E. Jenis-Jenis Perjanjian.