pasien berada pada tingkat defisit sedang sebanyak 35,7 pasien dan tingkat normal sebanyak 35,7 pasien. Tingkat konsumsi pasien yang masih berada pada tingkat
defisit sedang dan normal karena pasien belum merasa bosan terhadap makanan yang disajikan rumah sakit. Pasien yang telah menjalani masa perawatan selama 5-10 hari,
tingkat konsumsi energi pasien berada pada tingkat defisit berat sebanyak 33,3 pasien dan 66,7 pasien berada pada tingkat defisit sedang. Pasien mulai tidak
menghabiskan makanan karena mulai merasa bosan dengan makanan yang disajikan rumah sakit.
4.3.2 Konsumsi Makanan Luar RS
Lebih dari separuh pasien selain mengonsumsi makanan dari rumah sakit juga mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit. Pasien mengonsumsi energi dari
makanan luar rumah sakit rata-rata sebesar 193,9 kal, protein sebesar 8,57 gr, dan lemak sebesar 4,71 gr. Konsumsi karbohidrat dari makanan luar rumah sakit sebesar
55,04 gr dan konsumsi natrium sebesar 231,6 mg. Tabel 4.12 Distribusi Pasien Berdasarkan Konsumsi Makanan Luar Rumah Sakit
Konsumsi Makanan Luar RS n
Ya 23
71,8 Tidak
9 28,2
Jumlah 32
100
Jenis makanan yang biasanya dikonsumsi pasien adalah buah-buahan, roti tawar, bubur ayam, lontong, ayam goreng, dan havermut. Pasien mengonsumsi
makanan luar rumah sakit dengan alasan merasa bosan dengan makanan rumah sakit, masih lapar dan ingin makan makanan kesukaan.
Universitas Sumatera Utara
4.4 Gambaran Tingkat Kecukupan Gizi Pasien Rawat Inap Penyakit Kardiovaskular RSUP H. Adam Malik Medan
Tingkat kecukupan zat gizi merupakan perbandingan antara total konsumsi zat gizi pasien dari makanan rumah sakit dan makanan luar rumah sakit dengan jumlah
zat gizi yang dibutuhkan pasien. Tingkat kecukupan zat gizi dikategorikan sebagai defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal dan lebih.
Tingkat kecukupan zat gizi pasien dibedakan untuk pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan biasa dan makanan lunak. Distribusi tingkat kecukupan
zat gizi pasien dapat dilihat pada tabel 4.13 dan 4.14. Tabel 4.13 Distribusi Tingkat Kecukupan Energi, Protein,Lemak, dan Natrium Pasien
dengan Konsistensi Makanan Biasa
Tingkat Kecukupan Energi
Protein Lemak
Natrium N
n n
n Defisit Tingkat Berat
3 14,3
1 4,8
3 14,3
13 61,9
Defisit Tingkat Sedang 3
14,3 2
9,5 5
23,8 2
9,5 Defisit Tingkat Ringan
4 19,0
3 14,3
2 19,5
2 9,5
Normal 8
38,1 9
42,9 8
38,1 3
14,3 Lebih
3 14,3
6 28,6
3 14,3
1 4,8
Total 21
100,0 21
100,0 21
100,0 21
100,0
Tingkat kecukupan energi pasien yang mendapatkan makanan biasa menunjukkan 38,1 pasien berada pada kategori normal, 14,3 pasien berada pada
kategori normal lebih, dan 47,3 pasien berada pada kategori defisit. Sebanyak 28,6 pasien berada pada kategori defisit untuk tingkat kecukupan protein, 42,9
pasien berada pada kategori normal dan 28,6 pasien berada pada kategori lebih. Sebanyak 57,6 pasien berada pada kategori defisit untuk tingkat kecukupan lemak,
38,1 pasien berada pada kategori normal dan 14,3 pasien berada pada kategori lebih. 14,3 pasien yang mendapat diet dengan konsistensi makanan biasa berada
Universitas Sumatera Utara
pada kategori normal untuk tingkat kecukupan natrium, 4,8 pasien berada pada kategori lebih dan 61,9 pasien berada pada kategori defisit.
Tabel 4.14 Distribusi Tingkat Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan Natrium Pasien dengan Konsistensi Makanan Lunak
Tingkat Kecukupan Energi
Protein Lemak
Natrium n
n n
n Defisit Tingkat Berat
4 36,4
1 9,1
2 18,2
7 63,6
Defisit Tingkat Sedang 4
36,4 0,0
2 18,2
2 18,2
Defisit Tingkat Ringan 1
9,1 2
18,2 2
18,2 0,0
Normal 2
18,2 6
54,5 4
36,4 1
9,1 Lebih
0,0 2
18,2 1
9,1 1
9,1 Total
11 100,0
11 100,0
11 100,0
11 100,0
Tabel 4.14 menunjukkan tingkat kecukupan energi pasien yang mendapatkan makanan lunak menunjukkan 18,2 pasien berada pada kategori normal dan 81,8
pasien berada pada kategori defisit. Sebanyak 27,3 pasien berada pada kategori defisit untuk tingkat kecukupan protein, 54,5 pasien berada pada kategori normal
dan 18,2 pasien berada pada kategori lebih. Sebanyak 54,6 pasien berada pada kategori defisit untuk tingkat kecukupan lemak, 36,4 pasien berada pada kategori
normal dan 9,1 pasien berada pada kategori lebih. 9,1 Pasien yang mendapat diet dengan konsistensi makanan lunak berada pada kategori normal dan lebih untuk
tingkat kecukupan natrium, dan 81,8 pasien berada pada kategori normal. Konsumsi makanan dari luar rumah sakit memberikan kontribusi yang cukup
besar pada tingkat kecukupan zat gizi. Contohnya konsumsi energi dari makanan luar rumah sakit memberikan kontribusi rata-rata sebesar 15,07 terhadap total konsumsi
energi harian pada pasien. Rata-rata kontribusi makanan luar rumah sakit terhadap total konsumsi harian dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.15 Rata-Rata Konstribusi Makanan Luar Rumah Sakit Terhadap Total Konsumsi Harian Pasien
Zat Gizi Makanan Rumah Sakit
Makanan Luar RS Energi kal
84,93 15,07
Protein gr 87,74
12,26 Lemak gr
91,77 8,23
Karbohidrat gr 80,80
19,20 Natrium mg
81,05 18,05
4.5 Gambaran Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Kardiovaskular Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP H. Adam Malik Medan
Daya terima pasien terhadap makanan rumah sakit adalah derajat kesukaan pasien terhadap beberapa atribut makanan antara lain yaitu variasi menu, bentuk
makanan dan kebersihan alat. Distribusi pasien berdasarkan daya terima terhadap makanan RS pada pasien yang mendapatkan makanan biasa dan makanan lunak
ditampilkan pada tabel 4.16 dan 4.17.
Tabel 4.16 Distribusi Pasien Berdasarkan Daya Terima Makanan Rumah Sakit Pada Pasien yang Mendapatkan Makanan Biasa
Daya Terima Tidak Suka
Biasa Suka
Total n
n n
n Variasi menu
2 9,5
10 47,6
9 42,9
21 100,0
Bentuk makanan
3 14,3
7 33,3
11 52,4
21 100,0
Kebersihan alat 0,0
1 4,8
2 95,2
21 100,0
Pada pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan biasa, sebanyak 42,9 pasien menyukai variasi menu yang disajikan, 47,6 pasien
menyebutkan bahwa variasi menu yang disajikan biasa saja dan 9,5 pasien tidak menyukai variasi menu. Lebih dari setengah pasien 52,4 menyukai bentuk
makanan yang disajikan, 33,3 pasien menyebutkan bahwa bentuk makanan yang disajikan biasa saja dan sisanya 14,3 pasien tidak menyukai bentuk makanan yang
disajikan. Hampir semua pasien 95,2 menyatakan alat makan yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
masuk dalam kategori bersih. Hanya 4,8 pasien yang menyatakan kebersihan alat makan masuk dalam kategori biasa saja.
Tabel 4.17 Distribusi Pasien Berdasarkan Daya Terima Makanan Rumah Sakit Pada Pasien yang Mendapatkan Makanan Lunak
Daya Terima Tidak Suka
Biasa Suka
Total n
n n
n Variasi menu
0,0 2
20,0 9
81,8 11
100,0 Bentuk
makanan 0,0
4 36,4
7 63,6
11 100,0
Kebersihan alat 0,0
0,0 11
100,0 11
100,0
Berdasarkan tabel 4.17, sebanyak 81,8 pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan lunak menyukai variasi menu yang disajikan, 18,2
pasien menyebutkan bahwa variasi menu yang disajikan biasa saja. Lebih dari setengah pasien 63,6 menyukai bentuk makanan yang disajikan, 36,4 pasien
menyebutkan bahwa bentuk makanan yang disajikan biasa saja. Semua pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan lunak menyatakan alat makan yang
digunakan masuk dalam kategori bersih.
Universitas Sumatera Utara
57
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Tingkat Konsumsi Zat Gizi Pasien Rawat Inap Penyakit Kardiovaskular RSUP H. Adam Malik Medan
Konsumsi makanan merupakan jumlah makanan yang dikonsumsi dengan tujuan untuk memperoleh zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Instalasi gizi rumah sakit
menyediakan makanan untuk dikonsumsi oleh pasien rawat inap sebagai salah satu upaya penunjang penyembuhan pasien melalui terapi gizi. Penyediaan makanan
didasarkan pada jenis diet dengan merujuk kondisi kesehatan pasien. Makanan yang disajikan harus memenuhi kebutuhan gizi pasien kerena makanan dapat berfungsi
sebagai salah satu bentuk terapi, penunjang pengobatan dan tindakan medis. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan konsumsi energi pasien berkisar
1335 kal hingga 2103 kalori dengan rata-rata sebesar 1762 kal pada pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan biasa dan 1301 kal hingga 1655 kalori dengan
rata-rata sebesar 1487 kal pada pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan lunak. Energi harus dikonsumsi dalam jumlah yang cukup agar sintesis protein dapat
berlangsung dan penggunaan asam amino untuk memenuhi kebutuhan energi dapat dicegah. Pada pasien kardiovaskular, konsumsi energi dalam jumlah yang cukup
untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Selain energi yang cukup, pasien penyakit kardiovaskular harus mengonsumsi
protein dalam jumlah yang cukup. Konsumsi protein pasien berkisar antara 32,2 gr hingga 87,7 gr dengan rata-rata konsumsi sebesar 63,7 gr pada pasien yang
mendapatkan diet konsistensi makanan biasa dan 39,7 gr hingga 69,8 gr dengan rata- rata konsumsi sebesar 55,4 gr pada pasien yang mendapatkan diet konsistensi
Universitas Sumatera Utara
makanan lunak. Konsumsi protein yang cukup diperlukan untuk memperbaiki kondisi malnutrisi atau mempertahankan status gizi pasien. Konsumsi protein pasien penyakit
kardiovaskular yang dianjurkan sebesar 0,8 grkg berat badan atau sebesar 15 dari total kebutuhan energi.
Konsumsi protein cukup dan konsumsi lemak dalam jumlah yang sedang baik untuk pasien penyakit kardiovaskular. Konsumsi lemak pasien berkisar antara 35,2 gr
hingga 57,4 gr dengan rata-rata sebesar 49,9 gr pada pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan biasa dan 39,6 gr hingga 57,2 gr dengan rata-rata konsumsi
sebesar 50,9 gr pada pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan lunak. Konsumsi lemak yang dianjurkan pada pasien penyakit kardiovaskular adalah
kurang dari 30 kebutuhan energi total, yang berasal dari konsumsi lemak tak jenuh sebesar 10-15 dan lemak jenuh sebesar 10. Konsumsi lemak jenuh yang
berlebihan bisa meningkatkan kadar kolesterol total dalam darah yang bisa memperberat penyakit kardiovaskular yang diderita oleh pasien.
Konsumsi lemak yang sedang dan pembatasan konsumsi natrium berlaku untuk pasien penyakit kardiovaskular. Konsumsi natrium pasien berkisar antara 554 mg
hingga 911 mg dengan rata-rata konsumsi sebesar 997 mg pada pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan biasa dan 553 mg hingga 832 mg
dengan rata-rata sebesar 731 mg pada pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan lunak. Konsumsi natrium pada pasien penyakit kardiovaskular
harus memenuhi syarat diet rendah garam. Konsumsi pasien telah sesuai dengan syarat diet rendah garam yaitu konsumsi natrium kurang dari 1200 mg perhari. Pola
konsumsi makanan pada pasien penyakit kardiovaskular sangat diperlukan, terutama
Universitas Sumatera Utara
konsumsi garam yang harus dikurangi hingga 2-3 gr perhari karena kelebihan asupan garam yang berlebihan dapat memicu pengerasan pembuluh nadi dan mendorong
tubuh untuk meretensi cairan sehingga akan memperberat kerja jantung. Konsumsi makanan dalam aspek gizi bertujuan untuk memperoleh sejumlah
zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Makanan yang disediakan rumah sakit ditentukan dengan memperhatikan beberapa faktor. Tidak hanya kebutuhan gizi tetapi
selera pasien juga dipertimbangkan agar dapat diterima dan dikonsumsi dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan gizi.
Diet yang sesuai untuk pasien penyakit kardiovaskular adalah diet jantung, diet dislipidemia dan diet stroke. Diet penyakit jantung bertujuan untuk mengurangi
beban kerja jantung, menurunkan berat badan bila pasien terlalu gemuk, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air, serta mengurangi risiko
penyumbatan pembuluh darah Kemenkes RI, 2011. Intervensi diet ini dimaksudkan untuk mencapai pola makan yang sehat. Dokter dan penata gizi rawat inap terpadu
menekankan kepada pasien bahwa tujuan diet ini bukan sementara, tetapi secara berangsur melakukan perubahan permanen pada perilaku makan.
Indikasi pemberian diet jantung tergantung pada kondisi penyakit kardiovaskular pasien. Diet Jantung I diberikan pada pasien jantung akut seperti
dekompensasio kordis berat. Diet yag diberikan berupa cairan selama 1-2 hari. Diet Jantung II diberikan dalam bentuk makanan saring atau makanan lunak. Jika pasien
disertai dengan hipertensi atau edema, maka diet ini disertai dengan diet rendah garam. Diet Jantung III diberikan kepada pasien dengan kondisi yang tidak terlalu
Universitas Sumatera Utara
berat. Diet Jantung IV diberikan dalam bentuk makanan biasa dan diberikan kepada pasien jantung dalam keadaan ringan.
RSUP H. Adam Malik tidak memberikan diet jantung ini kepada pasien penyakit kardiovaskular. Pasien hanya diberikan makanan seperti pada umumnya.
Pemberian makanan kepada pasien kardiovaskular hanya dibedakan atas makanan biasa dan makanan lunak. Hal ini terjadi karena diet penyakit jantung bukan
termasuk dalam makanan berdiet yang ditetapkan oleh instalasi gizi RSUP H. Adam Malik. Makanan berdiet yang ditetapkan adalah diet penyakit diabetes mellitus dan
diet penyakit ginjal. Selain penyediaan makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
pasien, konsumsi makanan pasien juga harus dapat memenuhi kebutuhan zat gizi baik dalam kuantitas maupun kualitas. Konsumsi makanan pasien bisa ditekankan pada
konsumsi energi dan protein karena terkait proses penyembuhan dan mempertahankan daya tahan tubuh serta meningkatkan status gizi pasien.
Konsumsi makanan pasien terhadap makanan yang disediakan rumah sakit dapat dilihat berdasarkan tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi menunjukkan seberapa
banyak makanan rumah sakit yang dikonsumsi oleh pasien. Tingkat konsumsi dibedakan atas 4 kategori yaitu defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit
tingkat ringan, dan normal Direktorat Bina Gizi Masyakarat, 1996 dalam Silviani, 2012.
Berdasarkan penelitian, tingkat konsumsi energi pasien cenderung defisit. Sebanyak 57,1 pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan biasa berada
pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat konsumsi energi sebesar 82,53 dari
Universitas Sumatera Utara
jumlah energi yang disediakan rumah sakit sebesar 2103 kal. Sebanyak 90,9 pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan lunak berada pada kategori defisit
dengan rata-rata tingkat konsumsi energi sebesar 81,52 dari jumlah energi yang disediakan rumah sakit sebesar 1836 kal. Perbedaan jumlah energi pada makanan
biasa dan makanan lunak terjadi karena adanya perbedaan dalam pengolahan beras mentah. Pada diet dengan konsistensi makanan biasa beras mentah dimasak menjadi
nasi, sedangkan pada makanan lunak beras mentah dimasak menjadi bubur nasi. Nilai konversi beras masak dari bubur ke nasi adalah sebesar 0,2. Berarti nilai energi dari
bubur hanya seperlima nilai energi nasi Hardinsyah, 1994 dalam Saga, 2011. Tingkat konsumsi energi pasien yang berada dalam kategori defisit terjadi
karena pasien tidak menghabiskan nasi atau bubur nasi yang diberikan. Pasien merasa perutnya begah setelah makan beberapa suap, merasa mual dan bahkan tidak selera
makan. Tingkat konsumsi energi pasien yang berada pada kategori defisit juga ditemukan pada pasien rawat inap penyakit hati di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta dan pasien rawat inap penyakit gagal ginjal kronis di RSUP Fatmawati Jakarta. Primardhani 2006 menyebutkan bahwa sebanyak 85,0 tingkat
konsumsi energi pasien berada pada kategori defisit dan Silviani 2012 menyebutkan bahwa 73,1 tingkat konsumsi energi pasien berada pada tingkat defisit. Tingkat
konsumsi energi pasien yang berada pada kategori defisit dikarenakan kondisi fisik pasien yang menurun dan konsumsi obat tertentu yang mempengaruhi nafsu makan
pasien. Kecenderungan tingkat konsumsi yang defisit juga ditemukan pada tingkat
konsumsi protein pasien. Sebanyak 57,1 pasien yang mendapatkan diet dengan
Universitas Sumatera Utara
konsistensi makanan biasa berada pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat konsumsi protein sebesar 78,9 dari jumlah protein yang disediakan rumah sakit
sebesar 80,4 gr. Sebanyak 63,6 pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan lunak berada pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat konsumsi protein sebesar
77 dari jumlah protein yang disediakan rumah sakit sebesar 72,1 gr. Tingkat konsumsi protein yang berada pada kategori defisit disebabkan karena
pasien tidak menghabiskan lauk yang diberikan. Padahal pihak rumah sakit telah memberikan lauk dari sumber nabati dan hewani untuk mencukupi kebutuhan protein
pasien dan menyeimbangkan konsumsi protein hewani dan nabati. Pasien tidak menghabiskan lauk yang diberikan dengan alasan tidak selera melihat lauk yang
diberikan, dan merasa mual. Tingkat konsumsi protein yang defisit juga ditemukan pada pasien rawat inap dibeberapa rumah sakit lain. Silviani 2012 menyebutkan
tingkat konsumsi protein pada pasien rawat inap penyakit gagal ginjal kronis RSUP Fatmawati Jakarta berada pada tingkat defisit sebesar 71,9. Tingkat konsumsi
energi dan protein yang berada dalam kategori defisit akan berdampak negatif terhadap proses penyembuhan karena energi dan protein merupakan kebutuhan
fisiologis pertama dan sangat penting karena menyediakan energi bagi yang sakit dan menyediakan enegi bagi masa penyembuhan Harper et all, 1986.
Hasil yang berbeda ditemukan pada pasien rawat inap penyakit kardiovaskular di RSUP Fatmawati Jakarta. Lydiawati 2008 menyebutkan bahwa tingkat konsumsi
protein pasien berada pada kategori normal sebesar 63,6. Tingkat konsumsi protein yang normal mengindikasikan bahwa pasien menghabiskan lauk yang diberikan oleh
pihak rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
Selain tingkat konsumsi energi dan protein yang cenderung defisit, tingkat konsumsi lemak pasien penyakit kardiovaskular RSUP H. Adam Malik juga
ditemukan cenderung defisit. Sebanyak 57,1 pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan biasa berada pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat
konsumsi lemak sebesar 85,5 dari jumlah protein yang disediakan rumah sakit sebesar 59,7 gr. Sebanyak 63,6 pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan
lunak berada pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat konsumsi lemak sebesar 84,4 dari jumlah lemak yang disediakan rumah sakit sebesar 61,0 gr.
Tingkat konsumsi lemak yang defisit mengindikasikan bahwa pasien tidak menghabiskan makanan yang mengandung lemak. Pasien penyakit kardiovaskular
memang harus membatasi konsumsi lemak, tetapi bukan berarti tidak mengonsumsi lemak sama sekali. Lemak juga merupakan salah satu zat gizi sumber energi, jika
sumber energi lain seperti karbohidrat tidak mencukupi maka tubuh akan mengubah lemak menjadi energi. Tingkat konsumsi energi pasien yang defisit akan mendorong
tubuh untuk menggunakan cadangan lemak sebagai sumber energi. Jika tingkat konsumsi lemak pasien juga berada pada kategori defisit, maka tubuh pasien akan
lemah tidak berenergi dan akan memperlambat proses penyembuhan dan memperlama masa perawatan di rumah sakit.
Tingkat konsumsi lemak yang berada pada kategori defisit juga ditemukan pada pasien yang menerima diet rendah daram di Rumah Sakit Royal Taruma Jakarta.
Saga 2011 menyebutkan tingkat konsumsi lemak pasien berada pada kategori defisit sebesar 30,8.
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungan tingkat konsumsi pasien yang defisit tidak berlaku pada tingkat konsumsi natrium pasien. Tingkat konsumsi natrium pasien berada pada
kategori normal sebesar 81 pada pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan biasa dengan rata-rata tingkat konsumsi natrium sebesar 94,7 dari jumlah
natrium yang disediakan rumah sakit sebesar 820 mg dan 72,7 pasien berada pada kategori normal dengan rata-rata tingkat konsumsi sebesar 93,2 dari jumlah natrium
yang disediakan rumah sakit sebesar 784 mg pada pasien yang menerima diet dengan konsistensi makanan biasa. Konsumsi natrium yang sesuai dengan ketentuan tidak
akan memperberat kerja jantung untuk memompa darah sehingga tidak memberikan tambahan beban penyakit kepada pasien dan akan mempercepat masa penyembuhan
serta mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit. Silviani 2012 menemukan hal yang berbeda pada pasien rawat inap penyakit
gagal ginjal kronis di RSUP Fatmawati Jakarta. Tingkat konsumsi natrium pasien berada pada kategori defisit sebesar 90,0 dengan rata-rata tingkat konsumsi sebesar
74,7. Tidak ada penjelasan yang lebih dalam mengapa tingkat konsumsi natrium pasien berada pada kategori defisit walaupun jumlah natrium yang disediakan rumah
sakit tergolong relatif kecil yaitu kurang dari 300mg. Tingkat konsumsi zat gizi yang masih defisit menunjukkan bahwa pasien
kurang mengkonsumsi makanan yang disediakan rumah sakit dengan baik. Pasien tidak mampu menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit dengan alasan
perut mereka terasa begah setelah makan beberapa suap, merasa mual, sedang tidak nafsu makan atau makanan tumah sakit tidak cocok dengan selera pasien. Defisit
konsumsi menyebabkan banyak makanan yang tersisa dan terbuang. Kondisi ini
Universitas Sumatera Utara
merugikan pihak rumah sakit dan pasien itu sendiri karena biaya penyelenggaraan makanan tergolong cukup besar.
Konsumsi pasien yang cenderung kurang dari diet yang ditetapkan rumah sakit dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi klinis. Malnurisi klinis dapat terjadi
disebabkan oleh penyakit pasien itu sendiri dan kondisi kurang gizi serta efek samping terapi atau pembedahan The Patient Association, 2011. Pasien yang berada
pada tingkat defisit, baik itu defisit ringan, sedang, ataupun berat diduga karena kondisi fisik yang menurun, faktor konsumsi obat-obatan tertentu dan pascaoperasi.
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan penurunan nafsu makan. Pasien tidak mampu menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit karena alasan mual,
tidak nafsu makan, dan tidak cocok dengan rasa makanan rumah sakit Hanss, 2006. Operasi juga memiliki efek samping terhadap asupan makan pasien. Pasien
pascaoperasi memiliki gejala kelelahan, kesakitan, dan kehilangan nafsu makan. Umumnya efek samping tersebut bersifat sementara dan akan menghilang beberapa
hari setelah operasi Peckenpaugh, 2010. Karbohidrat, lemak dan protein adalah zat gizi yang memberikan energi.
Kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial akan mengakibatkan timbulnya status gizi kurang. Bila keadaan ini terjadi pada pasien yang menjalani perawatan di rumah
sakit, maka akan memperlambat proses penyembuhan, memperpanjang hari perawatan di rumah sakit, bahkan pada tahap yang lebih lanjut dapat mengakibatkan
kematian. Dalam upaya pemenuhan zat gizi yang optimal pada pelaksanaan asuhan gizi
diperlukan keterlibatan dan kerjasama antar profesi yang terkait dalam tim asuhan
Universitas Sumatera Utara
gizi. Profesi yang terlibat antara lain adalah dokter, perawat, dan ahli gizi. Dokter bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan secara keseluruhan seperti menegakkan
diagnosis, memberikan penilaian akhir tentang status gizi pasien, menetapkan preskripsi diet, dan merujuk pasien ke ahli gizi untuk penyuluhan dan konsultasi gizi.
Ahli gizi merupakan orang yang mempunyai keahlian khusus tentang hubungan makanan, zat gizi, kesehatan dan penyakit. Ahli gizi atau penata gizi rawat inap
bertugas memimpin dan mengawasi penyelenggaraan makanan di ruang rawat inap terpadu, melaksanakan asuhan gizi, mengevaluasi diet pasien dan memberikan
konsultasi pada pasien dan keluarga pasien. Selain dokter, perawat dan ahli gizi, orang yang mempengaruhi pasien untuk
makan dan menghabiskan makanan yang disediakan rumah sakit adalah keluarga atau pandamping pasien. Pendamping pasien atau pasien sebaiknya perlu menyadari
pentingnya zat gizi pada saat penyembuhan rawat inap ataupun rawat jalan. Konsumsi pasien rawat inap bisa distimulasi dengan meningkatkan suasana sosial,
pelayanan yang baik dan memberikan pilihan menu.
5.2 Tingkat Kecukupan Zat Gizi Pasien Rawat Inap Penyakit Kardiovaskular RSUP H. Adam Malik Medan
Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat gizi. Kekurangan
taua kelebihan dalam jangka waktu yang lama akan berakibat butuk pada kesehatan. Selama sakit, kebutuhan energi dan zat gizi lain akan meningkat tergantung beratnya
penyakit yang diderita oleh pasien. Untuk menghitung apakah jumlah zat gizi yang dikonsumsi oleh pasien sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan harian atau tidak
Universitas Sumatera Utara
dapat dilihat melalui tingkat kecukupan zat gizi. Konsumsi energi, lemak, protein dan natrium pasien selama di rawat berasal dari makanan yang disediakan rumah sakit
dan makanan yang dikonsumsi pasien selain dari yang disajikan rumah sakit. Tingkat kecukupan zat gizi pasien merupakan perbandingan antara total
konsumsi zat gizi pasien sehari dengan jumlah zat gizi harian yang dibutuhkan pasien. Total konsumsi zat gizi yang dimaksud adalah jumlah penambahan konsumsi
zat gizi dari makanan rumah sakit dan konsumsi zat gizi dari makanan luar rumah sakit. Angka kecukupan zat gizi pasien didasari pada kebutuhan energi, protein,
lemak dan natrium. Zat gizi harian yang dibutuhkan pasien berpatokan pada AKG 2012. Karena AKG yang tersedia bukan menggambarkan AKG individu, maka untuk
mendapatkan nilai AKG individu dilakukan koreksi terhadap berat badan nyata pasien dengan berat badan standar pada AKG.
Tingkat kecukupan gizi pasien dibedakan menjadi lima kategori yaitu defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal dan lebih. Tingkat
kecukupan zat gizi dilihat dari total konsumsi sehari yang didapat dari makanan yang disediakan rumah sakit dan makanan yang didapat pasien dari selain yang disediakan
rumah sakit. Jika pasien hanya mengonsumsi dan menghabiskan makanan yang disediakan oleh rumah sakit saja, maka kecenderungan tingkat kecukupan pasien
akan berada pada kategori normal karena pemorsian makanan yang sesuai standar akan memungkinkan terjadi penyediaan makanan sesuai dengan kebutuhan zat gizi
pasien. Berdasarkan penelitian, tingkat kecukupan energi pasien cenderung defisit.
Sebanyak 47,6 pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan biasa berada
Universitas Sumatera Utara
pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat kecukupan energi sebesar 92,4 dari jumlah energi yang dibutuhkan pasien sebesar 2178 kal. Sebanyak 81,8 pasien yang
mendapatkan diet konsistensi makanan lunak berada pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat kecukupan energi sebesar 75,5 dari jumlah energi yang dibutuhkan
pasien sebesar 2336 kal. Angka kecukupan energi pasien didasari pada kebutuhan energi. Kebutuhan energi tiap orang merupakan konsumsi energi yang berasal dari
makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi. Penentuan kebutuhan energi didasarkan pada energi basal Basal Metabolic Rate-BMR ditambah sejumlah
energi yang diperlukan untuk efek tambahan metabolisme Thermic Effect of Food- TEF, kegiatan atau aktivitas fisik Thermic Effect of Exercise-TEE dan
pertumbuhan pada kelompok usia tertentu Napitupulu, 2012. Kebutuhan energi terbesar umumnya diperlukan untuk metabolisme basal
karena pengaruh berat badan dan luas permukaan tubuh. Pada kondisi sehat, aktivitas yang bervariasi antara laki-laki dan perempuan menyebabkan adanya perbedaan rata-
rata yang nyata dalam metabolisme basal laki-laki dan perempuan sehingga kebutuhan energi juga berbeda. Pada keadaan sakit, perbedaan kebutuhan energi
selain disebabkan oleh perbedaan fisik, jenis penyakit dan berat ringannya penyakit juga menyebabkan perbedaan kebutuhan energi Hardinsyah, 1989 dalam
Muthmainnah, 2003. Konsumsi energi yang kurang dari kecukupan atau berada pada kategori
defisit akan membuat pasien lelah dan tidak bertenaga sehingga dapat memperlambat proses penyembuhan dan memperlama masa perawatan di rumah sakit. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
konsumsi energi dari makanan yang memiliki indeks glikemik yang rendah akan menurunkan angka kematian akibat penyakit kardiovaskular Tarino et all, 2008.
Kecenderungan tingkat kecukupan energi yang defisit juga ditemukan pada pasien penyakit kardiovaskular yang dirawat di RSUP Fatmawati Jakarta. Lydiawati
2008 menyebutkan bahwa 43,3 pasien berada pada kategori defisit untuk tingkat kecukupan energi. Selain pada pasien penyakit kardiovaskular, tingkat kecukupan
energi yang defisit juga ditemukan pada pasien kanker yang dirawat di Rumah Sakit Dharmais Jakarta. Sugita 2012 menyebutkan bahwa 55 pasien berada pada
kategori defisit berat untuk tingkat kecukupan energi. Hal ini disebabkan karena pasien kanker sedang menjalani terapi kanker, dimana pengaruh dari terapi yang
dijalani secara umum menyebabkan penurunan nafsu makan, rasa mual dan muntah, dan perubahan indera pengecap.
Kecenderungan tingkat kecukupan yang defisit tidak berlaku pada tingkat kecukupan protein. Tingkat kecukupan protein pasien berada pada kategori normal
sebanyak 42,9 pasien yang menerima diet konsistensi makanan biasa dengan rata- rata tingkat kecukupan protein sebesar 112,2 dari jumlah protein yang dibutuhkan
pasien sebesar 62,3 gr dan 54,5 pasien yang menerima diet konsistensi makanan lunak dengan rata-rata tingkat kecukupan sebesar 101,1 dari jumlah kebutuhan
protein harian pasien sebesar 64,5 gr. Kecukupan protein pasien didasari pada kebutuhan protein. Penentuan kebutuhan protein didasarkan pada keseimbangan
nitrogen. Keseimbangan nitrogen merupakan perbandingan jumlah konsumsi nitrogen dari makanan dengan kehilangan nitrogen dari tubuh melalui urine, feses dan
permukaan tubuh. Kebutuhan protein untuk penderita penyakit kardiovaskular adalah
Universitas Sumatera Utara
sekitar 0,8 - 1,0 gkg BB atau sebesar 10-15 kebutuhan energi total Almatsier, 2005.
Tingkat kecukupan protein pasien yang berada pada kategori normal ini terjadi karena jumlah protein dari makanan yang disediakan rumah sakit dalam
jumlah yang sesuai dengan kebutuhan protein pasien. Konsumsi makanan tinggi protein akan menurunkan risiko penyakit jantung iskemik dan menurunkan kematian
akibat jantung koroner Tarino et all, 2008. Kecenderungan tingkat kecukupan protein yang normal juga ditemukan pada
pasien rawat inap penyakit kardiovaskular RSUP Fatmawati Jakarta. Lydiawati 2008 menyebutkan bahwa 46,7 pasien berada pada kategori normal untuk tingkat
kecukupan protein. Hasil yang berbeda ditemukan pada pasien penyakit kanker yang dirawat di Rumah Sakit Dharmais Jakarta. Sugita 2012 menyebutkan bahwa tingkat
kecukupan protein pasien berada pada kategori defisit berat sebesar 55. Hal ini disebabkan karena pasien kanker sedang menjalani terapi kanker, dimana pengaruh
dari terapi yang dijalani secara umum menyebabkan penurunan nafsu makan, rasa mual dan muntah, dan perubahan indera pengecap.
Kecenderungan tingkat kecukupan yang defisit juga ditemukan pada tingkat kecukupan lemak pasien. Sebanyak 47,6 pasien yang menerima diet konsistensi
makanan biasa dengan rata-rata tingkat kecukupan sebesar 92,2 dari jumlah kebutuhan lemak harian sebesar 61,2 gr dan 54,5 pasien yang mendapatkan
makanan lunak dengan rata-rata tingkat kecukupan sebesar 88,79 dari jumlah lemak yang dibutuhkan pasien sebesar 65,1 gr. Angka kecukupan lemak pasien didasari
pada kebutuhan lemak. Kebutuhan lemak tidak dinyatakan secara mutlak. American
Universitas Sumatera Utara
Health Association menganjurkan kebutuhan lemak kurang dari 30 kebutuhan energi total. Pembatasan kebutuhan lemak perhari berarti ada pembatasan konsumsi
lemak perhari. Pembatasan konsumsi lemak pada pasien penderita penyakit kardiovaskular dimaksudkan untuk mengurangi risiko penyakit kambuh kembali.
Tingkat kecukupan lemak yang defisit akan membuat pasien semakin lemah karena penggunaan karbohidrat sebagai sumber energi utama dan lemak sebagai sumber
energi cadangan juga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan energi harian pasien.
Sebagian pasien penyakit kardiovaskular merasa takut untuk mengonsumsi lemak dengan alasan takut akan memperparah penyakit yang mereka derita. Lemak
bukan harus dijauhi tetapi konsumsinya yang harus dibatasi. Pembatasan konsumsi lemak hingga kurang dari 30 total kebutuhan enegi dilakukan untuk mengurangi
asupan energi dari lemak karena lemak merupakan makanan yang tinggi kalori. Konsumsi makanan diet yang diperkaya dengan lemak tak jenuh ganda sangat baik
untuk kesehatan ketika digunakan untuk menggantikan lemak jenuh dan lemak trans. Konsumsi makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda akan
menurunkan insidensi panyakit jantung koroner dan konsumsi makanan yang mengandung asam lemak omega-3 dapat mencegah kematian akibat miokardium
infark Tarino et all, 2008. Selain tingkat kecukupan lemak yang defisit, tingkat kecukupan natrium
pasien juga berada pada kategori defisit. Sebanyak 80,9 pasien yang menerima diet konsistensi makanan biasa berada pada kategori defisit dengan rata-rata tingkat
kecukupan sebesar 69,2 dari jumlah kebutuhan natrium pasien sebesar 1327 mg dan
Universitas Sumatera Utara
81,8 pasien yang mendapatkan diet konsistensi makanan lunak berada pada ketgori defisit dengan rata-rata tingkat kecukupan ntrium sebesar 69,2 dari jumlah natrium
yang dibituhkan pasien sebesar 1449 mg. Angka kecukupan natrium pasien didasari pada kebutuhan natrium pasien dengan tujuan untuk tidak memperberat penyakit
pasien. Kebutuhan natrium pasien berkisar antara 1200-1500 mghari. Pola konsumsi makanan sehat pada penderita penyakit penyakit kardiovaskular sangat diperlukan
terutama konsumsi garam harus kurang dari 3grhari. Kelebihan konsumsi garam dapat memicu pengerasan pembuluh nadi serta mendorong tubuh untuk meretensi
cairan shingga dapat membebani kerja jantung Yekti, 2003 dalam Lydiawati, 2008. Tingkat kecukupan natrium pasien yang defisit hanya dilihat dari konsumsi natrium
dalam makanan dan bukan dari infus yang diberikan kepada pasien. Pada pasien penyakit kardiovaskular dengan hipertensi, diet rendah natrium
akan berperan penting dalam perkembangan tekanan darah. Pengurangan konsumsi natrium hingga 1,8 gr perhari dapat mengurangi tekanan darah sistol dan diastol
sebesar 4 dan 2 mmHg. Rata-rata konsumsi natrium pasien yang kurang dari 1200 mg perhari secara bermakna dapat mempertahankan tekanan darah yang normal.
Rata-rata tingkat kecukupan energi pasien adalah berada pada kategori defisit ,untuk tingkat konsumsi gizi total dengan jumlah yang dibutuhkan pasien, sebesar 80-
89. Rata-rata tingkat kecukupan protein pasien adalah berada pada kategori normal ,untuk tingkat konsumsi protein total dengan jumlah protein yang dibutuhkan pasien,
sebesar 90-110. Hal ini dikarenakan adanya konsumsi pasien yang baik terhadap makanan yang disajikan RSUP H. Adam Malik Medan, walaupun pasien menyisakan
Universitas Sumatera Utara
makanan, tetapi pasien mendapatkan kecukupan zat gizinya dari makanan luar rumah sakit yang mereka konsumsi.
5.3 Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Kardiovaskular Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP H. Adam Malik Medan
Daya terima terhadap makanan yang disajikan ditentukan oleh penilaian pasien terhadap makanan tersebut. Daya terima dipengaruhi oleh penampilan dan
bentuk makanan. Daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh ransangan dan indera. Faktor utama yang dinilai adalah warna, bentuk aroma, tekstur dan rasa.
Tetapi dalam penelitian ini hanya melihat daya terima dari segi bentuk makanan, variasi menu, dan kebersihan alat.
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 42,9 pasien yang mendapatkan diet dengan konsitensi makanan biasa menyukai variasi menu yang disajikan dan 81,8
pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan lunak menyukai variasi makanan yang disajikan. Sebanyak 52,4 pasien yang mendapatkan diet dengna
konsistensi makanan biasa menyukai bentuk makanan yang disajikan dan 63,6 pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan lunak menyukai bentuk
makanan yang disajikan. Hampir semua pasien yang mendapatkan diet dengan konsistensi makanan biasa maupun makanan lunak menyatakan alat makan yang
digunakan masuk dalam kategori bersih. Daya terima makanan secara umum juga dapat dilihat dari jumlah makanan
yang dikonsumsi. Daya terima makanan juga dapat dinilai dari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan makanan yang dikonsumsi. Beberapa faktor
yang mempengaruhi daya terima terhadap makana rumah sakit adalah faktor internal
Universitas Sumatera Utara
dan faktor eksternal Khumaidi, 1994 dalam Ratnasari, 2003. Faktor internal tersebut adalah kondisi dalam diri seseorang yang dapat mempengaruhi konsumsi
makanannya seperti nafsu makan, yang dipengaruhi kondisi fisik dan psikis, kebiasaan maka, pola makan,dan kebosanan yang muncul karena konsumsi makanan
yang kurang bervariasi. Kondisi fisik yang lemah dapat mempengaruhi kondisi psikis pasien sehingga selera makan berkurang. Kondisi fisik seperti mual dan ingin muntah
dapat mempengaruhi tingkat penerimaan pasien terhadap makanan yang diberikan. Kondisi fisik pasien yang lemah selain karena penyakit yang diderita, juga
dipengaruhi oleh jenis obat dan pengobatan yang dijalani Hartono, 2000. Kebosanan juga dapat disebabkan oleh tambahan makanan dari luar rumah sakit dan
dekat dengan waktu makan. Faktor eksternal adalah faktor luar individu yang mempengaruhi konsumsi makanan. Faktor tersebut adalah cita rasa makanan, bentuk
makanan, variasi menu, cara penyajian dan kebersihan alat makan. Kesukaan terhadap bentuk makanan dan kebersihan alat juga ditunjukkan oleh
pasien rawat inap penyakit hati Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Primardhani 2006 menyebutkan bahwa 96,7 pasien menyukai bentuk makanan
yang disajikan dan 96,6 pasien menyukai kebersihan alat makan yang digunakan. Namun hasil yang berbeda ditunjukkan oleh pasien rawat inap penyakit gagal ginjal
kronis RSUP Fatmawati Jakarta. Silviani 2012 menyatakan bahwa 70 pasien merasa bentuk makanan yang disajikan masuk dalam kategori biasa, 89,3 pasien
juga merasa variasi menu yang disajikan biasa saja dan 82 pasien menyatakan kebersihan alat makan yang digunakan masuk dalam kategori biasa.
Universitas Sumatera Utara
Porsi yang tepat, penampilan yang menarik, peralatan yang bersih dan waktu penyajian yang tepat akan meningkatkan penilaian terhadap makanan sehingga dapat
membangkitkan selera. Selera pasien juga bisa ditingkatkan dengan mengupayakan rasa yang enak, tetapi pada umumnya makanan rumah sakit tidak seenak makanan
biasa yang dikonsumsi pasien karena penggunaan bumbu sebagai penyedap makanan dibatasi.
5.4 Kontribusi Konsumsi Makanan Luar Rumah Sakit Terhadap Total Konsumsi Harian