Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik

55

BAB IV ISLAM DAN POLITIK MENURUT MUNAWIR SJADZALI

A. Konsepsi Munawir Sjadzali Tentang Hubungan Islam dan Politik

Ketika pertama sekali pada akhir -an, Munawir Sjadzali melontarkan isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup fundamental pada nas-nas syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke- Indonesiaan yang bersifat domestik. Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia nation state and character building, yang pluralistik dan anti diskriminasi berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD , tidak hanya dalam urusan waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama, antara muslim dan non muslim. UUD anti terhadap diskriminasi berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan sebaliknya. Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental, dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir Sjadzali. Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya. Sebagai Menteri Agama, Munawir telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. tahun tentang Peradilan Agama dan Inpres no. tahun tentang Kompilasi Hukum Islam. 1 Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern—artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana negara—seperti Islam—sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah. 2 Kunci utama dari pendukung 1 Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis ” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam ed., Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik Jakarta: INIS, , h. 2 Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara pembacaan syari’ah golongan Islam Liberal ini: The liberal syari’ah suatu model yang menganggap bahwa syari’ah itu sendiri berwatak liberal jika ditafsirkan secara tepat; The silent syari’ah Islam menjadi liberal karena syari’ah mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi watak liberalisme; dan tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”, yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam syari’ah dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan pluralistik. Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir, mengkaji gerakan Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya. Pertama , globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan solidaritas umat Islam Global. Kedua , Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang The interpreted syari’ah Islam menjadi liberal jika syari’ah ditafsirkan secara liberal, sebab pemaknaan syari’ah dikembalikan pada penafsiran manusia. Hermeneutika yang paling kontroversial dari tiga konsep tersebut ialah konsep interpretasi syari’ah, di mana menurut mereka syari’ah perlu ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah ada yang membuat kategori pembacaan syari’ah yang tajam seperti ini, yang bisa menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas hukum Islam yang mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan. Lihat Maksum Fuad, Hukum Islam Di Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris , Yogyakarta: LKIS, , h. berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama. Ketiga , “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan Jepang sedangkan yang berasal dari “inisiatif” rakyat seperti laskar di bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah. Keempat , adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi “ingatan“ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial masyarakat tertentu. Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis” yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia. Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik ternyata membawa implikasi negatif—jika tidak boleh dikatakan merugikan— masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara. Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok- kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara apriori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”, dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap menunggu. Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat langsung dalam organisasi-organisasi Islam, Munawir mengakui dapat sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. 3 Problematika hubungan Islam dan negara di tanah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan akhir tahun -an, masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya. Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu: Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara menyatu integral. Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara din wa dawlah. Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar 3 Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis ” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam ed., Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik Jakarta: INIS, , h. . “kedaulatan ilahi” devine sovereignity karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan. 4 Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik Syi’ah, untuk menyebut negara ad-dawlah diganti dengan istilah imamah kepemimpinan. Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan syari’ah. Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip- prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam din wa dawlah. Sumber hukum positipnya adalah sumber hukum agama. Selain kelompok Syi’ah, pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan al- Banna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Al- Maududi. 5 Kedua , Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat 4 Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam ” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. Vol.IV tahun , h. . 5 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara Jakarta: UI Press, , h. . Baca juga Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara Yogyakarta: LKiS, , h. . timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran al- Mawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sultaniyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara imamah merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia harasah al-din wa al-dunya. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. 6 Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali w. dalam karyanya Nasihat al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’adat dan al-Iqtisad fi al-I’tiqad. 7 6 Dien Syamsuddin, Usaha ., h. 7 Ibid., h. Ketiga , Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Islam wa Usul al- Hukm , Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa’ al-Rasyidin, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa: ”Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman”. 8 Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis 8 Dikutip dari M. Din Syamsuddin, Usaha…,h. . Penjelasan lain mengenai pemikiran Ali ‘Abd al-Raziq ini lihat pula Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis Chicago: Chicago of University Press, , h. - . buku “al-Khilafah au al-Imamah al-Uzma” dan “Yusr al-Islam wa Usul al- Tasyri’ al-Am” . Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna Nabda’” , karya al-Gazali “Min Huna Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Adalah al-Ijtimaiyyah” , Muhammad ‘Imarah “al-Islam Wa Usul al-Ahkam Li ‘Ali ‘Abd al-Raziq” , semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendapat mengenai Islam versus negara. 9 Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Thaha Husein. 10 Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam” 11 Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran integralistik dan sekularistik, kiranya bertanggung jawab terhadap 9 Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. tahun , h. . 10 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara Jakarta: UI Press, , h. . Informasi lebih lanjut tentang pemikiran dan kritik atas ide Husein ini dapat dibaca pada Syahrin Harahap, Al- Qur’an dan Sekularisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein Yogyakarta: Tiara Wacana, . 11 Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society January , h. - . Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik. 12 Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang- bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam. 13 Pandangan Munawir ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD adalah termasuk Dar al-Islam yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah di dalam QS. An-Nisa : 12 Munawir Sjadzali, Islam dan . , h. - . 13 Munawir Sjadzali, Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa. Jakarta: UI Press , h. - . pκ‰r‾≈tƒ t θΨtΒu θè‹Ûr © θè‹Ûruρ tΑ虍9 ’ρuρ ÷ F{ Ο3ΖΒ βsù Λãt“≈uΖs? ’û x« νρŠsù ’n « Α虍9uρ β ΛΨ. tβθΖΒσ? « Θθu‹9uρ zFψ y79≡sŒ Žyz |¡mruρ ξƒρs? ء ـ ـ أ ٤ : ٥٩ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya, akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebar luaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam. 14 Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim 14 Panitia Penyusunan Biografi KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim Hussein dan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Putra Harapan, , h - . Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan. 15 Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH. Sahal Mahfud Mantan Rois Am NU. Sahal berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan. Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial. 16 Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen 15 Ibid ., h. . 16 Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta: LKIS, , h. - . lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan. 17 Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik. 18 Disaat umat Islam dengan semangat kepartaiannya tidak dapat hadir lagi di panggung politik nasional, serta semakin membaiknya hubungan Islam dan Orde Baru saat itu, ternyata banyak lahir sejumlah kebijakan politik pemerintah yang mengakomodasi aspirasi umat Islam. Antara lain kebijakan mengenai Undang-Undang Pendidikan Nasional , Undang-Undang Peradilan Agama , dukungan terhadap berdirinya wadah Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia , Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang Efektiifitas Pengumpulan Zakat , dan 17 Ibid., h. . Nampaknya pandangan Sahal tentang Islam dan negara Pancasila ini sejalan pemikiran yang sudah lama berkembang dalam NU yang notabene menjadi tempat berkiprahnya Sahal. Bagi NU, negara Pancasila merupakan bentuk final bangsa Indonesia yang pluralaristik ini. Informasi lebih lanjut bagaimana proses penerimaan Nu terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, baca Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana Yogyakarta: LKiS, , h. - . 18 Ibid. h. surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah PK tentang diizinkannya Pemakaian Jilbab bagi Pelajar Putri. 19 Hal ini merupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali saat beliau menjadi Menteri Agama RI. Kiranya apresiasi “politik” semacam itulah yang yang diinginkan oleh Munawir Sjadzali yang dalam berbagai kesempatan menegaskan ”Tanpa partai poltik Islam, kepentingan umat Islam justru lebih berhasil diperjuangkan.” 20

B. Analisa Pemikiran Munawir Sjadzali Tentang Bentuk dan Sistem