16
BAB II ISLAM POLITIK DAN PROSES ADAPTASI DI INDONESIA
A. Pengetian Islam Politik
Pengertian Islam politik, menurut M. Rusli Karim dengan mengutip pendapat dari Syamsuddin
1
bahwa yang dimaksud dengan Islam Politik adalah sebuah pencerminan dari ajaran Islam mengenai hubungan manusia dengan
kekuasaan yang yang diilhami oleh adanya petunjuk dari tuhan, yang tentunya disini telah tercampuri dengan adanya kepentingan manusia.
Dengan kata lain, bahwa antara agama, syariah dengan negara menurut paham ini bisa dikatakan nyaris tidak boleh dipisahkan. Bahkan seorang seperti
Imam Syafi’i-pun mengatakan, “…tidak ada politik kecuali ia sesuai syara’— undang-undang Islam”.
2
Tentu saja pandangan serta pemahaman tentang Islam politik dari banyak pakar Islam banyak yang berbeda, akan tetapi penulis pikir
pada intinya sama. Yaitu, mencoba untuk menghubungkan antara kekuasaan negara dengan agama.
Intisari dari al-Qur’an sendiri setidaknya ada dua ajaran yang terkandung didalamnya yaitu, Akidah dan Syari’ah. Yang antara keduanya berhubungan.
1
M. Rusli Karim dalam Bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan bagi Keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era
-an sd -an
. Yogyakarta: Tiara Wacana, , h.
2
Shafi L. Dalam, Al-Aqidah wal Siyasah. harndon: The International Institut of Islamic Thought,
, h.
Artinya, tidak ada akidah kalau tidak ada syariah, begitupun sebaliknya. Dari pemaham syariah disini, banyak para pemikir Islam pada akhirnya memperoleh
satu instrumen yang melatar belakangi kenapa misalkan antara kekuasaan yang ada di dunia harus tidak boleh terpisahkan.
3
Demikianlah kira-kira secara umum apa yang dimaksud dengan pengertian Islam Politik itu.
B. Islam Politik di Indonesia
Indonesia sebagai mana menurut Ahmad Syafii Ma’arif
4
dikenal sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekitar
persen rakyat Indonesia beragama Islam
5
, namun walupun agama ini tidak resmi menjadi agama negara seperti yang terjadi di negara Malaysia. Namun terlepas dari
kurangnya sofistikasi intelektual sebagian besar rakyat dalam memahami ajaran Islam. Baik karena faktor sejarah maupun kultural. Islam di Indonesia adalah
suatu agama yang hidup dan begitu vital, yang kini sedang terlibat dalam proses transformasi dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.
3
Menurut Musa, M.Y. dalam bukunya, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, Khairah: Dar al-Katib al-Arabi Littaba’ah wa al-Nasyr,
. Sebagai mana yang dikutib oleh M. Rusli karim dalam bukunya, Negara dan Peminggiran Islam Politik; Suatu kajian mengenai Implikasi kebijakan
pembangunan bagi keberadaan “Islam Politik” di Indonesia Era -an sam
-an . Mengatakan,
bahwa akidah-lah yang menghubungkan antara seorang hamba dengan tuhannya. Ia tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan syari’at juga menghubungkan manusia dengan
tuhannya. Yang biasa di sebut dengan Ibadah. Hubungan antara sesama manusia di sebut Mu’amalah, sedangkan hubungannya antara yang di perintah dengan yang memerintah disebut dengan Siyasah.
4
Ahmad Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan
, Jakarta; LP ES, , h.
5
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern -
, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, , h.
Dengan kata lain, Islam di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang telah rampung, namun merupakan suatu proses yang akan terus berjalan.
Berikut penulis akan menjelaskan secara singkat bagaimana sesungguhnya Islam Politik dalam sejarahnya di Indonesia, di mulai dari zaman Kolonial
sampai zaman Reformasi. .
Zaman Kolonial
Bahtiar Effendy
6
pernah mengatakan bahwa sebenarnya sejarah politik Islam Indonesia modern merupakan salah satu khasanah perbandingan yang
cukup lumayan untuk di perbandingkan dengan pemikiran-pemikiran politik keIslaman yang pernah dikembangkan dikawasan Timur Tengah atau dunia
Islam lainya. Sepanjang sejarahnya yang telah berumur kira-kira setengah abad lamanya
tersebut, pemikiran politik Islam telah mengalami perkembangan kedalam batas-batas tiga mazhab, dan pada dasawarsa antara tahun
-an sampai pada awal
-an, eksperimen, artikulasi dan detik pemikirannya tampak lebih kurang telah bersifat absolutis dan atagonistik antara pemikir yang berada di
kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis” Selanjutnya sebagai mana yang di ungkap oleh Ahmad Syafii Ma’arif juga
mengatakan kalau sesungguhnya sebuah penilaian yang pantas terhadap
6
Bahtiar Effendy, dalam Pengantar Gagalnya Islam Politik, Karya Oliver Roy, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
, h.
berbagai pengalaman dan kegiatan politik Islam pada masa muta’akhir Indonesia terutama tergantung terhadap pengertian yang cukup terhadap Islam
sebagai kekuatan pembebas didalam berhadapan dengan politik kolonial belanda terhadap umat Islam pada empat dekade pertama abad ini.
Masih menurut Ahmad Syafii Ma’arif semenjak kedatangan Kompeni India Timur Belanda ke Nusantara yang diperkirakan datang pada permulaan
abad ke- , tak dapat tersangkalkan bila saat itu umat Islam sudah melakukan
perlawanan yang cukup keras terhadap mereka dan pada tahun , melalui
wawancara dengan koresponden Deli Courent, Gubernur Jenderal B.C de Jonge nampaknya masih berharap agar kekuasaan kolonial Belanda akan berlangsung
lama di Indonesia.
7
Akan tetapi enam tahun kemudian tepatnya pada bulan maret .
Kekuasaan kolonial Belanda di usir dari Indonesia oleh pasukan Jepang tanpa adanya perlawanan yang berarti dari pihak penjajah Belanda. Kedatangan
Jepang pada mulanya disambut dengan sangat antusias bukan saja oleh umat Islam melainkan juga oleh seluruh bangsa Indonesia.
Lantaran kesadaran yang mendalam terhadap pentingnya memperbaiki komunikasi antara partai-partai dan organisasi yang berasaskan Islam, maka
7
Bahkan dengan sangat pongahnya ia berucap, “Kami sudah berkuasa di sini selama kurang lebih tiga ratus tahun dengan Cambuk dan Cemeti, dan kami akan berbuat begitu lagi untuk tiga ratus
tahun kedepan” dikutip dari Sutan Sjahrir, Out of Exile, terjemahan dari bahasa belanda oleh Charles Wolf Jr. New York: The John Day Company,
, h. Lihat A Syafii Ma’arif, Studi Tentang
Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Ketatanegaraan , Jakarta; LP ES,
, h.
KH. Mansur Muhamdiyah, KH. Achmad Wahab Hasbullah NU dan pemimpin-pemimpin Islam lainya dari SI, Al-Irsyad, Al-Islam organisasi Islam
di Solo, Persyerikatan Ulama Majalengka Jawa Barat dan lain-lain telah berhasil membentuk suatu badan federasi MIAI Majlis Islam A’la Indonesia di
Surabaya pada tanggal Septermber
.
8
Inisiatif kearah persatuan dan saling pengertian ini juga di dorong oleh dua kenyataan.
Pertama, usaha-usaha politis yang bercorak Islam pada saat itu masih sangat berserakan dan karena itu persatuan amat perlu dilakukan dalam
kerangka perjuangan melawan Belanda. Pentingnya persatuan dikalangan umat juga sangat dituntut secara tegas oleh al-Qur’an di dalam QS. Ali-‘Imron :
θϑÁGãρ ≅7t2
è‹ϑ_ ωρ
θ ? ρ.Œρ
MϑèΡ Ν3‹=æ
Œ ΛΖ.
‰ã 9ù
Ν3θ=
Λs7¹ù FΚèΖ
Ρ≡θz ΛΖ.ρ
’?ã ©
ο m Β
‘Ζ9 Ν.‹Ρù
κ]Β 79≡‹.
6ƒ Ν39
G≈ƒ 3=è9
βρ‰GκE نا
ل ٣
: ١٠٣
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu masa Jahiliyah bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
8
KH. Mas Mansyur, “Riwayat Berdirinya Majlis Islam Tertinggi” dalam Amir Hamjah, “Rangkaian Mutu Manikam: Buah pikiran Budiman Kyai Mas Mansur
Surabaya: Penyebar Ilmu Ikhsan,
, h.
menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat- Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”
Ayat ini telah membimbing pemimpin-pemimpin Islam pada waktu mereka membentuk MIAI, adanya faksi-faksi dibidang politik dan perbedaan-
perbedaan paham dalam soal khilafiyah di kalangan umat perlu dibenahi di atas dasar semangat persaudaraan dalam MIAI.
Kedua, adanya contoh yang kompotitif dari golongan nasionalis sekuler yang juga berusaha mempersatukan dirinya. Kenyataan ini telah makin
mendorong pemimpin umat untuk menatap posisi politik mereka secara lebih kritis, dan persatuan lewat MIAI dipandang cukup memberi harapan pada waktu
itu. Dengan persatuan diharapkan dapat memobilisasi seluruh gerakan-gerakan Islam untuk menghadapi pihak penjajah. Belum lima tahun setelah kehadiran
MIAI, pasukan Belanda mendarat di Indonesia dan dengan mudah dapat diusir kembali.
Dari penjelasan sejarah tersebut bisa kita ambil pemahaman, bahwa umat Islam di dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini sangat kuat sekali,
terbukti dengan banyaknya inisiatif-inisiatif yang mereka lakukan seperti pembentukan MIAI dan lain sebagainya.
. Menjelang Kemerdekaan Sampai Awal Kemerdekaan
Seperti yang telah penulis katakan diatas, dua hari setelah pasukan Jepang menyerah kepada pasukan sekutu, pada tanggal
Agustus bangsa Indonesia dibawah
pimpinan Soekarno
dan Mohammad
Hata menyatakan
kemerdekaannya. Tetapi negara yang baru lahir ini harus melalui jalan terjal dalam mempertahankan kemerdekaannya, karena Belanda masih belum puas
dengan masa penjajahannya. Kolonialisme ingin dilanjutkan setelah perang dunia ke dua. Belanda terlalu sedih meninggalkan Nusantara yang cantik ini.
Sebagaimana Kemal Attatruk, Bung Karno sebagai pejuang pemersatu bangsa, pejuang melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator
kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama juga mempunyai agenda utama dalam membangun Indonesia modern. Karena itu yang menjadi
agenda utama adalah tentang sistem politik Indonesia. Di awal-awal kemerdekaan bukanlah hal yang sangat mudah untuk merumuskan hal tersebut.
9
Seperti diketahui, semenjak Soekarno menjabat sebagai presiden Indonesia modern, yang segera menjadi persoalan utama ketika itu adalah tarik
menariknya ideologi negara antara proyek sekularisasi dan Islamisasi.
10
Terlebih lagi jika tarik menarik itu dilihat dari persfektif religio-politik, maka akan semakin nampak bahwa sejarah Indonesia modern memang merupakan
perseteruan abadi antara dua kutub yang saling berlawanan tersebut. Akibat perseteruan abadi tersebut muncul dua kelompok dikotomis
dengan sederetan tokoh intelektual pendukungnya. Kelompok pertama disebut
9
Herbet Feith dan Lance Castles ed, Pemikiran Politik Indonesia -
, Jakarta: LP ES,
, h. xvii-xxxviii
10
Yudi Latif, “Sekularisasi Masyarakat dan Neagara Indonesia,” dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF ed., Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer, Jakarta: Paramadina,
, h.
kelompok teokratis, suatu kelompok yang menginginkan prinsip-prinsip agama dijadikan ideologi negara. Kelompok kedua disebut kelompok sekuler, suatu
kelompok yang menolak prinsip-prinsip agama dimasukkan dalam ideologi negara. Dalam hal ini, Soekarno yang memiliki otoritas untuk menentukan
ideologi negara bisa dimasukkan kedalam kelompok yang kedua. Sebab, secara eksplisit ia selalu menolak formalisasi agama terhadap negara.
Hal ini tercermin dalam perdebatan Bung Karno dengan para petinggi- petinggi negara dalam pengaturan ideologi dan konstitusional negara. Seperti
dijelaskan, dari perdebatan-perdebatan tersebut memunculkan polarisasi ideilogi-ideologi kelompok besar, Golongan Nasionalis dan Golongan Agama.
11
. Masa Orde Lama
Sejak proklamasi kemerdekaan Agustus
bangsa Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat
penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan serta
mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada
pemberontakan PKI September
sampai lahirlah Supersemar sebagai
11
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam :pertautan Agama, h.
titik balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih
terlihat kentalnya mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi sosialisme komunisme.
12
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan
berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem
yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim Orde Baru yang mengakhiri
tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas landas
lewat proses
Rencana Pembangunan
Lima Tahun
yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap
kedewasaan maturing society dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang adil dan makmur.
Presiden Soekarno pada tanggal Juli mengeluarkan Dekrit Presiden
yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi dalam
12
Suhardiman, Pembangunan Politik Satu Abad, Jakarta: Yayasan Lestari Budaya, , h.
Lembaran Negara tahun No.
, Berita Negara No.
berintikan penetapan berlakunya kembali UUD
dan tidak berlakunya lagi UUDS , dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan
dikeluarkannya Dekrit Presiden Juli adalah gagalnya konstituante
melaksanakan tugasnya.
13
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal Juli
dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS
Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit.
Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang
bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas
objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan
13
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Diktat Program Pasca Sarjana UII Tahun ,
Yogyakarta: penerbit UII, , h.
-
kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment”
tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” berlebihan baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” berdemokrasi secara berlebihan seperti yang
dialami antara tahun -
, maupun suatu kediktatoran terselubung verkapte diktatuur dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
gekwalificeerde democratie.
14
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan ini
terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DITII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental
- dan kemudian Pemilu
melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini
berlangsung selama tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
. Gerakan separatis pada tahun ;
. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada
tahun .
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila
14
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII PRESS, , h.
Agustus , maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal Juli
dengan tujuan kembali ke UUD
yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata
politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah
Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden Juli kelak dijadikan salah satu
sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung tahun
- , yang
sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan GestapuPKI pada tahun
, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
15
. Masa Orde Baru
Peralihan kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai dengan turunnya Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta
G SPKI pada tahun
.
16
Peristiwa politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup menegangkan berupa gerakan
massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan pembenahan sistem
15
Sebagian pengamat sejarah asing berpendapat bahwa peristiwa Jakarta merupakan
skenario hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh Dinas Intelijen AS, CIA
16
Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru -
, Jakarta: LP ES, h. -
.
politik dan pemulihan keamanan negara.
17
Puncaknya terjadi pada tahun ,
di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
Supersemar kepada Jenderal Soeharto yang pada intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertiban nasional, konsolidasi semua aparat militer
dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas dan tanggung jawab surat perintah tersebut.
18
Proses politik dalam negeri saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak langsung menjadi pemegang kendali
atas setiap proses politik. Ia mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial, politik dan ekonomi saat itu, hingga
digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan Juni - Juli . Ketetapan MPRS
No, TXMPRS rnenjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan
sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun berhasil menggusur
Soekarno dari kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap MPRS No. XXXIIIMPRS
. Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi
17
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, , Ke-
, h. .
18
Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia, Ithaca: Cornell University Press, Bab. VII.
presiden kedua
yang ditetapkan
dalam ketetapan
MPRS No.XLITIMPRS
.
19
Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia KAMI dan
Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia KAPPI yang para anggotanya mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung tombak
runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggung jawab
yang merupakan warisan Orde Lama. Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan militer dan teknokrat untuk tujuan
melaksanakan pembangunan dan mewujudkan pemerintah yang stabil dan kuat. Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin politik untuk menata
kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia.
20
Adapun format politik yang tercipta antara lain
21
: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya
demokrasi terpimpin, sehingga ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya membangun sebuah kekuatan organisasi sosial
19
Fuad Hasan, Meramu Intelegensi dengan Intuisi: Di antara Para Sahabat Pak Harto, Jakarta: PT. Citra Lamtorogung Persada,
, h. -
.
20
Lance Castle, Birokrasi dan Masyarakat Indonesia, Surakarta: Hapsara, , h.
.
21
Affan Gaffar, Politik Indonesia: Tradisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , h.
.
politik sebagai perpanjangan tangan ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal organisasi politik di masa Orde Baru.
Ketiga , penjinakan radikalisme dalam politik melalui proses depolitisasi massa,
seperti menerapkan konsep floating mass dan NKKBKK di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan pendekatan keamanan Security
Approach dan pendekatan kesejahteraan Welfare Approuch dalam
pembagunan sosial politik; kelima, menggalang dukungan masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang berbasis korporatis.
Persentuhan Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma
perkembangan pola pikir dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang
pernah terjadi di negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan
Amerika. Serta banyaknya kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual yang mulai akrab dengan pemikiran-pemikiran Barat. Sementara itu, bagi kalangan
Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja mendukung
Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam akan
kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan nasional.
22
Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu
bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa
modernisasi identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak
bertentangan dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi
modernisasi. Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan
modernis dipandang lebih representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam
konservatif yang lebih mengarah kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim
Orde Baru. Pola pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik
bagi Islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya
22
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan,
, h. -
.
umat Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya, lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi urnat Islam
untuk tetap memainkan perannya dalam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya
jalan bagi umat Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun -an.
23
Kebijakan-kebijakan politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas politik nasional pada gilirannya telah melahirkan
berbagai ketegangan antara Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan negara pada masa Orde Baru mengalami
pergeseran yang bersifat antagonistik, resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik
- mencerminkan pola hubungan yang
hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke tingkat masyarakat bawah
telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai oposisi.
24
Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis -
kaum santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya
23
M. Syafi’i Anwar, Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi,
Bandung: Mizan, , hlm.
- ; Lihat juga Fachry Ali dan
Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru,
Bandung: Mizan, , h.
- .
24
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru
, Jakarta: Paramadina, , h. .
untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian
akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu -
sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan
akomodatif -
hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk sebagai bagian dan sistem politik elit dan
birokrasi, Pola hubungan akomodatif ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan sosial, politik, ekonomi dan
budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama Islam serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik Pancasila dan UUD
.
25
Namun demikian, khusus dalam sudut pandang perkembangan hukum Islam di Indonesia kesempatan umat Islam untuk mendapatkan hak-haknya
pada pola hubungan antagonistik lebih tampak. Posisi umat Islam yang begitu lemah, seperti ketika merumuskan UU Perkawinan No. tahun
, aliran kepercayaan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P- , isu
ekstrim kanan, isu suku, agama dan ras SARA, isu kristenisasi dan kebijakan ekonomi kapitalistik. Protes umat Islam atas UU Perkawinan No.
yang disusul dengan PP No.
, dianggap sebagai usaha Orde Baru untuk
25
Ibid., h. -
.
menggeser Hukum Islam dari akar tatanan sosial masyarakat Islam di Indonesia.
26
Dapat dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara pada tahap antagonistik lebih banyak peristiwa yang memunculkan pola hubungan yang
tidak harmonis berupa konflik ideologis. Jika sebelumnya pada masa Orde Lama Islam lebih nampak mengkristal dalam bingkai organisasi politik
Masyumi, tegas berhalapan dengan ideologi nasionalis sekuler PNI Soekarnois dan ekstrim kiri PKI, selanjutnya pada masa Orde Baru Islam
terbelah dan terpecah-pecah dari bingkai Masyumi. Hal ini terjadi karena kebijakan ketat pemerintah Orde Baru dalam merespon munculnya ideologi
Islam politik yang menguat kembali. Tersendat-sendatnya aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak
perundang-undangan dan hukum tampak ketika dilegislasikannya UU Perkawinan No.
yang kemudian disusul dengan PP No. .
Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang Wakaf dalam PP No. .
Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat legislatif kembali mempersoalkan fahamaliran kepercayaan dalam UUD
sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak umat Islam
untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-undang Peradilan Agama
26
Hasanudin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
, h. -
.
RUUPA bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.
27
Kemudian pada pola hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk
menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini, kalangan cendekiawan dan politisi Islamharus berani bersentuhan langsung
dengan pemerintahan Orde Baru.
28
Melalui pendekatan struktural-fungsional, umat Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam
dalam segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil
Islam dan militer. Pada pola akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya
Islam hampir menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di
pentas nasional. Kehadiran ICMI, Desember , diyakini sebagai tonggak
baru menguatnya islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya kepentingan syari’at Islam melalui UUPA No.
sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang diatur
dalarn UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. , disusul dengan UU
Perbankan No. pengganti UU No.
, UU Zakat No. ,
27
Ahmad Sukarja, ‚Keberlakuan Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, dalam Cik Hasan Bisri ed. Bunga Rampai Peradilan Islam I, Bandung: Ulul Albab Press,
, h. -
.
28
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi, h. .
KHI Inpres No. .
29
Artikulasi dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dan pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis
sampai pendekatan akomodatif. Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kakuatan politik hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni
secara represif konflik dan akomodatif struktural-fungsional. Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran terhadap model paradigma hubungan antara Islam
dan negara di Indonesia.
. Masa Reformasi
Transisi demokrasi Indonesia pasca reformasi mengubah wajah perpolitikan Indonesia. Kondisi negara yang tidak karuan menuntut berbagai
pihak merasa perlu untuk mendesakkan demokrasi, kebebasan, transparansi, akutanbilitas publik, atas persoalan-persoalan bangsa, berkaitan dengan seluruh
tananan masyarakat. Tak ayal pertentangan dan konflik sosial terus terjadi. Berbagai kepentingan, baik yang mendasari atas nama bangsa dan kelompok
tertentu, juga ikut mewarnai. Terbukanya katub-katub kebebasan dalam berpendapat, berkumpul, dan berserikat menjadi salah satu pendorong
menguatnya gerakan masyarakat sipil. Di satu sisi, gerakan ini menjadi harapan karena mampu mendorong dan menjadi stabilisator pemerintahan, namun di saat
yang lain semakin mengancam. Kegetiran masyarakat atas berbagai persoalan
29
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama dan Peradilan Islam, dalam Cik Hasan Bisri. h. -
.
terutama dalam hal ekonomi, politik, dan degradasi moral menjadikan masyarakat mencari alternatif baru. Salah satunya adalah munculnya berbagai
pemikiran politik Islam yang kemudian melahirkan banyak gerakan. Konsolidasi di tingkatan negara terus dilakukan, namun pada saat yang sama, terdapat
konsolidasi internal di kalangan umat Islam. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya gerakan politik Islam dengan berbagai isu aktual. Penegakan syariat,
negara Islam, khilafah Islamiyah, masyarakat madani, dan gerakan-gerakan pelegal-formalan Islam dalam kehidupan politik.
Selama Orde Baru Orba, kekuatan politik Islam mengalami pasang surut. Pada masa awal Orba, Islam mengalami peminggiran dari negara. Umat Islam
merasa kesulitan mengembangan gagasan-gagasan mengenai sosial-politik karena rezim Orba yang represif. Islam sedikit memperoleh angin segar saat
masuk masa pertengahan akhir rezim Orba, namun kepentinganya juga masih banyak dikooptasi negara.
30
Pada era reformasi, menguat pemikiran politik Islam dan juga muncul reaksi balik dari berbagai kelompok yang bersebrangaan. Kondisi ini
memunculkan tiga kubu dalam masyarakat. Pertama, menginginkan legalitas politik Islam dalam sistem negara. Kelompok ini dikenal dengan kelompok
simbolis, yakni berpegang pada model legalitas simbol-simbol Islam. Kedua,
30
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia; Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani, dan Demokrasi,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet Ke-I h.
-
kelompok yang menolak masuknya sistem Islam dalam negara, namun merasa perlu memasukan etos atau spirit Islam dalam mendasari sistem negara.
Kalangan ini dikenal dengan kelompk subtansialis. Ketiga, adalah kelompok yang membedakan antara kawasan pribadi dan publik dalam kenegaraan. Agama
adalah wilayah pribadi yang tidak dapat dicampurkan dalam sistem publik, negara. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok liberal.
Kelompok pertama menyakini bahwa kegagalan bangsa Indonesia membangun negara yang kuat adalah karena sistem yang dianut adalah sistem
negara sekuler. Islam menjadi solusi atas segala krisis bangsa; kepemimpinan, ekonomi, relasi sosial dalam masayarakat dan moralitas. Masyarakat Indonesia
perlu mengambil pedoman hidup dari inti sari nilai-nilai Islam dan praktik kenegaraan Islam masa Rasulullah. Pemahanan ini sendiri melahirkan banyak
model gerakan Islam di Indonesia saat ini. Hizbut Tahrir Indonesia HTI, Majelis Mujahidin Indonesia MMI, Front
Pembela Islam FPI, Laskar Jihad LJ, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia KAMMI merupakan gerakan sosial-politik keagamaan Indonesia
kontemporer. Gerakan-gerakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru, karena pada masa Orde Lama juga sudah muncul gerakan politik Islam serupa. Model
pemikiran gerakan Islam Indonesia memiliki kemiripan karekteristik, yakni menuntut adanya legalisasi Islam dalam sistem sosial ataupun politik Indonesia.
Bahkan, HTI sangat getol untuk meng-goal-kan khilafah Islamiyah atau pemeritahan Islam di Indonesia. Bagi HTI, pemerintahan Islam merupakan suatu
keharusan yang wajib ditegakkan. Model negara yang diimpikan HTI adalah transnasional yang membatasi wilayah geografis atau melintasi batas-batas
negara yang sudah ada. Pemikiran negara HTI banyak terinspirasi pemikiran tokohnya Taqiyuddin an-Nabanyy dari Palestina. Pemikiran politik HTI banyak
terispirasi model pemerintahan Rasulullah di Madinah dan kemudian berkembang pada sistem khilafah Islamiyah. Sementara, khilafah Islamiyah
sendiri runtuh pada , masa kepemipinan Turki Usmani dihancurkan
kekuatan kapitalisme Barat.
31
Berbeda dengan HTI, Majelis Mujahidin Indonesia MMI memandang bahwa pentingnya formalisasi agama dalam sistem sosial politik Indonesia.
Sepintas, MMI tidak memiliki ide pendirian negara agama, namun lebih mengedepankan simbolisasi agama dalam negara. Inilah yang membedakan
antara HTI dan MMI dalam menegakkan Islam. Bagi MMI, siapa pun yang menentang penegakan syariat harus ditentang
dan dilawan, sekalipun dengan kekerasan. Doktrin ini kemudian banyak menjadi pemicu ketegangan di antara umat Islam, terutama kalangan moderat dan liberal.
Tidak jarang, perbedaan pemahanan ini menimbulakan gesekan dan konflik keagamaan di Indonesia akhir-akhir ini. Laskar Jihad, FPI, dan KAMMI
memiliki orietasi yang kurang lebih sama dengan MMI. Namun, masing-masing memiliki karakter yang berbeda dalam gerakan keagamaannya. Gerakan-gerakan
31
Ibid, h.
ini pun sering menimbulkan gesekan ketegangan di antara umat Islam dewasa ini. Pertikaian antara FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan di Lapangan Monas Jakarta merupakan
fakta atas hal ini.
BAB III BIOGRAFI MUNAWIR SADZALI
A. Riwayat Hidup Munawir Sjadzali