BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut dengan PT atau Perseroan, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang No. 40 tahun
2007 tersebut menyatakan
bahwa PT sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional yang dapat memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, untuk mewujudkan amanat Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
1
PT berasal dari bahasa Belanda, yaitu Naamloze Vennotschap NV, yang berarti Perseroan tanpa nama. Sukardono mengatakan bahwa tanpa nama berarti
pemakaian nama perusahaan harus memakai penunjukan nama yang menggambarkan dasar tujuan perusahaan, bukan nama-nama pendirinya selayaknya Firma. Mengenai
kata “terbatas” menunjuk pada tanggung jawab atau risiko dari persero atau pemegang
1
Pasal 33 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
1
2
saham yang hanya terbatas pada jumlah sero atau saham yang dimiliki oleh pesero atau pemegang saham tersebut,
2
walaupun dalam perkembangannya, tanggung jawab yang terbatas tersebut tidak bersifat mutlak.
3
Dengan dianutnya prinsip piercing the corporate veil dalam hukum Perseroan, tanggung jawab hukum para pemegang saham
yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas dalam hal-hal tertentu. Prinsip piercing the corporate veillifting the corporate veil merupakan pengecualian terhadap
teori tanggung jawab terbatas. Pengaturan PT di Indonesia, sejak kemerdekaan, dimulai pada Kitab Undang-
undang Hukum Dagang selanjutnya disebut KUHD pada Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pengaturan KUHD tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas UU PT lama, yang kemudian diganti lagi oleh Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya
disebut dengan UU PT, sebagai undang-undang terbaru yang mengatur tentang PT.
2
Abdul Muis. Bunga Rampai Badan Hukum. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 1990. Hlm. 125-126.
3
Dalam ilmu hukum, terdapat doktrin tanggung jawab terbatas dari suatu badan hukum. Secara prinsipil, setiap perbuatan yang dilakukan oleh badan hukum hanya ditanggungjawabi oleh
badan hukum yang bersangkutan. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkan. Munir Fuady. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis.
Bandung: Citra Aditya Bakti. 1999. Hlm. 125. Hal ini berarti bahwa harta kekayaan pribadi para pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan
sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan. Namun dalam hal- hal tertentu tanggung jawab yang terbatas tersebut tidak bersifat mutlak, antara lain apabila terbukti
bahwa terjadi pembauran antara harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan PT, sehingga PT didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi
tujuan pribadinya.
3
PT memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan bentuk usaha lainnya.
4
Sehubungan dengan hal tersebut, Sri Rezeki Hartono mengemukakan bahwa: PT pada umumnya mempunyai kemampuan untuk mengembangkan diri,
mampu mengadakan kapitalisasi modal dan sebagai wahana yang potensil untuk memperoleh keuntungan, baik bagi instansinya sendiri maupun bagi
para pendukungnya pemegang saham. Oleh karena itu, bentuk badan usaha PT ini sangat diminati oleh masyarakat.
5
Lebih dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan dengan bentuk yang lain ini disebabkan oleh dua hal, pertama, PT merupakan asosiasi modal, dan kedua,
PT merupakan badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang
lain, sedangkan sebagai badan hukum yang mandiri, tanggung jawab pemegang saham PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam PT.
6
PT didirikan oleh minimal 2 orang atau lebih berdasarkan perjanjian yang diikat dengan akta notaris. Sebagai badan hukum, PT harus memperoleh status badan
hukum melalui pengesahan akta pendiriannya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Pasal 7 ayat 4 UU PT
7
. Tujuan dan kehendak bersama yang ingin dicapai oleh para pendiri PT tersebut disalurkan melalui keberadaan PT yang mereka dirikan
tersebut.
4
Abdul Muis. Op. Cit. Hlm. 125.
5
Agus Budiarto. Kedudukan Hukum Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002. Hlm. 13.
6
Hukumonline. Metamorfosis Badan Hukum Indonesia. 2007. Hukumonline.com. http:www.hukumonline.comdetail.asp?id=17818cl=Berita. Diakses tanggal 31 Maret 2009.
7
Pasal 7 ayat 4 UU PT menentukan bahwa Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
4
Sebagai badan hukum, PT memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut sebagai artificial person. Oleh
karena itu, PT merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang diakui oleh hukum. Mengenai hal tersebut, Dirdjosisworo mengatakan bahwa:
Sebagai badan hukum atau artificial person, Perseroan Terbatas mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui “wakilnya”. Untuk itu ada
yang disebut “agent”, yaitu orang yang mewakili Perseroan serta bertindak untuk dan atas nama Perseroan. Karena itu, Perseroan juga merupakan subyek
hukum, yaitu subyek hukum mandiri atau persona standi in judicio. Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti manusia
biasa atau natural person atau natuurlijke persoon. Dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak dan
kewajiban, utang piutang, mempunyai kekayaan seperti layaknya manusia.
8
Teori organ yang dipelopori oleh Otto von Gierke mengatakan bahwa badan
hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, melainkan riil dengan membentuk kehendaknya melalui perantaraan organ-organ badan tersebut.
9
Sebagai artificial person, PT juga memiliki organ, sebagaimana layaknya manusia, yaitu Rapat Umum
Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Selayaknya manusia, PT juga memiliki kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan. Organ PT yang langsung
bertanggung jawab penuh atas kepengurusan kegiatan sehari-hari ataupun rutin dari PT adalah Direksi, dengan diawasi oleh Dewan Komisaris.
Pasal 1 angka 5 UU PT menentukan bahwa Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili
8
Rachmadi Usman. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung: Alumni. 2004. Hlm. 50.
9
Chidir Ali. Badan Hukum. Bandung: Alumni. 1999. Hlm. 32-33.
5
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Ketentuan ini menugaskan Direksi untuk mengurus Perseroan yang
antara lain meliputi pengurusan sehari-hari Perseroan. Selanjutnya Pasal 97 ayat 2 UU PT menentukan bahwa pengurusan tersebut wajib dilaksanakan setiap anggota
Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Sesuai dengan definisi tersebut, Direksi harus memiliki wewenang yang cukup besar untuk dapat
menjalankan pekerjaannya tersebut. Dalam mengurus Perseroan, Direksi harus selalu berorientasi pada
kepentingan Perseroan. Direksi akan selalu berurusan dengan aset milik orang lain, sehingga mereka mempunyai moral hazard
10
yang tinggi jika mereka tidak mendapat konsekuensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan Perseroan.
Oleh sebab itu, Direksi dilarang melakukan kegiatan yang berada di luar kewenangannya. Hal inilah yang disebut dalam hukum perusahaan sebagai doctrine of
ultra vires. Untuk menghindari moral hazard tersebut, sehingga muncul prinsip tanggung
jawab Direksi terhadap Perseroan yang sering disebut dengan fiduciary duty. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan, dengan itikad baik dan penuh tangung jawab, serta kehati-hatian care. Direksi memiliki kedudukan seperti sebagai seorang trustee atau
10
Menurut George E. Rejda, Moral Hazard merupakan ketidakjujuran seseorang yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kerugian. Moral Hazard merupakan salah satu persepsi buruk
terhadap risiko, di samping adanya Morale Hazard kecerobohan atau ketidakpedulian terhadap kerugian dan Physical Hazard kondisi fisik seseorang yang dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya kerugian. George E. Rejda. Principle of Risk Management and Insurance. Ninth Ed. Boston: Addison-Wesley. 2005.
6
fiducia dalam menjalankan tugasnya. Menurut pengalaman common law hubungan itu dapat didasarkan pada teori fiduciary duty.
11
Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan kerahasiaan trust and confidence, yang dalam
peran ini meliputi ketelitian scrupulous, itikad baik good faith, dan keterusterangan candor, serta didasarkan pada hubungan kepercayaan fiduciary relationship
dengan standar yang tinggi.
12
Kewajiban utama dari Direksi adalah kepada Perseroan secara keseluruhan, bukan kepada individu ataupun kelompok pemegang saham.
13
Standar yang jelas sebagai acuan pelaksanaan fiduciary duty tersebut adalah didasarkan pada standar duty of care kewajiban seorang direktur untuk tidak
bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya melainkan berhati-hati dalam mengambil keputusan dan memedulikan kondisi Perseroan dan duty of loyalty
14
direktur tidak boleh mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atas Perseroan dan mengambil kebijakan yang dipandang tepat untuk Perseroan. Prinsip-prinsip ini
banyak disinggung dalam UU PT pada pasal-pasal yang mengatur tentang Direksi,
11
375 U.S. 180, 195-196 1965, dalam Bismar Nasution. Pertanggungjawaban Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan. Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari dalam rangka menciptakan
Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT Persero BUMN Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT
Persero di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi, diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, 8 Maret 2007. Hlm. 3.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
The Supreme Court of Utah, berkenaan dengan “Duty of Loyalty”, menyatakan bahwa Director and officers are obliged to use their inequity, influence, and energy, and to employ all the
resources of the corporation, to preserve and enhance the property and earning power of the corporation, even if the interests of the corporation are in conflict with their own personal interests.
Douglas M. Branson dalam Magister Hukum UGM. Tinjauan Kritis Implementasi GCG Di Indonesia. 2009. Magister Hukum UGM, Yogyakarta. Http:mhugm.wikidot.comartikel:008 Diakses tanggal 15
Januari 2009.
7
khususnya pada Pasal 97. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengontrol perilaku para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola
perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku standard of conduct untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku
tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.
15
Tanggung jawab penuh Direksi atas pengurusan Perseroan tersebut merupakan fiduciary duty dari seorang Direksi, yaitu bertanggung jawab terhadap Perseroan,
bukan organ Perseroan lainnya, baik Rapat Umum Pemegang Saham ataupun Dewan Komisaris, apalagi pemegang saham. Dalam hukum Perseroan, fiduciary duty
mengandung arti bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengurus Perseroan, Direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan wewenang
yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip. Kedua prinsip itu adalah kepercayaan yang diberikan Perseroan dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan dan kehati-
hatian dari tindakan Direksi. Dalam melaksanakan tugasnya, Direksi dibebani berbagai kewajiban
sehubungan dengan pengurusan Perseroan, dalam hal ini termasuk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut dengan RUPS. Pemegang
saham berhak atas terselenggaranya RUPS, menghadirinya dan mengeluarkan suara dalam RUPS.
15
Bismar Nasution. UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule. Disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE
USU: Pengaruh UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007. Hlm. 4-5.
8
Pasal 78 ayat 1 UU PT
16
membagi RUPS atas RUPS Tahunan dan RUPS lainnya. Penyelenggaraan RUPS Tahunan adalah bersifat rutin, sedangkan RUPS
lainnya, yang dalam praktik sering dikenal dengan RUPS Luar Biasa, dapat dilaksanakan jika kepentingan Perseroan memerlukannya, sehingga bersifat insidentil.
RUPS Tahunan wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku berakhir. Dalam RUPS Tahunan Direksi menyampaikan laporan
tahunan mengenai jalannya Perseroan. Hal ini menimbulkan kewajiban bagi Direksi untuk menyelenggarakan RUPS Tahunan, sebab bagaimanapun juga, memberikan
pertanggungjawaban kepada pemberi tugas adalah salah satu beban yang harus dilaksanakan oleh seorang penerima tugas. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS
Tahunan, Direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap Perseroan.
17
RUPS Luar Biasa tidak wajib diadakan, namun dapat diadakan jika kepentingan Perseroan menghendakinya. Permintaan RUPS Luar Biasa ini dapat
muncul dari Dewan Komisaris ataupun juga atas permintaan pemegang saham yang memenuhi syarat berdasarkan UU PT.
Dalam pengurusan Perseroan, Pasal 79 ayat 5
18
UU PT menentukan bahwa Direksi harus melakukan pemanggilan RUPS, termasuk RUPS Luar Biasa. Direksi
16
Pasal 78 ayat 1 UU PT menentukan bahwa RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
17
Hendra Setiawan Boen. Tanggung Jawab Direksi Untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS. 2009. Available at Hukumonline.com. http:www.hukumonline.comdetail.asp?id
=21393d=kolom Diakses tanggal 21 Maret 2009.
18
Pasal 79 ayat 5 UU PT menentukan bahwa Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 lima belas hari terhitung sejak tanggal permintaan
penyelenggaraan RUPS diterima.
9
Perseroan tidak dapat digugat perbuatan melawan hukum atas dasar menolak untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Timbul suatu permasalahan hukum apakah
menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan fiduciary duty dari Direksi Perseroan, apalagi mengingat UU PT sendiri memberikan peluang bagi pemegang
saham untuk meminta penyelenggaraan RUPS kepada Dewan Komisaris Pasal 79 ayat 6 UU PT
19
atau bahkan menyelenggarakan sendiri RUPS Luar Biasa atas penetapan pengadilan negeri Pasal 80 ayat 1 UU PT
20
. Sebuah kasus yang membenarkan keputusan Direksi untuk menolak
menyelenggarakan RUPS Luar Biasa adalah kasus PT. MOEIS. Duduk perkaranya adalah bahwa 5 lima orang pemegang saham PT. MOIES Dahlina Nasution, dkk
mengajukan permohonan penetapan izin RUPS Luar Biasa kepada Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Medan mengabulkan permohonan tersebut
berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Medan No. 978Pdt.P2002PN.Mdn. tanggal 27 Desember 2002. Adapun alasan permohonan tersebut diajukan adalah
karena Perseroan tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa. Dengan dikabulkannya, RUPS Luar Biasa tersebut diselenggarakan oleh 5 lima orang
19
Pasal 79 ayat 6 UU PT menentukan bahwa Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat 5,
a. permintaan penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau
b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS, sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b.
20
Pasal 80 ayat 1 UU PT menentukan bahwa Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat
5 dan ayat 7, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.
10
pemegang saham PT. MOIES tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Direktur Utama PT. MOEIS berkeberatan sehingga mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Negeri Medan untuk membatalkan RUPS Luar Biasa tersebut karena dianggap memiliki cacat hukum. Gugatan Direktur Utama tersebut dikabulkan oleh Pengadilan
Negeri Medan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 115Pdt.G2003PN-Mdn. tanggal 23 Desember 2003, sehingga RUPS Luar Biasa
tersebut beserta segala akibatnya menjadi batal demi hukum. Selanjutnya, suatu kasus menarik mengenai perbedaan pendapat mengenai
hubungan fiduciary duty dan penyelenggaraan RUPS Luar Biasa adalah Penetapan Pengadilan Negeri Padang No. 124PdtP2002PN.Pdg tertanggal 7 September 2002.
Sebuah kasus antara pemegang saham PT. Semen Padang dengan Direksi PT. Semen Padang yang sempat menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Secara singkat,
uraian kasus tersebut adalah bahwa pemegang saham ingin mengganti seluruh anggota Direksi PT. Semen Padang, sehingga mereka menginginkan diadakan RUPS Luar
Biasa. Sementara Direksi menolak untuk mengadakan RUPS Luar Biasa. Pemegang saham, yang memegang 99,99 saham Perseroan lalu mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Negeri Padang berdasarkan Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
21
. Pemegang saham berpendapat bahwa adalah kewajiban Direksi fiduciary duty untuk memenuhi setiap permintaan dari
21
Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa Penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat juga dilakukan atas
permintaan 1 satu pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 110 satu persepuluh bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, atau suatu jumlah yang lebih kecil
sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar Perseroan yang bersangkutan. Bdk. Pasal 79 ayat 2 huruf a UU PT.
11
pemegang saham untuk diadakannya RUPS Luar Biasa, sementara Direksi PT. Semen Padang berpendapat sebaliknya.
22
Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi dalam mengambil keputusan bisnisnya,
terutama keputusan yang spekulatif. Hal tersebut akan menjadi masalah ketika ternyata keputusan tersebut merugikan Perseroan. Oleh sebab itu, untuk melindungi
Direksi yang beritikad baik tersebut, muncul prinsip business judgment rule. Prinsip Business judgment rule ini memberikan safe harbor bagi Direksi yang mengambil
calculated business decision untuk tidak dihukum apabila nantinya keputusan bisnisnya, yang telah dilakukan demi kepentingan Perseroan semata-mata, merugikan
Perseroan. Prinsip ini penting bagi perlindungan Direksi dalam mengambil keputusan- keputusan bisnisnya karena tanpa adanya keberanian untuk mengambil risiko itu,
perkembangan bisnis di Indonesia dapat terhambat.
23
Di samping mengatur tentang kewajiban dan larangan, UU PT juga secara seimbang mengatur tentang pembelaan Direksi yang dikenal dengan prinsip business
judgment rule. Pasal 97 ayat 5 UU PT menentukan syarat-syarat berlakunya prinsip ini, yaitu bila Direksi bisa membuktikan bahwa a kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya, b telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, c
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
22
Hendra Setiawan Boen. Op. Cit.
23
Bismar Nasution. UU No. 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule. Op.Cit. Hlm. 4.
12
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan d telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Kegagalan anggota
Direksi dalam membuktikan unsur-unsur dalam Pasal 97 ayat 5 tersebut dapat menimbulkan derivative action dari para pemegang saham, termasuk pemegang
saham minoritas.
24
Masuknya prinsip business judgment rule dalam UU PT adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia, dimana para
direktur yang beritikad baik dilindungi tidak hanya bagi keputusan bisnisnya saja, melainkan juga dalam pengurusan Perseroan.
25
Business judgment rule selain melindungi tanggung jawab pribadi Direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat
diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis. Kemandirian Direksi dalam membuat keputusan yang menurutnya terbaik bagi
kepentingan Perseroan adalah mutlak dalam rangka menjalankan fiduciary duty-nya. Direksi juga mempunyai kewenangan mutlak untuk menilai apakah permintaan
pemegang saham untuk menyelenggarakan RUPS Luar Biasa merupakan kebutuhan bagi Perseroan pada suatu saat tertentu. Penilaian apakah diselenggarakannya RUPS
Luar Biasa tersebut adalah kepentingan terbaik bagi Perseroan adalah terletak di tangan Direksi.
26
Hal ini sejalan dengan ketentuan yang mengharuskan Direksi Perseroan, dalam mengurus Perseroan, selalu berorientasi pada kepentingan
24
Pasal 61 ayat 1 jo. 97 ayat 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas UU PT.
25
Bismar Nasution. Op. Cit. Hlm. 10.
26
Hendra Setiawan Boen, Op. Cit.
13
Perseroan, karena ada kemungkinan bahwa kepentingan Perseroan dapat tidak sejalan dengan kepentingan dan keingingan pemegang saham.
27
Direksi dapat menilai dan menaksir apakah ada dampak buruk bagi Perseroan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan Perseroan yang sekiranya akan diputuskan
dalam RUPS Luar Biasa tersebut. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Direksi untuk menolak atau tidak mau menyelenggarakan RUPS Luar Biasa, jika
Direksi menilai bahwa penyelenggaraan RUPS Luar Biasa tersebut tidak bermanfaat atau berdampak buruk bagi kepentingan Perseroan. Jadi, berdasarkan pertimbangan
tersebut, apakah Direksi yang menolak menyelenggarakan RUPS Luar Biasa dapat berlindung pada prinsip business judgment rule.
B. Perumusan Masalah