Pemisahan Kekayaan Negara Pada BUMN Persero

4. Pemisahan Kekayaan Negara Pada BUMN Persero

Persepsi bahwa BUMN menjadi bagian dari keuangan negara tidak bisa diabaikan begitu saja, karena persepsi itu sudah merasuk dan menjadi pendapat stakeholder terutama aparat penegak hukum. Dalam yurisprudensi berbagai keputusan-keputusan pengadilan, aparat penegak hukum seperti jaksa dan pemeriksa, mereka sependapat bahwa BUMN merupakan bagian dari keuangan negara. Opini para penegak hukum tersebut bukan tanpa dasar. Erman Rajagukguk 77 menambahkan bahwa dalam kenyataannya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan terhadap tindakan direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara menyatakan: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan mlik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sementara itu sehubungan dengan ruang lingkup keuangan negara pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang berbunyi: “kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat 77 Erman Rajagukguk, Nyanyi Sunyi Kemerdekaan Menuju Indonesia Negara Hukum Demokrati, Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2006, halaman 9. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan daerah”. Dalam penjelasan Undang-Undang Keuangan Negara berkaitan dengan pengertian dan ruang lingkup keuangan negara dijelaskan sebagai berikut: “Pengertian yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut diatas dimiliki negara, danatau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negaradaerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut diatas dalam rangka pemerintahan negara. Bidang pengelolaan keuangan negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan”. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan: Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Pasal 3 ayat 1 Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyatakan: Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 200,000,000.- dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1,000,000,000.- satu milyar rupiah. Sementara itu dalam penjelasan undang-undang tersebut lebih lanjut dijelaskan, bahwa dalam undang-undang ini dimaksud untuk menggantikan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara khususnya serta masyarakat pada umumnya. Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMNBUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Berdasarkan pasal-pasal tersebut aparat penegak hukum Polisi, Jaksa, dan BPK selaku pemeriksa, bertindak memeriksa Direksi BUMN Persero apabila ada dalam transaksi bisnisnya mengalami kerugian karena ini merupakan indikasi awal akan adanya potensi kerugian negara, Dalam konsepsi yang demikian keuangan negara yang dipisahkan sebagai penyertaan modal pada BUMN Persero adalah merupakan bagian dari kekayaan negara. Oleh karena itu apabila Direksi BUMN Persero dalam mengelola perusahannya mengalami kerugian berpotensi merugikan keuangan negara. Persepsi ini masih dijadikan pedoman oleh aparat penegak hukum atas dasar perundang-undangan tersebut diatas. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Namun demikian permasalahan menjadi lain sejak diundangkannya Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN dijelaskan yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN terdiri Persero dan Perum. 78 Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU BUMN menyatakan: Perusahaan perseroan, yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 lima puluh satu persen sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. BUMN Persero sebagai perseroan terbatas merupakan entitas bisnis yang memiliki kedudukan mandiri terlepas dari orang atau badan hukum lain dari orang yang mendirikannya, pengaturannya tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Modal BUMN Persero berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada mekanisme korporasi melalui prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang sehat. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, menyatakan: 78 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 1 Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan; 2 Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara; b. Kapitalisasi cadangan; c. Sumber lainnya. Penyertaan atas modal saham itu sendiri menurut Pasal 34 ayat 1 UUPT dapat dilakukan dalam bentuk uang danatau dalam bentuk lainnya. Secara yuridis, modal yang disertakan ke dalam perseroan bukan lagi menjadi kekayaan orang menyertakan modal, tetapi menjadi kekayaan perseroan itu sendiri. Di sini terjadi pemisahan kekayaan antara kekayaan pemegang saham dan perseroan. Dengan karakteristik yang demikian, tanggung jawab pemegang saham atas kerugian atau utang perseroan juga terbatas. Utang atau kerugian tersebut semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tesedia dalam perseroan. 79 Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU BUMN dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Ayat 2 huruf a: Termasuk dalam APBN yaitu meliputi pula proyek-proyek APBN yang 79 Ridwan Khairandy, Konsepsi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Perusahaan Perseroan, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26-No.12007, halaman 35. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 dikelola oleh BUMN danatau piutang negara pada BUMN yang dijadikan sebagai penyertaan modal negara. Pemerintah sendiri dalam hal ini Departemen Keuangan masih ada kegamangan menyangkut penyertaan modal pemerintah pada BUMN Persero sebagai bagian dari kekayaan negara, terutama dengan adanya piutang-piutang beberapa bank plat merah antara lain BNI, Bank Mandiri, BRI merupakan BUMN Persero yang macet tidak dapat ditagih dari para penanggung hutang debitur. Atas dasar ketentuan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 8 menyatakan bahwa: “piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang negara meliputi pula piutang badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, misalnya bank-bank negara, perseroan terbatas negara, perusahaan-perusahaan negara, yayasan perbekalan dan persediaan, yayasan urusan bahan makanan dan sebagainya, serta Pasal 12 ayat 1 undang-undang yang sama mewajibkan instansi-instansi pemerintah dan badan-badan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara PUPN. Kemudian Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah, menyatakan: bahwa Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak piutang perusahaan negaradaerah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikutnya Pasal 20 menyatakan: bahwa tata cara dan penghapusan secara bersyarat dan penghapusan secara mutlak atas piutang perusahaan negaradaerah yang pengurusan piutang diserahkan kepada PUPN diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, peraturan-peraturan tersebut tidak memisahkan antara kekayaan BUMN Persero dan kekayaan negara sebagai pemegang saham, yang kemudian memunculkan polemik apakah piutang-piutang pada penanggung hutang debitur masuk pada kekayaan negara ataukah kekayaan BUMN Persero sebagai suatu perseroan terbatas yang merupakan badan hukum yang tunduk pada ranah hukum privat. Pada akhirnya Menteri Keuangan mengajukan surat kepada Mahkamah Agung MA untuk meminta fatwa hukum. MA mengeluarkan fatwa melalui suratnya tanggal 16 Agustus Tahun 2006 Nomor WKMAYud20VIII2006 menyatakan bahwa penyertaan modal pemerintah pada BUMN Persero merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari pengelolaan dan mekanisme pertanggungjawaban APBN, tetapi selanjutnya didasarkan pada prinsip- prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat tunduk pada pengaturan UUPT Adanya fatwa MA tersebut, di masyarakat muncul pendapat yang berbeda pro dan kontra. Sebagian kalangan memaknai bahwa fatwa MA tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan dapat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi karena aparat penegak hukum tidak dapat lagi memberlakukan ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terhadap pengurus BUMN Persero yang Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 diduga menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini terjadi apabila kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat. Namun disisi yang lain fatwa MA ini merupakan hal yang positif karena memberikan kepastian hukum dalam pembinaan dan pengelolaan kekayaan negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN Persero. Disamping itu dengan adanya fatwa MA tersebut akan memberikan dukungan moril bagi direksi BUMN Persero untuk lebih berani dan tidak ragu-ragu mengambil keputusan bisnis yang strategis dan inovasi pengembangan BUMN Persero, sehingga kekayaan negara yang disertakan sebagai modal BUMN Persero itu dapat diberdayakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan keuntungan BUMN Persero, yang pada gilirannya akan memberikan pemasukan yang signifikan bagi penerimaan negara. Keputusan bisnis selalu mengandung resiko, tidak selamanya akan membawa keuntungan, ada kalanya juga mengalami kerugian. Namun yang penting bagi direksi adalah dalam pengelolaan perusahaan yang dipimpinnya setiap keputusan bisnis telah didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang sehat yaitu didasarkan pada peraturan perundangan, anggaran dasar dan peraturan internal maupun eksternal perusahaan. Penggunaan fatwa MA oleh hakim sebagai dasar putusan oleh hakim sah-sah saja. Sebab hakim diberi kewenangan diskresi untuk terikat atau tidak terikat pada suatu produk hukum. Pemerintah dalam hal ini yang di representasi oleh aparat penegak hukum dapat tetap melaksanakan tugasnya berdasarkan aturan hukum yang melandasinya, namun harus diingat pula bahwa diujung sana pada tingkat MA Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 sebagai benteng terakhir dalam proses sistem hukum di Indonesia telah memberikan fatwanya yang menyatakan bahwa penyertaan modal negara pada BUMN Persero yang semula berasal dari APBN adalah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan tidak lagi tunduk pada sistem pertanggungjawaban APBN tetapi selanjutnya tunduk pada mekanisme hukum korporasi. Pertimbangan hukum yang ada dalam fatwa MA tersebut telah benar, karena pertimbangan hukumnya telah didasarkan pada doktrin asas-asas hukum yang berlaku. Asas hukum adalah merupakan akar hukum positif, merupakan suatu socialized value yang dijadikan landasan hukum dalam pergaulan hidup di masyarakat. Kedudukan asas-asas hukum lebih tinggi dari hukum positif. UU BUMN merupakan undang-undang khusus BUMN lex specialis dan lebih baru terbitnya lex priori. Dengan adanya fatwa MA tersebut, pemerintah melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah. Dalam Peraturan Pemerintah yang baru ini diatur dengan tegas bahwa piutang negaradaerah pada Bank BUMN Persero bukan merupakan piutang negaradaerah tetapi merupakan piutang dari Bank BUMN Persero. Sedangkan terhadap pengurusan piutang negaradaerah yang telah diserahkan kepada Departemen Keuangan cq Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara sekarang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 tetap dilaksanakan oleh Departemen Keuangan Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang PUPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang NegaraDaerah beserta peraturan pelaksanaannya. Fatwa hukum MA tersebut sebenarnya menjadi penegasan bahwa semua undang-undang yang menentukan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan menjadi modal BUMN, persero dan perusahaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas, bukan lagi merupakan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang berbentuk perseroan terbatas. Fatwa ini juga menegaskan bahwa unsur merugikan keuangan negara sebagai salah satu unsur pidana korupsi, tidak lagi dapat dikenakan pada BUMN serta perusahaan daerah, Implikasi lain dari fatwa ini adalah: pertama, Badan Pemeriksa Keuangan BPK dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP tidak lagi mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk memeriksa atau mengaudit keuangan badan-badan hukum tersebut. Sebab, kekuasaan BPK dan BPKP untuk mengaudit badan hukum itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sejak adanya fatwa MA; kedua, aturan yang memberi kekuasaan kepada lembaga pemerintah, Presiden dan DPR untuk ikut campur atau membatasi kewenangan BUMN atau persero untuk mengurangi jumlah tagihan kepada debitur haircut, tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Perseroan Terbatas Persero dapat menentukan peraturan internal sepenuhnya merupakan hak perseroan terbatas, baik yang persero maupun yang bukan. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Fatwa MA sesuai dengan comunis opinion doctrine dalam teori hukum universal. Maksudnya, suatu kekayaan termasuk keuangan badan hukum, adalah terpisah dari kekayaan pengurus dan pemiliknya atau pemegang saham. Wajib hukumnya bagi MA untuk konsisten dengan fatwanya. MA sebagai laatstetoesteen van het recht atau batu ujian terakhir hukum mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menjamin adanya kepastian hukum. Bila MA tidak konsisten dengan fatwanya, sama saja menimbulkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Jadi, wajib hukumnya bagi MA untuk konsisten dengan fatwanya. Untuk kedepannya apbila ada masalah hukum terkait dengan kekayaan negara yang dipisahkan ada kasus yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka dapat dijadikan yurisprudensi. Dengan adanya UU BUMN, maka ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara, Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, khusus mengenai kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negaraperusahaan daerah menjadi tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009

BAB III TANGGUNG JAWAB HUKUM DIREKSI

DALAM PENGURUSAN BUMN

A. Tanggung Jawab Perdata

Pembahasan mengenai tanggung jawab, bagaimanakah tanggung jawab tiap- tiap direktur dalam pengurusan perseroan?. Ketentuan Pasal 97 ayat 1 UUPT menyatakan: “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat 1”. Selanjutnya di dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT dinyatakan: “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Kemudian di dalam Pasal 97 ayat 3 UUPT dinyatakan: “Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2”. Hal ini berarti bahwa anggota direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik in good faith dan dengan penuh tanggung jawab and with full sense of responsibility. Selama hal tersebut dijalankan, para anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari suatu perseroan atau perseroan terbatas. Namun apabila hal tersebut dilanggar, artinya anggota direksi Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan bisa dikenakan tanggung jawab penuh secara pribadi. Demikian juga dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu Pasal 104 ayat 2 UUPT. Sehubungan dengan hal tersebut, kiranya perlu disinggung suatu hal yang cukup penting yang terdapat dalam peradilan Amerika US judicial review yaitu yang disebut the business judgement rule, yaitu suatu aturan yang melindungi para direktur dari tanggung jawab pribadi, bilamana mereka: 1. Bertindak berdasarkan itikad baik in good faith; 2. Telah selayaknya memperoleh informasi yang cukup well informed; dan 3. Secara masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan the best interest of the corporation. Bila demikian halnya, pengadilan tidak akan ragu-ragu lagi untuk melindungi direktur yang melaksanakan business judgement rule tersebut. Dalam praktek bisa saja masalahnya tidak sesederhana itu, maka untuk itu diperlukan profesionalisme dan wawasan dari para hakim yang mempunyai kewenangan dalam memberikan keputusan pada kasus yang diajukan kepadanya, sehingga benar-benar orang yang tidak bersalah dapat terlindungi. Sebab apabila seorang direktur dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan kesalahannya, ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang direktur dalam melaksanakan tugasnya Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan sekunder yang menunjang dan mempelancar tugas-tugasnya, namun masih berada dalam batas-batas yang diperkenankan atau masih dalam ruang lingkup tugas dan kewajibannya masih dalam kewenangan perseroan atau intravires sehingga dia dapat bertindak asalkan sesuai dengan kebiasaan, kewajaran, dan kepatuhan dan tidak bersifat ultravires. 80 Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan, sedangkan ultravires diartikan sebagai bertindak melebihi kewenangannya. 81 Berkaitan dengan intravires dan ultravires, dikemukakan pendapat lain, yang menyatakan intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup dalam kecakapan bertindak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan. Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak tidak termasuk dalam maksud dan tujuan perseroan. Ultravires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu hakikatnya adalah sah dalam hubungan dengan pihak lain, tetapi ternyata berada diluar kecakapan bertindak perseroan. Sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksud dan tujuannya. 82 80 Ultra vires, acts beyond the scope of the powers of a corporation. 81 Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Graphia, 2000, halaman 350 dan 522. 82 Fred B.G. Tumbuan, Tugas Dan Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas, Materi Pendidikan Singkat Hukum Bisnis, Jakarta: Unika Atmajaya, 2000, halaman 3. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 I.G. Rai Widjaya menyatakan: “disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar kapasitas capacity perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan tujuan perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar. Di Inggris, suatu tindakan ultravires adalah hanya bila secara jelas di luar tujuan pokok perusahaan. 83 Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau tidak. Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggung jawab sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik pidana dan atau perdatanya. Hal yang menarik dalam tindakan direksi yang melampaui kewenangan yang terdapat dalam anggaran dasar tersebut adalah, sejauh mana pelaksanaan perikatan yang dibuat oleh direksi tersebut, yang ternyata direksi tidak berwenang? Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kecakapan bertindak. Jika pelanggaran ultravires dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh pihak yang tidak cakap karena telah melampaui kewenangannya, maka secara yuridis perbuatan tersebut dapat dibatalkan canceling. Namun demikian, siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan gugatan pembatalan perikatan tersebut? Secara sederhana, jika berdasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, maka gugatan tersebut dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang dirugikan, baik oleh pihak pemegang saham melalui derivative action maupun pihak lainnya, 83 I.G. Rai Widjaya, Op.cit., halaman 227. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 termasuk stakeholder. Di samping itu, jika pelanggaran tersebut telah memasuki wilayah hukum pidana, maka tindakan tersebut harus dianggap batal demi hukum null and void. Pelanggaran terhadap ultravires merupakan pengungkapan lebih lanjut dari doktrin piercing the corporate veil. Dalam banyak kasus, tentunya hakim akan dapat memanfaatkan teori ini dalam menangani kasus yang melanggar doktrin ultravires ini, sekalipun dalam banyak hal sulit untuk diterapkan, terutama terhadap kewenangan direksi yang bersifat umum, seperti kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang tidak memerlukan bantuan komisaris dan atau RUPS. Berdasarkan kepada sistem one share one vote tidak berarti dengan sendirinya pupus harapan dari pemegang saham minoritas untuk mempertahankan hak-haknya dalam RUPS. Berdasarkan UUPT, bahwa pengaturan tentang pengambilan keputusan dalam setiap RUPS pada umumnya didasarkan pada sistem musyawarah untuk mufakat. Namun jika musyawarah untuk mufakat tidak tercapai baru dapat dilaksanakan dengan cara voting atau pengambilan suara terbanyak berdasarkan jumlah seluruh saham yang mempunyai hak suara. Pemegang saham minoritas dimungkinkan mengajukan gugatan kedepan pengadilan apabila keputusan direksi, komisaris atau pemegang saham lainnya merugikannya melalui Pasal 61 ayat 1, 84 Pasal 97 ayat 6, 85 dan Pasal 114 ayat 6 86 UUPT. 87 84 Pasal 61 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menyatakan: “Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi, danatau dewan komisaris”. 85 Pasal 97 ayat 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas , menyatakan: “Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 110 satu pesepuluh bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan”. 86 Pasal 114 ayat 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menyatakan: “ Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 110 satu persepuluh bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat menggugat anggota dewan komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan ke pengadilan negeri”. 87 Budiman Ginting, Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Perusahaan Joint Venture: Studi Penanaman Modal Asing Di Sumatera Utara, Disertasi, Medan: SPs Universitas Sumatera Utara, 2005, halaman 148-149. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Kasus ultravires tidak sesederhana teorinya, Sebab, pembuktian pelanggaran ultravires terkadang agak sulit. Hal ini antara lain disebabkan bahwa dalam anggaran dasar perseroan terdapat tugas direksi yang sangat luas, yakni untuk mengurus perusahaan sesuai maksud dan tujuannya. Permasalahannya adalah, sejauh mana mengurus perusahaan itu sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan? Sepanjang transaksi bisnis dilakukan sesuai maksud dan tujuan perseroan, maka perikatan tersebut sulit untuk dapat dikatakan sebagai pelanggaran ultravires. Berbeda dengan rumusan salah satu anggaran dasar yang menyatakan bahwa direksi untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari komisaris dan atau RUPS, dalam kasus persetujuan dari komisaris dan atau RUPS ini, dalam praktek terkadang ditemukan kesulitan implementasinya, karena dalam anggaran dasar terdapat klausula yang kurang jelas. Misalnya, ditemukan rumusan yang menyatakan “perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan dari komisaris dan atau RUPS” tanpa penjelasan. Sehingga, suatu perbuatan hukum tertentu yang tertera dalam anggaran dasar tersebut dapat diinterpretasikan berbeda. Dengan perbedaan interpretasi demikian, dalam praktek dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap doktrin ultravires, karena seharusnya perbuatan hukum tersebut wajib mendapat persetujuan dari komisaris dan atau RUPS, tetapi tidak dilaksanakan karena dianggap perbuatan itu tidak perlu mendaptkan persetujuan dari komisaris dan atau RUPS. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Pada dasarnya pertanggung jawaban pemegang saham, direksi, dan komisaris dalam perseroan yang berbadan hukum adalah tebatas. Akan tetapi, apakah pertanggung jawaban demikian berlaku mutlak? Hal ini timbul terutama jika sebuah badan hukum dijadikan sebagai vehicle untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma hukum. Oleh karena itu, timbul suatu prinsip, yakni piercing the corporate veil, yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas. Berkaitan dengan doktrin piercing the corporate veil ini, dapat dikemukakan pendapat Henry Campbell Black, yang menyatakan: “Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for corporate activities: e.g. when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine which holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders may be disregarged and personal liability imposed on stockholder, officer and directors in the case of fraud. The court, however, may look beyond the corporate form only for the defeat of fraud or wrong or the remedying of injustice”. Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktivitas perusahaan: misalnya ketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalam masalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi hukuman. 88 Chatamarrasjid menyebutkan antara lain, apabila terbukti bahwa telah terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang 88 Henry Chambell Black, Black’s Law Dictionary, Abridged Sixth Edition, St. Paul Minn: West Publishing Co., 1991, halaman 1033. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 saham untuk memenuhi tujuan pribadinya. 89 Dalam keadaan demikian, maka para pemegang saham, direksi dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan berdasarkan prinsip di atas harus bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya dan atau bertanggung jawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata. Peralihan tanggung jawab pemegang saham, komisaris, dan direksi perseroan dari semula terbatas menjadi tidak terbatas, antara lain disebabkan oleh doktrin piercing the corporate veil. Dalam hal ini dikemukakan terjadinya piercing the corporate veil atau lifting the veil adalah sebagai berikut: 1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau 4. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. 90 Secara luas dapat diartikan bahwa termasuk pelanggaran doctrine piercing the corporate veil, apabila seperti berikut ini: 1. Direksi tidak melakukan prosedur hukum dalam proses pendirian perseroan sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu direksi tidak melakukan permintaan pengesahanpersetujuanpelaporan pendaftaran dan pengumuman, sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUPT. 2. Pemegang saham bertanggung jawab sampai harta pribadi, jika melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 2 UUPT, juga pelanggaran terhadap Pasal 7 UUPT dan Pasal 14 UUPT. 3. Perolehan saham yang tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 ayat 3 yang menyatakan, direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang timbul akibat 89 Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000, halaman 4. 90 I.G. Rai Widjaya, Op.cit., halaman 146. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 pembelian kembali yang batal demi hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat 2. 4. Dokumen perhitungan tahunan yang disediakan tidak benar Pasal 69 ayat 3 UUPT, yaitu dalam hal dokumen perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota dewan komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. 5. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty yang diberikan oleh perseroan. 6. Dalam hal kepailitan yang diakibatkan kesalahan direksi Pasal 104 ayat 2 UUPT, yang menyesatkan, dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. 7. Komisaris telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat 2 UUPT, yaitu tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan tugasnya dan atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan komisaris telah melakukan kesalahan. Penerapan teori piercing the corporate veil, secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu 2. Badan-badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial. 3. Berdasarkan hubungan kontraktual. 4. Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. 5. Hubungan dengan holding company dan anak perusahaan. 91 Badan hukum yang terpisah secara artifisial dimaksudkan bahwa perusahaan yang sebenarnya adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut dibagi ke dalam beberapa perseroan yang terpisah. Walaupun secara formal suatu perseroan sebagai badan hukum berdiri sendiri, tetapi hakikatnya beberapa perseroan tersebut menjadi satu kesatuan. Oleh karena itu, tanggung jawabnya menjadi satu kesatuan dan saling terkait. 91 Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law Dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002, halaman 10-11. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Disamping itu, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, direksi tidak luput dari pengawasan komisaris Pasal 108 ayat 1 UUPT. Hal ini bertujuan agar direksi dalam menjalankan tugasnya selalu berada pada jalur yang telah ditentukan oleh perseroan, karena pengurusan perseroan dilakukan tiada lain untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam hal pengurusan BUMN dan dalam rangka penerapan prinsip good corporate governance GCG, direksi suatu perseroan terbatas pada prinsipnya haruslah bertanggung jawab secara pribadi tidak hanya terhadap tindakan yang dia lakukan dalam kapasitasnya sebagai pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yang dia lakukan dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan. 92 Bahkan dalam kedudukannya sebagai direktur, dalam hal-hal tertentu, dia bertanggung jawab tidak hanya atas tindakan yang dilakukannya sendiri, melainkan juga atas tindakan direktur lainnya, atau bahkan sampai batas-batas tertentu dia bertanggung jawab atas tindakan orang lain yang bukan direktur yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Pada dasarnya pengurusan perseroan terbatas, baik BUMN maupun swasta adalah tidak berbeda, karena untuk keduanya berlaku ketentuan yang diatur dalam UUPT. Walaupun terhadap BUMN Persero juga berlaku UU BUMN, namun keberadaan undang-undang ini hanya melengkapi peraturan yang ada dalam UUPT. 92 Munir Fuady, Op.cit., halaman 80. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Oleh karena pemerintah memiliki kepentingan terhadap pengelolaan modal atau saham sebagai pemegang saham baik sebagian atau seluruhnya dimilikinya. Perbedaan itu hanya dalam hal suatu perseroan dalam keadaan statis atau intern, namun dalam keadaan bergerak baik BUMN maupun perseroan terbatas PT swasta tidak ada perbedaan karena baik BUMN maupun PT swasta sama-sama bergerak dalam ruang lingkup hukum perdata atau dalam keadaan bergerak kedua- duanya sama-sama tunduk kepada hukum perseroan terbatas. Baik BUMN maupun PT swasta masing-masing memiliki anggaran dasar seperti dipersyaratkan oleh UUPT, sebagai dasar dalam melakukan pengurusan perusahaan sekaligus juga sebagai rambu-rambu yang disepakati dalam pengelolaan kegiatan usaha. Hal ini dikarenakan dalam anggaran dasar tersebut telah ditentukan apa maksud dan tujuan perseroan itu didirikan, bidang usaha apa yang akan dijalankan, apa yang menjadi kewenangan RUPS, direksi dan komisaris telah dituangkan dalam anggaran dasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi anggaran dasar ini adalah sebagai alat kontrol terhadap masing-masing organ yang ada di dalamnya. Tidak ada perseroan yang tidak memiliki anggaran dasar, karena tanpa anggaran dasar maka maksud dan tujuan didirikannya perseroan tidak akan dapat diketahui. Asas publisitas yang berlaku dalam pendirian perseroan sangat penting untuk melindungi kepentingan umum maka setiap perseroan wajib daftar dalam daftar perusahaan sesuai ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimaksud disini adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Tujuan dan pentingnya daftar perusahaan dapat Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 dilihat dari konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. 93 Dalam hal direksi melakukan suatu tindakan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan sepanjang direksi tersebut dapat membuktikan bahwa dia sungguh- sungguh telah bertindak untuk dan atas nama perseroan dalam batas-batas kewenangan menurut undang-undang maupun anggaran dasar perseroan maka tidak ada kewajiban bagi direksi untuk mengganti kerugian kepada perusahaan atau dengan kata lain direksi tersebut harus dibebaskan dari kewajiban mengganti kerugian kepada perusahaan. Hal ini sesuai dengan prinsip pertanggung jawaban perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata juncto Pasal 1367 KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1365 juncto Pasal 1367 KUH Perdata tersebut mengandung makna bahwa tidak ada tanggung jawab tanpa ada kesalahan. Namun ada tidaknya kesalahan harus dilakukan melalui pembuktian. Kata-kata tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab mengandung arti bahwa secara materil mereka telah berupaya untuk mencegah timbulnya kerugian 93 Konsideran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan menyatakan: a. bahwa kemajuan dan peningkatan pembangunan nasional pada umumnya dan perkembangan kegiatan ekonomi pada khususnya yang menyebabkan pula berkembangnya dunia usaha dan perusahaan, memerlukan adanya daftar perusahaan yang merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak yang berkepentingan mengenai identitas dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha dan perusahaan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia; b. bahwa adanya daftar perusahaan itu penting untuk pemerintah guna melakukan pembinaan, pengarahan, pengawasan dan menciptakan iklim dunia usaha yang sehat karena daftar perusahaan mencatat bahan-bahan keterangan yang dibuat secara benar dari setiap kegiatan usaha sehingga dapat lebih menjamin perkembangan kepasian berusaha bagi dunia usaha; c. bahwa sehubungan dengan hal- hal tersebut di atas perlu adanya Undang-Undang Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 dimaksud dan telah melakukan upaya dengan segala kemampuan dan kehati-hatian, akan tetapi kerugian tersebut tidak dapat dihindari.

1. Pengertian Tanggung Jawab Perdata