dilakukan untuk perusahaannya, maka benar bahwa dia bertanggung jawab secara individu non representatif. Maksudnya dia harus bertanggung jawab secara
pribadi. f.
Prinsip Tanggung Jawab Representatif Pengganti Apabila seorang pekerja, dalam hal melakukan tugasnya menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka dalam hal ini berlaku prinsip tanggung jawab non representatif sesuai dengan teori vicarious liability. Karena itu pula, jika seorang
pekerja dalam melakukan tugasnya ternyata kemudian menimbulkan kerugian kepada pihak lain maka ada kemungkinan atasannya, termasuk Direktur yang
membawahinya atau bahkan perusahaannya yang harus menanggung beban tanggung jawab. Dalam hal ini, sudah berlaku prinsip tanggung jawab
representatif pengganti. Representatif karena pekerja tersebut bertindak untuk perusahaan dalam menjalankan tugasnya dan pengganti karena atasannya atau
perusahaannya harus mengambil alih tanggung jawabnya.
B. Tanggung Jawab Pidana
1. Pengertian Tanggung Jawab Pidana
Pertanggung jawaban pidana tidak bisa dipisahkan dari perbuatan pidana. Artinya jika tidak ada perbuatan pidana maka tidak akan ada pertanggung jawaban
pidana. Hal ini sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam hukum pidana yang menyatakan tidak ada pidana tanpa kesalahan
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Uraian tentang konsep dasar pidana akan meliputi uraian tentang: a.
Unsur-unsur suatu tindak pidana element of crimes; b.
Klasifikasi tindak pidana; c.
Pertanggung jawaban pidana criminal liability; d.
Alasan-alasan pengurangan atau penghapusan pidana criminal defenses.
105
Dalam sistem common law, setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan atau dikenal dengan
istilah actus-reus; dan b.
Tertuduh melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dengan disertai niat jahat atau dikenal dengan istilah mens-rea.
106
Menurut hukum pidana Inggris,
107
Actus-reus mengandung prinsip bahwa: a.
Perbuatan yang dituduhkan harus secara langsung dilakukan tertuduh. Pada prinsipnya seseorang tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan orang
lain, kecuali ia membujuk orang lain untuk melakukan pelanggaran undang- undang atau tertuduh memiliki tujuan yang sama dengan pelaku pelanggaran
tersebut.
b. Perbuatan yang dituduhkan harus dilakukan tertuduh dengan sukarela tanpa
ada paksaan dari pihak lain; atau perbuatan dan akibatnya memang dikehendaki oleh tertuduh.
c. Ketidaktahuan akan undang-undang yang berlaku bukan merupakan alasan
pemaafyang dapat dipertanggung jawabkan.
Adagium actus reus facit reum nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan, maka konsekuensinya adalah bahwa hanya sesuatu yang memiliki kalbu
saja yang dapat dibebani pertanggung jawaban pidana. Oleh karena hanya manusia yang memiliki kalbu sedangkan korporasi tidak memiliki kalbu, maka korporasi tidak
105
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, halaman 55.
106
Ibid., halaman 56.
107
Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
mungkin dibebani pertanggung jawaban pidana. Namun demikian, dalam perkembangan hukum pidana, termasuk hukum pidana Indonesia ternyata akhir-akhir
ini diterima pendirian bahwa, korporasi sekalipun pada dirinya tidak memiliki kalbu, dapat pula dibebani pertanggung jawaban pidana.
Berbagai undang-undang tindak pidana khusus di Indonesia, bahkan sudah sejak tahun 1951 telah menjadikan korporasi sebagai subyek tindak pidana selain
manusia, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 Tentang Penimbunan Barang-barang, dan setelah itu diikuti oleh berbagai
undang-undang tindak pidana khusus yang lahir kemudian. Rancangan Undang-Undang KUHP RUU KUHP 2004
108
telah mengadopsi pendirian untuk menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat
dilihat dari bunyi Pasal 44 dan Pasal 161 RUU KUHP tersebut. Disebutkan dalam Pasal 44 RUU KUHP, korporasi merupakan subyek tindak pidana. Sementara itu,
Pasal 161 RUU KUHP memberikan definisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan setiap orang yang digunakan di semua rumusan delik RUU
tersebut. Menurut ketentuan Pasal 161 RUU KUHP tersebut, “setiap orang adalah
orang perseorangan, termasuk korporasi”. Maksud dari ketentuan itu tidak lain bahwa ke dalam apa yang dimaksudkan setiap orang bukan saja orang-perorangan
manusia, tetapi juga korporasi.
108
Direktorat Jenderal Perundang-undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2004.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Tindak pidana dalam hukum pidana berbeda dengan perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Membedakan antara keduanya, yaitu antara tindak
pidana dan perbuatan melawan hukum yang dalam istilah bahasa Belanda disebut onrechtmatige daad dan dalam bahasa Inggris disebut a tort tidaklah mudah.
Baik tindak pidana maupun perbuatan melawan hukum keduanya adalah salah wrong dan masing-masing merupakan penyimpangan atau pelanggaran terhadap
hukum commission dan terhadap kewajiban hukum omission. Apabila pelanggaran tersebut menimbulkan konsekuensi pidana yang dilekatkan pada
pelanggaran itu, maka pelanggaran itu merupakan tindak pidana. Konsekuensi pidana dimaksud adalah berupa tuntutan secara pidana di muka pengadilan pidana dan
dijatuhi sanksi pidana jika terbukti bersalah. Dalam sistem hukum Indonesia, suatu perbuatan merupakan tindak pidana
atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Hal ini
berkenaan dengan asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana Indonesia sebgaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP.
Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan, “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada”.
109
109
Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Ketentuan Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut memberikan jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan ketentuan undang-undang secara berlaku
surut. Semangat Pasal 1 ayat 1 KUHP tersebut telah ditegaskan oleh Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
110
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Indonesia, berlaku di Indonesia berdasarkan asas konkordansi yang memberlakukan wetboek van strafrecht
KUHP Belanda di wilayah Hindia Belanda Nederland Indie pada tahun 1918. KUHP Belanda yang dibuat tahun 1880 berasal dari KUHP Perancis dibawah
pemerintahan Napoleon 1801 setelah Napoleon menjajah Belanda dalam upaya menguasai Eropa. KUHP Perancis yang kemudian melahirkan pula KUHP Belanda
dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi diberlakukan di Indonesia, telah dibuat berdasarkan pendirian bahwa hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana
subyek tindak pidana. Hal ini dapat diketahui dari frase hij die yang digunakan dalam rumusan berbagai strafbaar feit tindak pidana atau delik dalam wetboek van
koophandel Wvk atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD. Frase tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan frase “barang siapa” yang
110
Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
berarti “siapa pun”. Karena dalam bahasa Indonesia kata “siapa” merujuk kepada “manusia”, maka frase “barang siapa” atau “siapa pun” berarti “setiap manusia” atau
“setiap orang”. Pada saat ini pembuat undang-undang yang menggunakan istilah “barang
siapa” bukan hanya untuk pengertian “setiap manusia” atau “setiap orang”, melainkan juga untuk pengertian baik “setiap orang perorangan natural person” maupun
“setiap korporasi”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berlaku di Indonesia
tidak mengatur pertanggung jawaban pidana korporasi. Demikian pula UU BUMN maupun UUPT tidak mengatur sanksi pidana terhadap penyimpangan atau
pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum perseroan, direksi atau pengurus perseroan maupun terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh komisaris
selaku pengawas perseroan. Menurut sistem KUHP Indonesia yang saat ini masih berlaku, korporasi
belum ditentukan sebagai subyek hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 KUHP, KUHP Indonesia masih menganut sistem yang umum, bahwa tindak pidana
hanya dapat dilakukan oleh manusia. Walaupun di dalam KUHP terdapat pasal yang menyangkut korporasi sebagai subyek hukum pidana, tetapi yang diancam pidana
adalah orang dan bukan korporasi itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 169 KUHP tentang turut serta dalam perkumpulan yang melakukan kejahatan.
Korporasi sebagai subyek hukum pidana justru banyak diatur dalam perundang- undangan di luar KUHP. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2003 Tentang Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.
Ketentuan tersebut dibuat karena kebutuhan dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, dan hal inilah yang menjadi embrio aturan atau ketentuan
hukum pidana untuk ditetapkan dalam sistem KUHP yang akan datang. Disamping KUHP yang hanya ditujukan kepada manusia sebagai pelaku
tindak pidana, di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, baik yang lama HIR maupun yang baru yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP
yang sekarang berlaku ternyata juga hanya dijumpai pengaturan untuk melakukan penuntutan terhadap manusia. Dalam KUHAP tidak dijumpai pengaturan untuk
melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana selain manusia yang bukan manusia, misalnya korporasi.
111
Dari pengertian, siapa yang dimaksudkan dengan tersangka, terdakwa, rehabilitasi, dan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHAP dapat
diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan pelaku tindak pidana hanyalah manusia.
111
Dalam hukum perdata, suatu korporasi berbadan hukum dapat digugat dan di hukum oleh hakim perdata untuk membayar ganti rugi kepada penggugat yang mengalami kerugian akibat
perbuatan melawan hukum oleh korporasi yang berbadan hukum itu.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
KUHAP memberikan pengertian terhadap istilah-istilah tersebut sebagai berikut: Tersangka adalah orang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana; Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan; Rehabilitasi
adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini; Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Peraturan perundang-undangan yang mengatur sanksi terhadap tindak pidana
masih besifat fragmentaris atau terpisah-pisah belum terpadu. Di satu sisi KUHP sebagai salah satu crimes justice system belum mampu memenuhi tuntutan
perkembangan jaman. Walaupun dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHP telah diatur mengenai korporasi sebagai pelaku tindak pidana subjek tindak pidana.
Hal ini dapat dijumpai, misalnya dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberikan pengertian
orang adalah orang perseorangan, danatau kelompok orang, danatau badan hukum.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menyimak ketentuan di atas, di bidang lingkungan hidup dapat dilakukan oleh korporasi.
112
Problem utama tiap masyarakat modern bukan menginginkan perusahaan yang besar, melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut
guna melayani kepentingan masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sejahtera.
113
Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip ekonomi mencari keuntungan yang sebesar-
besarnya tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial.
114
Direksi sebagai organ perseroan memiliki tanggung jawab penuh dalam pengurusan dan pengelolaan kegiatan perseroan dan mewakili perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan. Artinya segala tindakan dan perbuatan perseroan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perseroan menjadi tanggung jawab
direksi kecuali ditentukan lain oleh UU BUMN maupun UUPT, anggaran dasar dan keputusan RUPS.
112
Korporasi diartikan sebagai kumpulan terorganisasi dari orang danatau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.
113
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi: Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997, halaman 7, menyatakan: Pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, keduanya tidak dalam
posisi yang berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat.
114
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan Dan Relevansinya, Yogyakarta: Kanisius, 1998, halaman 122-123.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Sebagaimana telah diuraikan diatas, KUHP hanya mengenal manusia sebagai pelaku tindak pidana. Direksi yang merupakan personifikasi perseroan, yang
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, tampaknya memikul tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 59
KUHP yang menyatakan: “Dalam hal-hal pelanggaran ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus, atau komisaris-
komisaris, maka tidak dipidana pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tersebut”.
115
Semangat yang ditunjukkan oleh Pasal 59 KUHP tersebut adalah bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh
pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, pengurus itu pula yang dibebani pertanggung jawaban pidana sekalipun pengurus melakukan perbuatan itu untuk dan atas nama
korporasi, atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.
Di dalam KUHP Indonesia, tidak terdapat satu pasal pun yang menentukan pelaku tindak pidana yang bukan manusia. Dengan kata lain, tidak terdapat satu pasal
pun dalam KUHP yang menentukan tindak pidana dapat dilakukan oleh suatu korporasi. Dalam KUHP, selain digunakan istilah “barang siapa” manusia sebagai
pelaku tindak pidana juga dimunculkan dalam berbagai istilah yang lain, misalnya “setiap orang” Pasal 2 dan Pasal 4 KUHP, “Warga Negara Indonesia” Pasal 5
115
Pasal 59 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
KUHP, “pejabat” Pasal 7 KUHP, “dokter” Pasal 267 KUHP, “orang dewasa” Pasal 292 KUHP, “seorang pengusaha, seorang pengurus atau komisaris perseroan
terbatas, maskapai andil Indonesia atau koperasi, yang sengaja mengumumkan daftar atau neraca yang tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan” Pasal 392 KUHP, “seorang pengacara” Pasal 393 bis. KUHP. Sebagaimana dikatakan oleh Remmelink, bahwa meskipun demikian,
pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering terpaksa turut memperhitungkan kenyataan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau
melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya misalnya dalam hukum administrasi, muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta
mendapat perlakuan sebagai badan hukum korporasi. Dalam KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika
berhadapan dengan situasi seperti ini.
116
Remmelink memberikan contoh Pasal 342 Sr. Belanda, sama bunyinya dengan Pasal 398 KUHP Indonesia, yaitu: seorang pengurus atau komisaris
perseroan terbatas, maskapai andil Inonesia atau pekumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh
pengadilan, diancam dengan pidana penjara 1 satu tahun 4 empat bulan jika yang bersangkutan turut membantu atau mengijinkan untuk melakukan perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai atau
perkumpulan.
117
Menurut Barda Nawawi Arief, :
“Untuk adanya pertanggung jawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya harus dipastikan terlebih dahulu
siapa yang dinyatakan sebagai pelaku suatu tindak pidana tertentu. Masalah ini menyangkut masalah subyek tindak pidana yang pada umumnya sudah
dirumuskan oleh pembuat undang-undang untuk pidana yang bersangkutan.
116
Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-pasal Terpenting Dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, halaman 97, dalam Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Graffiti Pers, 2006, halaman 31.
117
Ibid.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggung jawaban pidananya.”
118
Mengenai sifat pertanggung jawaban korporasi badan hukum dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang, yaitu: a.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab;
119
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
120
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
121
Pertanggung jawaban pidana badan hukum dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 46 UUPLH. Berdasarkan Pasal 46 UUPLH, pertanggung jawaban
pidana badan hukum dapat dimintakan kepada badan hukum, pengurus badan hukum atau badan hukum bersama-sama dengan pengurus. Artinya pertanggung jawaban
118
Muladi dan Dwija Prayitno, Pertanggung Jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum, 1991, halaman 66-67, dalam Alvi Syahrin, Pertanggung Jawaban
Pidana Korporasi Dalam Pencemaran Dan Atau Kerusakan Lingkungan Hidup, Medan: Jurnal Hukum, Magister Ilmu Hukum, PPs USU, 2005, halaman 51.
119
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat pelaku dan penguruslah bertanggung jawab, kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan
tersebut sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan
pidana. Dasar pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya
penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.
120
Dalam hal korporasi sebagai pembuat pelaku dan pengurus yang bertanggung jawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi
menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan badan hukum tersebut.
Sifat dan perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya
perbuatan itu.
121
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang
dapat dipidana ternyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut. Lihat, Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana
Lingkungan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, halaman 77.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
pidana perseroan bukan hanya tanggung jawab direksi perseroan, tetapi juga merupakan tanggung jawab perseroan.
Kapan dimintakannya pertanggung jawaban pidana kepada badan hukum itu sendiri, atau kepada pengurus, ini menjadi permasalahan dalam praktik,
122
karena dalam kasus lingkungan hidup, ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal
antara kesalahan di dalam struktur usaha dan perilakuperbuatan yang secara konkrit telah dilakukan.
Ada beberapa teori pertanggung jawaban pidana korporasi, diantaranya: a.
Doktrin pertanggung jawaban pidana langsung direct liability doctrine atau teori identifikasi identification theory atau disebut juga teoridoktrin alter ego
atau teori organ. Perbuatankesalahan pejabat senior senior officer diidentifikasikan sebagai perbuatankesalahan korporasi.
b. Doktrin pertanggung jawaban pidana pengganti vicarious liability. Bertitik
tolak dari doktrin respondeat superior. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah penanggung jawab utama dari perbuatan
buruhkaryawan.
c. Doktrin pertanggung jawaban yang ketat menurut undang-undang strict
liability. Pertanggung jawaban korporasi semata-mata berdasarkan undang- undang, yaitu dalam hal korporasi melanggar atau tidak memenuhi
kewajibankondisisituasi tertentu yang ditentukan undang-undang.
123
Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggung jawaban pidana
terhadap badan hukum yaitu dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak
dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum.
122
Smith dan Hogan, Criminal Law, London: Dublin and Edinburg, 1992, halaman 125, menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana hanya terbatas kepada
dewan direksi, komisaris atau pihak yang berwenang lainnya yang mewakili perusahaan.
123
Alvi Syahrin, Op.cit., halaman 52.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan-tujuan badan
hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindakan yang dilakukan oleh direksi maupun perangkat organisasi yang ada dibawahnya
dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan perseroan. Perseroan sebagai pelaku tindak pidana dapat juga dilihat dari kewenangan
yang ada pada badan hukum perseroan tersebut. Badan hukum perseroan secara faktual mempunyai wewenang mengaturmenguasai danatau memerintah pihak yang
dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang. Badan hukum perseroan yang dalam kenyataannya kurangtidak melakukan
danatau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum perseroan itu
menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga perseroan atau korporasi dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Badan hukum misalnya, dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai kewajiban-kewajiban
124
untuk membuat kebijakanlangkah-langkah yang harus diambilnya,
125
yaitu:
124
Menurut Alvi Syahrin, kewajiban adalah suatu peran yang harus dilaksanakan oleh pemegangnya. Setiap orang dapat dipaksa untuk melaksanakan kewajibannya. Sehubungan dengan
pelaksanaan kewajiban tesebut, Hukum Pidana baru berlaku atau diterapkan jika orang tersebut: 1.
Sama sekali tidak melakukan kewajibannya; 2.
Tidak melaksanakan kewajibannya itu dengan baik sebagaimana mestinya, yang dapat berarti: a.
Kurang melaksanakan kewajibannya; b.
Terlambat melaksanakan kewajibannya;atau c.
Salah dalam melaksanakan kewajibannya, baik secara disengaja maupun tidak disengaja;
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
a. Merumuskan kebijakan di bidang lingkungan.
b. Merumuskan rangkaianstruktur organisasi yang layak pantas serta
menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan lingkungan tersebut.
c. Merumuskan instruksiaturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktivitas-
aktivitas yang mengganggu lingkungan dimana juga harus diperhatikan bahwa pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami instruksi-
instruksi yang diberlakukan peusahaan yang bersangkutan.
d. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya
pelaksanaan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Muladi,
126
berkaitan dengan pertanggung jawaban korporasi dan memperhatikan dasar pengalaman pengaturan hukum positif serta pemikiran yang
berkembang maupun kecenderungan internasional, maka pertanggung jawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut: a.
Korporasi mencakup baik badan hukum legal entity maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
b. Korporasi dapat bersifat privat private judicial entity dan dapat pula bersifat
publik public entity; c.
Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah managers, agents, employers dan
korporasi dapat dipidana baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bipunishment provision;
d. Terdapat kesalahan manajemen korporasi dan terjadi apa yang dinamakan
breach of statutory or regulatory provision; e.
Pertanggung jawaban badan hukum dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil
diidentifikasikan, dituntut, dan dipidana;
f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada
korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat
d. Menyalahgunakan pelaksanaan kewajiban tersebut.
125
Alvi Syahrin, Asas-asas Dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002, halaman 62.
126
Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Makalah, Seminar Kajian Dan Sosialisasi Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997, Semarang: FH UNDIP, 1998, halaman 17-18.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal apa yang dinamakan corporate death penalty dan corporate imprisonment yang mengandung pengertian larangan
suatu korporasi untuk berusaha di bidang-bidang tertentu dan pembatasan- pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan kesalahan
perorangan; h.
Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan melalui kebijakan pengurus atau
para pengurus corporate executive officers yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan power of decision dan keputusan tersebut telah diterima
accepted oleh korporasi tersebut.
Selanjutnya, direksi tidak dapat melepaskan dirinya dari pertanggung jawaban pidana dalam hal perusahaan yang dipimpinnya mencemari danatau merusak
lingkungan, oleh karena berdasarkan pada Pasal 5 ayat 2 UU BUMN juncto Pasal 92 ayat 1, Pasal 97 ayat 1, Pasal 98 ayat 1, dan Pasal 2 UUPT dan kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPLH serta prinsip-prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care.
127
Duty of Care direksi, antara lain: a.
Direktur mempunyai kewajiban untuk pengelolaan perusahaan dengan itikad baik good faith dimana direktur tersebut harus melakukan upaya yang terbaik
dalam pengelolaan perusahaan sesuai dengan kehati-hatian care sebagaimana orang biasa yang harus berhati-hati;
127
Katarina Pistor dan Chenggang Xu, Fiduciary Dutyin Transitional Civil Law Jurisditions, Europe: ECGI, 2002, halaman 245, dikatakan bahwa konsep fiduciary duty dari anglo American
tidak mudah untuk diangkat, baik ke dalam sistem civil law atau ke dalam transisi ekonomi. Konsep ini merupakan hal yang penting bagi pengadilan karena menyebabkan pengadilan bersifat reaktif.
Implikasi normatif dari analisis ini bahwa usaha perubahan dititikberatkan pada peran pengadilan. Tata cara atau prosedur yang harus diperketat dan peraturan-perauran substantif harus dibuat untuk
menggalakkan lembaga litigasi.
Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009
b. Kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang
direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional. Artinya sebelum direksi mengambil suatu kebijakan atau keputusan dalam
rangka pengurusan dan pengelolaan BUMN, direksi wajib mempertimbangkan untung ruginya bagi perusahaan atau harus benar-benar dikaji secara komprehensif
dari berbagai aspek terutama dari aspek hukum dan ekonomi, agar tindakan itu tidak sampai menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
2. Unsur Tanggung Jawab Pidana