Unsur Tanggung Jawab Pidana

b. Kewajiban atas standar kehati-hatian ditentukan oleh kewajiban seorang direktur sesuai dengan penyelidikan yang rasional. Artinya sebelum direksi mengambil suatu kebijakan atau keputusan dalam rangka pengurusan dan pengelolaan BUMN, direksi wajib mempertimbangkan untung ruginya bagi perusahaan atau harus benar-benar dikaji secara komprehensif dari berbagai aspek terutama dari aspek hukum dan ekonomi, agar tindakan itu tidak sampai menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

2. Unsur Tanggung Jawab Pidana

Teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana membawa beberapa konsekuensi. Hal ini pertama-tama berpengaruh terhadap pengertian tindak pidana itu sendiri. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kesalahan dan pertanggung jawaban pidana masih menyisakan berbagai persoalan dalam hukum pidana. Hal ini bukan hanya dalam lapangan teoritis, tetapi lebih jauh lagi dalam praktik hukum. Kenyataan dalam praktek peradilan di Indonesia menunjukkan belum adanya kesamaan pola menentukan kesalahan dan pertanggung jawaban pembuat tindak pidana. Sebagai contoh, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 September 1991 Nomor 1352 KPid1991, kesalahan terdakwa dipandang terbukti dengan sendirinya ketika seluruh unsur tindak pidana telah dapat dibuktikan. Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 18 Mei 1992 Nomor 14 KPid1992, Majelis Hakim Agung setelah mempertimbangkan kesengajaan terdakwa dalam menentukan pertanggung jawaban pidananya. Sekalipun dalam rumusan tindak Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 pidana yang didakwakan, tidak terdapat unsur “dengan sengaja”, tetapi hal itu dipertimbangkan majelis hakim. Hal ini dapat dipandang kesalahan terdakwa dipertimbangkan setelah dan di luar dari tindak pidana yang didakwakan. Dengan demikian, dalam kedua putusan Mahkamah Agung tersebut, terdapat cara penentuan kesalahan dan pertanggung jawaban yang sangat berbeda satu sama lain. Kenyataan di atas sepintas lalu dapat dijelaskan dengan pandangan schaffmeister yang menyatakan bahwa, penggunaan kesalahan sebagai dasar pemidanaan bukan keharusan menurut undang-undang yang empiris, tetapi asas normatif. 128 Konsekuensinya, seolah-olah memang tidak ada standar dalam menentukan kesalahan dan pertanggung jawaban pidana. Hal demikian ini berdampak pada tidak adanya pola yang seragam menentukan hal itu dalam setiap putusan pengadilan. Namun demikian, seperti dikatakan Curzon, diyakini pula bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana terhadapnya, tidak boleh ada keraguan sedikitpun pada diri Hakim tentang kesalahan terdakwa. 129 128 Schaffmeister, N. Keijer dan PH. Sitorus, Hukum Pidana, dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Yogyakarta: Liberty, 1995, halaman 82. 129 L.B. Curzon, Criminal Law, London: ME Pitman Publishing, 1997, halaman 23, dikatakannya bahwa kesalahan merupakan “the need for proof beyond reasonable doubt”. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Hal ini menyebabkan penentuan kesalahan dan pertanggung jawaban pidana mesti dapat dipolakan. Pertanyaan yuridis berkenaan dengan hal itu, apakah sebenarnya yang menjadi dasar penentuan kesalahan dan pertanggung jawaban pidana terhadap diri terdakwa. Jawaban persoalan di atas tidak dapat begitu saja ditemukan jawabannya dalam peraturan perundang-undangan. Hingga kini masalah kesalahan dan pertanggung jawaban pidana belum mendapat porsi yang cukup dalam peraturan perundang-undangan. Adapun unsur-unsur pertanggung jawaban secara pidana adalah sebagai berikut: a. Bahwa perbuatan yang dilakukan mengandung unsur melawan hukum; b. Bahwa perbuatan itu mengandung unsur kesengajaan; c. Ada penyalahgunaan wewenang berkaitan dengan jabatan yang melekat pada dirinya; d. Bahwa perbuatan itu merugikan keuangan maupun perekonomian negara dan masyarakat. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidana dan unsur pertanggung jawaban pidana kepada pelakunya. Sehingga dalam syarat hukuman pidana terhadap seseorang secara ringkas dapat dikatakan bahwa tidak ada hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya hal-hal yang secara jelas dapat dianggap memenuhi syarat atas kedua unsur tersebut. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi hukum pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Sedangkan sebagai dasar pertanggung jawaban adalah kesalahan yang dapat di pidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuannya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggung jawabkan kepada si pelaku. Dalam kebanyakan rumusan delik pidana, unsur kesengajaan merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila di dalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui willens en wetens, yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau harusah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wetens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat. Disini dikaitkan Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Van Hippel 130 maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materil, karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materil, maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan tersebut. Selain unsur kesengajaan di atas ada pula yang disebut unsur kelalaian atau kealpaan culpa, yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld dan kealpaan disadari bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati. Kembali kepada pokok pembahasan dalam materi pertanggung jawaban pidana oleh direksi dalam pengurusan BUMN, sebagai contoh dalam pengurusan Bank. Tindak pidana perbankan hanya meliputi tindak pidana yang secara yuridis normatif diatur dan dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 130 Chairul Huda, Op.cit., halaman 97. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan UU Perbankan, sedangkan tindak pidana di bidang perbankan dapat meliputi semua tindak pidana yang berkaitan dengan dunia perbankan. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa pemalsuan uang ke dalam tindak pidana di bidang perbankan. Dengan demikian, tindak pidana di bidang perbankan dapat mencakup ruang lingkup yang sangat luas. Di dalamnya dapat mencakup tindak pidana berupa pemalsuan sertifikat tanah untuk memperoleh agunan, credit card dan lain-lain. 131 Pasal 48 UU Perbankan menyatakan: 1 Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 dua tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 5,000,000,000.- lima miliar rupiah dan paling banyak Rp. 100,000,000,000.- seratus miliar rupiah; 2 Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 34 ayat 1 dan ayat 2, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 satu tahun dan paling lama 2 dua tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp. 1,000,000,000.- satu miliar rupiah dan paling banyak Rp. 2,000,000,000.- dua miliar rupiah. Dalam Pasal 49 UU Perbankan disebutkan: 1 Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun 131 Andi Hamzah, Hukum Pidana Khusus Economic Crime, Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana Dan Kriminologi, Semarang, 1998, halaman 20. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank; c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun serta denda sekurang- kurangnya Rp. 10,000,000,000.- sepuluh miliar rupiah dan paling banyak Rp. 200,000,000,000.- dua ratus miliar rupiah; 2 Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja: a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana sekurang-kurangnya 3 tiga tahun dan paling lama 8 delapan tahun serta denda sekurang-kurangya Rp. 5,000,000,000.- lima miliar rupiah dan paling banyak Rp. 100,000,000,000.- seratus miliar rupiah. Dari ketentuan UU Perbankan tersebut jelas terlihat konsekuensi hukum bagi direksi, komisaris maupun pekerja yang melakukan pelanggaran tindak pidana. Disamping rumusan perbuatannya jelas, sanksi pidananya juga jelas hanya saja ancaman pidana minimal seharusnya juga dicantumkan, sehingga pengadilan tidak ragu-ragu atau tidak bisa main-main dalam menentukan hukuman pidananya. Tetapi sayangnya UU BUMN tidak mengatur mengenai tindak pidana dalam pengurusan BUMN. Sehingga harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 pidana baik yang dimuat di dalam KUHP maupun yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan sektoral lainnya. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009

BAB IV PENERAPAN PRINSIP BUSINESS JUDGEMENT RULE SEBAGAI WUJUD

PERLINDUNGAN TERHADAP DIREKSI DALAM PENGURUSAN BUMN

A. Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgement Rule

The business judgement rules both shields directors form liability when it’s five elements – a business decision, disinterestedness, due care, good faith and abuse of discretion – are present and creates a presumption in favor of the directors that each of these elements has been satisfied. 132 Dengan demikian, direksi sebagai eksekutif perseroan terbatas, harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik good corporate governance, yaitu mengikuti undang-undang, anggaran dasar perseroan, dan mekanisme pengambilan keputusan. Direksi mempunyai kekuasaan yang besar dalam mengambil keputusan berdasarkan business judgement rule. Direksi tidak dapat diganggu gugat perdata atau dituntut pidana, bila ia mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan bahwa keputusan tersebut adalah sebaik-baiknya untuk kepentingan perseroan, telah sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar perseroan, atau mekanisme pengambilan keputusan, serta berdasarkan itikad baik dan tanpa ada pertentangan kepentingan conflict of interest dengan dirinya pribadi. 133 Berikut dibawah ini akan membahas lebih lanjut mengenai duty of 132 Dennis J. Block, et.al, Third Edition, The Business Judgement Rule, Fiduciary Duties of Corporate Directors, NJ: Prentice Hall Law Business, 1989, halaman 29. Dina Khairunnisa : Kedudukan, Peran Dan Tanggung Jawab Hukum Direksi Dalam Pengurusan BUMN, 2009 care dan standard of care, duty of loyalty serta duty of candor dalam hubungannya dengan business judgement rule.

1. Duty of Care and Standard of Care