BAB III HUKUMAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN
KOLETIF YANG MENGAKIBABKAN LUKA BERAT
A. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Dan Macam-Macamnya
Apabila menusia melanggar hak-hak orang lain baik hak perorangan maupun hak masyarakat maka ada pertanggungjawaban pidana al-masuliyah al jinayah,
untuk menjaga mereka dari hal–hal yang mafsadah, karena Islam sebagai rahmat bagi semesta alam untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
29
Pertanggungjawaban pidana menurut Hukum Pidana Islam didasarkan pada prinsip, yaitu :
1. Perbuatan delik itu berupa perbuatan yang dilarang, artinya ditentukan oleh nash baik Al-qur’an maupun Al-hadist yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan.
Prinsip ini dikenal dengan unsur material. 2.
Adanya perbuatan yang membentuk jinayah, dikenal dengan urusan material al- rukn al-madi, perbuatan disini harus berdasar pada kehendak, artinya pembuat
delik tidak dalam keadaan terpaksa.
3. Mukallaf sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan,
dikenal dengan unsur moral al-rukn al-adabi
30
29
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Cet. 1, h. 279
30
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, h. 3
Hukuman harus mempunyai dasar, baik dari al-Qur’an dan hadis, selain itu hukuman harus bersifat pribadi hanya dijatuhkan kepada mereka yang melakukan
kejahatan saja. Kalangan fuqaha, umumnya membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan tidaknya oleh al-qur’an atau al-hadis
mereka membaginya menjadi tiga macam bentuk sesuai aspek yang ditonjolkan, yaitu 1. Jarimah hudud, jarimah ini meliputi perzinaan, qadzaf, minum khamar, pencurian,
perampokan, pemberontakan dan murtad. 2. Jarimah qishas atau diyat, yaitu meliputi pembunuhan sengaja, pembunuhan semi
sengaja, pembunuhan karena kesalahan, pelukaan sengaja dan pelukaan semi sengaja.
3. Jarimah Ta’zir jarimah ini terbagi kedalam beberapa bagian, yaitu : a.
Jarimah hudud sudah merupakan perbuatan maksiat misalnya, percobaan perampokan dan percobaan pembunuhan.
b. Jarimah yang ditentukan al-qur’an dan al-hadits namun tidak ditentuakn
sanksinya, misalnya penghinaan dan sumpah palsu. c.
Jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini nilai ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum,
hal ini diuraikan dalam bidang Ushul fiqh misalnya pelanggaran lalu lintas.
31
Demikianlah pembagian jarimah dalam syariat Islam, sehingga dapat diambil pengertian bahwasannya Islam dalam menetapkan sanksi hukuman mempunyai dua
cara, yaitu:
31
Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, Cet. Ke-I, h. 28
1. Sanksi hukum yang telah ditentukan dalam nash al-qur’an dan al-hadits atau dalam istilah uqubah mashshiyah.
2. Sanksi hukum yang penanganannya diserahkan kepada ulul amri atau hakim dikenal dengan uqubah tafwidliyah.
Dalam hal adanya jarimah yang dilakukan oleh lebih dari seorang, para fuqaha mengadakan pemisahan apakah kolektivitas pelaku dalam mewujudkan
jarimah kekerasan itu terjadi secara langsung turut serta bersama-sama atau tidak langsung hal ini disebabkan oleh keadaan yang dapat mempengaruhi sanksi jarimah
daripada peserta dinilai sesuai keterlibatannya: 1.
Turut serta secara langsung Menurut Hukum Pidana Islam banyaknya pelaku kejahatan kekerasan tidak
mempengaruhi besarnya hukuman yang dijatuhkan atasnya seperti masing-masing dari mereka melakukan tindak kejahatan kekerasan sendiri.
32
meskipun demikian masing-masing pelaku bisa dipengaruhi oleh keadaan dirinya sendiri-sendiri seperti
dalam suatu tindak kejahatan kekerasan kolektif, bisa terjadi salah satu pelaku kejahatan kekerasan kolektif melakukan perbuatannya karena membela diri, karena
gila, salah sangka sementara hal itu tidak ada pada diri pelaku lainnya, maka hukuman yang akan dijatuhkanpun tidak sama.
Jika seseorang melukai orang lain dengan maksud untuk membela diri kemudian datang orang ketiga dengan sengaja membuhuh orang lain tersebut,
kemudian orang itu meninggal dunia atas perbuatannya maka pelaku pertama tidak
32
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 142
dijatuhi hukuman sebab membela diri, sedangkan pelaku kedua dijatuhi sanksi qishas sebab pembunuhan dengan sengaja.
Menurut pendapat mazhab empat, semuanya diancam hukuman qishas bila mereka semuanya melakukan pembunuhan itu secara langsung hal ini terjadi karena
ada kesepakatan untuk membunuh maka orang yang membantu dianggap pembunuh meskipun perbuatannya bukan membunuh namun perbuatanya bersama peserta lain
menyebabkan kematian korban dan kematian korban itu sebagian akibat dari perbuatan kelompok itu.
33
Mereka berbeda pendapat bila kelompok itu bersepakat untuk membunuh seseorang, namun ada seseorang, dari mereka tidak hadir ketika pembunuhan yang
direncanakan itu berlangsung. Artinya ia hanya membantu secara tidak langsung. Menurut Imam Malik, dalam kasus ini setiap orang yang hadir dianggap membantu,
meskipun tidak langsung, perbuatan demikian diancam dengan qishas, serperti seorang dari mereka hanya menjaga pintu dan yang lain hanya mengawasi kalau-
kalau ada orang yang datang sedangkan orang yang tidak hadir, meskipun ia membantu terjadinya pembunuhan maka ia hanya dikenai sanksi ta’zir
Orang yang memegang orang yang akan dibunuh, dan ia memegang bukan untuk membunuh, maka tidak dapat dituntut qishas. Sedangkan bila ia memegangnya
dengan maksud untuk membunuhnya, dan pembunuhnya orang ketiga, maka dikalangan fuqaha ada perbedaan pendapat.
33
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 148
Imam Malik berpendapat bahwa kasus ini mereka diancam dengan qishas, bila ia tahu bahwa orang yang dipegang tersebut akan dibunuh. Dengan kata lain ia tahu
hanya dengan dipeganglah pembunuhan terhadap orang tadi akan lebih mudah dilakukan.
Bila orang yang diperintahkan itu sudah baligh dan berakal dan bagi orang yang memerintah tidak memiliki kekuasaan terhadap orang yang diperintah, menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman qishas itu diancamkan kepada orang yang diperintah, sedangkan yang memerintah dikenai hukuman ta’zir.
Menurut Imam Mazhab empat, qishas itu dikenakan kepada orang yang memaksa dan yang dipaksa membunuh, dengan alasan karena orang yang memaksa
itu penyebab pembunuhan sedangkan yang dipaksa itu melakukan pembunuhan demi menyelamatkan diri sendiri. Dalam kasus ini perbuatan sebab dan langsung itu
seimbang. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, hukuman qishas diancamkan kepada orang yang memaksa saja, karena Rasulullah saw bersabda:
? 5
A
Artinya: Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw, bersabda sesungguhnya akan“Diangkat dari umatku kesalahan, lupa dan perbuatan yang
dipaksakan kepada mereka” .H.R. Baihaqi dari Ibnu Majah dari Abas
34
Begitulah aturan pokok yang telah dikemukakan oleh para fuqaha, namun perbedaan pendapat hanya terjadi dalam penerapan aturan”menghindari hukuman-
hukuman had karena ada syubhat”, dan perbedaan itu hanya sebatas pada peristiwa
34
Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, Sunan Ibnu Majah, Beirut: Darul Fikr, 1995, jilid I, h. 642
yang boleh jadi perbuatan salah seorang dari para pelaku kekerasan kolektif itulah yang dapat menimbulkan akibat yang dapat dihukum, bukan perbuatan pelaku
lainnya. Seperti peristiwa kematian karena perbuatan dua orang, yang satu sengaja membunuh sedangkan yang lainnya karena khilaf semata-mata. Menurut sebagian
fuqaha syubhat kesamaran yang timbul, yang itu kepada perbuatan siapa peristiwa kematian itu dipertalikan, menimbulkan syubhat kesamaran, yang karenanya para
pelaku kekerasan kolektif lainnya tidak dikenakan sangsi hukum. Menurut fuqaha lainnya pada peristiwa tersebut tidak ada kesamaran yang bisa menghapuskan
hukuman had, dan masing-masing pelaku kekerasan kolektif di jatuhi hukuman yang semestinya, sesuai dengan jenis dan peran mereka dalam kekerasan yang terjadi.
35
2. Turut serta secara tidak langsung
Menurut Hukum Pidana Islam sanksi hukum yang telah ditentukan jumlahnya,seperti kejahatan kekerasan yang diancam had atau qishas dijatuhkan atas
pelaku kejahatan kekerasan kolektif secara langsung bukan atas pelaku secara tidak langsung. Berdasarkan aturan tersebut mereka yang turut serta secara tidak langsung
dalam kejahatan kekerasan kolektif yang diancam had atau qishas, tidak dijatuhi sanksi yang telah ditentukan jumlahnya, bagiamanapun bentuk turut serta tidak
lansung itu, melainkan dijatuhi hukuman ta’zir. Adapun alasan pengkhususan tersebut untuk kejahatan kekerasan yang di
ancam had atau qishas ialah karena pada umumnya sanksi hukum yang telah
35
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, 143
ditentukan jumlahnya itu sangat berat bagi pelaku. atau mungkin pelaku pada umumnya lebih berbahaya dari pada pelaku secara tidak langsung.
Sebagaimana yang di gambarkan oleh Imam Malik bahwa bagaimanapun caranya, dianggap sebagai pelaku langsung apabila ia menyaksikan terjadinya
kejahatan kekerasan, sebab dapat dimungkinkan apabila pelaku langsung tidak sanggup menyelesaikan bisa jadi pelaku tidak langsung yang akan menyelesaikannya
atau bekerjasama dengan orang lain jelasnya pelaku langsung hanya menjadi alat.
Oleh karena pelaku kejahatan pelaku kolektif lebih dari seorang maka sangsi hukum bagi mereka baru dapat diterapkan setelah memperhatikan kepada faktor yang
mempengaruhi keadaan diri para pelaku kejahatan kekerasan, antara lain: a. Cara terjadinya kejahatan kekerasan
b. Keadaan para pelaku c. Niat para pelaku
36
Hukum Islam menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana penganiayaan ketika perbuatan tersebut terjadi secara tidak sengaja, dengan menyesuaikan akibat
perbuatan yang ditimbulkan, yaitu seperti dalam pembunuhan disengaja. Karenanya, hukuman atas orang yang menghilangkan anggota badan atau menghilangkan
manfaatnya adalah lebih berat dibandingkan hukuman atas luka yang sembuh tanpa meninggalkan cacat. Hukuman atas orang yang menghilangkan penglihatan manusia
itu lebih berat dibandingkan hukuman atas orang yang menghilangkan sebagian
36
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, Asy Syamil, 2000, h. 165
penglihatannya. Demikian seterusnya. 3.
Sengaja Melakukan Perbuatan
Menurut Ibnu Rusyd menyatakan bahwa pembagian kisas menjadi dua yaitu : kisas jiwa dan kisas selain jiwa atau kisas anggota badan termasuk pelukaan.
37
Agar suatu perbuatan dihukum tindak pidana sengaja perbuatan harus berasal dari
kehendak pelaku dan dilakukan dengan maksud melawan hukum pelanggaran. Jika pelaku tidak menghendaki perbuatan, atau menghendaki tetapi tidak bertujuan
melawan hukum, perbuatan tersebut tidak tianggap perbutan yang disengaja, tetapi tidak disengaja tersalah.
Pelaku dijatuhi hukuman sesuai dengan maksud dengan sadar kemungkinan akibat qasd ihtimalidoluseventualis. Pelaku harus bertanggung jawab atas akibat
perbuatan yang ia lakukan, bukan atas tujuan sewaktu ia melakukan perbuatan. Jika perbuatannya mengakibatkan anggota badan atau manfaaatnya hilang, mengakibatkan
luka hingga tulangnya terlihat, mengakibatkan luka sampai menimbulkan lubang atau lebih kecil dari itu, pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya
walaupun ia tidak bermaksud menimbulkan akibat tersebut ketika melakukan perbuatan.
Pelaku harus bertanggungjawab atas tujuannya yang tidak terbatas. Orang yang melemparkan batu kepada segolongan orang dengan maksud melukai salah
seorang dari mereka, maka ia harus bertanggungjawab atas akibat perbuatannya, baik
37
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Semarang : Al-Syifa, 1990, jilid. II, h. 528
pelaku mengenal orang-orang tersebut maupun tidak.
38
Dalam tindak pidana penganiayaan, hukumannya sama antara pelaku yang melakukan perbuatan secara sengaja, namun tidak bermaksud membunuh dan pelaku
yang sengaja melakukan perbuatan dengan maksud ingin membunuh, selama perbuatannya tidak mengakibatkan kematian. Ini karena hukum Islam tidak
menjatuhkan hukuman terhadap percobaan pembunuhan jika percobaaan tersebut menjadi tindak pidana penganiayaan secara utuh, apa pun akibat tindak pidana
tersebut, baik berupa melukai badan, melukai kepala dan muka, melukai rongga perut, menghilangkan manfaatnya.
4. Otak Pelaku
Kemudian sehubungan dengan orang yang memiliki suatu perencanaan sebelumnya atau otak pelaku dari segala kejahatan. Maka penulis memahami bahwa
orang tersebut dapat di hukum berdasarkan sejauh mana perbuatan yang direncanakan yang akan dilakukan terhadap korban. Apakah korban mengakibatkan kematian atau
hanya mengalami pelukaan, hilangnya salah satu tubuh korban. Maka hukuman bagi otak pelaku bisa lebih berat atau sama sesuai dengan apa yang terjadi pada tubuh
korban, dalam hal ini penulis bersandar pada pendapat Ibnu Rusyd beliau mengatakan bahwa hukuman kisas dibagi menjadi dua yaitu: kisas terhadap jiwa dan kisas selain
jiwa atau kisas anggota badan termasuk pelukaan.
39
38
Yafie dkk, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 24
39
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid 2 h. 528
Dari sini dapat dipahami bagi otak pelaku dapat dihukum lebih berat. Karena orang yang disuruhpun mendapat hukuman. Mengenai pemotongan anggota badan,
Manusia memiliki anggota tubuh diantaranya ada yang merupakan organ tunggal, seperti hidung, lidah, dan penis. Di samping itu ada pula organ-organ yang
berpasangan, seperti kedua mata, telinga, bibir janggut, kaki, tangan, pelir, buah dada, pantat dan kedua bibir kemaluan wanita. Apabila seseorang merusak anggota tunggal
atau yang berpasangan milik orang lain, maka wajib ia membayar diyat sepenuhnya diyat penuh. Jika merusak salah satu darianggota yang berpasangan maka wajib
membayar setengah diyat. Kemudian diyat itu berbeda-beda menurut perbedaan jenis dan kekufuan. Adapun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan
diyat adalah kewanitaan, kekafiran, dan kehambaan.
40
B. Pelaksanaan Hukumannya Menurut Imam Abu Hanifah