disembah begitu saja. Umat Buddha menghormatinya karena Buddharupang memiliki makna filosofis yang dalam bagi mereka.
69
Buddharupang sebagai lambang pemujaan tidak hanya dipuja sebagai sosok kepribadian. Sang Buddha
yang sangat mulia, melainkan juga karena perjuangan dan ajaran beliau yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
Sekalipun Buddharupang hanya terbuat dari kayu, batu, perunggu atau emas, umat Buddha tetap menghormatinya dengan cara beranjali merangkap
kedua tangan di depan dada atau bernamaskara bersujud di hadapan Buddharupang, rasa bakti yang dilakukan di hadapan Buddharupang didasarkan
rasa terima kasih kepada guru junjungan yang juga merupakan awal atau pintu memperoleh kebenaran atau paling tidak melakukan kusala kamma kamma baik.
Atas jasa-jasa beliau manusia dapat bebas dari penderitaan, menuju kebahagiaan, dan mencapai kebebasan.
Rupang diletakkan di setiap bangunan vihara Uposathagara, Dhammasala, Kuti dan Perpustakaan, gunanya agar umat mengetahui bahwa rupang merupakan
lambang yang sering digunakan dalam agama Buddha.
2. Stupa
Stupa sansekerta atau thupa pali adalah suatu monumen yang didirikan sebagai tempat untuk menempatkan abu jenazah sisa kremasi atau benda
peninggalan relic dari orang suci atau Cakkavati raja sejagat. Bentuk stupa adalah melambangkan empat unsur pokok yang berbentuk jasmani manusia, yaitu
tanah, air, api dan udara. Stupa telah ada sejak masa Sang Buddha. Stupa juga
69
Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, Skripsi S1 Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta, 1997, h. 19.
dijadikan sebagai objek penghormatan.
70
Puja Bhakti maupun penghormatan pada stupa adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan
perbuatan atau perilaku baik orang-orang suci yang peninggalan atau relicnya terdapat dalam stupa pada masa hidupnya, agar umat Buddha dapat
meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan pada stupa tersebut. Stupa yang ada di vihara Jakarta Dhammacakka jaya adalah stupa dalam
bentuk kecil dan diletakkan di altar.
3. Cakka atau Cakra
Kata cakka atau cakra ini dikenal dalam agama Buddha yang disebut Dhammacakka Pali atau Dhammacakra Sansekerta yang berarti roda dhamma,
yaitu sebagai lambang permulaan pembabaran dhamma yang diajarkan Buddha Gotama kepada murid pertama 5 petapa. Lambang ini berbentuk lingkaran, di
dalamnya terdapat ruji-ruji serta porosnya. Semua itu menggambarkan bahwa ban dari lingkaran roda itu sebagai belas kasihan yang tidak berhenti. Ruji-ruji di
dalam lingkaran itu sebanyak delapan buah adalah menggambarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari demi
tercapainya pembebasan mutlak atau nibbana. Lambang cakka di vihara ini diletakkan di pintu masuk Uposathagara.
Lambang-lambang lain yang terdapat di cetiya adalah lampulilin, dupa, bunga dan air.
a. Lampu penerangan
Dalam melaksanakan puja di depan Sang Buddha digunakan lampu penerangan. Lampu ini melambangkan cahaya yang menerangi kegelapan.
Ruangan yang semula gelap gulita, dapat menjadi terang dengan cahaya lampu.
70
Coerneles Wowor, Pelajaran Agama Buddha untuk SMA kelas 1 Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003, h. 4-5.
Demikian juga dhamma dapat menerangi batin yang gelap menuju penerangan sempurna.
b. Dupa atau hio
Di dalam vihara biasanya ada bau harum dari dupa yang ditancapkan di tempat khusus di altar. Dalam hal ini dupa melambangkan harumnya kebajikan
yang dilakukan oleh siapa saja. Namun bau harumnya dupa tidak dapat melawan arah angin, sebaliknya bau harumnya kebajikan atau nama baik dapat melawan
arah angin. Dalam Dhammapada disebutkan:
Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat
melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar kesegala penjuru.
71
Harum juga nama Sang Buddha karena beliau penemu jalan kebenaran. Inilah yang patut direnungkan dengan objek dupa yang ada.
c. Bunga
Bunga adalah lambang ketidakkekalan Anicca, bunga segar yang diletakkan di altar setelah beberapa waktu akan menjadi layu. Begitu pula dengan
badan dan jasmani, suatu waktu pasti akan menjadi tua, lapuk dan akhirnya mati. Pada saat dipetik dan dipersembahkan di cetiya, bunga masih segar dan harumnya
membuat altar kelihatan indah dan agung namun beberapa waktu kemudian akan layu dan hancur. Begitulah ketidak kekalan anicca akan dialami oleh setiap
perpaduan dari unsur-unsur baik yang hidup ataupun yang mati.
d. Air
Air dalam agama Buddha melambangkan kerendahan hati, kesejukkan, kemurnian, dan kebersihan karena air mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
71
Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, tt, h. 29
• Air dapat membersihkan noda-noda. • Air dapat memberikan tenaga hidup kepada makhluk-makhluk.
• Air dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan. • Air selalu mencari tempat yang rendah.
• Air kelihatannya lemah, akan tetapi suatu saat akan menjadi tenaga yang sangat besar.
Selain itu air juga melambangkan kesucian, oleh karena itu hendaknya manusia mampu berbuat seperti air. Sifat air yang dapat membersihkan kekotoran
memberikan arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagaikan air manusia juga dapat membersihkan segala kekotoran batinnya dengan cara melaksanakan
meditasi. Kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Dhammacakka Jaya ini meliputi
kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan. 1. Kegiatan Keagamaan
a. Kegiatan Rutin
Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dalam jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh umat Buddha ialah
pemeriksaan kesehatan, pemberkatan perkawinan, latihan meditasi, puja bhakti umum, puja bhakti remaja, puja bhakti sore, puja bhakti mahasathi, puja bhakti
uposatha, puja bhakti lanjut usia. Kebaktian-kebaktian ini dilakukan dengan membaca paritta, meditasi, permohonan Pancasila, permohonan Atthasila bila
dihadiri oleh bhikkhu, mendengarkan dhamma. Rangkaian puja bakti ini biasanya dilakukan di seluruh vihara agama Buddha.
b. Kegiatan Berkala
Kegiatan berkala adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang pada waktu tertentu dan beraturan. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang adalah
memperingati hari raya Tri Suci waisak, asadha, kathina, dan magha puja, donor darah, perayaan HUT SIMA Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.
c. Kegiatan Khusus
Kegiatan keagamaan yang dilakukan secara khusus, yaitu: Pabbajja dan Upasampada. Pabbaja artinya meninggalkan rumah memasuki kehidupan tak
berumah tangga. Orang yang telah mengikuti Pabbajja dipanggil samanera calon bhikkhu, sedangkan orang yang telah di Upasampada disebut bhikkhu.
1. Kegiatan Pendidikan Keagamaan
a. Kelas Dhamma
Untuk mengetahui ajaran Sang Buddha, umat tidak hanya mendengarkan dhammadesana yang diadakan satu kali dalam seminggu. Sisi lain untuk mengerti
ajaran Sang Buddha adalah dengan cara mengikuti kelas dhamma. Pada kelas dhamma umat bisa menanyakan yang belum dimengerti. Ini sangat baik bagi
pemula yang sedang belajar dhamma, karena mereka dapat menanyakan dhamma yang belum diketahui. Ada lima manfaat yang diperoleh seseorang yang sering
mendengarkan dhamma, yaitu: 1. Assutim sunati
: mendengarkan sesuatu yang belum pernah didengar, belajar mengetahui sesuatu yang
belum pernah diketahui. 2. Sutam pariyodapeti
: sesuatu yang pernah didengar, dilaksanakan dengan tekun untuk mendapatkan kenyataan.
3. Kankham vihanti : melenyapkan keraguan, segala sesuatu yang
ragu dilenyapkan.
4. Ditthim ujum karoti : berpandangan yang benar.
5. Cittamassa pasidati : pikirannya
bersih.
72
Setelah menyadari manfaat belajar dhamma maka akan banyak orang yang semakin tertarik mengikuti kelas dhamma.
b. Sekolah Minggu
Buddha Dhamma perlu diajarkan kepada anak-anak. Pengenalan Buddha dhamma kepada anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dengan demikian maka
pribadi anak akan terbentuk dengan baik karena dhamma merupakan landasan pembentukan pribadi yang baik. Sekolah minggu merupakan pendidikan
pengenalan Buddha Dhamma kepada anak. Pada hari minggu vihara mengadakan sekolah minggu untuk anak-anak. Buddha Dhamma disampaikan kepada anak
dalam bentuk cerita, nyanyian ataupun praktek langsung dalam hal tata cara kebaktian.
c. Kesenian
Kesenian merupakan curahan hati bagi seseorang yang berjiwa seni melalui lantunan sebuah lagu misalnya, seseorang dapat menuangkan buah
pikirannya. Banyak umat Buddha yang berjiwa seni, mereka akan merasa lebih mudah menuangkan dhamma lewat karya seninya dari pada harus menuangkan
dhamma dengan metode lainnya.
2. Kegiatan Sosial Keagamaan
Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain. Setelah
72
Panjika Pandit Jinaratna. Kaharuddin, Kamus Buddha Dhamma, Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1994, h. 71-72
dana tersebut terkumpul, maka disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial tersebut dapat dilaksanakan di vihara.
Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah melaksanakan salah satu ajaran Sang Buddha.
B. Pelaksanaan Puasa Uposatha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Dalam agama Buddha pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan itu berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kelompok umat Buddha tersebut
menjalani kehidupannya. Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Gharavasa perumahtangga, yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga
atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lain- lain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka.
2. Pabbajita, yaitu orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga
keduniawian dan menjalani hidup suci untuk mencapai nibbana. Pabbajita tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi
seorang petapa dari umat perumah tangga gharavasa yang memiliki saddha keyakinan dan simpatik. Pabbajita ini terdiri dari bhikkhu laki-laki,
bhikkhuni perempuan, samanera laki-laki dan samaneri perempuan.
73
a. Puasa Bagi Umat Awam
Umat Buddha yang menjalani hidup berkeluarga di dalam masyarakat disebut Upasaka dan Upasika. Kata Upasaka berarti yang duduk dekat dengan
guru. Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih. Di dalam kehidupan sehari-hari upasaka dan upasika, mereka melatih diri untuk
73
Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997, h. 23