Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Puasa di dalam kehidupan sehari-hari adalah bukan masalah yang asing lagi, bahkan hampir semua orang telah mengetahuinya, karena puasa ini merupakan suatu fenomena universal yang terdapat di dalam hampir semua kebudayaan, baik timur maupun barat. Oleh karena itu akan lebih menarik lagi apabila masalah puasa ini dikaji secara mendalam, khususnya puasa menurut agama Buddha, karena puasa menurut agama Buddha mempunyai keunikan tersendiri bila dibanding dengan puasa yang terdapat di dalam agama-agama besar dunia lainnya. Walaupun kadang-kadang orang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini hanyalah sebagai formalitas keagamaan. 1 Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan, tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral dan psikologi yang mendalam. 2 Di dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila, 3 yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu lobha keserakahan, dosa kebencian, dan moha 1 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Education, Foundational, 1993, h. 214 2 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214 3 Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 Jakarta: Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997, h. 2 kebodohan batin. 4 Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir nibbana. Bhikkhu dan bhikkhuni diharapkan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam dua disiplin moral sila dan vinaya sesuai dengan tanggung jawab mereka terhadap Patimokkha. Samanera dan samaneri harus memperhatikan Dasasila sebagai standar sila mereka. Bagi umat awam upasaka dan upasika memiliki Pancasila sebagai standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari dan atthasila dianjurkan sebagai sila khusus pada hari-hari Uposatha. 5 Dasar ajaran puasa di dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila, dari atthasila, dasasila, dan patimokkha. 6 Sehingga di dalam pelaksanaannya terdapat tingkat yang mendasar, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setiap hari Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari. 7 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha telah menganjurkan kepada para bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila delapan peraturan latihan hidup suci untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah hari. 8 4 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991, h. 170 5 Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung Penerbit Karaniya: Yayasan Karaniya, tt, h. 1-2 6 Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha, tt, h. 25-25 ; Bhikkhu Khamio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera Jakarta: Dhammadipa Arama, 1997, h. 31-32 ; dan Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988, h. 37-64. 7 Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha tp, tt, h. 36. 8 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214 Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12.00 siang. 9 Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat tengah hari dan melaksanakan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan perenungan dan mendengarkan Dhamma. Adapun waktu untuk menjalankan Uposathasila peraturan yang dilaksanakan pada hari Uposatha itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam. 10 Bagi para bhikkhu pada hari Uposatha jika jumlah mereka lima atau lebih di dalam satu vihara, mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227 Patimokkhasila yang dibacakan oleh salah seorang bhikkhu. Pembacaan patimokkha ini berkisar antara satu jam, dan umat awam diperbolehkan ikut mendengarkan. Lepas dari kegiatan tersebut, para bhikkhu akan menjalankan latihan yang lebih ketat dari biasanya. 11 Dan pada masa Vassa, para bhikkhu harus berdiam disuatu tempat dan tidak pergi ketempat lainnya sampai larut malam selama tiga bulan sampai tiba hari pavarana upacara pengakhiran masa Vassa. 12 Dari uraian tersebut diatas, maka apakah puasa di dalam agama Buddha itu hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada berbagai agama. 9 Anomius, Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980, h. 47. 10 Bhikkhu Vijano Ven, Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996, h. 37. 11 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati Penerbit Karaniya: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991, h. 61. 12 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1998, h. 30 Hal itulah yang menarik penulis untuk mengambil judul “Pelaksanaan dan Makna Puasa Uposatha dalam Agama Buddha studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara”.

B. Perumusan Masalah