2. Puasa Bagi Para Bhikkhu
Bhikkhu adalah umat Buddha yang melepaskan diri dari kehidupan duniawi untuk berjuang dengan sungguh-sungguh agar dapat mengakhiri
penderitaan atau mencapai nibbana. Kata bhikkhu sering diterjemahkan sebagai “pengemis” atau “peminta sedekah”. Namun terjemahan itu tidaklah
mencerminkan pengertian yang sesungguhnya, karena di dalam hubungan tersebut seorang bhikkhu tidaklah meminta, melainkan “menerima” apa yang
dipersembahkan kepadanya.
95
Menurut bhante Jayaratano puasa bagi para bhikkhu adalah dilaksanakan setiap hari, karena mereka harus menjalankan Patimokhasila, yang menjadi
standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan makanan yang mereka makan adalah hasil dari pindapatta. Pindapatta adalah makanan yang
diterima oleh para bhikkhu dari umat awam yang dipersembahkan ke dalam mangkuk patta. Bhikkhu juga dapat menerima makanan melalui persembahan
umat kepada vihara atau tempat dimana bhikkhu tinggal atau melalui undangan umat kepada bhikkhu untuk makan di rumah umat.
96
Pada hari Uposatha, selain berpuasa para bhikkhu juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pengakuan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Pengakuan yang dilakukan tersebut tidak akan menyebabkan mendapat ampunan atau pembebasan kesalahan atau perbuatan buruk yang telah dilakukan namun
akan mengetahui, mengingat dan menyadari atas perbuatan yang dilakukannya
95
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13
96
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
sehingga muncul suatu usaha atau tekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut dan tidak akan terulang lagi untuk selanjutnya.
97
Di dalam vinaya, selain ringkasan aturan moral yang disebut dengan Patimokkha, tidak ada ajaran lain yang harus dibacakan pada hari Uposatha.
Patimokkha ini mengajarkan suatu bentuk metode latihan diri untuk perkumpulan para bhikkhu. Mereka berkumpul bersama pada suatu tempat tertentu pada hari
Uposatha dan jumlah minimal bhikkhu yang hadir pada tempat tersebut adalah empat orang bhikkhu dan setiap bhikkhu tidak boleh menghadiri pembacaan
Patimokkha atas kuasa orang lain atau diwakilkan. Apabila jumlah bhikkhu yang ada pada suatu tempat pada hari Uposatha itu kurang dari empat, maka
pelaksanaan pengakuan atas kesalahan atau pelanggaran terhadap peraturan Patimokkha adalah sebagai berikut:
a. Parisudhi Uposatha untuk tiga orang bhikkhu.
Apabila pada hari Uposatha, pada suatu tempat kediaman hanya ada tiga orang bhikkhu, mereka tetap harus melaksanakan Uposatha dengan
mengumumkan “kemurnian” mereka. Hal ini dikenal sebagai Parisudhi Uposatha. Pertama-tama mereka harus mempersiapkan tugas yang akan
dilaksanakan dan disempurnakan, termasuk di dalamnya adalah pengakuan atas pelanggaran. di antara 7 tingkat kesucian, yaitu: kesucian sila, kesucian
manas, kesucian pandangan, kesucian dalam melenyapkan keragu-raguan, kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari kemajuan dan
kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari jalan suci. Ketiga bhikkhu tersebut berkumpul bersama dengan membuat jarak satu hasta
antara satu dengan yang lainnya.
97
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
b. Parisudhi Uposatha untuk dua orang bhikkhu.
Apabila pada hari Uposatha di dalam suatu tempat hanya terdapat dua orang bhikkhu maka mereka tetap melaksanakan Parisudhi Uposatha hanya
saja dalam masalah ini tidak ada pengumuman yang formal. Yang utama dilaksanakan adalah kesiapan pengakuan atas pelanggaran yang pernah
dilakukan dan dimulai dari bhikkhu yang lebih tua. c.
Adhitthana Uposatha untuk satu orang bhikkhu. Apabila pada hari Uposatha di dalam suatu tempat hanya terdapat satu
orang bhikkhu, maka bhikkhu tersebut tetap wajib untuk menjaga Uposatha dengan jalan ketetapan hati. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah
melaksanakan persiapan dengan membersihkan ruangan Uposatha atau tempat dimana biasanya Uposatha dilaksanakan, menyediakan air minum,
menyiapkan satu tempat duduk yang tertuju pada lampu. Jika kewajiban ini telah sempurna sementara tidak ada bhikkhu lain yang datang, maka bhikkhu
tersebut harus duduk dan membuat penyataan sebagai berikut: ”Ajja me Uposatho” hari ini adalah hari Uposatha untuk saya.
98
Demikian juga, pada musim hujan vassa di samping para bhikkhu harus menjalankan puasa mereka juga mempunyai kewajiban untuk berdiam di suatu
tempat dan mentaati peraturan-peraturan yang berlangsung selama 90 hari dan dimulai sehari sesudah Purnama sidhi di bulan Asalhamasa bulan kedelapan
pada peninggalan bulan dan berakhir pada Purnama sidhi bulan ke sebelas assajujamasa. Dalam tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka
dengan sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah Purnama sidhi di bulan
98
Phra Sasana Sobhana, The Patimokha 227 Fundamental Rules of A Bhikkhu, Ven Nanamoli Thera, transl. Bangkok: Mahakutarajavidyalaya, 1969, h. 153-154
Asalha yang kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadhakala Purnama sidhi adalah patokan untuk memulai masa vassa.
99
Menurut bhante Jayaratano sebelum memasuki hari Asadha, para bhikkhu sudah memilih dan berikrar untuk menjalankan masa vassa di vihara tertentu
selama tiga bulan untuk memperdalam latihan samadhi dan memperbanyak pembabaran dhamma kepada para umat, di samping mempererat, saling
pengertian, saling menghormati di antara anggota Sangha. Hal ini merupakan sesuatu yang penting bagi kemajuan dan pemeliharaan ajaran Sang Buddha.
100
Selama masa vassa para bhikkhu latihan samana dhamma dhamma yang membuat damai dan tenang seperti meditasi vipassana dan para bhikkhu dapat
membuat peraturan tertentu bagi diri mereka sendiri. Tetapi para bhikkhu dilarang membuat peraturan yang tidak sesuai dengan dhamma. Misalnya larangan
berbicara atau mendengar dhamma vinaya, membaca dhamma, memberi dhammadesana, menahbiskan bhikkhu upasampada dan melaksanakan latihan
dhutanga latihan keras untuk mengembangkan samana dhamma. Aturan-aturan tersebut tidak diperbolehkan dan para bhikkhu harus saling
menasehati satu sama lain, rajin berbicara dhamma vinaya dan belajar tentang dhamma dan vinaya, menjalankan tugas-tugas keagamaan dan mengembangkan
samana dhamma menurut kekuatan dan kemampuan masing-masing bhikkhu. Selain itu ada aturan-aturan lain yang harus dijalankan oleh para bhikkhu selama
menjalankan vassa. Yaitu tidak meninggalkan tempat selama lebih dari tujuh hari yang disebut sattaha karaniya tujuh hari untuk apa yang harus dikerjakan atau
sattaha pendek. Jika tidak maka masa vassa itu tidak berlaku lagi. Beberapa hal yang menyebabkan seorang bhikkhu dapat pergi adalah:
99
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 21
100
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
1. Jika teman dhamma bhikkhu dan samanera, atau ibu dan ayah sakit, maka
seorang bhikkhu dapat pergi untuk merawatnya. 2.
Jika teman dhamma ingin melepaskan jubah karena nafsu keinginan duniawi, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk memadamkan keinginan
tersebut. 3.
Jika terdapat beberapa tugas dari Sangha yang harus dikerjakan, seperti kerusakan vihara, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mencari bahan
guna perbaikan. 4.
Jika donatur ingin meningkatkan kebajikan mereka kusala dan mengundang bhikkhu, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mendukung keinginan
mereka.
101
Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh, Sang Buddha mengijinkan untuk melaksanakan Pavarana upacara
pengakhiran vassa sebagai ganti Uposatha pada saat Purnama di bulan Khatika bulan ke dua belas kalender lunar. Pavarana biasanya dilakukan pada tanggal
15, namun apabila Sangha tidak melakukan pavarana pada hari itu, upacara tersebut dapat ditunda dalam jangka waktu dua minggu atau satu bulan atau pada
hari yang lainnya. Jumlah bhikkhu yang menghadiri pertemuan sekurang- kurangnya lima bhikkhu. Pavarana merupakan kesempatan bagi para bhikkhu
untuk saling mengingatkan satu sama lain.
102
C. Makna Puasa Uposatha Bagi Umat Buddha