Pelaksanaan dan makna puasa (Uposatha) dalam agama Budha

(1)

PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA)

DALAM AGAMA BUDDHA

( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara )

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh:

Efriani Syukur

NIM: 102032124624

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1427 H./2007 M


(2)

PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA)

DALAM AGAMA BUDDHA

( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara )

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh

Efriani Syukur

NIM: 102032124624

Pembimbing

Drs. H. Roswen Dja’far

NIP: 150 022 782

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1427 H./2007 M


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul:

Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha

(Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara)

Telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 28 Agustus 2007.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I (SI) pada program Studi Perbandingan Agama.

Jakarta, 28 Agustus 2007

Sidang Munaqosyah,

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Drs. Masri Mansoer, M.A Maulana, M.A

NIP: 150 244 493 NIP: 150 293 221

Anggota,

Penguji I Penguji II

Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer Drs. M. Nuh Hasan, M.A

NIP: 150 209 685 NIP: 150 240 090

Pembimbing,

Drs. H. Roswen Dja’far


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I : PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Perumusan Masalah………... 4

C. Tujuan Penulisan………... 5

D. Tekhnik Penulisan………. 5

E. Sistematika Penulisan………... 7

BAB II : PUASA DALAM AGAMA BUDDHA A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha……….. 8

B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha……….. 11

C. Masa Vassa………... 16

D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha………... 20

BAB III : PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA A. Gambaran Umum Vihara Dhammacakka Jaya…………. 27

B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya……….…... 45

a. Puasa Bagi Umat Awam………... 46

b. Puasa Bagi Umat Viharawan……… 56

1. Puasa Bagi Samanera…..………...58

2. Puasa Bagi Para Bhikkhu……….. 61

C. Makna Puasa (Uposatha) Bagi Umat Buddha…………66


(5)

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan………... 72

B. Saran-saran……… 74

DAFTAR PUSTAKA... 75


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Puasa di dalam kehidupan sehari-hari adalah bukan masalah yang asing lagi, bahkan hampir semua orang telah mengetahuinya, karena puasa ini merupakan suatu fenomena universal yang terdapat di dalam hampir semua kebudayaan, baik timur maupun barat. Oleh karena itu akan lebih menarik lagi apabila masalah puasa ini dikaji secara mendalam, khususnya puasa menurut agama Buddha, karena puasa menurut agama Buddha mempunyai keunikan tersendiri bila dibanding dengan puasa yang terdapat di dalam agama-agama besar dunia lainnya. Walaupun kadang-kadang orang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini hanyalah sebagai formalitas keagamaan.1

Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan, tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral dan psikologi yang mendalam.2

Di dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila,3 yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha

1

K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Education, Foundational, 1993), h. 214

2

K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214

3

Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), h. 2


(7)

(kebodohan batin).4 Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir (nibbana).

Bhikkhu dan bhikkhuni diharapkan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam dua disiplin moral (sila dan vinaya) sesuai dengan tanggung jawab mereka terhadap Patimokkha. Samanera dan samaneri harus memperhatikan Dasasila sebagai standar sila mereka. Bagi umat awam (upasaka dan upasika) memiliki Pancasila sebagai standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari dan atthasila dianjurkan sebagai sila khusus pada hari-hari Uposatha.5

Dasar ajaran puasa di dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila, dari atthasila, dasasila, dan patimokkha.6 Sehingga di dalam pelaksanaannya terdapat tingkat yang mendasar, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setiap hari Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari.7 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha telah menganjurkan kepada para bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan peraturan latihan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah hari.8

4

Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991), h. 170

5

Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung (Penerbit Karaniya: Yayasan Karaniya, tt), h. 1-2

6

Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha, tt), h. 25-25 ; Bhikkhu Khamio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Dhammadipa Arama, 1997), h. 31-32 ; dan Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 37-64.

7

Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp, tt), h. 36.

8


(8)

Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12.00 siang.9 Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat tengah hari dan melaksanakan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan perenungan dan mendengarkan Dhamma.

Adapun waktu untuk menjalankan Uposathasila (peraturan yang dilaksanakan pada hari Uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam.10 Bagi para bhikkhu pada hari Uposatha (jika jumlah mereka lima atau lebih di dalam satu vihara), mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227 Patimokkhasila yang dibacakan oleh salah seorang bhikkhu. Pembacaan patimokkha ini berkisar antara satu jam, dan umat awam diperbolehkan ikut mendengarkan.

Lepas dari kegiatan tersebut, para bhikkhu akan menjalankan latihan yang lebih ketat dari biasanya.11 Dan pada masa Vassa, para bhikkhu harus berdiam disuatu tempat dan tidak pergi ketempat lainnya sampai larut malam selama tiga bulan sampai tiba hari pavarana (upacara pengakhiran masa Vassa).12

Dari uraian tersebut diatas, maka apakah puasa di dalam agama Buddha itu hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada berbagai agama.

9

Anomius, Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47.

10

Bhikkhu Vijano (Ven), Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996), h. 37.

11

Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit Karaniya: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991), h. 61.

12

Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1998), h. 30


(9)

Hal itulah yang menarik penulis untuk mengambil judul “Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha (studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah makna puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya?

2. Bagaimanakah pelaksanaan puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammcakka Jaya?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini memiliki beberapa tujuan diantaranya :

1. Untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman terhadap Buddha Dhamma (ajaran Sang Buddha) khususnya puasa menurut agama Buddha. 2. Menambah khazanah kepustakaan pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan


(10)

Filsafat, Jurusan Perbandingan Agama dengan gelar Sarjana Teologi Islam (S.Th.I).

D. Tekhnik Penulisan

Dalam tekhnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan-ketentuan dan petunjuk-petunjuk yang telah di tentukan oleh UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA UIN, 2007)”.

Adapun metode yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini di tempuh dengan dua cara, yaitu: Library Research (penelitian kepustakaan) dengan metode ini penulis mengadakan studi kepustakaan mengenai penelitian terhadap buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan cara yang kedua dengan cara Field Research13 (penelitian lapangan) dimana cara ini dilakukan untuk memperkuat data-data yang telah diproses dan penulis juga menggunakan teknik observasi sebagai alat pengumpulan data. Observasi yang penulis lakukan adalah dengan mendatangi dan mengamati jama’ah dan viharawan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dan melakukan wawancara langsung secara mendalam (indepth interview) dengan informan tersebut diatas tentang data-data yang diperlukan dan sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan skripsi. Disamping itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tertulis.

13

Penelitian lapangan ini untuk mengetahui lebih jauh dalam praktek ajaran oleh penganutnya terutama para bhikkhu dan samanera samaneri (calon bhikkhu) dalam agama Buddha


(11)

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, dimana masing-masing mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu sebagai berikut :

Bab pertama berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, tekhnik penulisan, dan sistematika penulisan. Bab ini juga merupakan bab pendahuluan.

Bab kedua landasan teori, yang memuat tinjauan tentang puasa di dalam agama Buddha, pembahasannya meliputi lima sub bab, yaitu: pengertian puasa menurut agama Buddha, sistem penanggalan dan sejarah hari Uposatha, masa Vassa, dan tujuan puasa di dalam agama Buddha.

Bab ketiga menjelaskan tentang pelaksanaan dan makna puasa dalam agama Buddha yang meliputi gambaran umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, puasa bagi umat awam dan puasa bagi umat viharawan dan juga makna puasa bagi umat Buddha serta analisis.

Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang berkaitan dengan judul. Terakhir sekali penulis mencantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai bahan rujukan dari penulisan skripsi ini.


(12)

BAB II

PUASA DALAM AGAMA BUDDHA

A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha

Puasa di dalam agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah Upovasa. Akan tetapi di dalam pengertian sehari-hari, mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha.14 Istilah ini berasal dari bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai pada jaman Sang Buddha Gotama.

Istilah Uposatha mengandung dua arti, yaitu:

1. Uposatha berarti nama atau sebutan hari untuk menjalankan peraturan-peraturan khusus, sehingga disebut sebagai hari Uposatha.

2. Uposatha berarti nama atau sebutan terhadap peraturan-peraturan yang dijalankan, sehingga disebut sebagai Uposathasila.15

Dalam Buddhist Dictionary, Uposatha ini diartikan sebagai berpuasa, hari puasa, yaitu hari Purnama sidhi, hari bulan baru dan hari seperempat bulan yang pertama dan yang terakhir.16

Kata Uposatha, juga mengandung makna “masuk dan berdiam diri”,

dalam pengertian berdiam di dalam vihara atau komplek vihara.17 Maksud berdiam di sini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau berada di vihara atau komplek vihara (uposathavasamvasati), belajar dhamma

14

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007

15

Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tt), h. 21

16

Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Frewin: Co. Tto, 1972), h. 187

17

Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit: Yayasan Karaniya, 1991), h. 59


(13)

melalui buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan delapan sila dan berlatih meditasi. 18

Jadi istilah Uposatha ini merupakan suatu istilah yang dipakai untuk melaksanakan suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan menahan diri (puasa).19 Menahan diri di sini maksudnya untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya.

Selain untuk menghindari makan dan minum, puasa atau Upovasa (bahasa Pali) di dalam agama Buddha juga mempunyai pengertian:

1. Mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.

2. Meningkatkan kualitas diri, artinya segala kebajikan atau perbuatan baik yang pernah dilakukan, perlu selalu di ulang-ulang, dan kebajikan atau perbuatan baik yang belum dilakukan perlu dilakukan (kusalassa upasampada/selalu mengembangkan kebajikan). 20

Singkatnya apa yang disebut puasa atau upovasa itu bukan saja mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak-gerik pikiran, ucapan, dan jasmani.21

Karena puasa di dalam agama Buddha ini merupakan pelaksanaan sila, yang merupakan suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sehingga yang termasuk di dalam kelompok sila di sini adalah:

• Pembicaraan benar (samma vaca)

18

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007

19

Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 28

20

Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993), h. 1-2

21


(14)

• Perbuatan benar (samma kammanta) • Mata pencaharian benar (samma ajiva)

Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktek pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan, kebencian dan kebodohan batin.22 Sang Buddha melarang para bhikkhu mengambil makanan padat (yang mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk berpantang mengambil makanan padat setelah tengah hari.23

Berkaitan dengan masalah puasa di dalam agama Buddha, bahwa kegunaan dari memakan makanan adalah tidak untuk kesenangan, pemabukan, menggemukkan badan atau untuk memperindah diri, tetapi hanyalah untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan tubuh, menghentikan rasa tidak enak, dan untuk membantu kehidupan suci. Sehingga akan mendapatkan kebebasan tubuh dari gangguan-gangguan serta akan dapat hidup dengan tentram.24

B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha

Di dalam kehidupan keagamaan umat Buddha, dalam satu bulan terdapat hari-hari khusus untuk melaksanakan peraturan pelatihan tertentu (sikkhapada).

22

Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center, 1991), h. 44

23

K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Educational Foundational, 1993), h. 214

24

Bhikkhu Khemio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, 1980), h. 58-59


(15)

Hari khusus itu dipandang sebagai hari yang suci (sakral) dan disebut Uposatha-divasa.

Istilah Uposatha arti harfiahnya adalah masuk untuk berdiam diri (dalam keluhuran). Istilah ini digunakan untuk sebutan hari dimana upasaka-upasika

(umat Buddha laki-laki dan perempuan) menjalankan peraturan pelatihan khusus yang terdiri dari delapan unsur peraturan pelatihan. Hari itu disebut hari Uposatha.25

Hari Uposatha adalah hari-hari tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar. Biasanya kalender yang dibuat oleh umat Buddha, tanggal jatuhnya hari Uposatha diberi tanda khusus dengan warna tertentu sehingga mempermudah bagi mereka yang akan melaksanakan Atthangika Uposatha

(delapan peraturan pelatihan pada hari Uposatha).26 Selain itu, dengan pemberian tanda dalam kalender tersebut, diharapkan agar para umat Buddha dapat melaksanakan delapan peraturan tersebut.27

Kebiasaan menjalankan Uposatha ini telah ada sebelum jamannya Sang Buddha. Sang Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan memperkenankannya untuk dipergunakan sebagai hari untuk bertemu bersama, membicarakan dan mendengarkan dhamma serta merupakan kesempatan untuk melaksanakan

Uposatha bagi umat awam (atthanga Uposathasila). Sehubungan dengan pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengijinkan mereka melakukan

Uposathasila pada tanggal 1 dan 15 pada penanggalan bulan.28

Pada hari Uposatha ini umat Buddha melakukan puja bhakti, yaitu berupa:

25

Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997), h. 40

26

Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40

27

Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila, h. 22

28


(16)

• Melakukan persembahan bunga/ dupa/ lilin di depan altar.

• Melakukan puja kepada Sang Tiratana dan membaca parrita-parrita suci.

• Memohon kepada bhikkhu untuk membimbing melaksanakan

Pancasila (lima sila) atau atthasila (delapan sila).

• Mendengarkan Khotbah Dhamma dari para bhikkhu atau pandita.

• Ada pula umat yang melakukan makan sayuranis ( sayur mayur ) dan tidak makan daging.

• Dan memperbanyak meditasi.29

Puasa di dalam agama Buddha mempunyai sejarah yang panjang, bahkan sebelum jaman Sang Buddha, yaitu dimulai dari tradisi para Brahmana yang menyucikan diri dengan menjalani ritus veda, menyepi meninggalkan rumah keluar selama beberapa waktu hingga selesai, saat yang dipilih untuk ritus itu biasanya berpedoman pada peredaran bulan, yaitu saat-saat bulan penuh dan bulan gelap atau kadang-kadang di saat-saat bulan separuh wajah.30

Pada masa itu, banyak kelompok petapa (samana) yang menggunakan hari-hari saat bulan penuh, bulan gelap, maupun bulan separuh wajah untuk memperdalam teori dan latihan-latihan mereka. Sang Buddha sendiri menganjurkan kepada siswa-siswanya untuk berkumpul di vihara pada hari-hari tersebut, mendengarkan pembacaan Patimokkha (aturan pokok bagi para bhikkhu) dan mengajarkan dhamma kepada umat yang datang ke vihara mereka.31

29

Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997), h. 1

30

Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 59

31


(17)

Demikian pula upacara-upacara yang dilaksanakan pada hari-hari

Uposatha sudah dilaksanakan oleh orang-orang India pada jaman Sang Buddha. Atas saran Raja Bimbisara dari Magadha kepada Sang Buddha, maka hari-hari

Uposatha ini kemudian juga dilaksanakan oleh para bhikkhu dan umat awam

(upasaka-upasika) sampai sekarang ini.32 Secara lengkap Sang Buddha bersabda:

“Demikianlah kejadiannya, Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di puncak karang Burung Nazar. Pada waktu itu kelana-kelana dari sekte lain mempunyai kebiasaan untuk berkumpul pada waktu pertengahan bulan pada tanggal 14 dan 15 dan perempatan bulan pada tanggal 8 dan berkhotbah tentang Dhamma. Orang-orang berdatangan untuk mendengarkannya. Mereka semakin menyukai dan semakin mempercayai kelana dari sekte lain. Maka kelana-kelana itu memperoleh bantuan. Maka ketika Raja Magadha Seniya Bimbisara sedang bermeditasi, ia merenungkan hal-hal ini: “mengapa para Yang Mulia untuk tidak berbuat serupa pada hari-hari itu?”.

Kemudian ia menemui Sang Bhagava menyampaikan apa yang dipikirkannya dan menambahkan: “Guru, alangkah baiknya jika pada hari-hari itu pula para Yang Mulia untuk berkumpul”. Sang Bhagava memberi petunjuk tentang Dhamma kepada Raja itu, setelah mana ia meninggalkan tempat itu. Kemudian Sang Bhagava membuat hal itu suatu alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma kepada bhikkhu. Beliau berkata: “O, para bhikkhu, aku mengijinkan pertemuan pada pertengahan bulan, yaitu hari ke 14 dan ke 15, dan pada perempatan bulan, yaitu pada hari ke 8”.

32


(18)

Kemudian para bhikkhu mulai saat itu berkumpul bersama sebagaimana yang diijinkan Sang Bhagava, tetapi mereka duduk dengan diam. Orang-orang datang untuk mendengarkan Dhamma. Mereka menjadi kecewa sehingga mereka berkata: “Bagaimana para bhikkhu ini, putera-puteri Sakya berkumpul pada hari-hari ini hanya untuk membisu seperti tonggak?. Tidakkah Dhamma seharusnya dikhotbahkan pada waktu-waktu mereka berkumpul?”.

Para bhikkhu mendengar hal ini, kemudian mereka menyampaikan kepada Sang Bhagava. Beliau menjadikan hal ini sebagai alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma dan beliau berpesan demikian: “O, para bhikkhu, bila ada pertemuan pada pertengahan bulan dan perempatan bulan, aku mengijinkan untuk memberikan Dhamma.33

Pada saat-saat awal perkembangan agama Buddha, Sang Buddha sendiri yang memberikan ajaran pada pertemuan Sangha dan meningkatkan kebajikan yang merupakan inti dari ajaran (sasana) dan menjelaskannya, kemudian Sang Buddha memberikan ijin kepada Sangha untuk melaksanakan Uposatha sendiri.

Di dalam setiap pertemuan suatu kelompok bhikkhu, seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan yang disebut Patimokkha. Ini dilakukan apabila terdapat empat orang bhikkhu atau lebih. Apabila hanya terdapat tiga atau dua orang bhikkhu, mereka disebut gana (group). Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian mereka” masing-masing, bila hanya terdapat seorang bhikkhu, ia disebut puggala (seorang) dan ia harus membuat adhitthana atau tekad oleh dirinya sendiri.34

C. Masa Vassa

33

Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 , h. 6-7

34


(19)

Selain hari Uposatha, musim hujan juga mempunyai peran penting bagi umat Buddha, karena masa-masa musim hujan ini akan memberikan peluang yang sangat besar bagi para bhikkhu untuk hidup lebih dekat dengan gurunya, bhikkhu senior yang telah lanjut latihan meditasinya, berpengalaman dalam vinaya atau yang telah banyak mendalami dan mengetahui sutta-sutta.

Dalam kamus Buddha dharma, Vassa ini diartikan sebagai musim hujan. Masa Vassa adalah masa dimana menurut tradisi, pada musim penghujan para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat dan mentaati peraturan-peraturan Vassa. Masa Vassa ini berlangsung selama tiga bulan (90 hari) dan dimulai sehari sesudah Purnama sidhi bulan ke delapan (asalhamasa) dan berakhir pada Purnama sidhi bulan kesebelas (assajuyamasa) menurut penanggalan lunar.

Demikian juga bagi umat awam, masa-masa ini dapat dipergunakan untuk:

• Melatih diri menjadi samanera sementara ( calon bhikkhu/bhikkhuni)

• Menjalankan latihan puasa bagi para bhikkhu dengan cara makan hanya satu kali untuk sehari atau praktek makan langsung dari satu wadah (pata), tanpa perlu menggunakan banyak piring atau mangkok. Latihan ini sangat baik untuk membatasi keserakahan terhadap makanan, kelezatan dan bentuknya yang menggiurkan.

• Atau juga untuk melatih berdana sebanyak mungkin, sekuat-kuatnya sesuai dengan kemampuannya.35

Hal-hal yang berkenaan dengan masa Vassa ini terdapat di dalam Kitab Suci Tipitaka bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka. Sang Buddha bersabda:

35


(20)

”Anujanami Bhikkhave Vassane Vassam Upagantum Dve Ma Bhikkhave Vassupana-yikaya Purimika Pacchimika Aparajju-gataya Asalhiya Purimika Upagantabha.”

Yang artinya bahwa masa Vassa haruslah dilaksanakan oleh para bhikkhu. Selama masa itu terdapat hari pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup untuk mengakhirinya.36

Ketika jumlah bhikkhu berkembang pesat, Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa bhikkhu harus berdiam di suatu tempat selama musim hujan (Vassa) dan tidak pergi ke tempat lain selama tiga bulan.37 Masa Vassa ini dimulai pada hari pertama sesudah Purnama sidhi bulan Asadha atau pada hari pertama bulan Savana (bulan 9 lunar Buddhis) dan diakhiri sesudah tiga bulan dilampaui, yaitu pada Purnama sidhi bulan Assayuja (bulan September/Oktober).

Para bhikkhu dapat memulai masa Vassa pada hari pertama sesudah hari raya Asadha (hari raya untuk memperingati kejadian yang menyangkut kehidupan Sang Buddha dan ajarannya, yaitu saat Sang Buddha untuk pertama kalinya membabarkan ajarannya kepada lima orang pertapa) atau satu bulan kemudian. Hal ini dikenal sebagai Vassa pertama, dan Vassa kedua.38 Saat Vassa merupakan saat untuk para bhikkhu melaksanakan Samanadhamma (Dhamma untuk seseorang yang membuat dirinya damai) yaitu pelaksanaan meditasi ketenangan dan pandangan terang.39

Hari dimulainya massa Vassa apabila bulan memasuki konstelasi Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang

36

Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka (Klaten: Vihara Bodhivamsa, tt), h. 158

37

Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 29

38

Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 80

39


(21)

penutupan masa Vassa, yaitu saat Purnama sidhi bulan Assayuja, diselenggarakanlah Pavarana, yaitu upacara pengakhiran masa Vassa dan dilanjutkan dengan persembahan dana yang secara umum dikenal dengan hari

Kathina.

Upacara Kathina akan berlangsung mulai bulan pertama pada saat bulan menyusut (tanggal 16) bulan Assayuja sampai Purnama sidhi bulan ke 12

(kattikamasa). Namun perayaan ini pada hakekatnya akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan kepada umat agar bisa mempersembahkan dana kepada Sangha.40

Terjadinya Vassa

Lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu Sang Buddha beserta siswa-siswanya membabarkan Dhamma. Perjalanan yang jauh dan musim yang berganti tidaklah menjadi halangan bagi Sang Buddha dan para siswanya. Hal ini terlihat dari adanya kelompok bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas maupun musim hujan (di India dikenal tiga musim).

Pada saat itu masa Vassa belum ditetapkan oleh Sang Buddha, sehingga para bhikkhu mengadakan perjalanan selama musim panas, musim dingin dan musim hujan. Tetapi ketika jumlah bhikkhu semakin meningkat dan para bhikkhu harus keluar masuk hutan, sawah maupun ladang, mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan rusak terinjak-injak oleh para bhikkhu tersebut.

40


(22)

Melihat kenyataan ini, masyarakat mengkritik para bhikkhu dengan mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan, sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda rumput dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? tetapi petapa lain meskipun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (vinaya), menetap selama musim hujan.” Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda: “Para bhikkhu, saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa”. Kemudian terpikir oleh para bhikkhu, “kapan masa Vassa dimulai?”, mereka menanyakan hal ini kepada Sang Buddha dan kemudian beliau mengatakan “saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa pada musim hujan”. Kemudian terpikir lagi oleh para bhikkhu, “berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa?”. Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha dan beliau berkata: “O para bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa. Periode pertama Vassa (purimikavasupanayika) dan periode terakhir (pacchimikavasupanayika). Periode pertama Vassa adalah sehari setelah Purnama di bulan Asalha (kini dikenal dengan hari raya Asadha). Periode berikutnya dimulai sebulan setelah Purnama di bulan Asadha. Itulah periode untuk memulai musim hujan”.41

Sejak saat itu para bhikkhu menetap selama tiga bulan musim hujan. Mereka lebih banyak melatih dan mengembangkan batin, belajar dari para bhikkhu yang lebih senior.42

41

Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka (Klaten: Vihara Bodhivamsa,1982), h. 186

42


(23)

D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha

Puasa di dalam agama Buddha adalah melaksanakan sila, yang merupakan dasar utama dalam melaksanakan ajaran agama, yaitu mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan etika dalam agama Buddha.43 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu: lobha, dosa dan moha.44

Lobha artinya ketamakan atau keserakahan. Dapat pula diartikan sebagai keterikatan pikiran terhadap obyek.

Dosa artinya kebencian atau rasa dendam. Dapat pula diartikan sebagai keinginan jahat.

Moha artinya kebodohan batin atau rasa tidak mengerti kebenaran mulia. Dapat pula diartikan sebagai avijja (tidak tahu), anana (tidak berpengetahuan),

adasana (tidak dapat melihat dengan sewajarnya).45 Sebagaimana sabda Sang Buddha:

Bilamana, O para bhikkhu, tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor, maka buah dan manfaatnya pun berlimpah, bersinar dan merebak. Dan bagaimana tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor yang membuatnya memiliki buah dan manfaat yang melimpah, bersinar, dan merebak?

Disini, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan demikian: ”Selama hidup, para Arahat meninggalkan pembunuhan dan tidak melakukannya; dengan kail dan senjata yang disingkirkan, mereka penuh kesadaran, baik hati dan hidup dalam kasih sayang terhadap semua makhluk. Hari ini aku juga, selama

43

Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 3

44

Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170

45


(24)

siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama. Aku akan meniru para Arahat di dalam hal itu, dan tindakan Uposatha akan terpenuhi olehku.” Inilah faktor pertama yang dimiliknya.

Selanjutnya, dia merenungkan: ”Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan tidak melakukannya; mereka menerima hanya apa yang diberikan, mengharapkan apa yang diberikan, dan berdiam dengan hati yang jujur, bebas dari keinginan mencuri. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor kedua

yang dimilikinya.

“Selama hidup, para Arahat meninggalkan kehidupan seksual dan hidup selibat, jauh dari seksualitas, menahan diri dari praktek hubungan seksual yang kasar. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor ketiga yang dimilikinya.

“Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan berbicara yang tidak benar dan tidak melakukannya, mereka adalah pembicara kebenaran, pengikut kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor keempat yang dimilikinya.

“Selama hidup, para Arahat meninggalkan anggur, minuman keras dan apapun yang bersifat meracuni yang menjadi landasan bagi kelalaian dan tidak melakukannya. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor kelima yang dimilikinya.

“Selama hidup, para Arahat makan hanya sekali sehari dan menahan diri untuk tidak makan pada malam hari atau pada saat yang tidak tepat. Hari ini aku


(25)

juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor

keenam yang dimilikinya.

“Selama hidup, para Arahat tidak menari, menyanyi, melihat pertunjukkan musik instrument dan pertunjukkan yang tidak pantas, dan mereka tidak menghias diri dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wangi-wangian dan minyak-minyakan. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor ketujuh yang dimilikinya.

“Selama hidup, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan alas duduk yang mewah dan tidak melakukannya; mereka menggunakan tempat beristirahat yang rendah-bisa tempat tidur yang kecil atau alas jerami. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor

kedelapan yang dimilikinya.46

Sila ini merupakan gerak-gerik kehendak (cetana) yang bersikap menghindarkan diri untuk tidak bertindak jahat dan bersikap mengendalikan diri untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan norma-norma kebaikan yang berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturan-peraturan yang ditentukan oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan atau tradisi yang baik.47 Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh hasil yang luhur, karena perkembangan batin tidak mungkin tercapai tanpa memiliki dasar sila ini.

Sebagian umat Buddha yang meyakini adanya tumimbal lahir (hukum punarbhava), sebetulnya manusia sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali bahkan tidak terhitung, begitu juga halnya dengan kelaparan, tentu sudah berjuta-juta kali bahkan tidak terhitung orang merasakan lapar. Dengan mengendalikan keinginan makan yang muncul setelah waktu berjuta-juta tahun yang lampau,

46

Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003), h. 526

47


(26)

secara tidak langsung sebetulnya hal tersebut juga merupakan latihan untuk mengendalikan emosi. Mengapa demikian? kalau seseorang mampu mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau, mengapa tidak bisa menahan diri untuk tidak marah, misalnya. Dengan cara ini seseorang bisa menghadapi segala sesuatu dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan diri ini merupakan cara yang sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan praktek kesabaran.48

Begitu juga sampai pada tingkat tertentu, kemajuan di dalam Dhamma akan menurun di bawah pengaruh nafsu-nafsu keinginan jasmani yang timbul dari pikiran yang kotor. Kekotoran akan nafsu-nafsu itu akan dapat dikendalikan dengan baik justru ketika kekotoran dan nafsu-nafsu itu tampak dan muncul dengan begitu kuatnya. Hampir tidak mungkin mengendalikan kekotoran batin yang tidak tampak di permukaan meski mereka mungkin saja beroperasi di bawah sadar.

Perilaku seorang bhikkhu yang baik menunjukkan cara yang benar untuk menghadapi kekotoran-kekotoran itu. Begitu pula halnya dengan hari-hari

Uposatha, saat kekotoran-kekotoran itu menampakkan dirinya, mudahlah bagi kita mengendalikan dan memangkasnya dengan bantuan disiplin serta melaksanakan Atthasila (delapan sila).49 Dengan demikian, latihan-latihan itu benar-benar tindakan untuk menguji sejauh mana seseorang bisa mengendalikan dirinya. Atau jelasnya, sejauh mana bentuk-bentuk mental yang baik, yang terbentuk oleh praktek Dhamma selama ini, mampu mengalahkan

48

Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994), h. 48

49


(27)

karakter buruk yang dibentuk oleh batin yang serakah, benci yang diselumuti kebodohan.50

Sang Buddha sangat memuji keagungan pelaksanaan Atthasila, yang dimenangkan oleh pria dan wanita atas kekuasaan duniawi, yang meraih kekuasaan dan kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya dan diyakinkan akan memberikan buah kelahiran kembali di surga para dewata. Sang Buddha menjelaskan kepada Visakha berbagai bentuk perenungan batin (mental reflection), guna memperkuat diri bagi seseorang yang akan menjalankan

Uposatha Arya, yang membimbing pada ketenangan dan kesucian batin.

Sebagaimana terdapat di dalam kitab suci, Sang Buddha bersabda: “Dan apakah Uposatha Arya itu, Vesakha? Hal itu adalah pembersihan pikiran yang keruh dan kotor melalui proses yang benar. “Dan bagaimanakah hal itu dilaksanakan, Visakha?”. Dengan cara ini pengikut Sang Arya merenungkan Sang Tathagata sebagai berikut:

“Demikianlah Sang Bhagava, yang maha suci yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada Taranya, Guru para deva dan manusia, Yang sadar, Yang patut dimuliakan”.

“Bila ia melakukan perenungan terhadap Tathagata batinnya menjadi tenang, timbul kegembiraan dan kekotoran batin menjadi lenyap”. “ Demikian pula ia melakukan perenungan terhadap Dhamma dan Sangha. Kebajikan seseorang dan kebajikan para dewa”.51

Dalam uraian Atanatiya Sutta. Pada hari kedelapan lunar, dewa penjaga mengirim utusannya ke alam dunia untuk meyakinkan apakah manusia memegang

50

Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 68

51


(28)

teguh kebenaran dan kebajikan. Mereka kirimkan anak-anaknya pada hari ke empat belas lunar untuk alasan dan tujuan yang sama. Pada hari ke lima belas para dewa penjaga sendiri turun ke bumi dan mengirimkan laporannya pada sidang para dewa di surga Tavatimsa. Mereka akan bergembira atau bersedih tergantung apa yang dia saksikan dari tingkah laku manusia dalam menegakkan dan menjalankan kebenaran dan kebajikan. Bila para dewa bergembira, maka berkah akan turun ke bumi, tetapi bila para dewa bersedih dan marah, maka akan memberi pertanda banyak kejahatan dan malapetaka akan terjadi.52

52


(29)

BAB III

PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA)

DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA

A. Gambaran Umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya

Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya didirikan berdasarkan Akte Notaris, Kartini Mulyadi, S.H., tanggal 9 Maret 1981, No. 248. Yayasan ini merupakan suatu lembaga yang berdasarkan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peletakan batu pertama pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, yaitu Gde Padja, MA. SH pada tanggal 2 September 1982 pukul 09.00 WIB. Vihara ini terletak di blok C Sunter Agung Kelurahan Sunter Kecamatan Tanjung Priok wilayah Jakarta Utara di atas tanah seluas 8.640 m persegi. Tanah ini disumbangkan oleh Bapak Anton Haliman atas nama pengurus PT. Agung Podomoro. Pada tanggal 24 Agustus 1985, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir Sjadzali, M.A., dan didampingi oleh Panglima tertinggi Angkatan bersenjata dan Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jendral Athit Kamlang Ek.53

Sejarah Vihara ini diawali dengan nasehat Bhante Acariya Nirodha melalui Bhante Sutat Phan Pheree untuk mencari tanah calon vihara yang baik.54 Beliau mengatakan bahwa tanah tersebut terletak di sebelah Utara Jakarta. Tempatnya agak tinggi, terdapat pohon besar dan ada sumur di bawahnya. Dengan

53

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (YJDJ), Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1983), h. 30

54

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1892), h. 21


(30)

pedoman tersebut, dicarilah lokasi yang dimaksud. Pada awal tahun 1981 lokasinya sudah ditemukan, tempat itu ternyata masih penuh ditumbuhi alang-alang, terdapat dua pohon besar dan sumur di bawahnya.

Sesuai dengan petunjuk Bhante Acariya Nirodha, bahwa sesudah lokasi ditemukan segera menghubungi pemilik tanah. Tanah tersebut ternyata milik PT. Agung Podomoro. Dalam pembicaraan pihak yang akan membangun vihara dengan Direktur PT. Agung Podomoro Anton Haliman, disarankan untuk memperoleh ijin membangun vihara dari pemerintah daerah terlebih dahulu. Sejak pembicaraan tersebut di atas maka secara resmi Sangha Theravada Indonesia mengajukan permohonan untuk mendapat ijin mendirikan vihara dari pemerintah daerah. Permohonan ijin tersebut di bantu oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Imam Soebagyo.

Perlu diketahui bahwa tanah tersebut menurut rencana kota adalah untuk bangunan perumahan. Karena akan digunakan sebagai bangunan tempat ibadah (vihara), maka harus ada persetujuan perubahan rencana dari tata kota. Ijin perubahan akhirnya dikabulkan oleh pemerintah daerah dan memakan waktu lebih dari 1 tahun, luas tanah 8.640 m persegi. Direncanakan bangunan induk

(Uposathagara) didirikan dengan ukuran: panjang 22 meter tinggi maksimal 9 meter. Rencana bangunan Uposatha ini telah di gambar dengan teliti oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Aswin Suganda. Sedangkan rencana keseluruhan dirancang oleh Indira Sujana dan Ir. Evy Ekasanthirni. Semua perencanaan dibuat berlandaskan nilai keagamaan dan kebudayaan nasional Indonesia.

Dana pembangunan vihara dikumpulkan sejak beberapa tahun sebelumnya dari seluruh umat dan juga para donatur di Jakarta. Pengolahan pembangunan vihara ini dilakukan oleh Badan Pengurus Yayasan “Jakarta Dhammacakka Jaya”.


(31)

Ketua kehormatan dijabat oleh Anton Haliman, sedangkan Ketua Umum dijabat oleh Laksamana (Purnawirawan) Oyo Prayogo Kusno.

Vihara atau arama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi. Tempat yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting bagi umat Buddha yang tidak mungkin dapat dilupakan.55

Pada awalnya pengertian vihara sangat sederhana yaitu pondok atau tempat tinggal atau temp;at penginapan para bhikkhu dan bhikkhuni, samanera, samaneri. Namun kini pengertian vihara mulai berkembang, yaitu:

Vihara adalah tempat melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi masing-masing baik secara perorangan maupun berkelompok. Didalam vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar.56

Dulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikkhu adalah goa-goa, di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, di tumpukan jerami, dan di tempat penduduk yang menyediakan tempat untuk menginap. Setelah banyak orang yang mendengarkan ajaran Sang Buddha dan berlindung kepada Sang Tri Ratna mereka bermaksud untuk memberikan tempat tinggal bagi para bhikkhu yang layak. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana di vihara.

Pada mulanya umat Buddha belum mempunyai vihara secara khusus. Gagasan untuk membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh Raja Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika setelah Raja Bimbisara

55

Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tt), h. 16

56

Suwarno T, Buddha Dharma Mahayana, Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999-2538 B.E., h. 908


(32)

mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai Sottapati (tingkat kesucian pertama) maka beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Atas pemberian tersebut, Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai berikut:

• Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk lewat.

• Tidak terlalu banyak suara di siang hari maupun malam hari.

• Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan pohon menjalar.

• Orang yang tinggal di situ mudah mendapat jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan sebagai pengobatan bagi orang sakit.

• Di tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih tua (senior) yang mempunyai pengetahuan tentang kitab suci (Dhamma-Vinaya).

Sejak saat itu pengurusnya menerima Dana Vihara. Dengan semakin banyak penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara bukan hanya sebagai tempat singgah para bhikkhu tetapi juga digunakan oleh para upasaka dan upasika (umat awam laki-laki dan perempuan) untuk belajar dhamma. Pada hari-hari Uposatha

umat Buddha datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma, menjalankan

atthasila dan melatih meditasi.

Vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para bhikkhu dan sebagai sarana ibadah umat Buddha. Sedangkan jika dilihat dari fungsi vihara, adalah sebagai berikut:

a. Tempat tinggal para bhikkhu dan samanera.

b. Tempat pendidikan putera-puteri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang berguna.


(33)

d. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan. e. Tempat untuk berbuat kebajikan dan kebaikan.

f. Tempat menyebarkan dhamma.

g. Tempat yang menunjukkan jalan kebebasan.

h. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasi cita-cita kehidupan suci. i. Tempat kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat keagamaan.57

Sebagai tempat tinggal para bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha maka vihara terdiri dari beberapa bangunan, dimana setiap bangunan mempunyai fungsi tersendiri. Banyaknya bangunan tergantung pada kemampuan umat Buddha yang mendirikan vihara tersebut. Biasanya pekerjaan membangun vihara ini dilakukan secara gotong-royong oleh para umat yang memiliki keyakinan kepada Sang Tiratana.58

Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya terletak di Jalan Agung Permai XV/12 Blok C-3 Sunter Agung Podomoro ini mempunyai berbagai fasilitas untuk menunjang proses kegiatan penyebaran ajaran Buddha, diantaranya:

1. Uposathagara (gedung Uposatha)

Uposathagara dibuat di tengah-tengah vihara dengan posisi menghadap ke utara. Gedung ini merupakan gedung induk yang di kelilingi oleh gedung-gedung lainnya. Uposathagara merupakan bangunan yang paling besar di antara bangunan lain di vihara.

Uposathagara disebut pula sebagai Sima. Secara harfiah sima artinya batas. Gedung ini dibangun di atas tanah yang sudah diberi batas atau tanda

57

Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, h. 30

58


(34)

(sima). Uposathagara yang ada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dikukuhkan pada tanggal 24 Agustus 1985.59

Didalamnya terdapat cetiya yang digunakan untuk tempat menancapkan dupa, tempat lampu (lilin), bunga dan ornamen-ornamen lainnya. Cetiya paling atas terdapat Buddharupang diapit oleh rupang Sariputta dan Moggallana. Di belakang cetiya terdapat relief Buddha dalam ukuran kecil. Samping depan kiri dan kanan diletakkan kotak dana.60 Bila umat ingin melakukan puja bakti secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama maka diawali dengan sikap namakara.61

Di pintu masuk Uposathagara bagian luar terdapat bendera Buddhis dan bendera lambang Sangha Theravada Indonesia. Pada bagian luar juga dilengkapi genta dan tambur besar. Genta dan tambur digunakan sebagai tanda dimulainya upacara peringatan atau perayaan hari-hari besar agama Buddha. Untuk melaksanakan upacara tertentu dan juga sebagai tanda para bhikkhu akan melaksanakan fungsi Sangha.62

Uposatha artinya berdiam dan ghara artinya ruangan. Gedung ini merupakan bangunan utama dari suatu vihara yang dipakai untuk menyelenggarakan upacara keagamaan yang khusus untuk para bhikkhu

(sanghakamma).63

Berdasarkan vinaya pitaka, sanghakama yang dilakukan dalam

Uposathagara antara lain:

59

Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya, Pengukuhan Uposathagara Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, h. 35

60

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007

61

Namakara adalah menghormati dengan sikap sujud atau sungkem, membuat lima titik anggota tubuh menyentuh lantai; dahi dan kedua telapak tangan merapat menyentuh lantai; titik kedua dan ketiga; kedua siku dan lutut, dan titik keempat kelima dua ujung telapak kaki.

62

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007

63


(35)

a. Upacara penahbisan samanera menjadi bhikkhu (upasampada).

b. Pembacaan Patimokkha, yaitu 227 peraturan kebhikkhuan yang dilakukan pada setiap bulan gelap dan terang.

c. Upacara persembahan jubah Kathina.

d. Upacara merehabilisir kesalahan sedang (majjimapatti) dari para bhikkhu.64

2. Dhammasala/Dhammasabha (Balai Dhamma).

Dhammasala dibangun di depan kuti menghadap ke barat. Di dalam ruangan ini terdapat cetiya (altar) yang sama dengan cetiya Uposathagara namun

Buddharupangnya lebih kecil. Di dalam Dhammasala juga terdapat kotak dana dan ornamen lainnya. Dhammasala berasal dari kata Dhamma dan sala.Dhamma

artinya ajaran dan sala artinya ruangan. Dhammasala juga dikenal dengan bhakti sala. Bhakti artinya kebaktian dan sala artinya ruangan. Jadi Bhaktisala artinya tempat untuk melakukan puja bhakti.65

Dhammasala ini mempunyai fungsi untuk pembacaan parrita, pembabaran dhamma, diskusi dhamma, meditasi atau untuk melaksanakan Vesakha-Puja, Asalha-Puja, Magha-Puja, Kathina-Puja. Selain itu Dhammasala juga berfungsi sebagai tempat untuk melangsungkan pernikahan, ulang tahun atau upacara kematian.66

3. Kuti

Kuti terletak di depan Uposathagara di sebelah kiri menghadap ke timur. Kuti ini berhadapan dengan Dhammasala. Bangunan kuti dibangun dua lantai dengan fungsi yang berbeda. Bagian atas terdapat lima kamar digunakan sebagai

64

Oka Diputra, Pelajaran Agama Buddha SMP untuk kelas 2, h. 1

65

Wawancara Pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007

66


(36)

tempat tinggal bhikkhu. Lantai bawah digunakan sebagai ruang tamu dan ruang makan.

Kuti adalah bangunan untuk tempat tinggal bagi para bhikkhu dan samanera (calon bhikkhu). Bangunan kuti ini merupakan bangunan yang terpisah dari gedung Uposatha.

Menurut Bhante Jayaratano pada awalnya satu kuti didiami satu bhikkhu atau samanera (calon bhikkhu). Tetapi dengan bertambahnya jumlah bhikkhu maka dibuatkan kuti yang agak besar, dengan beberapa ruangan sehingga kuti ini dapat didiami oleh beberapa orang bhikkhu. Di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya sendiri terdapat lima kamar dengan dua tempat tidur. 67

4. Pohon Bodhi/Pohon Penerangan

Pohon Bodhi atau pohon penerangan dalam bahasa latin Ficus Religiosa

adalah tempat Sang Buddha duduk mencapai tingkat penerangan sempurna. Pohon Bodhi di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya ini ada 2 buah dan didatangkan langsung dari Thailand dan hasil dari cangkokan. Pohon Bodhi ditanam di taman, ketika orang masuk pintu utama vihara maka akan terlihat pohon bodhi. Dengan melihat letaknya diharapkan umat Buddha yang datang ke vihara akan langsung teringat akan kesempurnaan Sang Buddha.

5. Perpustakaan Narada

Dewasa ini perpustakaan juga merupakan sarana yang penting untuk pembinaan kehidupan beragama di samping menambah ilmu pengetahuan. Umat Buddha dapat menambah pengetahuan tentang buku-buku yang tersedia di dalam perpustakaan.68

67

Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007

68


(37)

Perpustakaan Narada ini berada di belakang Uposathgara berhadapan dengan jalan raya. perpustakaan dibangun dua lantai dengan fungsi yang berbeda. Lantai atas di gunakan sebagai perpustakaan yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas perpustakaan, yaitu buku-buku, komputer, audio visual.

Perpustakaan Narada didirikan dalam rangka mengenang seorang bhikkhu berkebangsaan Sri Lanka bernama Narada Mahatera. Pendiriannya tidak hanya terbatas untuk umat Buddha, namun juga untuk masyarakat umum yang berlainan agama. Buku-buku yang terdapat di sana tidak terbatas hanya buku-buku agama Buddha, buku umum dan buku-buku agama lain pun banyak didapati di sana.

6. Kesekretariatan

Gedung ini dibuat menjadi tiga ruangan. Ruang sekretariat, ruang tamu dan pos keamanan yang mempunyai fungsi yang berbeda. Ruang sekretariat berfungsi untuk melaksanakan administrasi vihara, menyerahkan dana dan untuk menyimpan dokumentasi. Ruang tamu digunakan pada saat kunjungan tamu resmi. Pos keamanan berfungsi untuk menjaga keamanan vihara juga sebagai tempat informasi.

7. Bursa

Bursa buku vihara dibuatkan gedung yang juga dibagi menjadi tiga ruangan, yaitu: ruang bursa buku, ruang majalah, dan ruang pemeriksaan kesehatan (klinik). Bangunan ini digunakan untuk penjualan buku-buku dhamma dan souvenir yang bercirikan Buddha. Ruang sebelah bursa buku dipakai untuk pusat kegiatan. Majalah Dhammacakka, majalah ini terbit tri wulan, yaitu: Waisak, Kathina, Asadha, dan Magha Puja. Ruang yang paling ujung digunakan untuk pemeriksaan kesehatan.


(38)

Replika Candi Pawon ini adalah tempat untuk menyimpan abu para donatur dan pendiri Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.

9. Mading

Tempat untuk menempelkan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh umat, baik itu tentang kegiatan vihara maupun informasi lowongan pekerjaan.

10.Bedug atau Gong

Alat ini berfungsi sebagai tanda dimulai dan diakhirinya puja bhakti atau upacara khusus.

11.Kamar Mandi

12.Taman

13.Parkir.

Lambang-lambang yang terdapat di vihara dimaksudkan untuk mengingatkan umat Buddha pada ajaran Sang Buddha parinibbana (mangkat), umat merenungkan Sang Buddha dan ajarannya melalui lambang-lambang yang sesuai. Adapun lambang yang dipakai di vihara Jakarta Dhammacakka Jaya antara lain rupang, stupa, cakka, dan lambang-lambang yang terdapat di altar.

1. Buddharupang (rupang)

Banyak orang beranggapan bahwa penganut agama Buddha adalah penyembah berhala, mereka berpikir bahwa di depan Buddharupang umat Buddha menyembah Buddharupang dan meminta-minta segala sesuatu yang di kehendakinya, hal ini tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya dilakukan umat Buddha di hadapan Buddharupang tersebut.

Dalam melakukan puja kepada Sang Buddha, sesuai dengan ajaran-Nya,

Buddharupang melambangkan kehadiran Sang Buddha. Buddharupang menjadi lambang perwujudan Sang Buddha bukanlah semata-mata sebuah berhala yang


(39)

disembah begitu saja. Umat Buddha menghormatinya karena Buddharupang

memiliki makna filosofis yang dalam bagi mereka.69 Buddharupang sebagai lambang pemujaan tidak hanya dipuja sebagai sosok kepribadian. Sang Buddha yang sangat mulia, melainkan juga karena perjuangan dan ajaran beliau yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

Sekalipun Buddharupang hanya terbuat dari kayu, batu, perunggu atau emas, umat Buddha tetap menghormatinya dengan cara beranjali (merangkap kedua tangan di depan dada) atau bernamaskara (bersujud) di hadapan

Buddharupang, rasa bakti yang dilakukan di hadapan Buddharupang didasarkan rasa terima kasih kepada guru junjungan yang juga merupakan awal atau pintu memperoleh kebenaran atau paling tidak melakukan kusala kamma (kamma baik). Atas jasa-jasa beliau manusia dapat bebas dari penderitaan, menuju kebahagiaan, dan mencapai kebebasan.

Rupang diletakkan di setiap bangunan vihara (Uposathagara, Dhammasala, Kuti dan Perpustakaan), gunanya agar umat mengetahui bahwa rupang merupakan lambang yang sering digunakan dalam agama Buddha.

2. Stupa

Stupa (sansekerta) atau thupa (pali) adalah suatu monumen yang didirikan sebagai tempat untuk menempatkan abu jenazah sisa kremasi atau benda peninggalan (relic) dari orang suci atau Cakkavati (raja sejagat). Bentuk stupa adalah melambangkan empat unsur pokok yang berbentuk jasmani manusia, yaitu tanah, air, api dan udara. Stupa telah ada sejak masa Sang Buddha. Stupa juga

69

Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, (Skripsi S1 Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta, 1997), h. 19.


(40)

dijadikan sebagai objek penghormatan.70 Puja Bhakti maupun penghormatan pada

stupa adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan perbuatan atau perilaku baik orang-orang suci yang peninggalan atau relicnya terdapat dalam stupa (pada masa hidupnya), agar umat Buddha dapat meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan pada stupa tersebut.

Stupa yang ada di vihara Jakarta Dhammacakka jaya adalah stupa dalam bentuk kecil dan diletakkan di altar.

3. Cakka atau Cakra

Kata cakka atau cakra ini dikenal dalam agama Buddha yang disebut

Dhammacakka (Pali) atau Dhammacakra (Sansekerta) yang berarti roda dhamma, yaitu sebagai lambang permulaan pembabaran dhamma yang diajarkan Buddha Gotama kepada murid pertama 5 petapa. Lambang ini berbentuk lingkaran, di dalamnya terdapat ruji-ruji serta porosnya. Semua itu menggambarkan bahwa ban dari lingkaran roda itu sebagai belas kasihan yang tidak berhenti. Ruji-ruji di dalam lingkaran itu sebanyak delapan buah adalah menggambarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari demi tercapainya pembebasan mutlak atau nibbana.

Lambang cakka di vihara ini diletakkan di pintu masuk Uposathagara. Lambang-lambang lain yang terdapat di cetiya adalah lampu/lilin, dupa, bunga dan air.

a. Lampu penerangan

Dalam melaksanakan puja di depan Sang Buddha digunakan lampu penerangan. Lampu ini melambangkan cahaya yang menerangi kegelapan. Ruangan yang semula gelap gulita, dapat menjadi terang dengan cahaya lampu.

70

Coerneles Wowor, Pelajaran Agama Buddha untuk SMA kelas 1 (Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003), h. 4-5.


(41)

Demikian juga dhamma dapat menerangi batin yang gelap menuju penerangan sempurna.

b. Dupa atau hio

Di dalam vihara biasanya ada bau harum dari dupa yang ditancapkan di tempat khusus di altar. Dalam hal ini dupa melambangkan harumnya kebajikan yang dilakukan oleh siapa saja. Namun bau harumnya dupa tidak dapat melawan arah angin, sebaliknya bau harumnya kebajikan atau nama baik dapat melawan arah angin. Dalam Dhammapada disebutkan:

Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar kesegala penjuru.71

Harum juga nama Sang Buddha karena beliau penemu jalan kebenaran. Inilah yang patut direnungkan dengan objek dupa yang ada.

c. Bunga

Bunga adalah lambang ketidakkekalan (Anicca), bunga segar yang diletakkan di altar setelah beberapa waktu akan menjadi layu. Begitu pula dengan badan dan jasmani, suatu waktu pasti akan menjadi tua, lapuk dan akhirnya mati. Pada saat dipetik dan dipersembahkan di cetiya, bunga masih segar dan harumnya membuat altar kelihatan indah dan agung namun beberapa waktu kemudian akan layu dan hancur. Begitulah ketidak kekalan (anicca) akan dialami oleh setiap perpaduan dari unsur-unsur baik yang hidup ataupun yang mati.

d. Air

Air dalam agama Buddha melambangkan kerendahan hati, kesejukkan, kemurnian, dan kebersihan karena air mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

71


(42)

• Air dapat membersihkan noda-noda.

• Air dapat memberikan tenaga hidup kepada makhluk-makhluk.

• Air dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan.

• Air selalu mencari tempat yang rendah.

• Air kelihatannya lemah, akan tetapi suatu saat akan menjadi tenaga yang sangat besar.

Selain itu air juga melambangkan kesucian, oleh karena itu hendaknya manusia mampu berbuat seperti air. Sifat air yang dapat membersihkan kekotoran memberikan arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagaikan air manusia juga dapat membersihkan segala kekotoran batinnya dengan cara melaksanakan meditasi.

Kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Dhammacakka Jaya ini meliputi kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosialkeagamaan.

1. Kegiatan Keagamaan a. Kegiatan Rutin

Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dalam jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh umat Buddha ialah pemeriksaan kesehatan, pemberkatan perkawinan, latihan meditasi, puja bhakti umum, puja bhakti remaja, puja bhakti sore, puja bhakti mahasathi, puja bhakti uposatha, puja bhakti lanjut usia. Kebaktian-kebaktian ini dilakukan dengan membaca paritta, meditasi, permohonan Pancasila, permohonan Atthasila (bila dihadiri oleh bhikkhu), mendengarkan dhamma. Rangkaian puja bakti ini biasanya dilakukan di seluruh vihara agama Buddha.


(43)

Kegiatan berkala adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang pada waktu tertentu dan beraturan. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang adalah memperingati hari raya Tri Suci waisak, asadha, kathina, dan magha puja, donor darah, perayaan HUT SIMA Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.

c. Kegiatan Khusus

Kegiatan keagamaan yang dilakukan secara khusus, yaitu: Pabbajja dan

Upasampada. Pabbaja artinya meninggalkan rumah memasuki kehidupan tak berumah tangga. Orang yang telah mengikuti Pabbajja dipanggil samanera (calon bhikkhu), sedangkan orang yang telah di Upasampada disebut bhikkhu.

1. Kegiatan Pendidikan Keagamaan a. Kelas Dhamma

Untuk mengetahui ajaran Sang Buddha, umat tidak hanya mendengarkan

dhammadesana yang diadakan satu kali dalam seminggu. Sisi lain untuk mengerti ajaran Sang Buddha adalah dengan cara mengikuti kelas dhamma. Pada kelas dhamma umat bisa menanyakan yang belum dimengerti. Ini sangat baik bagi pemula yang sedang belajar dhamma, karena mereka dapat menanyakan dhamma yang belum diketahui. Ada lima manfaat yang diperoleh seseorang yang sering mendengarkan dhamma, yaitu:

1. Assutim sunati : mendengarkan sesuatu yang belum pernah didengar, belajar mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui.

2. Sutam pariyodapeti : sesuatu yang pernah didengar, dilaksanakan dengan tekun untuk mendapatkan kenyataan. 3. Kankham vihanti : melenyapkan keraguan, segala sesuatu yang


(44)

4. Ditthim ujum karoti : berpandangan yang benar. 5. Cittamassa pasidati : pikirannya bersih.72

Setelah menyadari manfaat belajar dhamma maka akan banyak orang yang semakin tertarik mengikuti kelas dhamma.

b. Sekolah Minggu

Buddha Dhamma perlu diajarkan kepada anak-anak. Pengenalan Buddha dhamma kepada anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dengan demikian maka pribadi anak akan terbentuk dengan baik karena dhamma merupakan landasan pembentukan pribadi yang baik. Sekolah minggu merupakan pendidikan pengenalan Buddha Dhamma kepada anak. Pada hari minggu vihara mengadakan sekolah minggu untuk anak-anak. Buddha Dhamma disampaikan kepada anak dalam bentuk cerita, nyanyian ataupun praktek langsung dalam hal tata cara kebaktian.

c. Kesenian

Kesenian merupakan curahan hati bagi seseorang yang berjiwa seni melalui lantunan sebuah lagu misalnya, seseorang dapat menuangkan buah pikirannya. Banyak umat Buddha yang berjiwa seni, mereka akan merasa lebih mudah menuangkan dhamma lewat karya seninya dari pada harus menuangkan dhamma dengan metode lainnya.

2. Kegiatan Sosial Keagamaan

Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain. Setelah

72

Panjika (Pandit Jinaratna. Kaharuddin), Kamus Buddha Dhamma, (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1994), h. 71-72


(45)

dana tersebut terkumpul, maka disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial tersebut dapat dilaksanakan di vihara. Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah melaksanakan salah satu ajaran Sang Buddha.

B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya

Dalam agama Buddha pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan itu berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kelompok umat Buddha tersebut menjalani kehidupannya. Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Gharavasa (perumahtangga), yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lain-lain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka.

2. Pabbajita, yaitu orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga (keduniawian) dan menjalani hidup suci untuk mencapai nibbana. Pabbajita

tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi seorang petapa dari umat perumah tangga (gharavasa) yang memiliki saddha

(keyakinan) dan simpatik. Pabbajita ini terdiri dari bhikkhu (laki-laki), bhikkhuni (perempuan), samanera (laki-laki) dan samaneri (perempuan).73

a. Puasa Bagi Umat Awam

Umat Buddha yang menjalani hidup berkeluarga di dalam masyarakat disebut Upasaka dan Upasika. Kata Upasaka berarti yang duduk dekat dengan guru. Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih. Di dalam kehidupan sehari-hari upasaka dan upasika, mereka melatih diri untuk

73

Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997), h. 23


(46)

melaksanakan Pancasila. Pada kitab Suci Dhammapada 246-247, Sang Buddha bersabda:

“Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan istri orang lain, atau menyerah pada minuman yang memabukkan, maka di dunia ini orang seperti itu seakan menggali kubur bagi dirinya sendiri”.74

Perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu harus dihindarkan, bila seseorang ingin menjadi seorang manusia tidak hanya jasmaninya saja, tetapi juga batinnya. Ke lima dari Pancasila itu merupakan petunjuk tingkah laku moral dasar dan minimal yang harus dilaksanakan oleh seorang umat Buddha. Uraian Pancasila

Buddha Dhamma adalah sebagai berikut:

1. Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.

2. Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan.

3. Aku bertekad melatih diri menghindarkan perbuatan tidak suci.

4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar (bohong). 5. Aku bertekad melatih diri menghindari minuman keras, barang madat yang

menyebabkan lemahnya kesadaran.75

Selain menjalankan Pancasila tersebut, pada hari-hari Uposatha umat Buddha dianjurkan untuk melaksanakan Atthasila (delapan sila), biasanya dengan berdiam di vihara selama hari tersebut. Selama di vihara umat dapat mendengarkan khotbah Dhamma atau melatih diri untuk melaksanakan meditasi.

74

Jutanago, Kitab Suci Dhammapada (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994), h. 127

75

Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 6-7


(47)

Di dalam Atthasila, sila pertama, kedua, keempat, dan ke lima sama dengan

Pancasila, tetapi sila yang ketiga di ganti menjadi:

3. Aku bertekad melatih diri tidak melakukan hubungan kelamin. Dan ditambah tiga sila lainnya, yaitu:

6. Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari. 7. Aku bertekad melatih diri menghindari marian, menyanyi, bermain musik, dan

pergi melihat pertunjukkan, memakai atau berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan untuk mempercantik tubuh.

8. Aku bertekad melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).76

Menurut Bapak Supiyamano, di dalam Pancasila Buddhis, orang masih dapat menikmati nafsu indera yang tidak bertentangan dengan Pancasila, tetapi di dalam Atthangasila/Atthasila, seseorang sudah tidak boleh lagi memuaskan nafsu indera atau melakukan hubungan kelamin meskipun dengan istri atau suaminya sendiri, tidak makan lewat tengah hari dan tidak makan makanan dan cairan tertentu yang tidak diijinkan pada malam hari, tidak mempercantik diri dengan kosmetik dan perhiasan, serta tidak menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah.77

Pada tiap-tiap hari Uposatha, umat Buddha yang berniat menjalankan peraturan (sila), akan mengucapkan kalimat demi kalimat yang ada di dalam

Atthasila, dan berusaha untuk tidak melanggar apa yang telah diucapkannya.78

76

Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 7

77

Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007

78

Anjali G.S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha, tt), h. 25


(48)

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha pada hari Uposatha

tidak mesti sama, hal ini tergantung pada apa yang menjadi prioritas mereka, yaitu belajar teori atau praktek dhamma. Jika hendak belajar teori atau tentang pengetahuan dhamma, dalam sehari mereka dapat mendengarkan tiga atau empat khotbah dhamma yang diberikan oleh para bhikkhu. Mereka dapat meminjam dan mempelajari buku-buku dhamma, atau mungkin juga diadakan sebuah kelas dhamma. Mereka dengan leluasa dapat membagi waktu untuk belajar meditasi, diskusi dhamma dengan para bhikkhu dan sebagainya.

Jika hendak memperdalam praktek dhamma, umat dapat melakukan meditasi di vihara, mengisi waktu dengan konsentrasi setiap saat, sambil duduk maupun berjalan dan sesekali membantu bhikkhu mengerjakan tugas sehari-hari. Demikianlah sepanjang hari dan malam itu (beberapa umat yang bersemangat hanya tidur sedikit), mencurahkan waktunya untuk memperdalam dan mempraktekkan dhamma.

Pada hari Uposatha, biasanya mereka lebih banyak melakukan perbuatan baik dari pada hari-hari biasanya, antara lain membersihkan vihara dan berdana kepada orang yang membutuhkan bantuan, terutama kepada bhikkhu sangha. Mereka yang melaksanakan Atthangika Uposatha disebut Upasatham Upavasati

dan upacara memasuki hari uposatha disebut Upasatham samadiyati.79

Umat Buddha yang akan menjalankan Uposathasila pada hari Uposatha, biasanya mereka pergi ke vihara pagi hari sekitar pukul 05.30 untuk permohonan sila (Uposathasila) kepada para bhikkhu, bersikap tenang, terkendali, tidak emosi, tidak berbicara hal-hal yang tidak berguna, memusatkan pikiran kepada Sang Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Di vihara bersama dengan umat yang

79


(49)

lain, yang juga menjalankan Uposathasila memanjatkan paritta dan meminta tuntunan uposathasila kepada bhikkhu sangha dan mendengarkan khotbah dhamma.80

Berikut adalah permohonan tuntunan Uposathasila yang diucapkan oleh umat Buddha yang akan menjalankan Uposathasila:

Mayam Bhante Tisaranena saha

Atthangasamannagatam Uposatham yacama Dutiyampi mayam Bhante Tisaranena saha Atthangasamannagatam Uposatham yacama Tatiyampi mayam Bhante Tisaranena saha Atthangasamannagatam Uposatham yacama

Artinya

Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini. Untuk kedua kalinya Bhante, Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini. Untuk ketiga kalinya Bhante, Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini.

• Kemudian bhikkhu mengucapkan Vandana

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammsambuddhassa, 3 kali

Artinya:

Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna (3x).

80

Bhikkhu Vijano, Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1986), h. 38


(50)

• Umat mengikuti kalimat demi kalimat

• Bhikkhu mengucapkan Evam Vadehi • Umat menjawab Ama Bhante

• Bhikkhu mengucapkan Tisarana • Umat mengikuti kalimat demi kalimat

Buddham saranam gacchami Dhammam saranam gacchami Sangham saranam gacchami

Dutiyampi Buddham saranam gacchami Dutiyampi Dhammam saranam gacchami Dutiyampi Sangham saranam gacchami Tatiyampi Buddham saranam gacchami Tatiyampi Dhammam saranam gacchami Tatiyampi Sangham saranam gacchami

Artinya :

Aku berlindung kepada Buddha Aku berlindung kepada Dhamma Aku berlindung kepada Sangha

Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Buddha Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Dhamma Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Sangha Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Buddha Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Dhamma Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Sangha

• Bhikkhu mengucapkan Saranagamanam Nitthitam • Umat mengucapkan Atthasila


(51)

1. Panatipada veramani sikkhapadam samadiyami 2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami 3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami 4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami

5. Sura-meraya-majja-pamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami 6. Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami

7. Naccagita-vadita-visukadassana malagandha-vilepana dharana-mandana vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami

8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami

Artinya:

1. Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. 2. Aku bertekad melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak

diberikan.

3. Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci. 4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.

5. Aku bertekad melatih diri menghindari segala minuman keras, barang madat yang menyebabkan lemahnya kesadaran.

6. Aku bertekad melatih diri menghindari makan-makanan setelah tengah hari.

7. Aku bertekad melatih diri menghidari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukkan, memakai atau berhias dengan bebungaan, wewangian dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan mempercantik tubuh.

8. Aku bertekad melatih diri menghindari penggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).


(52)

• Bhikkhu mengucapkan

• Umat mengikuti kalimat demi kalimat

Imani Atthangasamannagata Buddhapannattam Uposatham Imanca rattim imanca divasam

Sammadeva abhirakkhitum samadiyami

Artinya:

Kami menyatakan (tekad) melakukan Uposatha, yang telah diajarkan Sang Buddha. Terdiri dari delapan bagian sila, harus dijaga dengan baik, bersih dan sempurna, jangan sampai terputus atau melanggar selama satu hari ssatu malam.

• Bhikkhu mengucapkan

Imani Atthasikkhapadani Ajjekam Rattindivam Uposathavasena Sadhukam Rakkhitabbani

Artinya:

Inilah delapan latihan moral yang dijaga selama satu hari satu malam dalam melakukan Uposatha.

• Hadirin menjawab: Ama Bhante • Bhikkhu mengucapkan:

Silena sugatim yanti Silena bhogasampada Silena nibbutim yanti Tasma silam visodhaye

Artinya:


(53)

Dengan menjalankan sila berakibat memperoleh kekayaan materi dan batin.

Dengan menjalankan sila berakibat tercapainya kebahagiaan abadi atau nibbana.

Oleh sebab itu laksankanlah sila itu dengan baik dan sempurna.

• Hadirin menjawab: Ama Bhante Sadhu Sadhu Sadhu.81

Di dalam Uposatha Sutta, Sang Buddha mengajarkan renungan terhadap mereka yang hendak melatih Atthasila sebagai berikut:

“Dengan menjalankan delapan sila pada hari Uposatha, saya melepaskan cara-cara yang biasa dilakukan orang, dan hidup seperti arahat, penuh cinta kasih, suci dan bijaksana.82

Puasa yang dilaksanakan oleh umat awam di dalam agama Buddha adalah untuk melaksanakan sila, yaitu sila ke enam dari Atthasila. Di dalam sila keenam ini terdapat istilah vikala-bhojana, yang terbentuk dari dua kata, yaitu vikala dan

bhojana. Kata vikala terdiri dari awalan vi yang berarti berbeda, berlawanan dan kebalikan; dan kata kala yang berarti waktu yang salah. Kata bhojana berarti makanan. Gabungan dari dua kosa kata tersebut, vikala-bhojana dapat disepadankan dengan memakan makanan pada waktu yang salah. Artinya, tidak memakan makanan dan minuman di luar batas waktu yang telah ditentukan.

Batas waktu yang tidak tepat adalah dimulai dari tengah hari, pukul 12.00 siang sampai pada keesokan harinya, yaitu bila kita sudah dapat melihat warna

81

Tuntunan Latihan Upasika Atthasila, (Penerbit: Sangha Theravada Indonesaia (Biro Pendidikan Bhikkhu/Samanera, tt), h. 22-25

82


(54)

hijau dari daun-daun atau telah dapat melihat garis-garis pada telapak tangan sendiri, baru boleh makan makanan.83

Dengan demikian, batas waktu makan yang diberikan adalah antara pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti selama jangka waktu tersebut lalu makan sesering mungkin. Bukan demikian, tetapi berusaha untuk menggunakan sesedikit mungkin. Bahkan kadang-kadang digunakan hanya dua kali saja, yaitu pukul 07.00 pagi dan pukul 11.00 siang.84

Menurut Bapak Supiyamano, sila ke enam ini sebenarnya meniru latihan yang dilakukan oleh para bhikkhu, tujuannya adalah untuk menghindari kemalasan yang dialami setelah bekerja seharian dan sehabis makan siang. Dengan menjalankan sila ini, badan menjadi lebih ringan dan siap digunakan untuk berlatih meditasi. Tetapi beberapa hal diperlukan di sini, yaitu makanan dan minuman yang diperbolehkan dimakan atau diminum setelah lewat tengah hari adalah minum obat, yaitu mereka yang bekerja, jika dirasa terlalu lelah setelah bekerja seharian penuh, maka teh atau kopi boleh diminum untuk membuat tubuh segar. Jika merasakan lapar maka coklat murni yang diseduh / dibuat minum, gula, madu, mentega dan sirup buah boleh digunakan. Bila masuk angin boleh minum jahe atau memakan jahe muda. Bila sembelit, dapat memakan buah asam. Sebaliknya yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti: nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan makanan.85

83

Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 48

84

Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma, (Blitar: Vihara Samanggi Jaya, 1994), h. 48

85


(55)

b. Puasa Bagi Umat Viharawan

Di dalam melaksanakan aturan pelatihan bagi umat viharawan, dilihat dari waktu pelaksanaannya, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Puasa bagi para bhikkhu dan samanera (calon bhikkhu) adalah dilaksanakan setiap hari sesuai dengan tanggung jawab mereka di dalam Patimokkha.86 2. Pada hari Uposatha, selain berpuasa para bhikkhu juga berkumpul untuk

mendengarkan 227 sila dari Patimokkha yang dibacakan oleh salah seorang bhikkhu.87

3. Pada masa musim hujan, para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat, dan meskipun masih melakukan tugas sehari-hari, mereka tidak boleh meninggalkan vihara sampai larut malam. Dalam kondisi lingkungan tertentu mereka diperbolehkan absen dari vihara atau tempat dimana mereka tinggal, paling lama tujuh hari.88

Perhimpunan para bhikkhu disebut Sangha. Kata Sangha tidaklah semata-mata menunjukkan suatu kelompok bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu fungsi atau tugas. Jumlah bhikkhu yang membentuk sebuah Sangha ditentukan oleh fungsinya. Kebanyakan fungsi memerlukan Sangha dengan empat bhikkhu yang disebut catuvagga, tetapi beberapa fungsi lainnya memerlukan Sangha dengan lima, sepuluh, atau dua puluh bhikkhu (pancavagga, dasavagga, visativagga).

Sangha dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

86

Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung (Penerbit Karaniya-Yayasan Karaniya, tt), h. 2

87

Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 61

88


(56)

1. Samutti Sangha, yaitu perkumpulan para bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian.

2. Ariya Sangha, yaitu perkumpulan para bhikkhu dan upasaka-upasika yang telah mencapai tingkat kesucian.

Ariya Sangha inilah yang termasuk dalam tiga perlindungan (Tisarana): Buddha, Dhamma, dan Sangha.89

Dari sini maka pelaksanaan puasa bagi masyarakat viharawan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1. Puasa Bagi Samanera

Sebelum menjadi bhikkhu, seorang umat Buddha harus ditahbiskan terlebih dahulu menjadi samanera dengan upacara Pabbaja. Kata samanera

berasal dari kata samana (pertapa) dan nera (putera atau kecil). Seorang samanera harus mengikuti bimbingan yang diberikan oleh acariya (guru pembimbing) dan

upajjahaya (guru penahbis) yang bertanggung jawab atas latihannya dalam dhamma dan vinaya, sebagai persiapan upasampada (upacara penerimaan anggota sangha). Seorang samanera harus melatih diri untuk melaksanakan dasasila

(sepuluh peraturan latihan) dan 75 sila sekhiya (bagian dari Patimokkha). Setelah samanera diberi upasampada, ia diterima ke dalam sangha sebagai seorang bhikkhu yang belum berpengalaman.90

Seorang samanera tidak sepenuhnya melaksanakan Cattaro Silakkhanda

(empat kelompok sila: Patimokkha samvara sila, indriya samvara sila,

89

Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13

90


(1)

Uposatha itu memang bukan dari Sang Buddha asli. Sebenarnya Sang Buddha mengambil adat di India, salah satunya adalah Uposatha itu kemudian dikembangkan lebih baik lagi. Uposatha ini sudah menjadi adat orang India yang moralitasnya bagus. Uposatha itu dilestarikan sampai jaman Sang Buddha. Ketika Ratu Maha Maya mengandung Sang Buddha, sering menjalankan Uposatha. Jaman Sang Buddha Uposatha dikembangkan lebih baik lagi kearah kesucian.

3. Sistem penanggalannya seperti apa bhante?

Itu kalender bulan bukan matahari atau solar tetapi lunar yang biasanya penanggalan imlek itu mirip juga hanya beda satu atau dua hari.

4. Hari Uposatha itu sebulan 2 kali yaitu pada tanggal 1 dan 15 penanggalan lunar, lalu kenapa bisa 4 kali pada tanggal 8 dan 23 penanggalan lunar bhante? Uposatha 4 kali itu untuk perumah tangga atau umat awam itu sudah disepakati bersama dan bagi para bhikkhu Uposathanya 2 kali yaitu bulan mati dan bulan terang.

5. Apakah puasa (uposatha) di wajibkan dalam Agama Buddha bhante?

Puasa (uposatha) dalam agama Buddha itu tidak diwajibkan. Bagi para bhikkhu puasa (uposatha) itu wajib karena ada dalam vinaya tapi bagi perumah tangga atau umat awam itu hanya dianjurkan, silahkan dijalankan tapi kalau tidak dijalankan setidaknya berusaha mencoba berpuasa karena itu baik untuk dijalankan.

6. Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa?

Sebenarnya dalam agama Buddha tidak ada kewajiban tapi mengajarkan kesadaran. Jadi jika tidak menjalankan puasa tidak berdosa.


(2)

Maknanya adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani kearah yang lebih baik. Delapan sila itu sudah merangkum semuanya dari segala aspek kehidupan kita dalam masyarakat.

8. Kalau dalam Islam puasa itu adalah menahan haus dan lapar serta menahan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenam matahari, apakah puasa yang dilakukan umat Buddha sama halnya dengan puasa yang dilakukan umat Islam?

Perhitungan Buddhis itu ketika terbit fajar itu adalah pergantian hari jadi bukan pukul 24.00. Jadi puasa dalam agama Buddha itu dimulai dari pukul 12.00 sampai sekitar pukul 4.30 subuh.

9. Kapan permohonan sila-nya bhante?

Permohonan sila itu biasanya pada pagi hari kira-kira pukul 04.00 subuh umat sudah berada di vihara untuk meminta uposathasila kepada para bhikkhu. 10.Ajaran pertama Sang Buddha apa bhante?


(3)

Lampiran II

11.Pengertian Uposatha menurut anda?

Uposatha banyak artinya tetapi biasanya kami menyebut Uposatha adalah puasa yaitu menjalankan delapan sila yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. 12.Apakah anda mengetahui sejarah Uposatha?

Uposatha diambil dari tradisi India pada jaman Raja Bimbisara dan kemudian dikembangkan lagi oleh Sang Buddha.

13.Apakah puasa (uposatha) wajib dilaksanakan?

Uposatha atau puasa dalam agama Buddha ini hanyalah dianjurkan dan tidak diwajibkan tetapi untuk para bhikkhu diwajibkan karena ada dalam peraturan kebhikkhuan (vinaya).

14.Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa? Tidak berdosa jika tidak melakukan Uposatha.

15.Apa saja yang tidak boleh dimakan pada hari Uposatha?

Yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti; nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan makanan karena mumpunyai nilai penguat tubuh juga.


(4)

16.Apa makna puasa (uposatha) menurut anda?

Makna Uposatha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani. Menjadikan manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain dengan menjalankan delapan sila yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha.

17.Apa yang diajarkan pada saat puasa (Uposatha) ini?

Yang diajarkan bahwasanya kita sebagai umat Buddha haruslah berbuat banya kebajikan, sebab menurut ajaran Buddha perbuatan baik atau kebajikan akan membawa banyak kebahagiaan bagi pelakunya baik di dunia maupun setelahnya.


(5)

(6)