Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha

• Perbuatan benar samma kammanta • Mata pencaharian benar samma ajiva Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktek pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan, kebencian dan kebodohan batin. 22 Sang Buddha melarang para bhikkhu mengambil makanan padat yang mengenyangkan setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang menjalankan delapan peraturan atthasila pada hari Uposatha, untuk berpantang mengambil makanan padat setelah tengah hari. 23 Berkaitan dengan masalah puasa di dalam agama Buddha, bahwa kegunaan dari memakan makanan adalah tidak untuk kesenangan, pemabukan, menggemukkan badan atau untuk memperindah diri, tetapi hanyalah untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan tubuh, menghentikan rasa tidak enak, dan untuk membantu kehidupan suci. Sehingga akan mendapatkan kebebasan tubuh dari gangguan-gangguan serta akan dapat hidup dengan tentram. 24

B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha

Di dalam kehidupan keagamaan umat Buddha, dalam satu bulan terdapat hari-hari khusus untuk melaksanakan peraturan pelatihan tertentu sikkhapada. 22 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center, 1991, h. 44 23 K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Educational Foundational, 1993, h. 214 24 Bhikkhu Khemio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, 1980, h. 58-59 Hari khusus itu dipandang sebagai hari yang suci sakral dan disebut Uposatha- divasa. Istilah Uposatha arti harfiahnya adalah masuk untuk berdiam diri dalam keluhuran. Istilah ini digunakan untuk sebutan hari dimana upasaka-upasika umat Buddha laki-laki dan perempuan menjalankan peraturan pelatihan khusus yang terdiri dari delapan unsur peraturan pelatihan. Hari itu disebut hari Uposatha. 25 Hari Uposatha adalah hari-hari tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar. Biasanya kalender yang dibuat oleh umat Buddha, tanggal jatuhnya hari Uposatha diberi tanda khusus dengan warna tertentu sehingga mempermudah bagi mereka yang akan melaksanakan Atthangika Uposatha delapan peraturan pelatihan pada hari Uposatha. 26 Selain itu, dengan pemberian tanda dalam kalender tersebut, diharapkan agar para umat Buddha dapat melaksanakan delapan peraturan tersebut. 27 Kebiasaan menjalankan Uposatha ini telah ada sebelum jamannya Sang Buddha. Sang Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan memperkenankannya untuk dipergunakan sebagai hari untuk bertemu bersama, membicarakan dan mendengarkan dhamma serta merupakan kesempatan untuk melaksanakan Uposatha bagi umat awam atthanga Uposathasila. Sehubungan dengan pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengijinkan mereka melakukan Uposathasila pada tanggal 1 dan 15 pada penanggalan bulan. 28 Pada hari Uposatha ini umat Buddha melakukan puja bhakti, yaitu berupa: 25 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997, h. 40 26 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40 27 Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila, h. 22 28 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 30 • Melakukan persembahan bunga dupa lilin di depan altar. • Melakukan puja kepada Sang Tiratana dan membaca parrita-parrita suci. • Memohon kepada bhikkhu untuk membimbing melaksanakan Pancasila lima sila atau atthasila delapan sila. • Mendengarkan Khotbah Dhamma dari para bhikkhu atau pandita. • Ada pula umat yang melakukan makan sayuranis sayur mayur dan tidak makan daging. • Dan memperbanyak meditasi. 29 Puasa di dalam agama Buddha mempunyai sejarah yang panjang, bahkan sebelum jaman Sang Buddha, yaitu dimulai dari tradisi para Brahmana yang menyucikan diri dengan menjalani ritus veda, menyepi meninggalkan rumah keluar selama beberapa waktu hingga selesai, saat yang dipilih untuk ritus itu biasanya berpedoman pada peredaran bulan, yaitu saat-saat bulan penuh dan bulan gelap atau kadang-kadang di saat-saat bulan separuh wajah. 30 Pada masa itu, banyak kelompok petapa samana yang menggunakan hari-hari saat bulan penuh, bulan gelap, maupun bulan separuh wajah untuk memperdalam teori dan latihan-latihan mereka. Sang Buddha sendiri menganjurkan kepada siswa-siswanya untuk berkumpul di vihara pada hari-hari tersebut, mendengarkan pembacaan Patimokkha aturan pokok bagi para bhikkhu dan mengajarkan dhamma kepada umat yang datang ke vihara mereka. 31 29 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997, h. 1 30 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 59 31 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 60 Demikian pula upacara-upacara yang dilaksanakan pada hari-hari Uposatha sudah dilaksanakan oleh orang-orang India pada jaman Sang Buddha. Atas saran Raja Bimbisara dari Magadha kepada Sang Buddha, maka hari-hari Uposatha ini kemudian juga dilaksanakan oleh para bhikkhu dan umat awam upasaka-upasika sampai sekarang ini. 32 Secara lengkap Sang Buddha bersabda: “Demikianlah kejadiannya, Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di puncak karang Burung Nazar. Pada waktu itu kelana-kelana dari sekte lain mempunyai kebiasaan untuk berkumpul pada waktu pertengahan bulan pada tanggal 14 dan 15 dan perempatan bulan pada tanggal 8 dan berkhotbah tentang Dhamma. Orang-orang berdatangan untuk mendengarkannya. Mereka semakin menyukai dan semakin mempercayai kelana dari sekte lain. Maka kelana-kelana itu memperoleh bantuan. Maka ketika Raja Magadha Seniya Bimbisara sedang bermeditasi, ia merenungkan hal-hal ini: “mengapa para Yang Mulia untuk tidak berbuat serupa pada hari-hari itu?”. Kemudian ia menemui Sang Bhagava menyampaikan apa yang dipikirkannya dan menambahkan: “Guru, alangkah baiknya jika pada hari-hari itu pula para Yang Mulia untuk berkumpul”. Sang Bhagava memberi petunjuk tentang Dhamma kepada Raja itu, setelah mana ia meninggalkan tempat itu. Kemudian Sang Bhagava membuat hal itu suatu alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma kepada bhikkhu. Beliau berkata: “O, para bhikkhu, aku mengijinkan pertemuan pada pertengahan bulan, yaitu hari ke 14 dan ke 15, dan pada perempatan bulan, yaitu pada hari ke 8”. 32 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 5 Kemudian para bhikkhu mulai saat itu berkumpul bersama sebagaimana yang diijinkan Sang Bhagava, tetapi mereka duduk dengan diam. Orang-orang datang untuk mendengarkan Dhamma. Mereka menjadi kecewa sehingga mereka berkata: “Bagaimana para bhikkhu ini, putera-puteri Sakya berkumpul pada hari- hari ini hanya untuk membisu seperti tonggak?. Tidakkah Dhamma seharusnya dikhotbahkan pada waktu-waktu mereka berkumpul?”. Para bhikkhu mendengar hal ini, kemudian mereka menyampaikan kepada Sang Bhagava. Beliau menjadikan hal ini sebagai alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma dan beliau berpesan demikian: “O, para bhikkhu, bila ada pertemuan pada pertengahan bulan dan perempatan bulan, aku mengijinkan untuk memberikan Dhamma. 33 Pada saat-saat awal perkembangan agama Buddha, Sang Buddha sendiri yang memberikan ajaran pada pertemuan Sangha dan meningkatkan kebajikan yang merupakan inti dari ajaran sasana dan menjelaskannya, kemudian Sang Buddha memberikan ijin kepada Sangha untuk melaksanakan Uposatha sendiri. Di dalam setiap pertemuan suatu kelompok bhikkhu, seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan yang disebut Patimokkha. Ini dilakukan apabila terdapat empat orang bhikkhu atau lebih. Apabila hanya terdapat tiga atau dua orang bhikkhu, mereka disebut gana group. Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian mereka” masing-masing, bila hanya terdapat seorang bhikkhu, ia disebut puggala seorang dan ia harus membuat adhitthana atau tekad oleh dirinya sendiri. 34

C. Masa Vassa