LATAR BELAKANG MASALAH Otorisasi Hadis Sebagai Sumber Kaidah bahasa : studi analisis pemikiran Ibnu Malik Dalam Pembentukan kaidah nahwu
berkontribusi pada kemajuan bahasa Arab, misalnya dengan munculnya ilmu tafsîr, hadîts, filsafat dan keilmuwan lainnya yang menuntut adanya istilah-istilah baru
dalam keilmuwan tersebut,
8
sehingga menambah kosa kata dalam bahasa Arab. Di antara faktor pendukung kemajuan bahasa Arab lainnya adalah
keistimewaan dari segi unsur-unsur kebahasaan yang dimiliki bahasa Arab itu sendiri. Secara umum suatu bahasa mempunyai dua macam unsur, al-Shaut bunyi dan al-
Dil âlah makna. Al-Dilâlah ini merupakan kajian leksikologi, sintaksis, morfologi
dan stilistik,
9
dalam bahasa Arab dikenal dengan Qâ’idah Nahwiyah dan Qâ’idah Sharfiyyah.
10
Dari sisi keistimewaan bunyi, bahasa Arab tidak perlu diragukan lagi, karena ia memiliki lima belas makhraj tempat keluar huruf dan tiga belas sifat
bunyi.
11
Ibnu al-Atsîr w. 606 H menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang terjaga dan tidak dimasuki oleh kesalahan dan kecacatan, hal itu berlangsung hingga
terjadi ekspansi ke beberapa daerah yang menyebabkan bangsa Arab bercampur dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain.
12
Sesungguhnya terjaganya kualitas keluhuran bahasa Arab tidaklah mengherankan, karena masyarakat Arab sejak zaman jahiliyah
Bahkan menurut De’ Hammaer ditemukan kata yang menunjuk kepada unta dan keadaannya sebanyak 5.644 kata. Lihat M. Qurais Syihab, Mukjizat al-Qur’ân, hal. 96.
8
Ahmad Abd al-Ghafûr Aththâr, Difâ’ an al-Fushha, hal. 36
9
Ali Abd al-Wâhid Wâfi, Fiqh al-Lughah hal 164
10
Dalam menganalisis kebahasaan kedua kaidah ini tidak dapat dipisahkan, karena kedua- duanya merupakan kaidah yang khas dalam bahasa Arab, dan menjadi pembeda dengan bahasa-bahasa
lainnya. Bahasa Arab mempunyai keistemawaan yang luar biasa dalam aspek morfologis dan sintaksis. Di antara keistimewannya itu adalah; Pertama; Dari aspek morfologis dan sintaksis, bahasa Arab
adalah bahasa paling luas di antara bahasa-bahasa Semit lainnya. Kedua; Dalam bahasa Arab terdapat banyak bentuk jama’ taksîr, yang di dalam bahasa Semit lainnya hanya terdapat satu bentuk saja.
Ketiga;
Satu kata dasar bahasa Arab dapat melahirkan banyak kata, baik dengan perubahan harakat maupun penambahan atau tanpa penambahan huruf, seperti
dan permulaan Islam berkomunikasi dengan fashâhah.
13
Pada masa itu bahasa yang digunakan adalah bahasa fashih, baik dalam ragam frozen, formal maupun
consultative. Bahkan sebagian peneliti bahasa mengungkapkan bahwa bahasa fashih merupakan tabiat dan karakter bangsa Arab pada zaman jahiliyah dan permulaan
Islam.
14
Terjaganya bahasa Arab fashih ini berlangsung hingga akhir abad keempat hijriyah di daerah pedesaan, sedangkan di perkotaan hingga akhir abad kedua
hijriyah.
15
Pada masa jahiliyah,
16
bangsa Arab hidup bersuku-suku dengan tingkat kefashihan yang berbeda-beda. Letak geografis tempat tinggal setiap suku yang
berbeda itu telah mengakibatkan perbedaan tingkat kefashihan antara satu tempat dengan tempat lain. Suku pedalaman jazirah Arab memiliki tingkat kefashihan yang
berbeda dengan suku-suku yang berada di pinggiran jazirah Arab. Dan suku yang menetap di pedalaman mempunyai tingkat kefashihan paling tinggi, suku-suku
tersebut adalah suku Tsaqîf, Kinânah, Hudzayl, Khuzâ’ah, Gatafân, Tamîm dan Asad.
17
Sedangkan suku-suku yang menetap di pinggiran jazirah Arab mempunyai bahasa yang kurang fashih sejak zaman jahiliyah. Ini terjadi karena suku-suku
tersebut telah bercampur dengan orang-orang Ajam non-arab.
13
Al-Fashâhah berarti ungkapan yang jelas dan nyata, serta terbebas dari kesalahan secara lingusitik. Adapaun bahasa Arab Fashih adalah bahasa Arab yang terhindar dari berbagai kerancuan,
yaitu bahasa Arab baku atau bahasa Arab standar. Lihal lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 3419-3420
14
Adonis, An Introduction to Arab Poetics, Texas, University of Texas, Austin 1990, hal. 5
15
Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu Bayna al-Qadîm wa al-Hadîts Mesir; Dar al- Ma’ârif, cet. Ke-2, hal. 24
16
Jurzy Zaydan membagai periode Jahiliyah pada dua masa. Jahiliyah pertama adalah sebelum masehi hingga abad kelima masehi, menurut Zaydan bahasa Arab pada masa ini belum
widespread tersebar luas. Adapun masa Jahiliyah kedua dimulai dari abad kelima masehi hingga datangnya Islam, masyarakat pada masa ini merupakan masyarakat yang pandai dalam berbahasa
Arab, mereka berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena itu pada masa ini bahasa Arab yang digunakan adalan bahasa yang baik, selamat dari kecacatan dan terpatri kuat dalam
kehidupan bermasyarakat. Lihat Jurjy Zaydan, al-Lughah al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, hal 12-14. lihat juga Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyat al-Lughah al-Arabiyyah, hal. 42
17
Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555
xix
Dengan bercampurnya Ajam dan Arab, dan intensnya komunikasi antara keduanya telah berdampak langsung pada kualitas bahasa di masyarakat tersebut,
sehingga dalam perjalanannya, muncullah Lahn
18
dalam bahasa Arab, yang kemudian membentuk bahasa yang disebut dengan bahasa ‘Amiyah.
19
Akibatnya di beberapa suku, pengguna bahasa Arab fushhah mengalami degradasi, kecuali Quraisy dan Bani
Sa’ad.
20
Ini karena letak geografis Quraisy jauh dari kota-kota di luar Arab, sehingga Quraisy memiliki bahasa yang paling fashih di antara suku lainnya.
21
Dengan munculnya lahn karena akibat kentalnya komunikasi Ajam dan Arab, berpengaruh
pula pada bacaan al-Qur’ân sebagian Muslim, bahkan kesalahan dalam membaca al- Qur’ân ini, ditemukan pada generasi Muslim pertama.
22
Sesuai dengan kenyataan di atas, sejak Islam mulai dijadikan sebuah keyakinan masyarakat Arab, perhatian terhadap penyusunan kaidah-kaidah penulisan,
pembacaan dan penuturan bahasa Arab dirasakan sangat penting. Maka beberapa ulama yang prihatin akan hal di atas, berusaha semaksimal mungkin, agar bahasa
18
Ibnu Mandzûr mendefinisikan lahn dengan
Arab terjaga kemurniannya, diantara yang paling populer adalah Ali bin Abi Thâlib dan Abu al-Aswad al-Du`aly.
23
Maka itu sesungguhnya motivasi penulisan gramatika bahasa hadir dari kesadaran masyarakat generasi pertama akan pentingnya memahami al-Qur’ân secara
mendalam.
24
Sehingga peletakan kaidah nahwu merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan, terlebih bagi Ajam yang belum memahami bahasa Arab fashih
dengan sempurna. Selain motivasi agama, ada motivasi non-agama yang menguatkan masyarakat Arab untuk meletakkan kaidah gramatika dalam bahasa mereka, yaitu
kebanggaan akan keluhuran dan keistimewaan yang terdapat dalam bahasa Arab.
25
Mereka khawatir bahasa yang luhur ini akan rusak oleh lahn, karena becampur dengan bahasa Ajam. Itu sebabnya mengapa kaidah bahasa Arab perlu ditulis dan
ditetapkan, antara lain sebagai alat kontrol bagi kefashihan bahasa itu sendiri. Dalam proses penetapan kaidah gramatika bahasa Arab, para ulama nahwu
tentunya berpijak pada sumber bahasa Arab, Ahmad menyatakan bahwa sumber nahwu terdiri dari dua macam; Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah. Sumber
al-Manqûl terdiri dari al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW, dan perkataan orang Arab baik yang berbentuk Sya’ir ataupun Natsr. Adapun al-Ma’qûl terdiri dari Qiyâsh dan
Ishtishhâb atau yang lainnya, disebut demikian karena kedua sumber tersebut diperoleh melalui akal.
26
23 Abu al-Aswad menceritakan bahwa ia bertemu Amîr al-Mu’minîn Ali
. k.w
, di tangannya terdapat Raq’ah. Kemudian aku bertanya; wahai Amir al-Mu’
mi
nin apa ini? Dia menjawab; Aku telah mengamati perkataan masyarakat, dan aku temukan perkataannya telah rusak karena seringnya berkomunikasi dengan Ajam, maka aku berinisiatif untuk melakukan sesuatu agar mereka dapat merujuk dan kembali pada ini raq’ah. Kemudian Ali
menyerahkan Raq’ah itu kepadaku, kudapati bertuliskan
Tidak ada perselisihan di kalangan ahli nahwu dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber dalam penetapan kaidah nahwu. Hal ini berbeda dengan Hadîts Nabi
SAW, yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam syariat. Dalam ilmu bahasa Arab, otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa menjadi kontroversi,
padahal Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbahasa Arab di antara sahabat dan seluruh umatnya. Dan pada prakteknya Hadîts kurang
diperhitungkan dalam penetapan kaidah nahwu.
27
Kalaupun ada teks Hadîts Nabi SAW dalam sebagian literature ilmu nahwu, itu sebatas pelengkap dan penguat atas
sumber lain yaitu al-Qur’ân dan perkataan orang Arab, tidak dimaksudkan sebagai hujjah
dalam penetapan kaidah nahwu.
28
Kaitannya dengan kontroversi otoritas Hadîts di atas, ahli nahwu terbagi ke dalam tiga pandangan berkenaan dengan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah
nahwu; Pertama, madzhab yang membolehkan. Madzhab ini adalah madzhab Ibnu
Mâlik, ia adalah ahli nahwu yang dengan tegas menyatakan bahwa Hadîts lebih otoritatif dibandingkan dengan syair. Alasannya, perkataan Nabi SAW merupakan
perkataan paling fashih dibandingkan dengan yang lainnya. Inilah yang menjadi alasan utama madzhab ini dalam mempertahankan dan membela Hadîts sebagai dalil
nahwu. Madzhab ini pun membantah jika peran Hadîts dalam melahirkan kaidah nahwu baru muncul belakangan. Dalam pandangan madzhab ini, ahli nahwu klasik
pun telah berdalil dengan Hadîts, hanya saja kuantitas Hadîts yang digunakan tidak sebanyak Hadîts yang digunakan oleh ahli nahwu yang hidup pada abad ketujuh dan
seterusnya. Maka itu ulama madzhab ini berkeyakinan kuat bahwa Hadîts adalah sumber kaidah nahwu yang sah, keyakinan ini terwujud dalam karya-karya yang lahir
dari ulama madzhab ini. Dalam penetapan kaidah nahwu mereka menjadikan Hadîts sebagai dalil atas kaidahnya.
27
Abd al-Hamid al-Syalqany, Mashâdir al-Lughah, Riyâdh; Jâmi’ah al-Riyâdh 1980 M, hal. 55
28
Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby, hal. 47-48
xxii
Tidak dipungkiri bahwa sebelum Ibnu Mâlik, ada ulama lain yang menjadikan Hadîts sebagai dalil nahwu yaitu al-Suhayli w 581 H, beliau disebut sebagai orang
pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Meskipun ada juga ulama lain yang mengatakan bahwa Ibnu Kharûf w 609 H adalah orang
pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan nahwu, namun pendapat ini dibantah oleh Muhammad Ied, ia mengatakan bahwa pernyataan ulama kontemporer
yang mengatakan hal demikian adalah keliru, karena al-Suhayli hidup lebih awal dibandingkan dengan Ibnu Kharûf. Selain itu al-Suhayli juga disebut sebagai
inspirator bagi Ibnu Mâlik dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah bahasa Arab.
29
Sanggahan atas pandangan para penentang Hadîts, ditegaskan pula oleh ahli nahwu kontemporer yang mendukung madzhab ini, dengan dua jawaban; Pertama,
memang benar ada tradisi periwayatan Hadîts dengan makna, namun itu terjadi pada masa awal Islam, sebelum kodifikasi Hadîts di kitab-kitab yang dikenal saat ini.
Karena pada awal Islam, bahasa Arab yang mereka gunakan belum rusak, kefashihannya masih terjaga, kalaupun terjadi periwayatan dengan makna, itu hanya
pergantian lafadz Nabi SAW dengan lafadz yang sinonim. Kedua, adanya anggapan bahwa ulama klasik tidak menggunakan Hadîts sebagai dalil gramatika, maka
sesungguhnya sikap ulama klasik tersebut tidaklah menunjukkan larangan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu.
30
Melainkan karena tidak semua ahli gramatika bahasa Arab menguasai periwayatan Hadîts. Sehingga absennya Hadîts
dalam karya mereka, bukanlah menunjukkan keraguan mereka akan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa, melainkan karena faktor lain, seperti belum maraknya
tradisi periwayatan Hadîts pada masa itu. Ini berbeda dengan periwayatan syair, yang mudah didapatkan dari setiap orang Arab.
Kesimpulannya menurut madzhab ini Hadîts adalah dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sehingga tidak perlu diragukan keotentikannya sebagai ucapan Nabi
29
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 87
30
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 9
xxiii
SAW. Karena kemampuan Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab fashih tidak ada tandingannya. Maka itu tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak ucapan Nabi
SAW sebagai dalil. Adapun bantahan mereka terhadap para penentang Hadits sebagai dalil Nahwu akan dianalisa dalam sub bab berikutnya.
Kedua, madzhab yang tidak membolehkan. Sebagian ahli sejarah menyatakan
bahwa pelopor ulama nahwu yang tidak membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu adalah Ibnu al-Dhâ’i w 686 H dan Abu Hayyân w 745
H. Ibnu al-Dhâ’i dikenal sebagai orang pertama yang mengkritisi konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu, dan ia menyimpulkan bahwa para
ahli bahasa terdahulu seperti Sybawaih dan lainnya tidak pernah berdalil dengan Hadîts, sikap mereka ini dalam pandangan Ibnu al-Dhâ’i disebabkan karena dalam
ilmu Hadîts ada kaidah yang menyatakan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan maknanya saja.
31
Sehingga lafadz yang disebut sebagai Hadîts Nabi SAW dimungkinkan merupakan lafadz periwayat Hadîts. Pendapat ini kemudian diikuti
oleh muridnya, Abu Hayyân. Dan kemudian Abu Hayyân menjadi orang pertama yang mengkritisi pemikiran Ibnu Mâlik, yang nota bene banyak berdalil dengan
Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu
32
. Ulama madzhab ini menjelaskan, di antara sebab penolakan mereka adalah,
karena ketidakyakinan mereka akan lafadz Hadîts tersebut merupakan lafadz Rasulullah SAW, ketidakyakinan ini berdasarkan dua hal; Pertama, adanya kaidah
yang mengatakan bolehnya bagi periwayat Hadîts untuk meriwayatkan suatu Hadîts dengan maknanya saja,
33
sehingga dimungkinkan lafadz Hadîts yang ia riwayatkan bukanlah lafadz yang diucapkan Nabi SAW, namun lafadz dari periwayat Hadîts
tersebut. Buktinya ditemukan satu kisah tentang peristiwa pada masa Nabi SAW, diriwayatkan dengan berbagai lafadz yang berbeda, padahal peristiwanya sama dan
31
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 85
32
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz 1, hal. 14. Lihat juga di Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al- Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawi,
hal. 47
33
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 86 dan lihat juga
Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, hal. 48
xxiv
sumbernya juga sama yaitu Rasulullah SAW. Menurut madzhab ini, hal tersebut membuktikan bahwa Hadîts yang dikenal sekarang, lafadznya tidaklah pasti sama
dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW. Contohnya adalah riwayat;
34
Ketiga, madzhab pertengahan. Di antara kedua madzhab di atas, terdapat
madzhab ketiga, yaitu sebagian ulama yang secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak berpihak pada salah satu di antara kedua madzhab tersebut. Karena itu, ulama
madzhab ini terkadang berdalil dengan Hadîts dan terkadang juga tidak, mereka memiliki konsep tersendiri tentang otorisasi Hadîts, yang tentunya berbeda dengan
kedua madzhab pendahulunya. Pelopor madzhab ini adalah Imam al-Syâtibi w 790 H, beliau mengatakan, “Kami belum pernah menemukan satu ulama nahwu pun
yang berdalil dengan Hadîts, yang kami temukan adalah mereka berdalil dengan syair dalam penetapan kaidah nahwu, karena dalam Hadîts yang dinukil adalah maknanya
saja, bukan lafadznya. Sehingga lafadznya berbeda-beda meskipun dalam konteks yang sama, ini tentunya berbeda dengan syair, dalam syair para periwayat lebih fokus
pada lafadznya.
37
Dalam pandangan al-Syâtibi, dari sisi penukilan Hadîts terbagi ke dalam dua macam; pertama, Hadîts yang dinukil hanya maknanya saja, tidak dengan lafadznya,
maka Hadîts ini tidak dapat dijadikan dalil. Kedua, Hadîts yang dinukil oleh periwayat dengan makna dan lafadznya dengan maksud-maksud tertentu, yaitu untuk
menunjukkan kefashihan bahasa Nabi SAW, seperti surat-surat yang ditulis oleh beliau, misalnya surat kepada Hamdân, Wâ’il bin Hajar, dan juga peribahasa
Rasulullah SAW. Maka itu menurut madzhab pertengahan, kategori Hadîts ini dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu.
38
Ulama kontemporer berbeda pendapat apakah al-Suyûthi bagian dari yang sepakat atau tidak akan otoritas Hadîts sebagai dalil nahwu, karena al-Suyûthi tidak
menyatakan secara terang-terangan bahwa ia menolak Hadîts atau menerimanya sebagai dalil nahwu. Meskipun dalam karya-karya bahasanya ia kerap menampilkan
Hadîts sebagai dalil bahasa.
39
Karena itu al-Baghdâdi mengkategorikan al-Suyuthi
37
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 90
38
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 12
39
Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 91
xxvi
bagian dari madzhab pertengahan, kesimpulan ini dihasilkan setelah ia menganalisa pendapat al-Suyûthi dalam kitab al-Iqtirâh.
40
Barulah pada abad ketujuh hijriyah pandangan ahli nahwu terhadap otoritas Hadîts mulai terbenahi, seiring hadirnya ahli nahwu berasal dari Andalusia yaitu Ibnu
Mâlik, yang secara terang-terangan membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Bahkan sejak lahirnya al-Kitab karya Sybawaih w. 180 H
hingga kehadiran Syarh Umdah al-Hâfidz karya Ibnu Mâlik w. 672 H, menurut penelitian ulama bahasa hanyalah Ibnu Mâlik yang terbanyak berdalil dengan Hadîts
dalam penetapan kaidah nahwu, yaitu berjumlah empat puluh tujuh 47 Hadîts yang tertuang dalam karyanya Syarh Umdah al-Hâfidz.
41
Komitmen Ibnu Mâlik dalam membela keunggulan Uslub bahasa Arab dalam Hadîts ini juga dibuktikan dengan
salah satu karyanya, yaitu Syawâhid al-Tawdhîh wa al-Tashhîh. Karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian pemikiran nahwu Ibnu
Mâlik dikenal bahkan diikuti oleh ahli bahasa Arab yang datang kemudian, bahkan pemikiran-pemikirannya tentang Ihtijâj bi al-Hadîts dalam pembentukan kaidah
nahwu pun menjadi rujukan utama dibandingkan ulama lainnya. Kepopuleran pemikiran Ibnu Malik ini tersebar hingga negera Indonesia,
padahal secara geografis, Indonesia sangat jauh dengan tempat di mana Ibnu Mâlik menetap. Namun karya Ibnu Mâlik tidak asing di kalangan santri pengkaji bahasa
Arab. Di antara karya yang paling populer adalah Alfiyah Ibnu Mâlik,
42
yang memuat seribu bait kaidah ilmu bahasa Arab. Di beberapa pesantren kitab ini adalah puncak
dan standar kemahiran santri dalam bahasa Arab.
43
Bahkan santri yang mampu menghapal bait-bait dalam kitab Alfiyah dianggap santri istimewa. Namun yang
disayangkan, sedikit sekali pengkaji ilmu bahasa Arab yang menggali pemikiran- pemikirannya dalam konteks sumber penetapan kaidah nahwu, dan pandangannya
40
Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 13
41
Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 93
42
Pada awalnya kitab ini bernama al-Khulâshah, namun kemudian dikenal dengan Alfiyah, disebut demikian karena dalam kitab tersebut terkandung seribu bait kaidah nahwu.
43
Mujamil Qomar, Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi, hal. 286
xxvii
terhadap Ushûl al-Nahwi, khususnya terhadap Hadîts. Padahal mengenal tokoh dan pemikirannya tidak kalah penting dari pada mengenal buah karyanya.
Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts dan ilmu bahasa Arab adalah bagian dari ilmu agama, karenanya mengkajinya adalah merupakan usaha yang tidak
dapat dihindarkan. Nampaknya ungkapan Muhammad bin Sirîn W. 110 H lebih diperlukan saat ini, yaitu “Ilmu ini mengenai agama menjelma atau merupakan
keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu”.
44
Ini berarti bahwa segala masalah yang berkaitan dengan ilmu ajaran Islam hendaknya diperoleh
dari seorang muslim yang mumpuni dalam bidangnya, bukan dari sebaliknya. Untuk itulah, penulis meneliti pemikiran Ibnu Mâlik bukan hanya karena
pemikirannya dianut oleh banyak ulama ahli bahasa, namun juga karena karya dan gagasannya sungguh bermanfaat bagi umat Islam yang cinta akan ilmu Agama,
khususnya berkaitan dengan pemikirannya terhadap Hadîts. Sehingga pemikirannya dalam bidang sumber bahasa Arab tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib
untuk diteliti.