LATAR BELAKANG MASALAH Otorisasi Hadis Sebagai Sumber Kaidah bahasa : studi analisis pemikiran Ibnu Malik Dalam Pembentukan kaidah nahwu

berkontribusi pada kemajuan bahasa Arab, misalnya dengan munculnya ilmu tafsîr, hadîts, filsafat dan keilmuwan lainnya yang menuntut adanya istilah-istilah baru dalam keilmuwan tersebut, 8 sehingga menambah kosa kata dalam bahasa Arab. Di antara faktor pendukung kemajuan bahasa Arab lainnya adalah keistimewaan dari segi unsur-unsur kebahasaan yang dimiliki bahasa Arab itu sendiri. Secara umum suatu bahasa mempunyai dua macam unsur, al-Shaut bunyi dan al- Dil âlah makna. Al-Dilâlah ini merupakan kajian leksikologi, sintaksis, morfologi dan stilistik, 9 dalam bahasa Arab dikenal dengan Qâ’idah Nahwiyah dan Qâ’idah Sharfiyyah. 10 Dari sisi keistimewaan bunyi, bahasa Arab tidak perlu diragukan lagi, karena ia memiliki lima belas makhraj tempat keluar huruf dan tiga belas sifat bunyi. 11 Ibnu al-Atsîr w. 606 H menyatakan bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang terjaga dan tidak dimasuki oleh kesalahan dan kecacatan, hal itu berlangsung hingga terjadi ekspansi ke beberapa daerah yang menyebabkan bangsa Arab bercampur dan bergaul dengan bangsa-bangsa lain. 12 Sesungguhnya terjaganya kualitas keluhuran bahasa Arab tidaklah mengherankan, karena masyarakat Arab sejak zaman jahiliyah Bahkan menurut De’ Hammaer ditemukan kata yang menunjuk kepada unta dan keadaannya sebanyak 5.644 kata. Lihat M. Qurais Syihab, Mukjizat al-Qur’ân, hal. 96. 8 Ahmad Abd al-Ghafûr Aththâr, Difâ’ an al-Fushha, hal. 36 9 Ali Abd al-Wâhid Wâfi, Fiqh al-Lughah hal 164 10 Dalam menganalisis kebahasaan kedua kaidah ini tidak dapat dipisahkan, karena kedua- duanya merupakan kaidah yang khas dalam bahasa Arab, dan menjadi pembeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa Arab mempunyai keistemawaan yang luar biasa dalam aspek morfologis dan sintaksis. Di antara keistimewannya itu adalah; Pertama; Dari aspek morfologis dan sintaksis, bahasa Arab adalah bahasa paling luas di antara bahasa-bahasa Semit lainnya. Kedua; Dalam bahasa Arab terdapat banyak bentuk jama’ taksîr, yang di dalam bahasa Semit lainnya hanya terdapat satu bentuk saja. Ketiga; Satu kata dasar bahasa Arab dapat melahirkan banyak kata, baik dengan perubahan harakat maupun penambahan atau tanpa penambahan huruf, seperti dan permulaan Islam berkomunikasi dengan fashâhah. 13 Pada masa itu bahasa yang digunakan adalah bahasa fashih, baik dalam ragam frozen, formal maupun consultative. Bahkan sebagian peneliti bahasa mengungkapkan bahwa bahasa fashih merupakan tabiat dan karakter bangsa Arab pada zaman jahiliyah dan permulaan Islam. 14 Terjaganya bahasa Arab fashih ini berlangsung hingga akhir abad keempat hijriyah di daerah pedesaan, sedangkan di perkotaan hingga akhir abad kedua hijriyah. 15 Pada masa jahiliyah, 16 bangsa Arab hidup bersuku-suku dengan tingkat kefashihan yang berbeda-beda. Letak geografis tempat tinggal setiap suku yang berbeda itu telah mengakibatkan perbedaan tingkat kefashihan antara satu tempat dengan tempat lain. Suku pedalaman jazirah Arab memiliki tingkat kefashihan yang berbeda dengan suku-suku yang berada di pinggiran jazirah Arab. Dan suku yang menetap di pedalaman mempunyai tingkat kefashihan paling tinggi, suku-suku tersebut adalah suku Tsaqîf, Kinânah, Hudzayl, Khuzâ’ah, Gatafân, Tamîm dan Asad. 17 Sedangkan suku-suku yang menetap di pinggiran jazirah Arab mempunyai bahasa yang kurang fashih sejak zaman jahiliyah. Ini terjadi karena suku-suku tersebut telah bercampur dengan orang-orang Ajam non-arab. 13 Al-Fashâhah berarti ungkapan yang jelas dan nyata, serta terbebas dari kesalahan secara lingusitik. Adapaun bahasa Arab Fashih adalah bahasa Arab yang terhindar dari berbagai kerancuan, yaitu bahasa Arab baku atau bahasa Arab standar. Lihal lisân al-Arab karya Ibnu Mandzûr, juz. 5, hal. 3419-3420 14 Adonis, An Introduction to Arab Poetics, Texas, University of Texas, Austin 1990, hal. 5 15 Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu Bayna al-Qadîm wa al-Hadîts Mesir; Dar al- Ma’ârif, cet. Ke-2, hal. 24 16 Jurzy Zaydan membagai periode Jahiliyah pada dua masa. Jahiliyah pertama adalah sebelum masehi hingga abad kelima masehi, menurut Zaydan bahasa Arab pada masa ini belum widespread tersebar luas. Adapun masa Jahiliyah kedua dimulai dari abad kelima masehi hingga datangnya Islam, masyarakat pada masa ini merupakan masyarakat yang pandai dalam berbahasa Arab, mereka berkomunikasi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya, karena itu pada masa ini bahasa Arab yang digunakan adalan bahasa yang baik, selamat dari kecacatan dan terpatri kuat dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Jurjy Zaydan, al-Lughah al-Arabiyyah Kâ’in Hayy, hal 12-14. lihat juga Taufiq Muhammad Syâhin, Awâmil Tanmiyat al-Lughah al-Arabiyyah, hal. 42 17 Ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, hal. 555 xix Dengan bercampurnya Ajam dan Arab, dan intensnya komunikasi antara keduanya telah berdampak langsung pada kualitas bahasa di masyarakat tersebut, sehingga dalam perjalanannya, muncullah Lahn 18 dalam bahasa Arab, yang kemudian membentuk bahasa yang disebut dengan bahasa ‘Amiyah. 19 Akibatnya di beberapa suku, pengguna bahasa Arab fushhah mengalami degradasi, kecuali Quraisy dan Bani Sa’ad. 20 Ini karena letak geografis Quraisy jauh dari kota-kota di luar Arab, sehingga Quraisy memiliki bahasa yang paling fashih di antara suku lainnya. 21 Dengan munculnya lahn karena akibat kentalnya komunikasi Ajam dan Arab, berpengaruh pula pada bacaan al-Qur’ân sebagian Muslim, bahkan kesalahan dalam membaca al- Qur’ân ini, ditemukan pada generasi Muslim pertama. 22 Sesuai dengan kenyataan di atas, sejak Islam mulai dijadikan sebuah keyakinan masyarakat Arab, perhatian terhadap penyusunan kaidah-kaidah penulisan, pembacaan dan penuturan bahasa Arab dirasakan sangat penting. Maka beberapa ulama yang prihatin akan hal di atas, berusaha semaksimal mungkin, agar bahasa 18 Ibnu Mandzûr mendefinisikan lahn dengan Arab terjaga kemurniannya, diantara yang paling populer adalah Ali bin Abi Thâlib dan Abu al-Aswad al-Du`aly. 23 Maka itu sesungguhnya motivasi penulisan gramatika bahasa hadir dari kesadaran masyarakat generasi pertama akan pentingnya memahami al-Qur’ân secara mendalam. 24 Sehingga peletakan kaidah nahwu merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan, terlebih bagi Ajam yang belum memahami bahasa Arab fashih dengan sempurna. Selain motivasi agama, ada motivasi non-agama yang menguatkan masyarakat Arab untuk meletakkan kaidah gramatika dalam bahasa mereka, yaitu kebanggaan akan keluhuran dan keistimewaan yang terdapat dalam bahasa Arab. 25 Mereka khawatir bahasa yang luhur ini akan rusak oleh lahn, karena becampur dengan bahasa Ajam. Itu sebabnya mengapa kaidah bahasa Arab perlu ditulis dan ditetapkan, antara lain sebagai alat kontrol bagi kefashihan bahasa itu sendiri. Dalam proses penetapan kaidah gramatika bahasa Arab, para ulama nahwu tentunya berpijak pada sumber bahasa Arab, Ahmad menyatakan bahwa sumber nahwu terdiri dari dua macam; Mashâdir Manqûlah dan Mashâdir Ma’qûlah. Sumber al-Manqûl terdiri dari al-Qur’ân, Hadîts Nabi SAW, dan perkataan orang Arab baik yang berbentuk Sya’ir ataupun Natsr. Adapun al-Ma’qûl terdiri dari Qiyâsh dan Ishtishhâb atau yang lainnya, disebut demikian karena kedua sumber tersebut diperoleh melalui akal. 26 23 Abu al-Aswad menceritakan bahwa ia bertemu Amîr al-Mu’minîn Ali . k.w , di tangannya terdapat Raq’ah. Kemudian aku bertanya; wahai Amir al-Mu’ mi nin apa ini? Dia menjawab; Aku telah mengamati perkataan masyarakat, dan aku temukan perkataannya telah rusak karena seringnya berkomunikasi dengan Ajam, maka aku berinisiatif untuk melakukan sesuatu agar mereka dapat merujuk dan kembali pada ini raq’ah. Kemudian Ali menyerahkan Raq’ah itu kepadaku, kudapati bertuliskan Tidak ada perselisihan di kalangan ahli nahwu dalam menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber dalam penetapan kaidah nahwu. Hal ini berbeda dengan Hadîts Nabi SAW, yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur’ân dalam syariat. Dalam ilmu bahasa Arab, otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa menjadi kontroversi, padahal Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling fashih dalam berbahasa Arab di antara sahabat dan seluruh umatnya. Dan pada prakteknya Hadîts kurang diperhitungkan dalam penetapan kaidah nahwu. 27 Kalaupun ada teks Hadîts Nabi SAW dalam sebagian literature ilmu nahwu, itu sebatas pelengkap dan penguat atas sumber lain yaitu al-Qur’ân dan perkataan orang Arab, tidak dimaksudkan sebagai hujjah dalam penetapan kaidah nahwu. 28 Kaitannya dengan kontroversi otoritas Hadîts di atas, ahli nahwu terbagi ke dalam tiga pandangan berkenaan dengan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu; Pertama, madzhab yang membolehkan. Madzhab ini adalah madzhab Ibnu Mâlik, ia adalah ahli nahwu yang dengan tegas menyatakan bahwa Hadîts lebih otoritatif dibandingkan dengan syair. Alasannya, perkataan Nabi SAW merupakan perkataan paling fashih dibandingkan dengan yang lainnya. Inilah yang menjadi alasan utama madzhab ini dalam mempertahankan dan membela Hadîts sebagai dalil nahwu. Madzhab ini pun membantah jika peran Hadîts dalam melahirkan kaidah nahwu baru muncul belakangan. Dalam pandangan madzhab ini, ahli nahwu klasik pun telah berdalil dengan Hadîts, hanya saja kuantitas Hadîts yang digunakan tidak sebanyak Hadîts yang digunakan oleh ahli nahwu yang hidup pada abad ketujuh dan seterusnya. Maka itu ulama madzhab ini berkeyakinan kuat bahwa Hadîts adalah sumber kaidah nahwu yang sah, keyakinan ini terwujud dalam karya-karya yang lahir dari ulama madzhab ini. Dalam penetapan kaidah nahwu mereka menjadikan Hadîts sebagai dalil atas kaidahnya. 27 Abd al-Hamid al-Syalqany, Mashâdir al-Lughah, Riyâdh; Jâmi’ah al-Riyâdh 1980 M, hal. 55 28 Mahmûd Ahmad Nahlah, Ushûl al-Nahwi al-Araby, hal. 47-48 xxii Tidak dipungkiri bahwa sebelum Ibnu Mâlik, ada ulama lain yang menjadikan Hadîts sebagai dalil nahwu yaitu al-Suhayli w 581 H, beliau disebut sebagai orang pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Meskipun ada juga ulama lain yang mengatakan bahwa Ibnu Kharûf w 609 H adalah orang pertama yang berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan nahwu, namun pendapat ini dibantah oleh Muhammad Ied, ia mengatakan bahwa pernyataan ulama kontemporer yang mengatakan hal demikian adalah keliru, karena al-Suhayli hidup lebih awal dibandingkan dengan Ibnu Kharûf. Selain itu al-Suhayli juga disebut sebagai inspirator bagi Ibnu Mâlik dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah bahasa Arab. 29 Sanggahan atas pandangan para penentang Hadîts, ditegaskan pula oleh ahli nahwu kontemporer yang mendukung madzhab ini, dengan dua jawaban; Pertama, memang benar ada tradisi periwayatan Hadîts dengan makna, namun itu terjadi pada masa awal Islam, sebelum kodifikasi Hadîts di kitab-kitab yang dikenal saat ini. Karena pada awal Islam, bahasa Arab yang mereka gunakan belum rusak, kefashihannya masih terjaga, kalaupun terjadi periwayatan dengan makna, itu hanya pergantian lafadz Nabi SAW dengan lafadz yang sinonim. Kedua, adanya anggapan bahwa ulama klasik tidak menggunakan Hadîts sebagai dalil gramatika, maka sesungguhnya sikap ulama klasik tersebut tidaklah menunjukkan larangan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. 30 Melainkan karena tidak semua ahli gramatika bahasa Arab menguasai periwayatan Hadîts. Sehingga absennya Hadîts dalam karya mereka, bukanlah menunjukkan keraguan mereka akan otoritas Hadîts sebagai sumber kaidah bahasa, melainkan karena faktor lain, seperti belum maraknya tradisi periwayatan Hadîts pada masa itu. Ini berbeda dengan periwayatan syair, yang mudah didapatkan dari setiap orang Arab. Kesimpulannya menurut madzhab ini Hadîts adalah dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sehingga tidak perlu diragukan keotentikannya sebagai ucapan Nabi 29 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 87 30 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 9 xxiii SAW. Karena kemampuan Nabi SAW dalam berbicara bahasa Arab fashih tidak ada tandingannya. Maka itu tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menolak ucapan Nabi SAW sebagai dalil. Adapun bantahan mereka terhadap para penentang Hadits sebagai dalil Nahwu akan dianalisa dalam sub bab berikutnya. Kedua, madzhab yang tidak membolehkan. Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa pelopor ulama nahwu yang tidak membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu adalah Ibnu al-Dhâ’i w 686 H dan Abu Hayyân w 745 H. Ibnu al-Dhâ’i dikenal sebagai orang pertama yang mengkritisi konsep berdalil dengan Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu, dan ia menyimpulkan bahwa para ahli bahasa terdahulu seperti Sybawaih dan lainnya tidak pernah berdalil dengan Hadîts, sikap mereka ini dalam pandangan Ibnu al-Dhâ’i disebabkan karena dalam ilmu Hadîts ada kaidah yang menyatakan bolehnya meriwayatkan Hadîts dengan maknanya saja. 31 Sehingga lafadz yang disebut sebagai Hadîts Nabi SAW dimungkinkan merupakan lafadz periwayat Hadîts. Pendapat ini kemudian diikuti oleh muridnya, Abu Hayyân. Dan kemudian Abu Hayyân menjadi orang pertama yang mengkritisi pemikiran Ibnu Mâlik, yang nota bene banyak berdalil dengan Hadîts dalam menetapkan kaidah nahwu 32 . Ulama madzhab ini menjelaskan, di antara sebab penolakan mereka adalah, karena ketidakyakinan mereka akan lafadz Hadîts tersebut merupakan lafadz Rasulullah SAW, ketidakyakinan ini berdasarkan dua hal; Pertama, adanya kaidah yang mengatakan bolehnya bagi periwayat Hadîts untuk meriwayatkan suatu Hadîts dengan maknanya saja, 33 sehingga dimungkinkan lafadz Hadîts yang ia riwayatkan bukanlah lafadz yang diucapkan Nabi SAW, namun lafadz dari periwayat Hadîts tersebut. Buktinya ditemukan satu kisah tentang peristiwa pada masa Nabi SAW, diriwayatkan dengan berbagai lafadz yang berbeda, padahal peristiwanya sama dan 31 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 85 32 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz 1, hal. 14. Lihat juga di Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al- Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawi, hal. 47 33 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 86 dan lihat juga Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, hal. 48 xxiv sumbernya juga sama yaitu Rasulullah SAW. Menurut madzhab ini, hal tersebut membuktikan bahwa Hadîts yang dikenal sekarang, lafadznya tidaklah pasti sama dengan lafadz yang diucapkan Nabi SAW. Contohnya adalah riwayat; 34 Ketiga, madzhab pertengahan. Di antara kedua madzhab di atas, terdapat madzhab ketiga, yaitu sebagian ulama yang secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak berpihak pada salah satu di antara kedua madzhab tersebut. Karena itu, ulama madzhab ini terkadang berdalil dengan Hadîts dan terkadang juga tidak, mereka memiliki konsep tersendiri tentang otorisasi Hadîts, yang tentunya berbeda dengan kedua madzhab pendahulunya. Pelopor madzhab ini adalah Imam al-Syâtibi w 790 H, beliau mengatakan, “Kami belum pernah menemukan satu ulama nahwu pun yang berdalil dengan Hadîts, yang kami temukan adalah mereka berdalil dengan syair dalam penetapan kaidah nahwu, karena dalam Hadîts yang dinukil adalah maknanya saja, bukan lafadznya. Sehingga lafadznya berbeda-beda meskipun dalam konteks yang sama, ini tentunya berbeda dengan syair, dalam syair para periwayat lebih fokus pada lafadznya. 37 Dalam pandangan al-Syâtibi, dari sisi penukilan Hadîts terbagi ke dalam dua macam; pertama, Hadîts yang dinukil hanya maknanya saja, tidak dengan lafadznya, maka Hadîts ini tidak dapat dijadikan dalil. Kedua, Hadîts yang dinukil oleh periwayat dengan makna dan lafadznya dengan maksud-maksud tertentu, yaitu untuk menunjukkan kefashihan bahasa Nabi SAW, seperti surat-surat yang ditulis oleh beliau, misalnya surat kepada Hamdân, Wâ’il bin Hajar, dan juga peribahasa Rasulullah SAW. Maka itu menurut madzhab pertengahan, kategori Hadîts ini dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu. 38 Ulama kontemporer berbeda pendapat apakah al-Suyûthi bagian dari yang sepakat atau tidak akan otoritas Hadîts sebagai dalil nahwu, karena al-Suyûthi tidak menyatakan secara terang-terangan bahwa ia menolak Hadîts atau menerimanya sebagai dalil nahwu. Meskipun dalam karya-karya bahasanya ia kerap menampilkan Hadîts sebagai dalil bahasa. 39 Karena itu al-Baghdâdi mengkategorikan al-Suyuthi 37 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal 90 38 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 12 39 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah, hal. 91 xxvi bagian dari madzhab pertengahan, kesimpulan ini dihasilkan setelah ia menganalisa pendapat al-Suyûthi dalam kitab al-Iqtirâh. 40 Barulah pada abad ketujuh hijriyah pandangan ahli nahwu terhadap otoritas Hadîts mulai terbenahi, seiring hadirnya ahli nahwu berasal dari Andalusia yaitu Ibnu Mâlik, yang secara terang-terangan membolehkan berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu. Bahkan sejak lahirnya al-Kitab karya Sybawaih w. 180 H hingga kehadiran Syarh Umdah al-Hâfidz karya Ibnu Mâlik w. 672 H, menurut penelitian ulama bahasa hanyalah Ibnu Mâlik yang terbanyak berdalil dengan Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, yaitu berjumlah empat puluh tujuh 47 Hadîts yang tertuang dalam karyanya Syarh Umdah al-Hâfidz. 41 Komitmen Ibnu Mâlik dalam membela keunggulan Uslub bahasa Arab dalam Hadîts ini juga dibuktikan dengan salah satu karyanya, yaitu Syawâhid al-Tawdhîh wa al-Tashhîh. Karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian pemikiran nahwu Ibnu Mâlik dikenal bahkan diikuti oleh ahli bahasa Arab yang datang kemudian, bahkan pemikiran-pemikirannya tentang Ihtijâj bi al-Hadîts dalam pembentukan kaidah nahwu pun menjadi rujukan utama dibandingkan ulama lainnya. Kepopuleran pemikiran Ibnu Malik ini tersebar hingga negera Indonesia, padahal secara geografis, Indonesia sangat jauh dengan tempat di mana Ibnu Mâlik menetap. Namun karya Ibnu Mâlik tidak asing di kalangan santri pengkaji bahasa Arab. Di antara karya yang paling populer adalah Alfiyah Ibnu Mâlik, 42 yang memuat seribu bait kaidah ilmu bahasa Arab. Di beberapa pesantren kitab ini adalah puncak dan standar kemahiran santri dalam bahasa Arab. 43 Bahkan santri yang mampu menghapal bait-bait dalam kitab Alfiyah dianggap santri istimewa. Namun yang disayangkan, sedikit sekali pengkaji ilmu bahasa Arab yang menggali pemikiran- pemikirannya dalam konteks sumber penetapan kaidah nahwu, dan pandangannya 40 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab, juz. 1, hal. 13 41 Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 93 42 Pada awalnya kitab ini bernama al-Khulâshah, namun kemudian dikenal dengan Alfiyah, disebut demikian karena dalam kitab tersebut terkandung seribu bait kaidah nahwu. 43 Mujamil Qomar, Pesantren: dari transformasi metodologi menuju demokratisasi, hal. 286 xxvii terhadap Ushûl al-Nahwi, khususnya terhadap Hadîts. Padahal mengenal tokoh dan pemikirannya tidak kalah penting dari pada mengenal buah karyanya. Sebagaimana disebutkan di awal, bahwa Hadîts dan ilmu bahasa Arab adalah bagian dari ilmu agama, karenanya mengkajinya adalah merupakan usaha yang tidak dapat dihindarkan. Nampaknya ungkapan Muhammad bin Sirîn W. 110 H lebih diperlukan saat ini, yaitu “Ilmu ini mengenai agama menjelma atau merupakan keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar ilmu itu”. 44 Ini berarti bahwa segala masalah yang berkaitan dengan ilmu ajaran Islam hendaknya diperoleh dari seorang muslim yang mumpuni dalam bidangnya, bukan dari sebaliknya. Untuk itulah, penulis meneliti pemikiran Ibnu Mâlik bukan hanya karena pemikirannya dianut oleh banyak ulama ahli bahasa, namun juga karena karya dan gagasannya sungguh bermanfaat bagi umat Islam yang cinta akan ilmu Agama, khususnya berkaitan dengan pemikirannya terhadap Hadîts. Sehingga pemikirannya dalam bidang sumber bahasa Arab tersebut menjadi suatu kebutuhan yang wajib untuk diteliti.

B. PERMASALAHAN 1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas, banyak hal yang patut untuk dikaji dan ditemukan jawabannya. Baik dari sisi Ibnu Mâlik, Hadîts maupun sistem penetapan kaidah nahwu. Sehingga akan lahirlah beberapa pertanyaan, misalnya; a. Bagaimana konsep pemikiran Ibnu Mâlik tentang Hadîts? b. Bagaimana lingkup kajian nahwu yang dikemukakan oleh Ibnu Mâlik? c. Sejauh mana otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu bagi Ibnu Mâlik dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya? d. Apa yang mendasari pemikiran otorisasi Hadîts Ibnu Mâlik dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? 44 Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1, hal. 10 xxviii e. Sejauh mana kualitas hadîts-hadîts yang digunakan Ibnu Mâlik sebagai dalil kaidahnya. Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai refresentatif pemikiran ulama nahwu Andalusia, bahkan ia banyak menghadirkan kaidah-kaidah nahwu yang sebelumnya tidak dikenal di kalangan kedua madzhab besar nahwu yaitu; Bashrah dan Kûfah. 45 Lantas; f. Apa perbedaan mendasar antara pemikiran nahwu Andalusia dan Bashrah serta Kûfah? g. Sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu sesudahnya? h. Jika dilihat dari sisi keindonesiaan, mengapa pemikiran Ibnu Mâlik dan karya- karyanya banyak memenuhi pengajian bahasa Arab di pesantren-pesantren, padahal banyak pemikiran ahli nahwu selainnya yang telah mapan. 46 Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari latar belakang penelitian yang penulis kemukakan di atas.

2. Batasan Masalah

Setelah mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul dari latar belakang di muka, nampaknya tidak semua masalah tersebut dapat diteliti dalam peneltitan ini. Maka itu sudah menjadi keharusan untuk membatasi masalah-masalah apa saja yang akan dikaji dalam penelitian ini. Secara khusus tesis ini akan meneliti; a. Otorisasi Hadits sebagai sumber kaidah nahwu, perspektif Ibnu Malik dan membandingkannya dengan ulama klasik. 45 Meskipun Bashrah dan Kufah merupkan pusat pendidikan ilmu bahasa Arab, namun Ibnu Mâlik disebut-sebut sebagai ahli nahwu yang memunculkan kaidah-kaidah yang berbeda dari keduanya. Padahal dari sisi pendidikan, Ibnu Mâlik pun mengenyam dan mengkaji al-Kitab karya Sybawaih kepada Ali Abd Abdillah bin Mâlik al-Mirsyani. Adanya perbedaan antara kaidah Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik ini adalah salah satu yang akan penulis buktikan dalam penelitian ini. 46 Misalnya al-Mubarrad w. 285 H dengan karyanya al-Muqtadhab, Ibnu al-Khasyab w. 567 H dengan karyanya al-Murtajal, al-Zujajî w. 337 H dengan karyanya al-Jumal. lihat Hasan Musa, al-Nuhât wa al-Hadits al-Nabawî, hal. 91-72 xxix b. Fokus kajian ini hanya pada kaidah-kaidah Ibnu Malik yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW dalam syarh al-Umdah, syarh al-Kâfiyah dan syawâhid al- Taudhîh. c. Kaidah nahwu yang akan diteliti dalam tesis ini adalah; Isim, fi’il, huruf, tawâbi’ dan maf’ûl.

3. Rumusan Masalah

a. Bagaimana otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu dalam pandangan Ibnu Mâlik jika dibandingkan dengan ahli nahwu klasik. b. Kaidah-kaidah apa saja yang bersumber dari Hadîts, dan bentuk Hadîts apa yang digunakan sebagai dalil kaidah nahwu; apakah qauli saja, atau juga fi’li, dan taqriri. Apakah hanya hadîts marfû’ bagaimana dengan hadîts mauqûf atau maqthû’

C. TUJUAN PENELITIAN

Dalam sikap dan ucap yang lahir dari manusia, pastinya memiliki tujuan dan maksud tertentu, 47 terlepas apakah tujuannya baik atau tidak. Begitu pula dengan penelitian ini. Selain sebagai bukti kontribusi penulis terhadap pemikiran kaidah bahasa Arab, 48 tesis ini juga membuktikan bahwa teks Hadîts matan mengandung stilistik bahasa yang luhur, di samping ia juga merupakan sumber hukum syariat. 49 47 Hal ini sesuai dengan wejangan Nabi SAW. “Innama al-A’mâl bi al-Niyât..” HR. al- Bukhari 48 Ketertarikan penulis pada kajian nahwu, antara lain adanya motivasi yang menyebutkan banyaknya keutamaan-keutamaan yang disampikan oleh para sahabat maupun ulama salaf bagi pengkaji nahwu. Misalnya Umar bin Khattâb r.a pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena ia dapat menguatkan akal dan menambah wibawa”, maksud dari bahasa Arab di sini adalah ilmu bahasa atau nahwu. Al-Sakhâwi juga pernah mengatakan, “Mengkaji nahwu untuk menjaga firman Allah SWT dan Sabda Nabi SAW adalah bagian dari kewajiban, karena menjaga syariat adalah kewajiban, dan untuk mencapai itu diperlukan ilmu nahwu”. Untuk mengetahui lebih jelas akan keutamaan mempelajari ilmu bahasa Arab, lihat Mahmud Fajal, Al-Hadits al-Nabawy fi al-Nahwi al- Araby , hal. 44-48. 49 Dalam penelitian ini penulis membantah bahwa dalam matan Hadîts terdapat kecacatan bahasa dari sisi kaidah nahwu. Meskipun ada ulama yang menilai keshahihan Hadîts dengan melihat apakah bahasa yang tersurat baik atau buruk, maka itu dalam pandangannya meskipun Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam besar, shahih dari sisi sanad, namun buruk dari sisi kebahasaan, maka Hadîts itu palsu atau lemah. Inilah yang didakwakan oleh Ibnu Qayyim dalam bukunya al-Manâr al-Munîf fi xxx