PENENTUAN IBNU MÂLIK BERKENAAN DENGAN HUKUM

kemampuannya dalam berkomunikasi dengan ragam bahasa yang ada di Arab. 211 Dan Nabi SAW menjawabnya, bahwa sewaktu kecil Nabi SAW dibesarkan dilingkungan bani Sa’ad yang memiliki kefashihan bahasa yang paling baik dari suku-suku lainnya. Maka itu pernyataan al-Sakhâwi di atas boleh jadi benar, ketika Nabi SAW menyampaikan Hadîts tersebut, lawan bicaranya adalah merupakan pengguna bahasa yang mengganti huruf lam menjadi mim. Kedua; al-Sakhâwi meragukan kedhabitan periwayat. Dalam ilmu Hadits, disebutkan bahwa setiap periwayat memiliki kualitas kedhabitan yang berbeda-beda. Dan kualitas itu mempengaruhi pada otentisitas Hadits Nabi SAW. Artinya suatu Hadits dapat menurun derajat keshahihannya, bila kedhabitan periwayat juga menurun. Kendati demikian, kualitas Hadîts tidaklah mempengaruhi sikap Ibnu Malik dalam menjadikannya sebagai dalil bahasa. Karena dalam pandangan Ibnu Malik setiap Hadîts yang termuat dalam kitab-kitab Hadîts yang populer atau yang tergabung dalam al-Kutub al-Tis’ah, maka ia layak untuk dijadikan dalil nahwu.

S. Fi’il Syarth dari al-Mudhâri’ dan Jawabnya dari al-Mâdhi

Dalam kaidah fi’il syarth dan jawâb al-Syarth, hendaknya fi’il yang digunakan pada keduanya memiliki kesamaan. Jika fi’il syarth menggunakan fi’il al-Mâdhi maka jawâbnya pun harus menggunakan fi’il al-Mâdhi. Dan begitu pula jika fi’il syarth menggunakan fi’il al-Mudhâri’, maka jawâbnya pun mesti menggunakan fi’il al-Mudhâri’, inilah kaidah yang dianut oleh sebagian ahli nahwu. 212 Menurut Sybawaih dan mayoritas ahli nahwu, kalaupun ada teks manqûl yang bersebrangan dengan kaidah di atas, seperti fi’il syarth dari al-Mudhâri’ dan jawâbnya dari fi’il al-Mâdhi, maka itu hanya digunakan pada kondisi syair darurat. 213 Sedangkan al-Farâ’ memiliki pendapat lain, menurutnya berlainannya bentuk fi’il syarth dengan fi’il jawab syarth adalah kaidah yang dibolehkan, dan kaidah tersebut 211Lihat Abd al-Karim Muhamm a d al-As’ad, al-Wasîth fi Târikh al-Nahwi al-‘Araby , hal . 28 212 Ibnu ‘Aqîl, al-Musâ’id ala Tashhîl al-Fawâ’id, juz, 3, hal. 183 213 Al-Suyûthi, Ham’u al-Hawâmi’, juz. 2, hal. 62 lxxxii