Kedudukan Hadits di antara Sumber Nahwu

Menurut keyakinan umat Islam al-Qur’ân memiliki keluhuran bahasa, bahkan dari sisi ini tidak ada tandingannya. 58 Predikat ini tentu saja menjadikan al-Qur’ân sebagai sumber pertama dalam penetapan kaidah nahwu, artinya jika dalam penetapan kaidah nahwu terdapat pertentangan antara al-Qur’ân dengan teks atau sumber lainnya, maka al-Qur’ân wajib didahulukan. Ini telah menjadi kesepakatan ulama bahasa, siapa saja yang membuat kaidah yang bertentangan dengan struktur bahasa al-Qur’ân, dipastikan kaidah tersebut lemah dan tidak akan diakui. 59 Kendati teks al-Qur’ân disepakati kehujjahannya, tidak demikian halnya dengan ragam bacaan al-Qur’ân, bacaan al-Qur’ân yang bentuknya beragam tidak terlepas dari kontroversi akan keabsahannya sebagai dalil nahwu, khususnya bacaan yang berkualitas lemah. Sebagaimana diakui, al-Qur’ân diturunkan dengan tujuh huruf, 60 yang berarti tujuh ragam bacaan, 61 dan diriwayatkan oleh para ulama qirâ’at, layaknya sebuah Hadîts Nabi SAW yang ditransmisikan oleh periwayat Hadîts. Sehingga dimungkinkan satu ayat memiliki lebih dari dua bacaan. Maka itu, dalam literatur kajian ushûl al-Nahwi, ulama bahasa berbeda pendapat apakah ragam bacaan ayat-ayat suci yang ada, dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu atau tidak. Karena ragam bacaan al-Qur’ân memiliki kualitas yang beragam, ada yang otentik dan ada juga yang tidak. 58 Keluhuran bahasa al-Qur’ân juga merupakan mukjizat bagi siapa yang tidak yakin akan datangnya al-Qur’ân dari Allah SWT. Bahkan Allah SWT menantang makhluk-Nya untuk membuat hal serupa, tantangan ini sesungguhnya penegasan akan ketidakmampuan makhluk-Nya dan juga pemberitahuan akan keluhuran bahasa al-Qur’ân. Ini tercermin dalam firmannya; Dari sisi kualitas periwayatan bacaan al-Qur’ân, Jalâluddin al-Bulqaini membaginya ke dalam Mutawâtir, Ahâd dan Syâdz, 62 namun pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena tingkatan ini kurang dikenal dikalangan ulama qirâ’at. Lain halnya dengan pengelompokkan yang disajikan Abu al-Khair Ibnu al-Jaziry yang merupakan imam ahli qirâ’at pada masanya, ia membaginya ke dalam lima tingkatan; 63 Pertama, Mutawâtir, 64 yaitu bacaan yang dinukil oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong, mulai periwayat tingkat pertama hingga periwayat tingkat akhir. Bacaan mutawâtir ini berjumlah sepuluh qirâ’at, namun ada juga yang mengatakan hanya berjumlah tujuh, dan yang terakhir inilah pendapat yang paling popular. 65 Kedua, Masyhur yaitu bacaan yang memiliki sanad shahih meskipun tidak mencapai derajat mutawatir, namun sesuai dengan kaidah bahasa Arab 66 dan juga sesuai dengan salah satu mushhaf utsmani. 67 Ketiga, Ahâd yaitu 62 Yang dimaksud dengan mutawatir di sini adalah al-Qirâ’ah al-Sab’ah atau bacaan tujuh yang telah terkenal. Ahad maksudnya adalah bacaan yang diriwayatkan oleh tiga orang yang termasuk dalam al-Qira’ah al-Asyrah, selain kelompok pertama. Adapun bacaan Syâdz adalah bacaan para tâbi’în seperti al-A’masy, Yahya bin Watstsab dan Ibnu Jubair. Menurut Imam al-Suyûthi, pengelompokkan ini patut ditinjau ulang, karena jarang sekali digunakan oleh para ulama. Lihat Al- Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus: Dâr Ibn Katsîr 1996, cet. Ke-3, juz. 1, hal 236. 63 Al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, juz. 1, hal. 241-242 64 Para ulama ada yang membagi Hadîts mutawatir kedalam dua bagian; Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma’nawi. Meskipun demikian keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong dalam Hadîts Nabi SAW. Adapun yang membedakan keduanya hanya pada bentuk, yaitu lafdzi dan ma’nawi. Ulama berbeda pendapat dalam ungkapan ‘sekelompok orang’ ini, ada yang mengatakan berjumlah lima orang, sepuluh, empat puluh bahkan tujuh puluh orang. Ada juga yang menyebutkan bahwa Hadîts mutawatir adalah Hadîts yang diriwayatkan dari periwayat pertama hingga akhir masing-masing tingkatan berjumlah tiga ratus orang lebih, ini karena jumlah sahabat Thalût dan Muslim yang ikut perang Badr berjumlah tiga ratus orang. Imam al-Suyûthi menulis Kitâb al-Fawâ’id al-Mutakâtsirah fi al-Akhbâr al-Mutawâtirah , khusus memuat Hadîts mutawatir. Selengkapnya lihat Ibnu al-Shalâh, Muqaddimah Ibnu al-Shalâh fi ‘Ulûm al-Hadîts, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2006 cet. Ke-3, hal. 281. Lihat juga Imam al-Suyûthi, Tadrîb al-Râwi fi Syarh Taqrîb al-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr 1993, hal. 352 65 Mereka adalah 1. Abu Ja’far Yazîd bin al-Qa’qa’ 130 H, 2. Nâfi’ bin Abi Na’îm 169 H, 3. Abdullah bin Katsîr 120 H, 4. Abu al-Amr al-Ala’ 154 H, 5. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadhramy 205 H, 6. Abdullah bin Âmir 118 H, 7. Âshim bin Badlah Abi al-Najud 127 H, 8. Hamzah bin Habib al-Ziyât 156 H, 9. Ali bin Hamzah al-Kisâ’i 189 H dan 10. Khalf bin Hisyam al-Asady 229 H. Abdul Hâdi al-Fadhli, al-Qirâ’at al-Qur’âniyah, Jeddah: Dar al-Majma’ al-Ilmi 1979, hal. 17 66 Banyak ragam bacaan yang tidak sesuai dengan kaidah Nahwu, yang kemudian ditolak oleh kalangan ahli Nahwu seperti kaidah; mensukunkan huruf hamzah yang seharusnya kasrah QS al- Baqarah: 54 U bacaan yang sanadnya shahih namun bertentangan dengan rasm mushhaf dan kaidah bahasa Arab, seperti bacaan yang diriwayatkan oleh Imam al-Hâkim. 68 Keempat, Syâdz yaitu bacaan yang memiliki sanad tidak shahih, kategori ini menjadi kontroversi di kalangan ulama. 69 Imam al-Suyûthi menambahkan satu macam lagi, sehingga berjumlah enam, yaitu bacaan yang serupa dengan Hadîts Mudraj, yaitu menambahkan kata atau kalimat dalam bacaan al-Qur’ân dengan maksud sebagai penjelasan lengkap atas kata sebelumnya, jenis ini terjadi pada bacaan Ibnu Abbâs. 70 Terkait dengan bacaan Syâdz di atas, ulama berbeda pendapat, apakah bacaan Syâdz dapat dijadikan dalil dalam pembentukan kaidah nahwu? Imam al-Suyûthi 67 U mengungkapkan bahwa bacaan al-Qur’ân yang riwayatnya bersifat mutawatir maupun ahad dapat dijadikan dalil nahwu, bahkan menurutnya jika bacaannya bersifat Syâdz pun dapat dijadikan dalil, baik itu sesuai dengan qiyâs ataupun tidak. 71 Contoh kaidah nahwu yang berasal dari ragam bacaan syâdz, yaitu bolehnya Lâm al- Amr bersambung dengan Fi’il al-Mudhâri’ yang diawali dengan Ta’ al-Khithâb seperti firman Allah SWT Kritikan tersebut kemudian ditentang oleh Iman al-Suyûthi, bahwa menurutnya bacaan mereka itu memiliki sanad mutawatir, dan tidak ada kecacatan di dalamnya. 77 Sebelum Imam al-Suyûthi mengatakan hal tersebut, Ibnu Mâlik telah lebih dahulu membantah pendapat al-Farâ, Ibnu Mâlik menegaskan bahwa diakuinya bacaan mereka oleh segenap kaum Muslim merupakan bagian dari bukti bolehnya menjadikan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah dan bahasa, 78 dan Ibnu Mâlik adalah di antara pelopor penggunaan ragam bacaan al-Qur’ân sebagai dalil kaidah nahwu. Adanya lahn dalam ragam bacaan al-Qur’ân tersebut menurut para penentang, adalah berdasarkan ungkapan Utsmân bin Affân. r.a. ketika diserahkan padanya beberapa mushhaf, Utsman r.a mengatakan bahwa di dalamnya terdapat lahn. 79 Ada juga riwayat lain dari Urwah, bahwa ia pernah bertanya pada Aisyah. r.a perihal terdapatnya lahn dalam beberapa ayat, 80 kemudian Aisyah menjawab bahwa itu kesalahan para penulis ketika menulis mushhaf. 81 Riwayat di atas yang dijadikan dalil oleh mereka dibantah oleh para ulama, dengan beberapa sanggahan; Pertama, riwayat itu tidak-lah benar dari Utsmân, karena kualitas sanad periwayatan tersebut dha`îf, yang disebabkan mudhtharib dan munqathi’. Kedua, kalaupun riwayat itu shahih, maksudnya tidaklah demikian, mengherankan karena al-Farâ’ adalah di antara ulama bahasa yang sangat menguasai karya Sybawaih ini, dan bagaimana mungkin ia tidak mengetahuinya. Atau boleh jadi al-Farâ’ menganggap apa yang dituangkan oleh Syabawaih bukanlah suatu ketetapan pasti, karena Sybawaih bukan dari kalangan Arab. Namun tentunya kita bertanya-tanya mengapa al-Farâ’ tidak mengkritisi pendapat Sybawaih dan justru beliau banyak mengambil ilmu darinya. Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, Damaskus: Dar al-Qalam 1989, cet. Ke-1, hal. 103-104 77 A l-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 37 78 Misalnya ada ulama yang membenarkan pernyataan bahwa kata karena yang dimaksud dalam riwayat tersebut berkenaan dengan metode penulisan. 82 Di antara ulama yang membantah pendapat ini adalah Ibnu al-Anbâri dalam kitabnya al-Radd ala man Khalafa Mushhaf Utsmân. 83 Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa ragam bacaan al-Qur’ân yang diriwayatkan oleh para ulama juga merupakan dalil dalam kaidah nahwu. Ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama, bahwa ragam bacaan al-Qur’ân merupakan sunnah yang tidak boleh ditentang, karena ragam bacaan al-Qur’ân telah terjadi pada masa Nabi SAW, dan Nabi SAW membenarkannya. 84

b. Hadîts Nabi SAW

Jika disebutkan kata Hadîts, maka difahami bahwa ia sebagai perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW. 85 Namun ada juga ulama yang mengatakan apa yang disandarkan pada sahabat dan tâbi’în, juga merupakan bagian dari Hadîts. 86 Terminologi di atas umumya dianut oleh ahli Hadîts dan fiqih. Sedangkan ahli nahwu memiliki terminologi sendiri tentang Hadîts Nabi SAW. Menurut mereka dalam bidang nahwu, Hadîts adalah perkataan Nabi SAW, sebabnya karena objek kajian nahwu adalah perkataan atau ucapan Nabi SAW saja, 87 dan perkataan Nabi SAW itulah yang merupakan sumber hukum kaidah nahwu. Ada juga sebagian ahli nahwu yang menambahkan perkataan sahabat yang diriwayatkan ahli Hadîts dan memiliki hukum marfu’, merupakan bagian dari Hadîts, kesemuanya itu dapat dijadikan dalil kaidah nahwu. 88 Sedangkan sebab masuknya perkataan tâbi’în di antara yang layak untuk dijadikan sumber kaidah adalah, karena adanya beberapa perkataan mereka yang tertuang dalam kitab-kitab Hadîts seperti perkataan 82 Seperti al-Zuhri, Hisyâm bin Urwah dan Umar bin Abdul Azîz. Karenanya ahli nahwu menetapakan perkataan mereka sesungguhnya memiliki kualitas shahih untuk dijadikan dalil nahwu. 89 Banyak alasan mengapa Hadîts menjadi bagian dari sumber kaidah nahwu, antara lain adalah kefashihan bahasa Nabi SAW, Nabi adalah orang yang paling fashih dalam berbicara bahasa Arab. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan keluhuran bahasa Nabi SAW, antara lain adalah Ibnu Asâkir dalam târikh-nya meriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah mengakui bahwa ia pernah belajar bahasa Isma’îl, dan Jibril turut serta menjaga dan mengajarkannya. 90 Dan sahabat-sahabat Nabi SAW pun mengakui keluhuran bahasa Nabi SAW, dengan mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapati orang yang lebih fashih dalam bahasa Arab, kecuali Nabi SAW. 91 Selain itu Nabi SAW juga mengakui bahwa ia pernah diajarkan pula al- Asmâ’ , sebagaimana Nabi Adam a.s diajarkan. 92 Alasan lain otorisasi Hadîts Nabi SAW sebagai bagian dari dalil nahwu adalah terpeliharanya periwayatan Hadîts oleh para sahabat dan ulama setelahnya. Sehingga otentisitas Hadîts sebagai ucapan Nabi SAW dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara ilmiah. 93 Maka itu, dari sisi keluhuran bahasa, Hadîts menjadi kajian urgen bagi ahli nahwu, karena bahasa yang terkandung dalam Hadîts lebih baik dibandingkan dengan bahasa syair ataupun natsr. Kendati kuantitas kajian bahasa Hadîts baru meningkat pada abad ketujuh, yaitu pada masa Ibnu Mâlik, namun ini menunjukkan bahwa Hadîts bukan hanya dikaji dari sisi kandungan hukumnya, namun juga dari sisi keluhuran stilistik bahasa. 89 Sa’îd al-Afghâni, fi Ushûl al-Nahwi, Beirut: al-Maktab al-Islâmi 1987, hal. 46 90 Imam al-Suyuthi mengutipnya dari Asâkir, lihat riwayat selengkapnya di al-Suyûthi, al- Muzhir, juz. 1, hal. 35. 91

c. Perkataan orang Arab

Yang dimaksud dengan orang Arab di sini adalah mereka yang memiliki kefashihan dalam berbahasa dan ucapannya terhindar dari penyimpangan bahasa. Kendati demikian, tidak seluruh ucapan Arab dapat dijadikan dalil bahasa, karena seiring kemajuan zaman, sosialisai dan pertukaran antar budaya satu negeri dengan yang lainnya tidak dapat dihindarkan, akibatnya tidak setiap wilayah Arab mampu mempertahankan kefashihan bahasanya. Karenanya perlu ditentukan batasan masa dimana ucapan masyarakat Arab dapat dijadikan dalil nahwu. Sesungguhnya kajian batasan masa ini telah diteliti ahli bahasa dan sejarah, meskipun tidak dipungkiri terjadi perselisihan pendapat tentang batasan masa orang Arab yang dapat dijadikan hujjah dalam bahasa fashih. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa orang Arab yang sah dan perkataannya dapat dijadikan dalil nahwu adalah orang Arab perkotaan yang hidup hingga akhir abad kedua, sedangkan orang Arab Badui yang ada di Jazirah Arab perkataannya dapat dijadikan dalil Nahwu hingga akhir abad keempat. 94 Perbedaan batasan masa ini, ditentukan berdasarkan kemampuan wilayah tersebut dalam mempertahankan kemurnian bahasanya. Ucapan masyarakat Arab ini terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu Syair dan Natsr. Meskipun terbagi ke dalam dua bentuk, bagi ahli nahwu klasik keduanya tidak menjadikan yang satu lebih penting dari yang lain, dalam posisinya sebagai dalil nahwu, kendati dalam beberapa kesempatan tidak dipungkiri bahwa ahli nahwu lebih banyak berdalil dengan syair. 95 Gejala ini diakui oleh Ibrahim Anis, menurutnya ada ahli nahwu klasik yang memisahkan antara Syair dan Nastr, di antara ulama tersebut adalah al-Subki. 96 94 Abbâs Hasan, Al-Lughah wa al-Nahwu, bayna al-Qadim wa al-Hadits, Mesir: Dar- al- Ma’arif t.th, hal. 24 95 Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 86 96 Ibrâhim Anis, Min Asrâr al-Lughah, Mesir: Maktabah al-Anjalu al-Mishriyah 1975, cet. Ke 5 lihat juga di Afâf Hassânayn, Fi Adillah al-Nahwi, hal. 87 xlvi Mengkaji syair tentunya tidak terlepas dari penyair, dengan kata lain kualitas syair tergantung dari kualitas penyair itu sendiri. Nyatanya tidak semua syair dapat dijadikan dalil, terlebih jika penyair tersebut hidup di masa yang bukan masa ihtijâj. Secara historis, penyair Arab terbagi ke dalam empat periode; Pertama, masyarakat Jahiliyah yang tidak hidup di masa Islam. Kedua, mukhadramun, yaitu masyarakat yang hidup pada masa jahiliyah dan masa Islam. Ketiga, umat Islam yang hidup pada masa awal kemunculan Islam. Keempat, muwalladun yaitu masyarakat yang hidup di masa setelah jayanya Islam sampai zaman kita saat ini. Al-Baghdâdi berpendapat tingkatan pertama dan kedua, menurut Ijmâ’ ulama bahasa, ucapan mereka dapat dijadikan hujjah dalam kaidah nahwu, sedangkan tingkatan ketiga, menurut pendapat yang paling unggul boleh dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu. 97 Menurut al-Ashma’i penyair terakhir yang syairnya dapat dijadikan dalil adalah Ibrahim bin Harmah w 150 H, Ibnu Miyadah w 149 H, Thufail al-Kannani dan Makin al-Udzri w 160 H, ini menunjukkan bahwa syair yang ditulis setelah wafatnya mereka tidak ada lagi yang dapat dijadikan dalil. 98 Karena setelah masa itu penyair muncul dari kalangan muwalladun, menurut al-Suyûthi penyair pertama dari golongan ini adalah Bisyâr bin Bard, dan menurutnya Sybawaih kerap berdalil dengan sebagian syair Bisyâr. 99 Pendapat al-Suyuthi bahwa Sybawaih berdalil dengan syair Bisyar, menuai penentangan dari ulama bahasa. Jika menilik pada kedua sumber bahasa pendahulunya, al-Qur’ân dan al- Hadîts, didapati bahwa masing-masing sumber tersebut dapat berdiri sendiri menjadi sumber kaidah nahwu, tanpa didampingi sumber lainnya. Dengan kata lain Hadîts misalnya dapat menjadi dalil kaidah nahwu satu-satunya, jika pada sumber lain tidak ditemukan ungkapan yang dapat dijadikan dalil. Hal ini pun berlaku pada syair, menurut ahli bahasa, banyak kaidah-kaidah bahasa yang lahir dari sumber syair saja. 97 Al-Baghdâdi, Khizânah al-Adab wa Lubb Lubâbi , Kairo: Dar al-Madani 1989, cet. Ke-3, juz. 1, hal. 6. 98 Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-‘Arabiyah, Kairo: Dar al-Fikr al- Arabi 1995, cet. Ke-1, hal. 108. 99 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 55 xlvii Bahkan ada beberapa kaidah yang lahir berdasarkan uslub syair darurat, seperti adanya kontroversi pada kondisi darurat syair yang men-sharf-kan af’âl al-Tafdhil. 100 Contoh lain dari syair yang menjadi dalil tunggal karena tidak didapatinya dalil dari al-Qur’ân, ini sebagaimana yang dituturkan Ibnu Hisyâm berkenaan dengan kata peletak dasar kaidah nahwu, ini artinya munculnya qiyâs dalam ilmu nahwu bersamaan dengan munculnya kaidah nahwu. 105 Secara umum qiyâs telah digunakan pada masa sahabat, ini tercermin dalam surat yang ditulis Umar bin Khattab pada qadhi-nya Abu Musa al-Asy’ari di Bashrah, agar ketika memutuskan sesuatu hendaknya bersandar pada dalil al-Qur’ân dan al- Hadits, jika tidak ditemukan pada keduanya maka lakukanlah qiyâs. 106 Inilah mungkin di antara alasan kuat ahli bahasa melakukan qiyâs, tentunya sesuai dengan kaidah qiyâs yang disepakati, baik dari sisi rukun qiyâs dan bentuk qiyâs yang boleh dan tidak diperbolahkan, seperti yang tidak dibenarkan adalah melakukan qiyâs pada dalil manqul yang lemah. 107 Dari uraian di atas dapat difahami bahwa qiyâs memiliki pengaruh besar dalam penetapan kaidah nahwu, bahkan dalam pengembangan bahasa Arab secara umum. Inilah dalil ma’qul pertama yang dianggap oleh sebagian ahli bahasa memiliki peran yang besar dibandingkan dengan dalil manqul itu sendiri. Namun pembahasan ini tidak akan dikaji lebih mendalam, karena ini bukanlah merupakan pembahasan pokok dalam tesis ini. 108

b. Ijmâ’ dan Ishtishâb

Dari uraian sebelumnya, diketahui bahwa tidak semua ahli nahwu berdalil dengan Ijmâ’, Ibnu al-Anbâri meskipun mengakui keberadaan Ijmâ’ dalam ilmu fiqih namun ia tidak mengakui adanya Ijmâ’ dalam ilmu nahwu. 109 Ini karena pengertian Ijmâ’ dalam ilmu fiqih dengan ilmu nahwu sangat berbeda. Pengertian Ijmâ’ dalam bidang nahwu adalah kesepakatan ulama Bashrah dan Kufah dalam suatu kaidah. 110 105 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 245 106 Hasan Handawi, Manâhij al-Sharfiyyân wa Madzâhibuhum, hal. 244 107 Al-Suyûthi, Kitâb al-Iqtirâh fi Ilm Ushûl al-Nahwi, hal. 73 108 Untuk lebih memahami qiyas, pembaca dapat merujuk pada kitab Muhammad Hasan Abdul Aziz, al-Qiyâs fi al-Lughah al-Arabiyah. 109 Afâf Hassânayn, fi Adillah al-Nahwi, hal. 213 110 Meskipun Ibnu Jinni mengakui adanya Ijmâ’, namun ia tidak memungkiri adanya syarat- syarat tertentu yang tidak dapat diabaikan dalam memegang Ijmâ’. Selengakapnya lihat Ibnu Jinni, al- Khasâish, juz. 1, hal. 189 xlix Ijmâ’ ini diakui sebagai dalil jika tidak bertentangan dengan teks dalil manqul dan juga qiyâs pada dalil manqul. Contoh Ijmâ’ dalam ilmu nahwu adalah; sepakatnya ulama nahwu Bashrah dan Kufah dalam perkara khabar al-Mubtada’ jika terdiri dari sifat, maka khabar itu mengandung dhamir yang merujuk pada mubtada’, seperti keluar dari Ijmâ’, bahkan dalam beberapa kaidahnya, terkadang ia bertentangan dengan Ijmâ’, seperti berkenaan dengan ungkapan; nahwu ini tidak terlepas dari perselisihan pendapat ulama akan kaidah yang dibangun, 120 akan tetapi tidak menyurutkan generasi berikutnya untuk terus membangun kaidah nahwu yang lebih kuat dan kokoh. Terlebih jika mengkaji pemikiran nahwu sebelum masa Ibnu Mâlik w 672 H, akan ditemukan adanya perselisihan pemikiran nahwu di kalangan ulama, baik dari perbedaan perangkat ushûl al-Nahwi yang digunakan, maupun dari perlakuan ulama nahwu terhadap dalil-dalil bahasa. 121 Singkatnya adanya perbedaan pemikiran dalam ilmu ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada disiplin ilmu lainnya seperti tafsîr, hadîts dan fiqih. Itu sebabnya dalam ilmu nahwu dikenal juga aliran atau madzhab pemikiran nahwu, hanya saja aliran pemikiran ini diwakili oleh kota- kota tertentu dimana para ulama nahwu menetap, bukan perorangan. Misalnya madzhab nahwu kota Bashrah, Kûfah, Baghdad dan lainnya. Sehingga ketika disebutkan nama seorang ahli nahwu, dan hendak mengetahui pemikirannya tentang nahwu, baiknya diketahui terlebih dahulu di mana ia dibesarkan dan bertempat tinggal, karena diyakini pemikiran satu ulama tidak akan terlepas dari lingkungan di mana ia menetap. Maka itu, pemikiran seorang ahli nahwu bisa jadi refresentatif dari pemikiran sebuah kota atau madzhab tertentu. Hasan, al-Lughah wa al-Nahwu bayna al-Qadîm wa al-Hadîts Mesir: Dar al-Ma’ârif, cet. Ke-2, hal. 66. Lihat juga al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Damaskus: Dâr Ibnu Katsîr1996, cet. Ke-3, juz. 2, hal. 129 120 Perselisihan tidak hanya terjadi pada ulama yang hidup di kemudian hari, namun terjadi pula pada ulama-ulama awal yang merupakan perintis kaidah nahwu, yang karya-karyanya selalu dijadikan rujukan dan standar oleh ulama yang hidup setelahnya. Al-Farâhidi adalah di antara tokoh madzhab Bashrah, dan al-Kisâ’i adalah tokoh Madzhab Kûfah dan juga murid al-Farâhidi, namun keduanya memiliki perbedaan dalam kaidah ilmu nahwu, baik dari sisi metodologi, interpretasi terhadap teks dan lainnya. Contoh; dalam hal boleh tidaknya mendahulukan huruf istitsnâ’ di awal perkataan, menurut al-Kisâ’i, hal itu boleh saja seperti Begitu juga ketika penulis ingin membuktikan orisinilitas pemikiran nahwu Ibnu Mâlik, penulis mengawalinya dengan menganalisa aliran madzhab nahwu yang pernah muncul sebelum keberadaan Ibnu Mâlik. Dan juga membuktikan sebesar apa pengaruh pemikiran ulama Andalusia bagi Ibnu Mâlik, dengan demikian akan nampak orisinil atau tidaknya pemikiran Ibnu Mâlik. Jika tidak, lantas pemikiran- pemikiran apa saja yang mempengaruhi sikap Ibnu Mâlik dalam menetapkan kaidah nahwu. Ada lima aliran pemikiran atau lebih tepatnya lima kota, yang merupakan refresentatif dari pemikiran nahwu yang muncul sebelum Ibnu Mâlik, tentunya di setiap aliran terdapat persamaan dan perbedaan satu sama lainnya, hal ini karena faktor tingkat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki para ulama nahwu yang berbeda-beda. Pada awal kemunculan ilmu nahwu, dalam menetapkan suatu kaidah ulama lebih banyak berpijak pada sya’ir Arab dan al-Qur’ân, 122 kemudian setelah adanya kodifikasi Hadîts, barulah muncul semangat untuk melahirkan kaidah nahwu yang bersandar pada Hadîts Nabi SAW. Dan perbedaan tersebut makin nampak manakala wilayah penyebaran Islam makin meluas, kecenderungan pendalaman ilmu pengetahuan makin melebar. Jika pada masa awal para ulama lebih cenderung pada kajian Tafsir dan Hadîts, maka pada masa berikutnya kecenderungan mereka juga melebar pada kaidah bahasa Arab. Secara historis, perkembangan nahwu terbagi ke dalam beberapa periode; 123 Pertama, periode perintisan dan penumbuhan Periode Bashrah, perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abu al-Aswad sampai munculnya Al-Khalîl bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. 122 Seperti Sybawaih dalam Kitâb-nya,dari 1450 dalil nahwu yang digunakan, 1050 di antaranya terdiri dari sya’ir. Al-Rumâni dalam karyanya Ma’âni al-Hurûf dari 338 dalil nahwu yang digunakan, 147 terdiri dari syair dan 187 terdiri dari al-Qur’ân. Al-Mufasshal karya al-Zamakhsyari dari 791 dalil, 454 terdiri dari syair dan 319 terdiri dari al-Qur’ân. Lihat Hasan Musa al-Sya’ir, al- Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawi , hal. 94. 123 Muhammad Thanthâwi, Nasy’at al-Nahw wa târîkh Asyhar al-Nuhât, hal. 20-28 liii Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas analogi, belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai digunakannya metode analogi. Kedua; periode ekstensifikasi Periode Bashrah-Kufah, periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang sengit antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sybawaih, sedangkan aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam al-Kisâ’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf. Ketiga; periode penyempurnaan dan Tarjih Periode Baghdad, di akhir periode ekstensifikasi. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru, Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing- masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara pemikiran Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat hijriyah. Masa ini berakhir kira-kira pada pertengahan abad keempat hijriyah. Ahli nahwu yang hidup sampai masa tersebut dikategorikan sebagai ahli nahwu klasik. Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia Spanyol, lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. Faktor-faktor geografis yang terpencar-pencar inilah yang pada akhirnya mendorong terbentuknya madzhab-madzhab nahwu, yang awalnya berpusat di Bashrah kemudian Kûfah, lalu tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pengaruh faktor ini liv dianggap penting karena kegigihan ulama dalam menyiarkan ilmu pengetahuan ke berbagai penjuru bumi, yang tentunya tidak terlepas dari kecenderungan pengetahuan yang mereka miliki, telah memberikan warna pemikiran tersendiri pada kota yang ditempatinya. 124 Karena itu jika diteliti lebih mendalam keunggulan Bashrah dalam bidang nahwu, dan keunggulan Kûfah dalam bidang tafsîr, hadîts dan fiqih, maka tidak akan terlepas dari kecenderungan dan pengetahuan ulama-ulama, khususnya para sahabat, tâbi’în dan atbâ’ tâbi’în yang menetap dan berdakwah di kota-kota tersebut. 125 Sehingga madzhab-madzhab nahwu yang dikenal luas di kalangan ahli bahasa tersebut memiliki ciri khas dan pengaruh tersendiri terhadap pemikiran nahwu ulama kemudaian.

C. Aliran Pemikiran Nahwu 1. Madzhab Bashrah

Pendiri madzhab ini adalah al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidî w 1754 H, beliau dikarunia kecerdasan luar biasa, mampu mengungkap rahasia dan keluhuran bahasa Arab dengan cermat. Pemahamannya terhadap nadzam dan stilistik bahasa Arab menjadi inspirasi ulama yang datang kemudian, karenanya tidak mengherankan jika banyak santri yang mengaji dan berguru padanya. Di antara murid beliau yang paling populer adalah Sybawaih w 188 H, beliau dikenal sebagai murid al-Farâhidî yang istimewa, ia merupakan ulama Nahwu yang paling produktif dan cerdas dalam mengkaji nahwu, sehingga para ulama menjulukinya sebagai imam para ahli nahwu. Abu Thayyib mengatakan bahwa dari sekian banyak murid yang belajar pada al- 124 Pendelegasian ulama kepada negeri-negeri yang belum mengenal Islam sudah terjadi pada masa Nabi SAW, misalnya Mush’ab bin Umair ke Yatsrib, satu rombongan yang dipimpin oleh al- Mundzir bin ‘Amir ke Najed, Abu Musa al-‘Asyari, Muadz bin Jabal dan sahabat lainnya yang diutus ke Yaman. Lihat Ali Mustafa Yaqub Sejarah, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi Jakarta: Pustaka Firdaus 2000, cet. Ke-2, hal. 166-173 125 Adanya pengaruh ulama-ulama terhadap corak pemikiran pada suatu kota tertentu, tergambar dalam pernyataan Ibnu Taimiyah, yang merupakan pemikir Islam Abad pertengahan, dalam menghubungkan tingkat pengetahuan para sahabat dan tâbi’în mengenai tafsir, beliau mengatakan; “kelompok yang paling mengetahui tafsir adalah penduduk Makkah, karena mereka menyertai Ibnu Abbas. Selanjutnya adalah orang Kûfah karena mereka menyertai Ibnu Mas’ûd. Kemudian adalah para ahli dari Madinah, seperti Zaid bin Aslam, Abdurrahman bin Zaid, dan Mâlik bin Anas. Untuk mengetahui lebih mendalam penyebaran ulama tafsir lihat. Al-Hafidz Syamsuddin al-Dâwûdi, Thabaqât al-Mufassirin , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah 2002 cet. Ke-1, hal. 4 lv Farâhidî, tak satupun murid yang kecerdasannya serupa dengan Sybawaih, ia adalah orang yang paling memahami nahwu setelah al-Farâhidî, ini dibuktikan dengan karyanya yang disebut-sebut sebagai Qur’an-nya nahwu. 126 Sebagai madzhab pertama dalam ilmu nahwu, Bashrah memiliki kekhususan dan keutamaan dalam pemikirannya, kaidah-kaidah yang lahir dari pena ulama Bashrah sangat kuat menghujam di kalangan ulama, maka itu tidaklah mengherankan jika pemikirannya banyak mempengaruhi sudut pandang ulama nahwu setelahnya, ciri yang paling menonjol dari madzhab ini adalah; Pertama; ketelitian dan keselektifan. Ketelitiannya tergambar dalam memilih uslub yang fashih dan ketajamannya dalam memilih dalil-dalil kuat sebagai sumber penetapan kaidah nahwu. Bukti lain dari ketelitiannya adalah, meskipun mereka mendengar ungkapan bahasa Arab secara langsung dari mayoritas orang Arab, namun tidak semua ungkapan itu dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sebelum terlebih dahulu ungkapan-ungkapan tersebut dipastikan keshahihannya. Sikap ini muncul karena keteguhan prinsip ulama Bashrah untuk tidak bersandar pada riwayat yang lemah, juga pada syair yang kurang dikenal, ini dilakukan tidak lain karena ulama Bashrah menginginkan pondasi ilmu nahwu ini kuat, maka itu harus dibangun dari riwayat yang mutawatir, atau yang mendekatinya. 127 Karena bangunan yang berdiri dari pondasi kuat, tidak akan mudah runtuh oleh hembusan angin dan badai. Ketelitian dan selektifnya ulama Bashrah dalam memilih dalil terlihat juga dari beberapa ungkapan Sybawaih dalam Kitab-nya, 128 ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan kehati-hatiannya dalam memilah-milah sumber ilmu bahasa, dan juga kesungguhannya dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu yang kokoh. Kedua; kemampuannya dalam berdalil dengan dalil aqli, mantiq dan filsafat. Nampaknya kelebihan ini dimiliki oleh ulama Bashrah klasik, buktinya adanya 126 Untuk lebih mengenal keluhuran Sybawaih dan kecerdasannya dalam bidang nahwu, pembaca dapat merujuk pada buku; Sybawaih Imâm al-Nuhât karya Ali al-Najdi Nâshif Kairo; Alam al-Kutub 127 Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 17. 128 riwayat yang mengatakan bahwa Abu Ishâq al-Hadramî w. 117 H adalah orang pertama yang mengembangkan nahwu dan menawarkan qiyas sebagai sumber kaidah ilmu nahwu. 129 Keistimewaan-keistimewaan inilah yang menjadikan kota Bashrah sebagai rujukan utama dalam bidang nahwu. Kedua keistimewaan di atas tidaklah berdiri sendiri, pastinya ada beberapa faktor penting yang mendukungnya, antara lain; a. Letak geografis kota Bashrah; Kota Bashrah sangat berdekatan dengan orang Badui yang merupakan oase bahasa fashih, keluhuran bahasa Arab Badui ini dibuktikan dengan terhindarnya bahasa yang mereka gunakan dari lahn dan kecacatan bahasa. Kelebihan ini nampaknya dimanfaatkan betul oleh ulama dan pelajar di Bashrah untuk menggali bahasa fashih dari sumber dan pakarnya. Pemanfaatan kesempatan emas ini terlihat dari adanya beberapa ulama Bashrah yang sering menyempatkan berkunjung ke wilayah Badui. Di lain kesempatan, masyarakat Badui pun sering berkunjung ke kota Bashrah, dan tentunya kedatangan mereka disambut baik bagai para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan. Karenanya jika menilik kitab Tarajum, 130 akan ditemukan pada tarajum ulama nahwu Bashrah, sebagiannya pernah berkunjung ke wilayah Badui dan bertemu dengan orang-orang Arab, tujuannya antara lain mendengar dan mengkaji keluhuran bahasa Arab dari penutur aslinya. Bahkan tokoh ulama nahwu, yaitu al-Farâhidî 131 pun melakukan hal yang sama. Sebagaimana diceritakan al-Kisâ’i, bahwa ia bertanya pada gurunya, al- Farâhidî, “Dari mana engkau mendapatkan ilmu nahwu ini?” al-Farâhidî menjawab, “Aku mengambilnya dari orang Badui Hijâz, Najd dan Tihâmah. Setelah mendengar 129 Al-Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn Mesir; Dar al-Ma’ârif, cet. Ke-2, hal. 31 130 Pembaca dapat melihat pada kitab Bughyat al-Wu’ât karya al-Suyuthi, Mu’jam al-Udabâ’ karya Yâqût, al-Bidâyah wa al-Nihâyah karya Ibnu Katsîr dan lainnya. 131 Nama lengkapnya al-Khalîl bin Ahmad al-Farâhidi, ketokohannya dalam bidang bahasa tidak diragukan lagi, ia disebut-sebut sebagai Sayyid al-Udabâ’. Bahkan Sufyan al-Tsaurî memujinya dengan mengatakan, “Barang siapa yang ingin melihat seseorang yang diciptakan dari emas dan minyak Misk, maka lihatlah pada al-Khalîl bin Ahmad. Lihat Yâqût, Mu’jam al-Udabâ’ Beirut; Dâr al-Fikr 1980, cet. Ke-3, juz. 11, hal. 74. lvii