SIGNIFIKANSI PENELITIAN Otorisasi Hadis Sebagai Sumber Kaidah bahasa : studi analisis pemikiran Ibnu Malik Dalam Pembentukan kaidah nahwu

mengambil hujjah dan syâhid dari Hadîts Nabi SAW, jika dibandingkan dengan ahli nahwu sebelumnya. Namun dalam penelitian ini tidak diungkap dan diteliti sejauh mana otorisasi Hadits dalam pandangan Ibnu Mâlik dan kaidah-kaidah apa saja yang lahir dari teks Hadits Nabi SAW. Kekosongan inilah yang berusaha penulis kaji dan teliti, untuk memperkuat dan membuktikan kembali bahwa Ibnu Mâlik adalah sosok ahli nahwu yang cermat dalam menganalisa dan meletakkan kaidah nahwu dari salah satu sumber otoritatif, Hadîts Nabi Muhammad SAW. Ketiga, Ilmu-Ilmu bahasa Arab dan perkembangannya pada zaman Dinasti Abbâsiyah 1 , karya Ade Kosasih Tesis IAIN Jakarta 1997. Penelitian ini mendeskripsikan perkembangan nahwu sejak awal masa kemunculannya berikut sebab dan faktor peletakan kaidah ilmu bahasa Arab, diantaranya adalah nahwu. Penelitian ini mempertegas keistimewaan bahasa Arab dengan mendeskripsikan faktor-faktor kelahiran ilmu bahasa Arab yang berasal dari faktor internal dan eksternal dari bahasa itu sendiri. Penelitian ini juga memperkuat akan kefashihan dan keluhuran bahasa yang digunakan Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini sangat tepat untuk dijadikan pijakan awal dalam penelitian yang penulis lakukan. Sebagai gambaran historis kemunculan ilmu bahasa Arab.

F. METODE PENELITIAN

Dilihat dari sumber datanya, penelitian ini termasuk bagian dari penelitian kepustakaan. Karena sumber datanya murni dari studi pustaka. Maka itu, penelitian ini menggunakan metode pustaka, tentunya dengan memadukan beberapa pendekatan sesuai dengan jenis data yang diteliti. Di antaranya; 1. Pendekatan isi teks; jenis pendekatan ini dipergunakan untuk mengkaji kandungan kaidah nahwu yang terdapat pada karya-karya Ibnu Mâlik, dan meneliti kaidah-kaidah nahwu yang terlahir dari teks Hadîts Nabi SAW. xxxiii 2. Pendekatan sejarah, gunanya untuk memetakan pemikiran ahli nahwu terhadap Hadîts Nabi SAW dalam penetapan kaidah nahwu, mulai dari awal kemunculan nahwu hingga masa Ibnu Mâlik. 51 3. Pendekatan sosial-antropologis, ini penulis lakukan karena penulis meyakini pemikiran Ibnu Mâlik tidak mungkin berdiri sendiri, pastinya dipengaruhi oleh sosial dan budaya dimana Ibnu Mâlik tinggal. 52 Dengan pendekatan-pendekatan di atas, penulis melakukan usaha-usaha yang menunjang keberhasilan penelitian ini. Pada awalnya penulis akan mengidentifikasi kaidah-kaidah nahwu Ibnu Mâlik yang terlahir dari Hadîts Nabi SAW, kemudian mengelompokkannya sesuai dengan tema-tema dalam kaidah nahwu. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Hadîts yang digunakan oleh Ibnu Mâlik, penulis menganalisis Hadîts tersebut dengan mengkonfirmasikannya pada kitab-kitab Hadîts. Untuk melihat orisinalitas pemikiran Ibnu Mâlik, penulis akan menghubungkan kaidah-kaidah yang ditetapkan Ibnu Mâlik dengan kaidah-kaidah ahli nahwu yang hidup sebelum maupun yang semasa dengan Ibnu Mâlik. Bahkan jika ada, penulis akan menghubungkannya juga dengan para ahli nahwu yang datang setelah Ibnu Mâlik, ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pemikiran Ibnu Mâlik terhadap ahli nahwu setelahnya. Dan langkah terakhir, penulis akan membuktikan orientasi pemikiran Hadîts Ibnu Mâlik. Sehingga dalam tataran ilmiah, akan diketahui apakah pemikiran Ibnu Mâlik merupakan pemikiran baru, atau merupakan pengembangan konsep pemikiran pendahulunya, atau mungkin hanya mengulangi apa yang sudah dikaji oleh para ahli nahwu sebelumnya. Agar usaha penelitian ini menuai hasil maksimal, maka sumber data penelitian sejatinya merupakan data-data yang menunjang langsung dalam keberhasilan penelitian ini, baik itu data primer maupun sekunder. Data-data primer dalam 51 Dalam hal ini penulis mencoba membandingkan Ibn Mâlik dengan ahli nahwu sebelumnya, dalam berdalil dengan Hadîts ketika menetapkan kaidah nahwu, seperti Sybawaih w. 180 H, al- Anbâry w. 577 H, Ibnu Ya’isy w. 643 H, Ibnu Usfhûr w. 669 H 52 Meskipun pada awalnya Andalusia tidak dikenal sebagai pusat madzhab besar dalam ilmu bahasa Arab, namun tidak sedikit ulama tafsir, hadits dan bahasa yang menetap di Andalusia, seperti Tsabit bin Muhammad 627 H dan Ali al-Mirsyani 698 H. xxxiv