Sedangkan tempat kelahirannya, ahli sejarah bersepakat bahwa tempat kelahiran Ibnu Mâlik di Jayyân,
169
ia merupakan salah satu kota terkenal di Andalusia. Adapun kabilah al-Thay yang disematkan pada Ibnu Mâlik adalah
merupakan salah satu kabilah yang ada di Andalusia.
170
Sepanjang usianya Ibnu Mâlik memiliki keluhuran budi pekerti yang dikagumi oleh setiap orang. Imam al-
Dzahabi menuturkan, Ibnu Mâlik adalah orang yang tekun dalam beribadah baik itu wajib maupun sunnah, hatinya lembut, cerdas dan sosialnya amat tinggi.
171
Selain itu ia juga seorang yang giat dalam menulis karya tulis dalam bidang bahasa.
172
Ibnu Mâlik dikaruniai dua putra; Pertama, Badruddin Muhammad, beliau dikenal sebagai ulama cerdas dalam bidang nahwu, Bayân, Arûdh, Ushûl, Manthiq
dan ia juga aktif mengikuti perkembangan fiqih dan ushûl Fiqh.
173
Badruddin belajar langsung dari ayahnya, Ibnu Mâlik. Meskipun berguru pada ayahnya, namun
169
Jayyân adalah kota terkenal di Andalusia yang terletak sebelah timur Qurtubah. Dari kota Jayyân banyak lahir ulama-ulama besar, seperti al-Husain bin Muhammad al-Ghassyani yang populer
dengan julukan al-Jayyânî w 498 H, ia adalah tokoh ahli Hadîts di Qurtubah. Ada juga Yusuf bin Muhammad al-Jayyânî w 545 H, ia juga merupakan ahli Hadîts. Ada juga ahli bahasa Arab, yaitu
Mush’ab bin Muhammad al-Jayyânî, dan Ibnu Mâlik juga di antaranya dan lain-lain. Karenanya kemasyhuran Andalusia akan ulama-ulama besar tidak diragukan lagi. Bahkan Syaikh Abu al-Hasan
al-Nubahi menulis kitab khusus yang menceritakan keluhuran ulama-ulama Andalusia. Lihat Abu al- Hasan al-Nubahi al-Andalusi, Târikh Qudhât al-Andalus Beirut: Maktab al-Tijari t.th
170
Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 20
171
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz 1, hal. 130.
172
A
.
Karyanya dalam bidang Sharaf dan Bahasa 1. Al-Kâfiyah al-Syâfiyah, terdiri dari tiga ribu bait syair tentang nahwu 2. al-Wâfiyah fi Syarh al-Kâfiyah al-Syâfiyah. 3. al-Khulâshah, yang
dikenal dengan nama kitab alfiyah. 4. al-Tashîl 5. Syarh al-Tashîl. 6. al-Mufasshal fi Nadzmi al- Mufashshal 7. Sabku al-Mandzûm wa Fakku al-Makhtûm. 8. Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz. 9.
Syarh al-Umdah 10. Ikmâl al-Umdah 11. Syarh Ikmâl al-Umdah 12. Syawâhid al-Tawdhîh wa al- Tashhîh li Musykilât al-Jâmi’ al-Shahîh. 13. al-Muqaddimah al-Asadiyah 14. Syarh al-Juzwaliyah 15.
Naktuhu al-Nahwiyyah ala Muqaddimah Ibnu Hâjib. 16. Mukhtashar al-Syâfiyah 17. Syarh al- Khulâshah 18 Ajwibah ala As’ilah Jamâl al-Din al-Yamânî fi al-Nahwi. 19. I’jâz al-Ta’rîf fi Ilm al-
Tashrîf. 20. Syarh Tashrîf Ibnu Mâlik, yang diakutip dari karyanya al-Kâfiyah 21. Qâshidah fi al- Asmâ’ al-Mu’annatsah. 22. Nadzm al-Farâid 23. Ikmâl al-A’lâm bi Matslats al-Kalâm 24. Ikmâl al-
A’lam bi Tatslits al-Kalâm. 25. Tsulatsiyyât al-Af’âl. 26. Lâmiyah al-Af’âl aw al-Miftâh fi Abniyah al- Af’âl. 27. Syarh Lâmiyah al-Af’âl. 28. al-I’tidhâd fi al-Farq bayna al-Dhâd wa al-Dza. 29. al-I’timâd fi
Nadzâ’ir al-Dha wa al-Dza. 30. Tuhfat al-Maudûd fi al-Maqshûr wa al-Mamdûd. 31. Syarh Tuhfat al- Mawdûd. B. Karyannya dalam bidang Qirâ’at. 1. al-Mâlikiyah fi al-Qirâ’at. 2. al-Lâmiyah fi al-
Qirâ’at. 3. al-Dâliyah fi al-Qirâ’at
C. Karya Ibnu Mâlik dalam al-‘Arûdh hanya satu yaitu kitab al- ‘Arûdh. Lihat Adnan, Muqaddimah Syarh al-Umdah, hal. 43-45.
173
Ibnu al-Imâd, Syadzarât al-Dzahab fi Ikhbâri man Dzahab, Beirut: Dâr al-Fikr, juz. 5, hal. 398
lxix
perbedaan dan perselisihan pendapat dengan ayahnya dalam bidang nahwu tidak terhindarkan. Syarh Alfiyah yang ditulis pertama adalah buah pena putera Ibn Mâlik
sendiri, Muhammad Badruddin w 686 H. Syarh ini banyak mengkritik pemikiran nahwu yang diuraikan oleh ayahnya, seperti kritik tentang uraian Maf’ûl Muthlaq,
Tanâzu’ dan sifat Mutasyâbihât. Meskipun kritikan Badruddin ini dianggap tidak kuat oleh sebagian ulama, tapi putera ini yakin bahwa tulisan ayahnya perlu ditata ulang.
Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah tandingan dan mengambil syahid dari ayat al-Qur’ân. Akan tetapi, karena hampir semua ilmuan mengetahui bahwa
tidak semua teks al-Qur’ân bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama, sehingga sanggahan dan kritikan ulama terhadap teori-
teori Badruddin ini pun tidak terhindarkan. Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labak ini sangat rasional
dan cerdas dalam bidang nahwu, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwu yang syâdz. Karena itu, penulis-penulis syarah Alfiyah yang muncul berikutnya,
seperti Ibn Hisyâm, Ibn Aqîl, dan al-Asymûni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibn Mâlik tadi. Meskipun begitu, syarh Badrudin ini cukup menarik, ini terlihat dari
banyaknya ulama besar yang menulis Hâsyiyah peluasan untuknya, seperti karya Ibn Jamâ’ah w.819 H, al-‘Ainî w.855 H, Zakaria al-Anshâriî w.191 H, al-
Suyûthi w.911 H, Ibn Qâsim al-Abbâdi w.994 H, dan Qâdhi Taqiyuddin bin Abdulqâdir al-Tamimî w.1005 H. Selama tinggal di Ba’labak, banyak masyarakat
yang mengaji padanya, antara lain Badruddin bin Zaid. Namun setelah wafat ayahnya, ia diminta untuk kembali ke Damaskus untuk meneruskan beberapa
pekerjaan ayahnya yang belum tuntas, seperti menulis karya yang belum rampung dan melayani murid-murid yang hendak berguru padanya, seperti apa yang dilakukan
ayahnya semasa ia hidup. Karya Badruddin yang merupakan penjelasan dari kitab ayahnya, Alfiyah,
dinamainya dengan syarah Ibnu Nâdhim, selain itu ia juga turut mensyarh karya- karya ayahnya yang lain seperti al-Kâfiyah, Lâmiyah, dan ia juga menyelesaikan
syarah Tashîl dan al-Mishbâh fi al-Ikhtishâr al-Miftâh yang merupakan karya yang
lxx
mengkaji al-Ma’âni. Badruddin wafat di Damaskus hari Ahad, delapan Muharram tahun 686 H, ada juga yang mengatakan ia wafat pada tahun 687 H. Pada waktu
wafatnya Badruddin, tidak sedikit masyarakat Damaskus yang bersedih dan merasa kehilangan akan putra dari ulama besar ini.
174
Adapun putra kedua Ibnu Mâlik adalah Taqiyuddin Muhammad bin Muhammad, ia dikenal dengan al-Asad, Ibnu Mâlik pernah mengabadikan julukan ini
dalam salah satu karyanya, yang dinamai dengan al-Muqaddimah al-Asadiyah, ia memiiki Masjid dan Toko, dan diduga kuat ia wafat ketika ayahnya masih hidup
sekitar 659 H.
175
2. Pendidikan Ibnu Mâlik
Tersiar di kalangan ahli bahasa bahwa guru-guru Ibnu Mâlik dalam bidang bahasa Arab dan Qira’at sulit untuk dilacak,
176
ini dirasakan oleh Ibnu Hayyân, beliau mengatakan ‘Aku telah lama meneliti guru Ibnu Mâlik, dan hasilnya tidak ada satu
pun orang yang memberitahukan perihal gurunya padaku’. Akan tetapi dengan berlangsungnya waktu, Ibnu Hayyân mendapatkan informasi dari salah satu teman
sekaligus murid Ibnu Mâlik yaitu Sulaimân bin Abi Harb, ia menceritakan bahwa Ibnu Mâlik pernah mengaji kepada Tsabit bin Khayyâr. Ia berasal dari tempat yang
sama dengan tempat lahirnya Ibnu Mâlik, Jayyân. Dan sesungguhnya Tsabit bin Khayyar ini bukanlah orang yang ahli dalam bidang bahasa Arab, melainkan ia
seorang ahli dalam bidang Qira’at. Ibnu Mâlik juga pernah mengikuti majelis Abu Ali Al-Syalaubini w. 645 H sekitar tiga belas hari.
177
Dari berbagai literatur sejarah, sedikitnya ada tiga tempat dimana Ibnu Mâlik menggali ilmu dan mengaji kepada para ulama, ada yang di Jayyân, Damaskus dan
Halb. Di Jayyan Ibnu Mâlik belajar qirâ’at dan nahwu dari Tsabit bin Hayyân.
178
Di
174
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 225
175
Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2 hal. 431
176
Adnân al-Dûry, Muqaddimah Syarh Umdah al-Hâfidz li Ibni Mâlik, hal. 25
177
Al-Maqqâri, Nafh al-Thîb min Ghushni al-Andalusi al-Rathîb, juz. 2, hal. 428-429
178
Ia dikunyahi dengan Abu al-Mudhaffar, Abu Razin dan Abu al-Hasan bin Muhammad bin Yûsuf bin Hayyân al-Jayyâni. Ia seorang ahli nahwu dan juga ahli qira’at, wafat pada tahun 627 H.
Lihat di Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât, juz. 1, hal. 482
lxxi
kota ini juga Ibnu Mâlik pernah mengaji pada Abu Ali Al-Syalaubini w. 645 H kira- kira lima belas hari lamanya, dalam riwayat lain disebutkan hanya sepuluh hari.
179
Di Damaskus, Ibnu Mâlik pernah belajar pada al-Sakhâwi,
180
Abu Shâdiq al-Hasn bin al- Shabâh,
181
Abu al-Fadhl Mukarram bin Muhammad bin Abi al-Shaqr,
182
dan Muhammad Abu al-Fadhl al-Mursî.
183
Di Halb Ibnu Mâlik sering mengikuti pengajian yang diasuh oleh Ibnu Ya’îsh,
184
ia juga sering berdiskusi dengan Ibnu Amrûn,
185
murid dari Ibnu Ya’îsy.
186
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa pendidikan Ibnu Mâlik sangat komprehensif. Di tempat kelahirannya, Jayyân, ia sudah berkenalan dengan
ilmu bahasa Arab, hadîts dan qira’at. Studinya ia sempurnakan dengan mengadakan rihlatul’ilmi
ke berbagai kota di Timur, yang masa itu merupakan gudangnya para ulama. Dengan demikian penulis meyakini bahwa kemampuan ijtihad-nya dalam
bidang nahwu, yang disebut-sebut sebagai ahli bahasa yang banyak berdalil dengan
179
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 131
180
Ia adalah Ibnu al-Hasan Ilmuddin Ali bin Muhammad bin Abd al-Shamad al-Sakhâwi al- Nahwii al-Muqri’ al-Syafi’i. Dari namanya dapat diketahui bahwa ia adalah seorang ahli dalam
berbagai ilmu pengetahuan seperti qirâ’at, nahwu dan bahasa. Ia juga seorang ahli tafsir, fiqih dan ushul fiqh. Di kalangan guru dan muridnya ia dikenal berakhlak tinggi dan rendah hati. Diketahui
selama hidupnya ia pernah berguru pada al-Syâtibi dan al-Tâjj al-Kindi. Ibnu Khalkan berkata mengenainya, “Aku sering melihat al-Sakhâwi mengendari tunggangan menuju ke arah gunung, di
sekitarnya terdapat dua atau tiga orang yang mengaji padanya. Untuk lebih jelasnya lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât,
juz. 2, hal. 192-194
181
Dalam nama lengkapnya terdapat kata al-Mishri al-Kâtib, ini menunjukkan bahwa ia berasal dari Mesir dan merupakan seorang penulis. Ia wafat 632 H, selama hidupnya ia dikenal sebagai
ahli sastra yang shaleh dan baik hati.
182
Ia berasal dari Damaskus, lebih dikenal dengan nama Ibn Abi al-Shaqr, dilahirkan pada tahun 458 H, beliau seorang ahli Hadîts, wafat pada tahun 635. menurut Imam al-Suyûthi dari al-Shaqr
inilah, Ibnu Mâlik belajar Hadîts. Lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât,
hal. 446
183
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130
184
Nama lengkapnya adalah Yâ’isy bin Ali bin Yâ’isy bin Muhammad Muwaffiquddin Abu al-Baqa’, namun ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Yâ’isy al-Nahwî al-Halbî. Halb adalah tempat
dilahirkan dan dibesarkannya. Lahir pada tahun 553 H, dan wafat pada tahun 643 H. Ia termasuk ulama besar di bidang nahwu dan sharaf. Pernah mengaji pada al-Kindi di Damaskus. Selengkapnya
lihat Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 2, hal. 351
185
Nama lengkapnya adalah Jamaluddin Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abu Said bin Amrun al-Nahwî al-Halbî. Menurut Al-Dzahabi, tahun kelahirannya diperkirakan 596 H dan
wafat pada tahun 649 H. Ibnu Amrun ini belajar nahwu pada Ibnu Yâ’isy dan lainnya. Lihat Al- Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât, juz. 1, hal. 231
186
Al-Suyûthi, Bughyah al-Wu’ât fi Thabaqât al-Lughawiyyin wa al-Nuhât, juz. 1, hal. 130
lxxii
Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, adalah merupakan istana yang dibangun dari pondasi yang kuat, yaitu pondasi ilmu agama dan bahasa.
B. Hadîts dalam Karya Ibnu Mâlik dan Ahli Nahwu Klasik
Dalam bab ini akan dianalisa keterlibatan ahli nahwu seperti Ibnu Mâlik dan yang lainnya dalam menjadikan Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Sehingga
keterlibatan ahli nahwu klasik dengan Hadîts dapat dibuktikan kebenarannya. Karena tidak dipungkiri bahwa bidang ilmu apapun terlebih kaidah bahasa, akan selalu
berkaitan dengan ilmu syariat lainnya, sehingga perhatian ahli nahwu terhadap Hadîts tidak dapat dielakkan. Meskipun pada masa awal kemunculan ilmu nahwu, kodifikasi
Hadîts belum dilakukan secara teratur. Keterlibatan ahli nahwu klasik terhadap Hadîts tercermin dalam berbagai
bentuk; Pertama dari sisi bahasa Hadîts, ahli nahwu tersebut adalah Abu Amr bin al- A’la 154 H,
187
yang mengomentari salah satu Hadîts Nabi SAW.
188
Menurutnya kalaulah Rasulullah SAW menghendaki kata
berkenaan dengan kata Aba al-Darda’.
190
Sybawaih kemudian berusaha membetulkan gurunya dengan mengatakan
kemudian muncul al-Akbari 616 H, Ibnu Ya’îsy 643 H dan Ibnu Mâlik 672 H. Ibnu Mâlik adalah pemimpin para ahli nahwu yang berdalil dengan Hadîts Nabi
SAW. Ia menjelaskan kedudukan i’râb bahasa dalam Hadîts, dan ia juga banyak melahirkan kaidah bahasa yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW. Sikap Ibnu Mâlik
inilah yang mungkin menjadi inspirasi bagi ahli nahwu lainnya untuk berdalil dengan Hadîts, seperti Ibnu Hisyâm 761 H dan al-Asymûni 929 H.
Jumlah Hadîts yang terdapat dalam setiap karya nahwu, memiliki jumlah yang
beragam, dan jika dibandingkan antara ahli nahwu klasik dan kontemporer, tentulah karya nahwu klasik lebih sedikit memuat Hadîts Nabi SAW. Karena ahli nahwu
klasik lebih banyak berisitisyhad dengan syair dan qiyas dibandingkan dengan Hadîts Nabi SAW, ini dilakukan antara lain oleh; Abdullah bin Abi Ishâq 117 H,
193
Isa bin Amr 149 H.
194
Bahkan Sybawaih dalam karyanya al-Kitab, bersyahid dengan seribu lima ratus bait syair, empat ratus ayat al-Qur’ân dan tidak lebih dari sepuluh Hadîts.
Sikap ini kemudian diikuti oleh murid-murid mereka seperti al-Mazni, al-Mubarrad, Tsa’lab, Abu Ali al-Farisi, Ibnu Siraj dan Ibnu Ushfur.
195
Kendati Hadîts mendapat porsi sedikit dalam karya ahli nahwu klasik, akan tetapi karya nahwu klasik dapat
dikatakan tidak terlepas dari Hadîts. Untuk lebih memahami posisi Hadîts dalam karya nahwu, di bawah ini akan
dianalisa karya-karya nahwu Ibnu Mâlik dan ahli nahwu klasik lainnya.
1. Hadits dalam Karya Nahwu Ibnu Mâlik a. Syawâhid al-Taudhih
Ini adalah karya yang merupakan bukti nyata kepandaian Ibnu Mâlik dalam menganalisa Hadîts dari sisi nahwu. Sebagian ulama ada yang menyebut karya ini
sebagai i’râb al-Hadîts. Dalam metode penyajiannya, Ibnu Mâlik menetapkan satu
193
Ia adaah ahli Nahwu yang terkenal dengan pembelaannya terhadap qiyas. Lihat. Al- Zubaidi, Thabaqât al-Nahwiyyîn wa Lughawiyyîn, hal. 31
194
Ia adalah murid ibnu Abi Ishaq, dia mencela jika ada orang Arab fashih berbicara bertentangan dengan qiyas. Lihat. Syawqy Dhaif, al-Madaris al-Nahwiyyah, hal. 25
195
Hasan Mûsa al-Syâ’ir, al-Nuhât wa al-Hadîts al-Nabawy, hal. 97
lxxv