Fi’il Syarth dari al-Mudhâri’ dan Jawabnya dari al-Mâdhi

ahli nahwu di atas. Dan dalam karya-karya nahwu, kaidah ini terdapat dalam bab al- fi’il al-Mudâhari’ al-Majzum . Berkenaan dengan al-fi’il al-Mudâhari’, diketahui bahwa nasb dan jazm adalah bagian dari tanda i’râb fi’il mudhâri’. Sesungguhnya ada Hadîts yang secara dzahir bertentangan dengan kaidah bahasa yang ditetapkan ahli nahwu, yaitu berkenaan dengan al-Af’âl al-Khamsah. Dalam Hadîts Nabi SAW terdapat al-Af’âl al-Khamsah yang dihilangkan nun-nya seperti atas, huruf berada setelah Pembahasan tanda i’râb nahwu adalah pembahasan yang sangat luas, di antara sub kajiannya adalah berkenaan dengan al-Asmâ’ al-Sittah. Menurut pendapat yang paling populer tanda i’râb al-Asmâ’ al-Sittah adalah dengan huruf; fathah dengan alif, dhammah dengan waw, dan kasrah dengan ya’, kecuali isim Bukahari tadi menjadi dalil tetapnya huruf mim, meskipun bergandengan dengan kata berikutnya. 232 Dalam pandangan ulama Kûfah al-Asmâ’ al-Sittah yaitu ii. tetapnya huruf Mim pada SAW menegur sahabatnya untuk tidak memanggil beliau dengan ungkapan seperti itu, tetapi dengan ungkapan Dengan demikian pernyataan Sybawaih, bahwa ungkapan Ibnu Mâlik membagi mubtada’ kedalam dua bagian; Pertama. Mubtada’ lahu khabar. Kedua, mubtada’ laysa lahu khabar. yang kedua ini dianggap menempati posisi fi’il, karena ia memiliki hukum yang sama dengan fi’il, yaitu merafa’kan kata setelahnya. Bentuk kedua ini secara umum harus didahului dengan huruf istifham atau nafy. 253 Dari uraian bentuk kedua ini, Ibnu Mâlik berpendapat bahwa membatasi mubtada’ dengan mujarrad lebih utama dibandingkan membatasinya dengan isim al- Mujarrad, karena mubtada’ al-Mukhbir anhu terkadang tidak berasal dari isim. 254 Hal ini berlandaskan Hadîts Nabi SAW. 255

W. Khabar terdiri dari jumlah

Khabar al-Mubtada’ dapat terdiri dari isim mufrad, dharf atau jar dan majrur, dan adakalanya juga terdiri dari jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. 256 Ibnu Mâlik berpendapat idealnya khabar berkaitan dengan mubtada’nya, keterkaitan ini dapat dicapai dengan kalimat yang sama dengan mubtada, meskipun dari sisi maknanya saja, sehingga tidak membutuhkan rabith pengikat dari lainnya. 257 Pernyataan Ibnu Mâlik berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW berkenaan dengan kalimat tahlîl. 258 253 Contoh yang pertama adalah

X. Mengedepankan khabar dari Mubtada’

Di antara kondisi yang mengakibatkan dilarangnya mendahulukan khabar dari pada mubtada’ adalah, jika khabar dan mubtada’ memiliki kesamaan dalam ta’rif dan tankir , seperti sumber penetapan kaidah nahwu. Bukti lain dari ketelitiannya adalah, meskipun mereka mendengar ungkapan bahasa Arab secara langsung dari mayoritas orang Arab, namun tidak semua ungkapan itu dijadikan dalil dalam penetapan kaidah nahwu, sebelum ungkapan-ungkapan tersebut dipastikan otentisitasnya. Sikap ini muncul karena keteguhan prinsip ulama Bashrah untuk tidak bersandar pada riwayat yang lemah, juga pada syair yang kurang dikenal. Hal itu dilakukan karena ulama Bashrah menginginkan pondasi ilmu nahwu yang mereka tetapkan sangat kuat, maka itu harus dibangun dari riwayat yang mutawatir, atau yang mendekatainya. 261 Karena bangunan yang berdiri dari pondasi kuat, tidak akan mudah runtuh oleh hembusan angin dan badai. Bukti lain dari ketelitian dan selektifnya ulama Bashrah dalam memilih dalil, terlihat juga dari beberapa ungkapan Sybawaih dalam Kitab-nya, 262 ungkapan- ungkapan tersebut menunjukkan kehati-hatiannya dalam memilah-milah sumber ilmu bahasa, dan juga kesungguhannya dalam meletakkan dasar-dasar kaidah nahwu yang kokoh. Kedua; kemampuannya dalam berdalil dengan dalil aqli, mantiq dan filsafat. Nampaknya kelebihan ini dimiliki oleh ulama Bashrah klasik, buktinya adanya riwayat yang mengatakan bahwa Abu Ishâq al-Hadramî w. 117 H adalah orang pertama yang mengembangkan nahwu dan menawarkan qiyâs sebagai sumber kaidah nahwu. 263 Berbeda dengan berbagai pemikiran di atas, Ibnu Mâlik menghadirkan pemikiran lain, menurutnya dalam kaidah khabar al-Mubtada’ memiliki beberapa bentuk; ada khabar yang boleh bahkan wajib didahulukan dari mubtada’, dan ada juga khabar yang dapat disembunyikan, artinya tidak ditampkakkan pada suatu kalimat. Bentuk-bentuk tersebut kesemuanya berlandaskan pada teks Hadîts Nabi SAW. Maka 261 Musthafa Abd al-Aziz, al-Madzâ’hib al-Nahwiyyah, hal. 17. 262 itu, terlihat wajar jika hukum kaidah hasil pemikiran Ibnu Malik berbeda dengan Bashrah dan Kufah yang nota bene lebih cenderung berdalil dengan syair dan ungkapan Arab. Di bawah ini merupakan pemikiran Ibnu Mâlik berkenaan dengan Khabar al-Mubtada’;

i. boleh mengedepankan khabar

Ibnu Mâlik berpendapat boleh mendahulukan khabar dari mubtada-nya, meskipun khabar dan mubtada’-nya memiliki kesamaan dalam ta’rif dan tankir, asalkan ada qarinah yang menjembatani keduanya. 264 Pendapat ini berdasarkan teks Hadîts Nabi SAW yang mendahulukan khabar dari mubtada’. 265 Menurut Ibnu Mâlik maksud dari Hadîts ini bukanlah; orang miskin adalah lelaki yang tidak memiliki istri. Akan tetapi lelaki yang tidak memiliki istri adalah orang miskin. Karenanya dalam Hadîts tersebut kata