Mudhâf dan Mudhâf ilaih
istilah dalam ilmu fiqih yang terbangun dari ucapan Nabi SAW, bahkan menurut ahli bahasa jumlah makna baru bagi suatu kata tertentu yang datang dari Nabi SAW
mencapai ratusan bahkan ribuan kata.
350
b. Menciptakan kata Tidak kecil peran Hadîts dalam menciptakan kata baru atau istilah baru,
proses pembentukan kata baru ini dapat melalui berbagai cara, antara lain; Pertama; al-Irtijal, Irtijal adalah menciptakan kata baru yang tidak ada sebelumnya, Irtijal ini
tidak diterima kecuali berasal dari sumber terpercaya akan kefashihannya, maka itu irtijal dapat diterima jika yang menyampaikannya terbukti menguasai bahasa fahih.
351
Penjelasan Hadîts terhadap bahasa yang dianggap asing oleh sebagian sahabat, sesungguhnya memiliki rahasia tertentu, baik berdasarkan sosok lawan
bicara Nabi SAW, atau untuk siapa kata itu ditujukan. Jika kata asing yang ada pada Hadîts Nabi SAW ditujukan untuk seluruh kaum Muslim, misalnya ada satu lafadz
atau lebih yang tidak difahami sahabat, maka mereka bertanya langsung pada Nabi SAW agar kata yang asing bagi mereka, menjadi jelas, dan kemudian Nabi SAW
berusaha menjelaskannya. Misalnya, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Tamimah al-Hujaimi yang tidak faham kata yang disabdakan Nabi yaitu
lawan bicaranya. Karenanya tidaklah heran jika Ali k.w bertanya pada Nabi SAW perihal perkataan Nabi SAW yang tidak dimengerti oleh Ali k.w ketika Nabi SAW
berbicara pada salah satu utusan Arab, padahal Ali k.w dan Nabi SAW berasal dari satu keturunan.
353
Selain itu ada beberapa kalimat untuk nama-nama tertentu yang sebelumnya tidak dikenal, dan Nabi SAW adalah orang yang pertama yang memberikan arti baru
bagi kata tersebut. Misalnya kata dalam salah satu sabda Nabi SAW
354
dalam al-Qur’ân. Imam al-Syâfi’i di antara yang menolak adanya muarrab di dalam al-Qur’ân.
359
Di antara cara yang digunakan Hadîts dalam memperkaya kosa kata bahasa Arab adalah dengan cara ta’rîb. Misalnya dalam Hadîts Nabi SAW ditemukan kata
360
mudhâf ilaih mesti bergandengan, huruf al-Jarr yang merupakan pemisah di antara keduanya mesti disembunyikan, meskipun sebagian ahli nahwu membolehkan
menampakkannya.
369
Ulama Kûfah berpendapat bahwa boleh memisahkan antara mudhâf dengan mudhâf ilaih selain dengan dzaraf dan huruf al-Jar. Asalkan keduanya dalam kondisi
darurat syair. Dalam pandangan ulama Kûfah, banyak ditemukan terpisahnya mudhâf dengan mudhâf ilaih dalam berbagai syair darurat.
370
Dalam memperkuat pendapat ini, al-Kisâ’i menyebutkan bahwa ia pernah mendengar orang Arab memisahkan
mudhâf dengan mudhâf ilaih dalam ucapannya.
371
Selain itu Abu Ubaidah juga bersaksi bahwa ia pernah mendengar ungkapan orang Arab yang memisahkan
mudhâf dengan mudhâf ilaih.
372
Sedangakan ulama Bashrah berpendapat bahwa tidak dibenarkan memisahkan mudhâf dan mudhâf ilaih karena ia adalah kalimat satu paket. Kecuali pemisahnya
dari dzaraf dan huruf al-Jar. Selainnya tidak diperbolehkan. Seperti dalam ungkapan syair Amr bin Qamî’ah.
373
Jika mengamati dalil yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i, yang merupakan perkataan Arab. Adalah dalil lemah yang kemungkinan menjadi sasaran empuk bagi
369
Musthafa Ghalâyini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyah, juz. 3, hal. 206 lihat juga Al-Azhari, Syarh al-Tashrîh ala al-Taudhîh,
juz 2, hal. 59
370
Syair yang dimaksud adalah;
ahli nahwu lain untuk mengkritisi pemikirannya. Al-Kisâ’i merupakan tokoh penting dalam pemikiran nahwu Kufah, hanya saja diakui bahwa ulama Kufah cenderung
mutasahhil dalam menyeleksi dalil-dalil yang akan dijadikannya sebagai sumber
kaidah. Khususnya perkataan orang Arab baik itu berupa syair maupun natsr. Akibatnya perkataan Arab yang menjadi dalil al-Kisa’i ini, banyak dibantah oleh ahli
nahwu lainnya. Al-Anbâri misalnya, ia mengkritisi ungkapan Arab yang dijadikan pijakan
oleh al-Kisa’i, menurutnya dalil yang dikemukakan oleh al-Kisâ’i dan Abu Ubaidah adalah dalam kalimat sumpah. Karena pemisah antara mudhâf dan mudhâf ilaih
adalah kalimat sumpah yang bertujuan untuk penguatan taukid. Maka itu dalam pandangan al-Anbâri, kedua dalil di atas yang merupakan perkataan Arab tidaklah
masuk dalam kategori ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil kuat yang menunjukkan bolehnya memisahkan mudhâf dan mudhâf ilaih kecuali pada
kalimat sumpah, sebagaimana disebutkan di atas.
374
Sedangkan dalil yang dikemukakan oleh ulama Bashrah, meskipun mereka sangat selektif dalam memilah perkataan Arab yang dijadikan dalil dalam suatu
kaidah, namun mereka tidak melihat dalil lain yang lebih otoritatif, yaitu Hadîts Nabi SAW. Maka pendapatnya pun dibantah oleh Ibnu Mâlik.
Ibnu Mâlik juga membantah pendapat Al-Anbâri di atas, menurutnya boleh memisahkan antara mudhâf dengan mudhâf ilaih, asalkan pemisahnya tidak berasal
dari fâ’il, mungkin bisa dari munâda atau sifat mudhâf. Pemisahan ini dibolehkan bukan hanya dalam kondisi darurat syair saja, akan tetapi berlaku dalam kondisi
apapun.
375
Dalam kaidah ini Ibnu Mâlik berdalil dengan Hadîts Nabi SAW yang menunjukkan adanya teks kalimat yang menunjukkan terpisahnya mudhâf dan
mudhâf ilaih.
376
374
Al-Anbâri, al-Inshâf fi Masâ’il al-Khilâf, hal. 388.
375
Ibnu Mâlik, Syarh Umdah al-Hâfidz wa Uddah al-Lâfidz, hal. 491
376
Redaksi Hadîts yang tersurat dalam syarh al-Umdah adalah;
Dalam Hadîts tersebut terdapat kalimat idhâfah
untuk meragukan otentisitas lafadz Hadîts sebagai lafadz Nabi SAW. Kaitannya dengan pembahasan di atas, bahwa madzhab Bashrah dan Kufah tidak banyak
berpijak pada Hadîts dalam penetapan kaidah nahwu, di antara sebabnya adalah belum terkodifikasinya Hadîts secara utuh. Sehingga bagi sebagian ulama mereka
mendapatkan ungkapan Arab dalam bentuk syair lebih mudah dibandingkan dengan mendapatkan riwayat Hadîts Nabi SAW. Untuk membuktikanya, di bawah ini akan
dianalisa sejarah kodifikasi Hadîts, khususnya pada masa Nabi SAW, sahabat dan tâbi’în, yang dimungkinkan berpengaruh pada pemikiran kedua madzhab besar
nahwu, yaitu Bashrah dan Kufah. a. Pada Masa Nabi SAW
Pada masa awal kenabian, Rasulullah SAW sangat menganjurkan kaum Muslim untuk mengkaji dan memperhatikan kandungan al-Qur’ân saja, maka itu pada
masa tersebut, para sahabat hanya terfokus dalam menyebarkan al-Qur’ân, tidak ada yang lainnya. Bagi siapa saja yang belum mampu membaca dan menulis al-Qur’ân,
maka Rasulullah SAW membuat tim khusus sebagai guru bagi sahabatnya yang lain.
377
Itu sebabnya pada masa awal kenabian muncul larangan menulis selain al- Qur’ân, termasuk Hadîts Nabi SAW.
378
Namun larangan ini di-naskh oleh Hadîts lain yang menunjukkan bolehnya menulis Hadîts Nabi SAW.
379
Nampaknya lahirnya izin menuliskan apa yang Nabi sabdakan, lebih ditujukan bagi siapa yang khawatir lupa akan sabda-sabda beliau.
Adapun sebab larangan penulisan tadi, nampaknya ditujukan bagi orang yang memiliki kemampuan lebih dalam hafalan, sehingga khawatir hafalannya bercampur
dengan al-Qur’ân. Dengan kata lain jika kekhawatiran bercampurnya Hadîts dengan al-Qur’ân dapat dihilangkan maka larangan itu tidak berlaku kembali.
380
Maka itu kemudian Rasulullah SAW mengizinkan para sahabatnya untuk menuliskan apa yang
377
Al-A’dzami, the histori of the qur’anic tex, hal. 68
P
378
P
ia sabdakan, dan semenjak itu banyak sahabat yang menuliskan sabda-sabda beliau dan menjaganya agar tidak bercampur dengan al-Qur’ân.
381
Bahkan Nabi SAW menganjurkan sahabatnya untuk mengikat ilmu dengan tulisan.
382
Bukti lain adanya tradisi penulisan Hadîts pada masa Nabi SAW adalah, riwayat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ketika terjadi fathu Makkah 8 H,
Rasulullah SAW berdiri menyampaikan khutbah, seteleh selesai, datang seorang laki- laki bernama Abu Syah, ia meminta pada Nabi SAW untuk menuliskan khutbah yang
telah disampaikannya, kemudian Nabi SAW menyuruh sahabatnya yang lain untuk menuliskan dan memberikannya pada Abu Syah.
383
Bahkan Abu Hurairah, mengakui bahwa ia adalah orang yang paling banyak menulis sabda Nabi SAW di antara
sahabat-sahabatnya.
384
Abdullah bin Umar juga mengakui bahwa ia menulis segala apa yang ia dengar dari Nabi SAW, dan meskipun diingatkan oleh masyarakat
Quraisy agar tidak menuliskan sabda Nabi SAW, namun ia tetap menuliskannya, setelah Nabi SAW mengizinkannya.
385
Bukti nyata adanya tradisi penulisan Hadîts pada masa Nabi SAW adalah adanya shuhuf yang memuat Hadîts Nabi SAW, antara lain ada al-Shahifah al-
381
Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 20-21. Lihat juga di Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih
, juz. 1, hal. 70-77
382
Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
383
Shadiqah yaitu sebuah catatan milik Abdullah bin Amr bin ‘Ash, ini sebagaimana
dikabarkan oleh Mujâhid.
386
Bahkan diriwayatkan bahwa Sa’ad bin Ubadah memiliki shahifah yang memuat hadîts-hadîts Rasulullah SAW, dan kemudian putranya
meriwayatkan Hadîts dari shahifah ini.
387
b. Masa al-Khulafa al-Rasyidun Ketatnya dalam menjaga teks al-Qur’ân pada masa awal kenabian,
dipertahankan oleh Abu Bakr al-Shiddiq, ia mengumpulkan seluruh hadîts-hadîts yang ada, kemudian membakarnya.
388
Bahkan ketika Umar bin Khattab hendak menuliskan sunnah-sunnah Nabi SAW, terlebih dahulu ia meminta fatwa dari
sahabat-sahabatnya, dan mereka menyetujuinya, namun Umar r.a tidak melakukkannya, karena khawatir umat Muslim lebih mengutamakan Hadîts
dibandingkan dengan al-Qur’ân.
389
Bahkan Ali r.a pernah berkhutbah di depan sahabat-sahabat; ‘barang siapa yang memiliki tulisan selain al-Qur’ân agar ia
menghapusnya, karena kecelakaan umat terdahulu adalah karena mereka lebih mengikuti perkataan ulama dan meninggalkan al-Qur’ân’.
390
Namun larangan itu pun tidak berlarut-larut, karena tidak lama setelah itu Abu Bakr r.a dan Umar r.a menulis Hadîts kembali, bahkan menyarankan pada para
sahabat-sahabatnya untuk menulis Hadîts. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa sebab dari larangan tersebut hanyalah kekhwatiran akan ditinggalkannya al-Qur’ân
oleh umat Muhammad SAW.
391
Dalam sejarah, dikenal sejumlah sahabat yang membolehkan penulisan Hadîts seperti Umar, Ali, Hasan, Abdullah bin Amr bin al-
386
Ash, Anas, Jabir, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
392
Bahkan ada riwayat yang mengatakan bahwa Umar bin Khattab menganjurkan sahabatnya untuk menulis.
393
c. Masa Tâbi’în Generasi tâbi’în mengambil ilmu dari para sahabat, mereka mengetahui mana
perkara yang dibenarkan dan mana yang tidak, pastinya dari sahabat. Dan mereka juga banyak meriwayatkan Hadîts dari sahabat, maka itu tâbi’în sangat mengetahui
sekali kapan penulisan Hadîts itu diperbolehkan dan juga dilarang.
394
Keputusan para sahabat dalam membolehkan penulisan Hadîts berpengaruh pada generasai
berikutnya yaitu tâbi’în, karenanya ditemukan di antara tâbi’în yang juga membolehkannya seperti; Basyir bin Nahik dan Said bin Zubair. Meskipun demikian
ada juga dari kalangan tâbi’în yang melarangnya seperti; al-Sya’bi dan Ibrahim al- Nakha’i.
395
Contoh lain dari pengaruh sahabat dalam menjaga Hadîts adalah, anjuran Abu Hurairah dan Said al-Khudri, bahwa ia memberi kesempatan pada tâbi’în untuk
membuat shuhuf yang memuat hadîts-hadîts Nabi SAW, karena Abu Hurairah dan sahabat lainnya pernah melakukan hal yang sama pada saat Nabi SAW masih ada.
396
Bahkan di antara tâbi’în ada yang mendapatkan warisan shuhuf yang memuat Hadîts Nabi SAW, yaitu Hammam bin Munabbih yang mendapatkan shuhuf dari Abu
Hurairah, maka dikenallah dengan shahifah Hammam.
397
Lain halnya dengan Basyir bin Nuhaik, yang menulis hadîts-hadîts dari Abu Hurairah, dan setelah memiliki
banyak Hadits, Basyir melaporkannya bahwa ia telah menulis hadîts-hadîts yang didapatinya dari Abu Hurairah, dan Abu Hurairah mengijazahkannya.
398
392
Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 72
393
Namun sesungguhnya penulisan Hadîts secara kolektif dan teratur baru terjadi pada masa pertengahan tâbi’în, yaitu masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Umar yang
merupakan khalifah pada masa Bani Umayyah ini, memerintahkan bawahannya yang ada di Madinah yaitu Abu Bakr bin Hazm untuk menuliskan Hadîts yang ia dapati.
Dan setelah itu barulah para ulama menulis Hadîts secara sistematis, dan ulama pertama yang berperan aktif dalam urusan ini adalah Ibnu Syihâb al-Zuhri w 124
H.
399
Menurut pengakuannya Umar bin Abdul Aziz memerintahkan padanya untuk membuat daftar Hadîts Nabi SAW, dan menyebarkannya ke seluruh negeri
Muslim.
400
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengumpulan Hadîts secara teratur dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz, meskipun tradisi penulisannya
dalam shuhuf telah dilakukan oleh sahabat pada masa Nabi Muhammad SAW, dan tradisi ini terus dilakukan dan tidak pernah terputus meskipun setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW.
401
Dan pada masa akhir tâbi’în, barulah terjadi pemalsuan Hadîts, disebabkan banyaknya aliran pemikiran dalam Islam. Karenanya pada masa ini bukan hanya
penulisan yang terus ditingkatkan, namun juga hafalan-hafalan Hadîts pun terus digiatkan agar hadîts-hadîts palsu lebih mudah untuk diidentifikasi.
402
Dari uraian di atas, difahami bahwa tradisi penulisan Hadîts telah terjadi pada masa Nabi SAW. Adapun adanya larangan Nabi SAW pada sebagian sahabat untuk
menulis Hadîts, merupakan kekhususan bagi sahabat yang khawatir tercampurnya antara al-Hadîts dan al-Qur’ân. Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa
larangan tersebut telah di-nasakh oleh Hadîts yang menyatakan bolehnya menuliskan
399
Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, 44-45. Lihat juga di Muhammad Ajâj al- Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 329-330.
400
Ibnu Abdi al-Barr, Jâmi’ Bayân al-Ilm wa Fadhlih, juz. 1, hal. 77
401
Muhammad Ajâj al-Khatîb, al-Sunnah Qabla Tadwîn, hal. 332
402
Subhi Shâlih, ‘Ulûm Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 48
cxxvi
Hadîts Rasulullah SAW. Dalam pandangan ahli Hadîts, hadîts-hadîts yang menyatakan bahwa Abu Bakr telah membakar Hadîts, adalah hadîts lemah.
403
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa sejak awal Hadîts telah ditulis oleh para sahabat, hanya saja masih dalam bentuk shuhuf. Belum terkodifikasi secara utuh.
Karenanya wajar saja jika sebagian ulama mengalami kesulitan dalam mendapatkan Hadîts, tidak semudah ketika mereka mendapatkan syair. Kondisi itu berbeda dengan
masa Ibnu Mâlik, yang nota bene Hadîts telah terkodifikasi dengan baik, sehingga ahli nahwu pada masa itu tidak mengalami kesulitan dalam merujuk teks Hadîts,
ketika mereka membutuhkan pembenaran dari dalil simâ`i.
iii. menyembunyikan mudhâf
Bagi Ibnu Mâlik, Hadîts bukan hanya sebagai dalil akan bolehnya memisahkan mudhâf dengan mudhâf ilaih. Melainkan lebih dari itu, ia menyatakan
bahwa boleh menyembunyikan mudhâf, meskipun mudhâf ilaih-nya ditampakkan.
404
Pendapat ini didasarkan pada dua teks Hadîts yang menyembunyikan mudhâf-
nya. Padahal mudhâf ilaih-nya nampak. Pertama, Hadîts yang berkenaan dengan pentingnya bersiwak sebelum menunaikan shalat.
405
Dalam Hadîts Nabi SAW ini, kata
Nabi SAW menjawab
406
badal, yaitu kata yang merupakan pengganti dari tamyîz.
409
Ini sejalan dengan Hadîts fi’li yang merupakan perkataan Ibnu Mas’ûd.
410
Dalam Hadîts tersebut, terdapat kata-kata yang berkedudukan sebagai tamyîz, yaitu
Berkenaan dengan sikap Ibnu Mâlik di atas, terdapat salah satu kaidah yang ditetapkan Ibnu Mâlik berkenaan dengan kaidah athaf. Diketahui bahwa huruf athaf
adalah waw, fa, tsumma, hatta, aw dan lainnya.
411
Ibnu Mâlik berpendapat bahwa jika dalam suatu kalimat terdapat huruf athaf yang menggunakan
ini dibantah oleh Ibnu Mâlik, ia mengatakan bahwa
Maka itu jika dalam suatu kalimat terdapat rangkaian kata yang tidak ada pemisahnya, padahal semestinya ditengahi dengan huruf athaf, tentunya maknanya
akan rancu. Namun dalam pandangan Ibnu Mâlik, jika ketidakberadaan huruf athaf tidak mengubah makna yang ada pada suatu kalimat, maka dalam kondisi ini boleh
menyembunyikan waw athaf.
418
Pendapat Ibnu Mâlik ini berdasarkan adanya teks Hadîts yang menunjukkan suatu kalimat yang terangkai dari kata-kata, namun tidak
ditengahi dengan waw athaf. Meskipun demikian kalimat tersebut dapat difahami maknanya, tanpa ada kerancuan di dalamnya.
419