b. Fokus kajian ini hanya pada kaidah-kaidah Ibnu Malik yang bersumber dari Hadîts Nabi SAW dalam syarh al-Umdah, syarh al-Kâfiyah dan syawâhid al-
Taudhîh. c. Kaidah nahwu yang akan diteliti dalam tesis ini adalah; Isim, fi’il, huruf,
tawâbi’ dan maf’ûl.
3. Rumusan Masalah
a. Bagaimana otorisasi Hadîts sebagai dalil kaidah nahwu dalam pandangan Ibnu Mâlik jika dibandingkan dengan ahli nahwu klasik.
b. Kaidah-kaidah apa saja yang bersumber dari Hadîts, dan bentuk Hadîts apa yang digunakan sebagai dalil kaidah nahwu; apakah qauli saja, atau juga fi’li,
dan taqriri. Apakah hanya hadîts marfû’ bagaimana dengan hadîts mauqûf atau maqthû’
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam sikap dan ucap yang lahir dari manusia, pastinya memiliki tujuan dan maksud tertentu,
47
terlepas apakah tujuannya baik atau tidak. Begitu pula dengan penelitian ini. Selain sebagai bukti kontribusi penulis terhadap pemikiran kaidah
bahasa Arab,
48
tesis ini juga membuktikan bahwa teks Hadîts matan mengandung stilistik bahasa yang luhur, di samping ia juga merupakan sumber hukum syariat.
49
47
Hal ini sesuai dengan wejangan Nabi SAW. “Innama al-A’mâl bi al-Niyât..” HR. al- Bukhari
48
Ketertarikan penulis pada kajian nahwu, antara lain adanya motivasi yang menyebutkan banyaknya keutamaan-keutamaan yang disampikan oleh para sahabat maupun ulama salaf bagi
pengkaji nahwu. Misalnya Umar bin Khattâb r.a pernah mengatakan, “Pelajarilah bahasa Arab, karena ia dapat menguatkan akal dan menambah wibawa”, maksud dari bahasa Arab di sini adalah ilmu
bahasa atau nahwu. Al-Sakhâwi juga pernah mengatakan, “Mengkaji nahwu untuk menjaga firman Allah SWT dan Sabda Nabi SAW adalah bagian dari kewajiban, karena menjaga syariat adalah
kewajiban, dan untuk mencapai itu diperlukan ilmu nahwu”. Untuk mengetahui lebih jelas akan keutamaan mempelajari ilmu bahasa Arab, lihat Mahmud Fajal, Al-Hadits al-Nabawy fi al-Nahwi al-
Araby
, hal. 44-48.
49
Dalam penelitian ini penulis membantah bahwa dalam matan Hadîts terdapat kecacatan bahasa dari sisi kaidah nahwu. Meskipun ada ulama yang menilai keshahihan Hadîts dengan melihat
apakah bahasa yang tersurat baik atau buruk, maka itu dalam pandangannya meskipun Hadîts yang diriwayatkan oleh Imam besar, shahih dari sisi sanad, namun buruk dari sisi kebahasaan, maka Hadîts
itu palsu atau lemah. Inilah yang didakwakan oleh Ibnu Qayyim dalam bukunya al-Manâr al-Munîf fi
xxx
Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan meneliti pandangan Ibnu Mâlik akan otorisasi Hadîts sebagai sumber kaidah nahwu. Dan tidak kalah pentingnya tesis ini
juga membuktikan bahwa Ibnu Mâlik adalah pelopor ahli nahwu yang paling banyak berdalil dengan Hadîts Nabi SAW dibandingkan dengan ulama sebelumnya. Secara
spesifik, tujuan dari penelitian ini adalah; 1. Membuktikan bahwa hadits Nabi SAW dalam bentuk qauli, fi’ili, hadîst
mauqûf atau marfû’ merupakan dalil nahwu yang otoritatif. 2. Membuktikan bahwa kaidah nahwu Ibnu Mâlik memiliki corak yang
beragam atas kaidah nahwu sebelumnya, sebagai penguat atau bantahan atas kaidah yang ada sebelum Ibnu Mâlik.
D. SIGNIFIKANSI PENELITIAN
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
50
Itulah ujaran Nabi Muhammad SAW, sebagai cambuk bagi umatnya untuk selalu membawa
kebaikan bagi yang lainnya. Karena itu usaha dalam penelitian ini juga memiliki signifikansi yang besar bagi pengkaji kaidah bahasa dan Hadîts. Antara lain;
1. Bagi pengkaji ilmu bahasa, akan mendapati kaidah-kaidah yang lahir dari Ibnu Mâlik berdasarkan Hadîts Nabi SAW yang sebelumnya tidak dikenal di
kalangan ahli nahwu klasik. 2. Bagi pengkaji Hadîts, akan mendapatkan wujud kongkrit otorisasi Hadîts
dalam kaidah nahwu melalui pemikiran Ibnu Malik. 3. Penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi tentang pemikiran Ibnu
Mâlik, tentunya bagi pengkaji bahasa Arab yang selama ini memanfaatkan
karya-karya Ibnu Mâlik.
al-Shahîh wa al-Dhaîf Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah 1988. Karenanya tidaklah mengherankan jika
kitab ini menuai kritikan keras dari berbagai ahli Hadîts.
50
E. KAJIAN TERDAHULU YANG RELEVAN
Sejauh ini tidak banyak suatu kajian khusus yang membahas subjek ini secara utuh. Tentu telah ada beberapa karya yang dalam satu atau lain cara membahas
sejumlah permasalahan sejenis. Sekalipun demikian, karya-karya tersebut tidak ditujukan untuk membahas otorisasi Hadîts dalam pandangan Ibnu Mâlik. Sejauh
yang penulis temukan, kajian tersebut hanya diangkat sebagai pelengkap dari konsentrasi kajian yang dilakukan oleh para peneliti nahwu. Namun kajian-kajian
tersebut sangat berguna bagi penelitian ini, sebagai langkah awal memasuki pintu penelitian yang akan dilakukan. Di antara penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini adalah; Pertama, Al-Khilâf Bayna al-Nahwiyyîn, dirâsah wa tahlîl wa taqwîm karya
Sayid Rizki Thawil Disertasi di Universitas Al-Azhar. Penelitian ini mengungkap perbedaan pandangan ahli nahwu Bashrah dan Kûfah, sebagai kedua madzhab besar
dalam ilmu nahwu. Dalam penelitian ini disebutkan sebab-sebab perbedaan Bashrah dan Kûfah dalam penetapan kaidah nahwu, dan juga pengaruhnya terhadap kajian
nahwu di Negara sekitarnya seperti Andalusia dan Baghdad. Keterkaitan penelitian Thawil, dengan penelitian yang akan penulis lakukan adalah, hasil kajian Thawil
yang menyatakan bahwa adanya perbedaan pandangan para ahli nahwu terhadap Hadîts sebagai sumber penetapan kaidah nahwu, merupakan salah satu faktor lahirnya
perbedaan dalam pembentukan kaidah nahwu. Kedua, Al-Manhaj al-Nahwy li Ibni Mâlik, karya D. Hidayat Disertasi IAIN
Jakarta 1998. Penelitian ini mengungkap peran Ibnu Mâlik terhadap perbedaan kedua madzhab besar dalam ilmu nahwu, yaitu Bashrah dan Kûfah. Menurut
penelitian ini, konsep nahwu perspektif Ibnu Mâlik lebih banyak dipengaruhi oleh aliran nahwu Andalusia, yang nota-bene tidak terlalu dikenal di kalangan ulama
nahwu. Yang menarik dari penelitian ini, diungkapnya peran Ibnu Mâlik terhadap Ushûl al-Nahwi, salah satunya adalah Ihtijâj bi al-Hadîts. Dari penelitian ini,
diketahui bahwa Ibnu Mâlik adalah tokoh ahli bahasa Arab yang paling banyak
xxxii