Praktek Pelaksanaan Ekstradisi Bagi Pelaku Kejahatan Pada Beberapa Negara

Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009

B. Praktek Pelaksanaan Ekstradisi Bagi Pelaku Kejahatan Pada Beberapa Negara

Ada dua aspek dalam ekstradisi, aspek pertama adanya tindakan suatu pemerintah yang melepaskan wewenang atas seseorang dengan menyerahkan kepada pemerintah negara lain dan aspek kedua adalah langkah-langkah yang telah diambil yang membuktikan bahwa si pelaku kejahatan memang ditahan untuk dituntut maupun untuk menjalani hukumannya. Hal ini adalah tanggung jawab dari badan peradilan yang juga harus menunjukkan bahwa orang yang dimaksud memang sah menurut hukum yang berlaku di negara pemberi ekstradisi agar ia dapat diekstradisikan. Jadi disini jelas sekali bahwa badan-badan yang memainkan peranan dalam proses ekstradisi ada dua yaitu badan eksekutif dan badan yudikatif. Mengenai pelaksanaan ekstradisi ini bersumber pada dasar hukum ekstradisi. Permintaan ekstradisi didasarkan pada 4 empat hal yaitu perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi internasional dan tata krama internasional. Semua sumber tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya karena hubungannya sangat erat dan saling melengkapi. Dalam uraian dibawah ini hanya akan dibahas mengenai prosedur yang bersumber pada perjanjian ekstradisi. Permintaan ekstradisi berdasarkan tata krama internasional atau berdasarkan azas timbal-balik yaitu atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Sedangkan mengenai mengenai segala persyaratan dan prosedur penyerahannya, berlakulah ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan nasionalpihak-pihak Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 tersebut. Ataupun jika kedua atau salah satu pihak belum mempunyai undang- undang ekstradisi, dapat diberlakukan prosedur dan syaratsyarat menurut hukum kebiasaan tentang ekstradisi. Ada 3 tiga tahapan dalam prosedur ekstradisi ini, yaitu : 1. Pra Ekstradisi a. Hakim atau Badan Peradilan yang bertugas menyelesaikan perkara meminta kepada NCB-Interpol untuk mengedarkan perintah penangkapan secara internasional dengan maksud untuk dimintakan ekstradisi atas orang yang dicari tersebut. b. Setelah menerima perintah tersebut dan mempertimbangkannya atas dasar pasal 3 Anggaran Dasar ICPO-Interpol maka NCB negara tersebut meneruskan kepada Sekjen ICPO-Interpol, dengan apa yang dikenak dengan ”Form No. 1”. Formulir ini harus menjelaskan secara terperinci tentang identitas orang yang dicari tanggal, tempattanggal lahir, nomor paspor dan lain-lain serta keterangan lain tentang orang yang dicari. Formulir tersebut juga harus menyebutkan badan peradilan mana yang mengeluarkan perintah penangkapan dan menyebutkan nomor surat perintah tersebut, keterangan jelas tentang tindak pidana yang dilakukan serta keterangan lain yang meyakinkan bahwa ekstradisi akan diminta. Hal ini penting untuk melindungi kebebasan manusia dan penghargaanmanfaat atas pekerjaan NCB negara lain. c. Setelah mengecek bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan pasal 3 AD, maka Sekjen mengirimkan permintaan dalam bentuk dokumen yang Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 disebut ”Red Index Wanted Notice” kepada polisi seluruh negara anggota ICPO-Interpol. Notice tersebut dapat dianggap surat perintah penangkapan internasional. d. Kepolisian yang menerima notice tersebut membantu berusaha mencari dimana orang yang dicari tersebut berada. e. Badan kepolisian yang menemukan lokasi dimana orang yang dicari berada, harus segera melaporkan kepada NCB-nya. f. NCB dari negara dimana orang yang dicari ditemukan segera memberitahukan kepada setjen ICPO-Interpol dan NCB negara yang memberikan. g. NCB negara peminta segera memberitahukan kepada badan peradilan negaranya yang berwenag, sambil menunggu permintaan ekstradisi yang dikirim melalui saluran diplomatik . Permintaan penahanan sementara harus segera dikirim, kalau perlu melalui saluran radio interpol yang ditujukan kepada pengadilan yang berwenang dari negara dimana orang yang dicari berada. Kecepatan merupakan faktor yang paling penting dalam tahap ini. h. Apabila orang yang dicari telah benar-benar ditahan oleh negara yang bersangkutan, maka NCB harus segera memberikan laporan kepada Sekjen ICPO-Interpol agar Red Wanted Notice tersebut dicabut. 2. Proses permintaan Permintaan untuk menyerahkan orang yang dimintakan ekstradisi dan syarat-syaratnya diatur dalam perjanjian ekstradisi itu sendiri. Permintaan harus Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 disampaikan kepada negara-diminta melalui saluran diplomatik. Tetapi ada juga perjanjian ekstradisi yang mengaturnya dengan menyatakan kepada pejabat mana permintaan harus disampaikan walaupun tetap harus melalui saluran diplimatik. Demikian pula, permintaan penyerahan harus diajukan secara tertulis, disertai penjelasan alasan – alasan permintaan, jenis kejahatan yang dimintakan penyerahan serta identitas orang yang diminta. Terdapat perbedaan praktek pelaksanaan ekstradisi diantara negara-negara yaitu antara negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon dan negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Menurut sistem Anglo-saxon Common Law, permintaan penyerahan harus dilengkapi alat-alat bukt i. Berdasarkan alat bukti tersebut, negara-diminta setelah memeriksa menurut hukumnya sendiri atas kejahatan yang dimintakan penyerahan, untuk selanjutnya diputuskan apakah permintaan itu akan diterima atau ditolak. Sedangkan menurut sistem hukum Eropa Kontinental Civil Law permintaan penyerahan tidak perlu dilengkapi alat-alat bukti tetapi sudah cukup dengan disertai penjelasan identitas orang yang diminta dan kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional. Pada umumnya, permintaan penyerahan antara lain harus dilengkapi dengan : 1. Keputusan Pengadilan atau keputusan hakim yang asli atau salinannya yang disahkan dan segera dapat dilaksanakan untuk orang yang telah dijatuhi hukuman, terhukum, atau surat perintah lainnya dengan kekuatan Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang berlaku dalam hukum negara-peminta. 2. Keterangan atas kejahatan yang dimintakan penyerahan, waktu dan tempat dilakukannya kejahatan, uraian yuridis dan penunjukan ketentuan- ketentuan hukum yang bertalian dengan kejahatan yang dimintakan penyerahan, dengan uraian yang seteliti atau sejelas mungkin. 3. Salinan peraturan-peraturan tersebut, atau bila tidak mungkin untuk diberikan, juga bisa tentang keteranganpenjelasan yang sejelas mungkin tentang si pelaku kejahatan atau orang yang diminta serta keterangan lain yang dapat membantu menentukan identitas dan kebangsaannya. Apabila persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh negara-peminta, maka sudah cukup kuat baginya untuk meminta penyerahan dan demikian pula bagi negara-diminta sudah cukup untuk mengambil keputusan atas permintaan penyerahan. 3. Penyerahan a. Penyerahan Orang yang Diekstradisi Negara-diminta harus memberikan keptusannya kepada negara-peminta, baik keputusan itu berupa keputusan untuk menyerahkan ataupun menolaknya. Seperti juga halnya permintaan penyerahan, keputusan itu juga harus disampaikan melalui saluran diplomatik. Apabila keputusan itu berupa penolakan, harus disertai pula alasan-alasan penolakannya. Sedangkan keputusan untuk menyerahkan harus disertai dengan pemberitahuan mengenai tempat dan waktu penyerahan serta lamanya orang Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 tersebut ditahan untuk maksud penyerahan tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk supaya negara-peminta mendapat ke[astian tentang waktu dan tempat supaya segala sesuatu yang diperlukan untuk itu bisa dipersiapkan seperti misalnya pesawat terbang, kapal atau kendaraan lainnya untuk menjemput dan mengawalnya dan lain-lain yang bertalian dengan itu. Apabila pada waktu tanggal penyerahan yang telah disepakati ternyata negara-peminta tidak mengambil orang yang sudah siap diserahkan tersebut tanpa diketahui alasannya, maka negara-diminta dapat melepaskan orang yang bersangkutan sesudah lewat jangka waktu tertentu terhitung dari tanggal penyerahan. Jika negara-peminta mengulangi lagi permintaannya atas orang atau pelaku kejahatan tersebut dan juga atas dasar kejahatan tersebut negara-diminta dapat menolak permintaan negara-peminta itu. Mengenai tempat penyerahan sepenuhnya ditentukan oleh negara-diminta, maka ada kemungkinan bahwa tempat penyerahan bisa pada suatu tempat dalam wilayah negara-diminta, atau pada suatu tempat dalam wilayah negara ketiga dengan persetujuan negara tersebut, atau di tempat lain di luar negaranya. Mengenai tempat penyerahan seperti yang kedua dan ketiga ini sangat jarang dilakukan. Setelah dilangsungkan penyerahan pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan itu, dalam perjalanan kembali membawa orang yang telah diserahkan, serinh kali harus melewati wilayah negara ketiga. Dalam perjalanan atau pada waktu melewati wilayah negara lain, mungkin terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 Untuk menghindari timbulnya perselisihan, beberapa perjanjian ekstradisi menentukan dalam salah satu pasalnya tentang melewati wilayah negara lain Transit, namun ada juga yang tidak mengaturnya. b. Penyerahan Barang Seseorang yang telah melakukan kejahatan dalam usahanya untuk menghindari penangkapan dan tanggung jawab atas kejahatannya itu maupun untuk menghindari ekstradisi, sering kali sambil membawa barang-barang. Barang-barang tersebut bisa milik pribadi seperti pakaian atau perhiasan, bisa juga barang-barang yang ada sangkut pautnya dengan kejahatan yang telah dilakukannya sepertti misalnya barang yang dipergunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, barang yang diperoleh sebagai hasil kejahatan atau barang yang timbul sebagai akibat dari kejahatan. Seperti halnya dengan penyerahan orang yang diminta, hanya dapat dilakukan apabila ada permintaan penyerahan sebelumnya, maka demikian pula halnya dengan penyerahan barang yang hanya dapat dilakuakn apabila sebelumnya sudah ada permintaan penyerahannya. Dengan adanya permintaan untuk menyerahkan barang itu, negara-diminta berkewajiban untuk menyita dan menyerahkannya. Tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sepanjang hukum nasional negara-diminta memperkenankannya. Dibawah ini akan dijelaskan tentang pelaksanaan ekstradisi berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 : Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 1. Keputusan Mengenai Permintaan Ekstradisi Walaupun perkara ekstradisi diperilksa oleh Pengadilan namun keputusan mengenai dapat tidaknya seseorang diekstradisikan ditentukan oleh Menteri Kehakiman. Keputusan mengenai permintaan ekstradisi tersebut diatur dalam Bab VII pasal 36 sampai pasal 39. Menurut pasal 36, sesudah menerima penetapan Pengadilan yang dimaksud dalam pasal 33, Menteri Kehakiman segera menyampaikan penetapan tersebut kepada Presiden disertai pertimbangan-pertimbangan Menteri Kehakiman, Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk memperoleh keputusan ayat 1. Selanjutnya ditentukan dalam ayat 2, bahwa setelah menerima penetapan Pengadilan beserta pertimbangan- pertimbangan yang dimaksudkan dalam ayat 1, maka Presiden memutuskan dapat tidaknya seseorang diekstradisi. Dalam ayat 3 ditentukan, jika menurut penetapan Pengadilan permintaan ekstradisi dapat dikabulkan tetapi Menteri Kehakiman Republik Indonesia memerlukan tambahan keterangan, maka Menteri Kehakiman Republik Indonesia meminta keterangan dimaksud kepada negara- peminta dalam waktu yang dianggap cukup. Dan ayat 4 menetapkan bahwa Keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi diberitahukan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia kepada negara peminta melalui saluran diplomatik. Jika 2 dua negara atau lebih meminta ekstradisi seseorang, berkenaan dengan kejahatan yang sama atau yang berlainan dalam waktu yang bersamaan maka dalam menolak atau mengabulkan permintaan ekstradisi Presiden Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 mempertimbangkan demi kepentingan keadilan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Berat ringannya kejahatan ; b. Tempat dilakukannya kejahatan ; c. Waktu mengajukan permintaan ekstradisi ; d. Kewarganegaraan orang yang diminta ; e. Kemungkinan diekstradisikannya orang yang diminta oleh negara-peminta kepada negara lainnya. Ketentuan tersebut diatas dimuat dalam pasal 37. Menurut pasal 38, keputusan Presiden mengenai permintaan ekstradisi yang dimaksud dalam pasal 36 oleh Menteri Kehakiman segera diberitahukan kepada Menteri Luar Negeri, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indoneisa. Selanjutnya dalam pasal 39 ditentukan bahwa dalam hal tidak adanya perjanjian antara negara-peminta dengan negara Republik Indonesia, maka permintaan ekstradisi diajukan melalui saluran diplomatik, selanjutnya oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia disampaikan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia disertai pertimbangan-pertimbangannya ayat 1. Bersadarkan ayat 2 Menteri Kehakiman Republik Indonesia setelah menerima permintaan dari negara-peminta dan pertimbanagn dari Menteri Luar Negeri Republik Indonesia melaporkan kepada Presiden tentang permintaan ekstradisi sebagaimana dimaksud ayat 1. Selanjutnya ditentukan dalam pasal 3, setelah mendengar saran dan pertimbangan Menteri Luar Negeri dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengenai permintaan ekstradisi dimaksud dalam ayat 1, Presiden Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 dapat menyetujui atau tidak menyetujui permintaan tersebut. Kemudian ditentukan dalam ayat 4 bahwa dalam hal permintaan ekstradisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 disetujui, maka Presiden memerintahkan Menteri Kehakiman Republik Indonesia memproses lebih lanjut seperi halnya perjanjian ekstradisi antara negara-peminta dengan negara Republik Indonesia. Akhirnya ditentukan dalam ayat 5, bahwa dalam hal permintaan ekstradisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak disetujui, maka Presiden memberitahukan kepada Menteri Kehakiman, untuk diteruskan kepada Menteri Luar Negeri yang memberitahukan hal itu kepada negara-peminta. 1. Penyerahan Orang yang Dimintakan Ekstradisinya Setelah ada keputusan dapat tidaknya seseorang diekstradisikan, perlu ada ketentuan lebih lanjut tentang cara-cara penyerahan orang tersebut kepada negara- peminta. Penyerahan orang yang diminta ekstradisi tersebut diatur dalam Bab VIII dan pasal 41. Menurut pasal tersebut, jika permintaan ekstradisi disetujui, ornag yang dimintakan ekstradisi segera diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan dari negara-peminta, di tempat dan pada waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia ayat 1. Jika orang yang dimintakan ekstradisinya tidak diambil dalam 15 lima belas hari dan bagaimanapun juga dia wajib dilepaskan sesudah lampau 30 tiga puluh hari ayat 2. Permintaan ekstradisi dilampauinya waktu 30 tiga puluh hari tersebut, dapat ditolak oleh Presiden ayat 3. Dalam pasal 41 ditentukan, jika keadaan di luar kemampuan kedua negara baik negara-peminta untuk mengambil maupun negara yang diminta untuk Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 menyerahkan orang yang bersangkutan, negara dimaksud wajib memberitahukan kepada negara lainnya dan kedua negara akan memutuskan bersama tanggal yang lain untuk mengambil atau menyerahkan yang dimaksud. Dalam hal demikian berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal 40 ayat 3 yang waktunya dihitung sejak tanggal ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut. 2. Barang Bukti Mengenai barang-barang bukti dalam proses ekstradisi diatur dalam Bab IX pasal 42 dan 43. Menurut pasal 42, barang-barang yang dibutuhkan sebagai bukti yang terdapat pada orang yang dimintakan ekstradisinya dapat disita atas permintaan pejabat yang berwenang dari negara-peminta ayat 1. Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, berlaku ketentuan-ketentuan dalam Hukum Pidana Indonesia mengenai penyitaan barang-barang bukti ayat 2. Pasal 43 menentukan, dalam penetapannya mengenai permintaan ekstradisi Pengadilan Negeri menetapkan pula brang-barang yang diserahkan kepada negara-peminta dan yang dikembalikan kepada orang yang bersangkutan ayat 2. Pengadilan Negeri dapat menetapkan bahwa barang-barang tertentu hanya diserahkan kepada negara-peminta dengan syarat bahwa barang-barang tersebut segera dikembalikan sesudah selesai digunakan. 3. Permintaan Ekstradisi Oleh Pemerintah Indonesia Jika dalam Bab IV diatur tentang permintaan ekstradisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara-peminta, maka dalam Bab X dirumuskan tentang permintaan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia yaitu sebagaimana ditentukan dalam pasal 44. Berdasarkan pasal ini, apabila seseorang disangka melakukan Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 suatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu kejahatan yang diekstradisikan di dalam yurisdiksi negara Perublik Indonesia dan diduga berada di wilayah negara asing, maka atas permintaan Jaksa gung Republik Indonesia atau Kepala Kepoloisian Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden dapat meminta ekstradisi orang tersebut yang diajukannya melalui saluran diplomatik. Kemudian dalam pasal 45 ditentukan, apabila orang yang dimintakan ekstradisinya tersebut dalam pasal 44 telah diserahkan oleh negara asing, orang tersebut dibawa ke Indonesia dan diserahkan kepada instansi yang berwenang. Dalam pasal 46 ditentukan, bahwa tata cara permintaan penyerahan dan penerimaan orang yang diserahkan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Demikianlah ketentuan tentang pelaksanaan ekstradisi yang meliputi keputusan mengenai permintaan ekstradisi, barang bukti dan permintaan ekstadisi oleh Pemerintah Indonesia. Adapun kasus yang dapat dijadikan contoh mengenai praktek pelasanaan ekstradisi yakni : a. Antara Indonesia dengan Pemerintah Inggris, dalam hal permintaan penyerahan Westerling. Dimana Indonesia disini mengalami kesukaran sewaktu mengajukan permintaan ekstradisi kepada Pemerintah Inggris untuk menangkap Westerling di Singapura guna diserahkan kepada indonesia. Seperti diketahui Singapura pada waktu itu tahun 1950 masih merupakan koloni Inggris. Turco Westerling setelah melakukan serangkaian pembunuhan Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 terhadap rakyat Makasar, pada tahun 1950, kemudian melarikan diri ke Singapura. Pemerintah Singapura menolak permintaan penyerahan dengan alasan tidak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Inggris. 35 b. Demikian juga dalam kasus pembunuhan Nakhoda kapal ”KM Waikelo” 1969 yang pada waktu itu sedang berlabuh di pelabuhan Hongkong. Menteri urusan Commonwealth Inggris telah mengirimkan pesan kepada Attorney General Hongkong, yang berisikan penolakan penyerahan seorang awak kapal KM Waikelo yang disangka telah membunuh nakhoda kapal tersebut kepada pemerintah Indonesia, yang mana penolakan tersebut juga berdasarkan kepada tiadanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Inggris. c. Meunir Case, yang mana didalam kasus ini Meunir yang berkewarganegaraan Perancis menganut paham anarkhisme, telah meledakkan bom pada sebuah barak militer dan pada tempat keramaian, yang menyebabkan timbulnya banyak kerugian dan korban jiwa. Kemudian Meunir melarikan diri ke Inggris dan atas permintaan Perancis, pemerintah Inggris mengabulkan permintaan ekstradisi Perancis tersebut. Apabila kita lihat dan perhatikan pada kasus-kasus tersebut diatas maka akan terlihat pada kita bahwa yang menjadi permasalahan dalam hal penyerahan atas permintaan suatu negara kepada negara lain dalam kaitannya dengan ekstradisi adalah ada atau tidaknya perjanjian ekstradisi diantara negara-negara 35 M Budiarto, SH., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 12. Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 tersebut. Ada negara yang sekalipun permintaan penyerahan diantara mereka belum pernah ada perjanjian ekstradisi sebagai syarat mutlak bagi dikabulkannya permintaan atas penyerahan orang tersebut. Dari praktek negara-negara ini dapat kita lihat perbedaan yang sangat prinsipil. Disini dapat diambil kesimpulan bahwa hukum internasional tidak ada memberikan ketentuan yang tegas mengenai apakah negara yang menerima permintaan penyerahan atas diri si pelaku kejahatan yang bersembunyi di wilayahnya berkewajiban untuk mengabulkan ataupun menolak, dalam hal tidak terdapat perjanjian ekstradisi sebelumnya antara negara-peminta dan negara- diminta. Apabila hal ini dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang perjanjian ekstradisi, mengenai praktek pelaksanaan negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan ekstradisi tersebut dapat kita lihat dalam pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa dalam hal belum ada perjanjian ekstradisi, dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan negara Republik Indonesia mengkehendakinya. Dari bunyi pasal ini dapat diambil kesimpulan bahwa negara Republik Indonesia tidak menjadiakn perjanjian ekstradisi sebagai syarat mutlak dalam melakukan tindakan ekstradisi bagi pelaku kejahatan yang melarikan diri atau bersembunyi di wilaah negara Republik Indonesia. Dengan demikian sikap ini merupakan peringatan bagi penjahat pelarian untuk tidak menjadikan wilayah negara Republik Indonesia sebagai tempat persembunyian atau tempat pelarian. Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 Namun demikian walaupun perjanjian ekstradisi bukan merupakan syarat mutlak dalam melakukan tindakan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia terhadap seorang atau beberapa orang penjahat pelarian, bukan berarti bahwa setiap permintaan ekstradisi yang ditujukan kepada negara Republik Indonesia oleh negara-peminta akan diserahkan begitu saja oleh pemerintah kita. Dalam melakukan tindakan ekstradisi, negara Republik Indonesia akan tetap menjadikan dan mempertahankan hak-hak azasi manusia yang telah mendapat pengakuan secara umum dari negara-negara di dunia sebagai pembatas yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan ekstradisi. Dengan kata lain bahwa dalam pergaulan masyarakat internasional maupun nasional dimana didalamnya tersangkut kepentingan masyarakat internasional di satu pihak dan kepentingan individu di pihak lain, dalam hubungannya dengan pelaksanann ekstradisi. Yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah bagaimana mencari keseimbangan diantara keduanya, sehingga dengan demikian di dalam pelaksanaan ekstradisi yang perlu diperhatikan sebelum penyerahan, terlebih dahulu dipertimbangkan antara keinginan untuk turut mencegah dan memberantas kejahatan yang menggangu ketentraman dan ketertiban dengan tetap memperhatikan hak-hak azasi manusia.

C. Kedudukan Terhadap Orang yang Diekstradisi Dalam Hukum Internasional