Beberapa Asas Ekstradisi TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI

Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 Menurut pasal 34, penahanan yang diperintahkan berdasarkan pasal 25 dicabut, jika : a. Diperintahkan oleh pengadilan; b. Sudah berjalan selama tiga puluh hari kecuali jika diperpanjang oleh pengadilan atas permintaan jaksa; c. Permintaan ekstradisi ditolak oleh Presiden; Selanjutnya ditentukan dalam pasal 35 bahwa jangka waktu penahanan yang dimaksud dalam pasal 34 huruf b setiap kali dapat diperpanjang dengan tiga puluh hari ayat 1. Kemudian dalam ayat 2 ditentukan bahwa perpanjangan hanya dapat dilakukan dalam hal : a. Belum adanya penetapan pengadilan mengenai permintaan ekstradisi; b. Diperlukan keterangan dari Menteri Kehakiman seperti dimaksud dalam pasal 36 ayat 3; c. Ekstradisi diminta pula oleh negara lain dan Presiden belum memberi keputusannya; d. Permintaan ekstradisi sudah dikabulkan, tetapi belum dapat dilaksanakan. Demikianlah ketentuan mengenai pencabutan dan perpanjangan penahanan yang terdapat dalam Bab VI pasal 34 dan 35.

D. Beberapa Asas Ekstradisi

Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan ruang lingkup dari ekstradisi, perlu diperhatikan pula adanya asas penting di bidang ekstradisi seperti Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 yang dimuat dalam Bab II Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. Untuk jelasnya asas-asas umum tersebut akan diuraikan di bawah ini : i. Asas Kejahatan Rangkap Double Criminality, adalah asas bahwa perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan. Asas ini dapat dilihat dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Dengan demikian berdasarkan undang- undang No. 1 tahun 1979 maka tidak semua kejahatan pelakunya dapat diekstradisikan, tetapi terbatas pada kejahatan yang daftarnya terlampir dalam undang-undang tersebut. ii. Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai suatu kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak. Asas ini tercantum dalam pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa kejahatan yang pada hakekatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik. Kemudian dalam ayat 3 diutarakan bahwa terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradisikan sepanjang diperjanjikan antara negara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan. Perlu kiranya dijelaskan bahwa tidak diserahkannya pelaku kejahatan politik berhubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian politik. Karena pengertian kejahatan politik itu adalah terlalu luas Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 maka diadakan pembatasan seperti yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 2. kejahatan yang diatur dalam ayat 4 sebetulnya merupakan kejahatan politik yang murni tetapi karena kejahatan tersebut dianggap sangat dapat menggoyahkan masyarakat dan negara maka untuk kepentingan ekstradisi, pembunuh atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik. iii. Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri, seperti yang dimuat dalam pasal 7 ayat 1. demi kepentingan perlindungan warga negara sendiri maka dainggap lebih baik, apabila yang bersangkutan diadili di negaranya sendiri. Walaupun demikian ada kemungkinan bahwa orang tersebut akan lebih baik diadili di negara lain di negara peminta mengingat pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan negara, hukum dan keadilan, seperti yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 2. adapun pelaksanaan penyerahan tersebut didasarkan pada asas timbal balik resiprositas. Banyak negara di dunia yang menganut bahwa warga-negara sendiri tidak diserahkan, misalnya Perancis, Jerman, Yugoslavia, Belanda, Malaysia, Philippina dan Thailand. iv. Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yuridiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi pasal 8. v. Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara-negara yang diminta sedang mengadakan Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya pasal 9. Adapun yang dimaksud dengan pemeriksaan meliputi pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. vi. Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak. Asas ini dimuat dalam pasal 10. ketentuan itu dimaksudkan untuk menjamin bahwa seseorang tidak akan diadili untuk kedua kalinya untuk kejahatan yang sama ne bis in idem. vii. Asas daluwarsa atau lewat waktu description, lapse of time bahwa seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa. Asas ini dicantumkan pada pasal 12. makna dari daluwarsa ini adalah adanya suatu kepastian hukum bagi semua pihak. Perjanjian dan perundang-undangan nasional negara- negara mengenai ekstradisi hampir selalu mencantumkannya di dalam salah satu pasal ataupun ayatnya. Misalnya dapat ditujukan pada pasal VII 2 Perjanjian ekstradisi Indonesia-Philippina 1976. Tetapi ada juga perjanjian ekstradisi yang tidak dicantumkan daluwarsa ini, misalnya Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia dan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Thailand 1978. viii. Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum yang bersangkutan Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009 diekstradisikan selain daripada untuk kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya. Asas ini dikenal dengan ”Principle of Speciality” atau asas kekhususan pasal 15. Demikianlah delapan buah asas umum yang dikenal dibidang ekstradisi yang dimuat dalam Bab II pasal 4 ayat 1, 5, 7, 8, 9 , 10, 12 dan pasal 15. Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007. USU Repository © 2009

BAB III PERJANJIAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN