Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
BAB III PERJANJIAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN
ESKTRADISI
A. Perjanjian Internasional Tentang Ekstradisi
Ketidak seragaman praktek negara-negara dalam hal kesediaan untuk menyerahkan orang yang diminta seperti diuraikan diatas, menimbulkan
ketidakpastian bagi negara-negara yang berkepentingan maupun bagi orang yang diminta itu sendiri. Sebab pada suatu saat yang bersamaan atau berbeda, suatu
negara pada satu pihak mungkin akan berhadapan dengan negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta pada pihak lain akan berhadapan dengan negara
yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta, apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Untuk mencegah
ketidakpastian itu demi terwujudnya kepastian bagi semua pihak dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi. Sebagaimana perjanjian pada
umumnya, ada yang bilateral dan multilateral. Perjanjian ekstradisi bilateral biasanya diadakan antara negara-negara dimana frekuensi orang atau pelaku
kejahatan yang melarikan diri kedalam wilayah masing-masing pihak cukup banyak jumlahnya, atau negara-negara yang secara geografis berdekatan letaknya.
Beberapa contoh perjanjian ekstrasidi bilateral adalah : 1.
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia, tahun 1974. Republik Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkannya dengan Undang-undang
No. 9 tahun 1974 LNRI No. 631974 No. 3044.
Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
2. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Philippina, tahun 1976. Diratifikasi
dan diundangkan oleh RI dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1976 LNRI No. 381976, TLNRI No. 3087.
3. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Thailand, tahun 1978. diratifikasi
dan oleh Indonesia diundangkan dengan Undang-Undang No. 121978, TLNRI No. 3117.
4. Perjanjian Ekstradisi antara Polandia dan Chekoslowakia, tahun 1961.
5. Perjanjian Ekstradisi antara Austria dan Israel, 1961.
6. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia, tahun 1994.
Perjanjian ekstradisi bilateral hanya menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan saja, sedangkan dengan negara-negara lain dimana
belum diadakan perjanjian itu masih tetap belum terjamin kepastian. Membuat perjanjian ekstradisi secara bilateral sebenarnya kurang efisien,
sebab setiap akan membuat perjanjian itu wakil-wakil para pihak harus terlebih dahulu mengadakan perundingan-perundingan yang memakan waktu dan tenaga
yang cukup lama. Sedangkan masalah ekstradisi ini kadang-kadang melibatkan kepentingan lebih dari dua negara. Terdorong oleh pertimbangan efisiensi bagi
beberapa negara terutama negara-negara yang mempunyai persamaan sejarah dan ideologi seperti negara-negara ASEAN misalnya, kemungkinan akan lebih baik
jika perjanjian ekstradisi tersebut diadakan secara multilateral. Beberapa contoh perjanjian multilateral yang telah ada, misalnya :
1. Perjanjian Ekstradisi Liga Arab The Arab League Extradition Agreement, 14 September 1952.
Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
2. Konvensi Ekstradisi negara-negara Eropa The European Extradition Convention , 13 Desember 1957.
3. Konvensi antara negara-negara Benelux, antara Belgia, Nethetland dan Luxemburg The Benelux Extradition Convention , 27 Juni 1962.
Negara-negara yang sudah terikat dalam perjanjian ekstradisi multilateral tetap dapat melakukan perjanjian ekstradisi dengan sesama negara yang juga
terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut, ataupun sebaliknya. Misalnya Malaysia, Thailand, Philipina yang telah memiliki perjanjian ekstradisi bilateral
dengan Indonesia, masih dapat terikat dan tunduk pada perjanjian ekstradisi multilateral negara-negara ASEAN. Dengan perkataan lain, pejanjian ekstradisi
bilateral masih tetap berlaku dan mengikat secara berdampingan dengan perjanjian ekstradisi multilateral, atau bersifat saling melengkapi. Jika terjadi
pertentangan, maka perjanjian ekstradisi bilateral itulah yang harus diutamakan. Sebab perjanjian ekstradisi bilateral tersebut dapat dipandang sebagai lex specialis
dan perjanjian ekstradisi yang multilateral sebagai lex generalis. Hingga kini perjanjian ekstradisi multilateral antara negara-negara anggota
ASEAN belum ada, yang telah ada adalah perjanjian-perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Malaysia 1974, Philipina 1976, Thailand 1978.
Baik dalam perjanjian ekstradisi bilateral maupun multilateral, ketentuan- ketentuan yang tercantum di dalamnya dapat dibedakan ke dalam dua golongan
besar :
Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional, 2007.
USU Repository © 2009
pertama, Ketentuan-ketentuan dari perjanjian ekstradisi yang merupakan peraturan yang berdiri sendiri selfstandige, artinya pokok masalahnya secara
jelas dan tegas diatur dalam perjanjian itu sendiri. Kedua, sebagian lainnya dan mungkin merupakan bagian yang paling besar,
terdiri atas ketentuan-ketentuan yang bersifat menunjuk. Artinya, pengaturan dan penentuan selanjutnya mengenai hal yang disebutkan dalam perjanjian ekstradisi
tersebut, diserahkan pada hukum nasional masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut.
B. Perundang-undangan Nasional Tentang Ekstradisi