Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
bersalah. Dipertegas juga dengan Freedom of Expression bebas mengeluarkan pendapat, The Right of Property perlindungan terhadap hak milik, Right of Live
hak Hidup dan hak-hak dasar lainnya, Jadi dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya penegak HAM,
demokrasi maupun negara hukumyang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya. Perlu juga diketahui, The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang
dicanangkan pada tanggal 6 januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p. 654 tersebut di bawah ini: “The first is freedom of speech and expression everywhere
in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world
terms, mean economic ubderstanding which secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitans-every where in thw world. The fourth is freedom from
fear-which, translated into world terms, mean a worldwide reduction of armement to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to
commit an act of physical agression againts any neighbor-anywhere in the world”.
16
B. Teori-Teori Hak asasi Manusia
Semua hak-hak ini, setelah perang Dunia II dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan
The Universal Declaration of Human rights yang dirumuskan, dan dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948.
Hak asasi manusia pada mulanya adalah produk mazhab hukum kodrati. Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Deklarasi Hak-Hak Asasi manusia dan
Warganegara Perancis, keduanya bermula dari teori hak-hak kodrati.
16
Douglas Lurton, Roosevelt’s Foreign Policy 1933-1941, Franklin D. Roosevelt’s Unedited
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Ajaran hukum kodrati dapat dirunut kembali ke zaman kuno, dapat dikatakan bahwa mazhab modern hukum kodrati muncul dalam abad pertengahan bersamaan
dengan tulisan para filsuf pertama Kristiani, diantaranya yang terkemuka adalah Santo Thomas Aquinas. Pandangan Thomistik mengenai hukum kodrati mempostulatkan
bahwa hukum kodrati ini merupakan bagian dari hukum Tuhan yang sempurna yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar manusia. Sebagian isi filsafat hukum
kodrati yang terdahulu adalag ide bahwa posisi masing-masing orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun statusnta tunduk pada
otoritas Tuhan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bukan hanya kekuasaan raja yang dibatasi oleh aturan-aturan ilahiah, tetapi juga bahwa semua manusia
dianugrahi identitas individual yang unik, yang terpisah dari negara. Aspek hukum kodrati terakhir ini dapat dipandang sebagai mengandung benih ide hak kodrati yang
menyatakan bahwa stiap orang adalah individu yang otonom. Landasan hukum kodrati yang terdahulu sepenuhnya teostik, artinya supaya
korehen hukum ini mensyaratkan adanya iman pada Tuhan, tetapi tahapan selanjutnya dalam perkembangan hukum kodrati adalah memutuskan asal usulnya yang teistik
dan membuatnya menjadi suatu produk pemikiran sekuler yang rasional dan bijak. Tugas ini dilaksanakan oleh Hugo de Groot, seorang ahli hukum Belanda, yang
umumnya dikenal dengan nama latin Grotius, dan diakui sebagai “bapak hukum internasional”. Dalam risalahnya, De Jure Belli on Facis, grotius beargumentasi
bahwa wksestensi hukum kodrati, yang merupakan landasan semua hukum positif atau hukum tertulis, dapat dirasionalkan si atas landasan yang non empiris dengan
menelaah aksioma ilmu ukur. Pendekatan sistematis semacam itu terhadap permasalahn hukum menunjukkan bahwa semua ketentuan dapat diketahui dengan
menggunakan “nalar yang benar” dan kesahihannya tidak bergantung pada Tuhan.
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
Pendekatan rasional sekuler terhadap hukum ini menarik bagi kaum terpelajar pasca- Renaisans, dan dengan menggunakan “nalar yang benar” model Grotius ini dapat kita
pahami perkembangan teori hak kodrati atau hak individu.
17
Locke menggunakan teori kontak sosialnya utnukmenjelaskan dan membela Revolusi Gemilang Inggris tahun 1688. Dengan melanggar hak-hak kodrati
kawulanya, raja James II telah kehilangan haknya untuk memerintah dan telah menghabsahkan perubahan pemerintahan yang terjadi sebagai akibatnya. Dari sudut
pandang hak kodrati model Locke, dua hal tampak jelas. Pertama, individu adalah makhluk otonom yang mampu melakukan pilihan dan, kedua, keabsahan pemerintah
tidak hanya bergantung pada kehendak rakyat, tetapi juga pada kemauan dan kemampuan pemerintah untuk melindungi hak-hak kondrati individu itu. Sementara
Sepanjang abad ke-17, pandangan hukum kodrati model Grotius terus disempurnakan dan pada akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati. Melalui teori
ini, hak-hak individu yang subjektif diakui. Yang terkemuka diantara para pendukung doktrin hak kodrati adalah John Locke. Locke beragumen bahwa semua individu
dikaruniai oleh alam, hak yang inheren atas kehidupan, kebebasan dan harta, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh
negara. Tetapi Locke juga mempostulatkan bahwa untuk menghindari ketidakpastian hidup dalam alam mini, umat manusia telah mengambil bagian dalam suatu kontral
sosial atau ikatan sukarela, yang dengan itu penggunaan hak mereka yang tidak dapat dicabut itu diserahkan kepada penguasa negara.Apabila penguasa negara memutuskan
kontral sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, para kawula negara itu bebas untuk menyingkirkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu
pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak itu.
17
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Pustaka Utama grafiti, Jakarta, 1994, hal. 66.
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
jelas bahwa teori hak kodrati Locke merupakan suatu bagunan ide buatan yanhg dirancang untuk menjelaskan hakikat manusia dalam masyarakat politis, namun teori
iru sangat berpengaruh terhadap pemikiran politik pada abad ke-17 dan ke-18. Baik bahasa revolusi Amerika maupun revolusi Perancis, dan tulisan-tulisan filsuf Perancis
Jean-Jacques Rousseau serat filsuf modern jerman Immanuel Kant, memperlihatkan silsilah filosofis dari hukum kodrati dan hak kodrati.
18
Kant mengembangkan gagasannya dari suatu apresiasi yang lebih umum terhadap tradisi hukum kodrati dan hak kodrati yang non-empiris. Dasar teori Kant
adalh printah kategoris, ayitu kebijakan moral yang mutlak yang dapat diidentifikasikan dalam pelaksanaan kehendak baik oleh semua individu yang
rasional. Menurut teori Kant, perintah kategoris ini bekerja pada tiga tingkatan. Pertama, perintah kategoris ini merinci tindakan-tindakan universal yang merupakan
kewajiban semua individu. Kedua, perintah kategoris meyediakan kaidah-kaidah yang Walaupun mengikuti arah utama teori kontrak sosial Locke, Rousseau,
menyatakan bahwa hukum kodrati tidak menciptakan hak-hak kodrati individu, melainkan menganugerahi kedaulatan yang tidak bisa dicabut pada para warganegara
sebagai satu kesatuan. Jadi, setiap hak yang diturunkan dari hukum kodrati akan ada pada rakyat sebagai kolektivitas dan dapat diidentifikasi dengan mengacu pada
“kehendak umum”. Jelas bahwa kehendak umum bukanlah suatu kualitas mutlak dan dapat berubah sendiri atau diubah bentuknya oleh seorang pemimpin yang persuasive.
Oleh karena itu, meskipun teori Rosseau diturunkan dari ajaran hukum kodrati, teori ini jelas dapat digunakan untuk membenarkan demagogi dan totaliterisme. Tentu saja,
orang dapat merargumentasu bahwa Teori Revolusi Prancis mungkin bisa ditelusuri pada penyimpangan terhadap tesis “kehendak umum” itu.
18
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal. 40.
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
sistematis untuk menetapkan kewajiban-kewajiban ini. Ketiga, perintah kategoris ini merinci hubungan antara kebebasan dan kewajiban. Tetapi, yang mendasari perintah
kategoris itu adalah ide bahwa individu berkewajiban mengembangkan kapasitas rasional mereka dan menggunakannya untuk membantu perkembangan kebahagiaan
yang lain. Perintah kategoris ini mempunyai suatu padanan berupa suatu sistem hak meskipun pada dasarnya perintah ini berlandaskan pada kewajiban. Tetapi, berbeda
dari tradisi hukum kodrati yang lama, hak-hak semacam itu tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan mengalir sari konsekuensi-konsekuensi sistem modal Kant yang
berlandaskan pada kewajiban. Kant mempostulatkan bahwa dalam masyarakat rasional yang menentukan nasib mereka sendiri, kebebasan atau hak akan muncul
sebagai konsekuensi dari penerapan perintah kategoris itu. Oleh karenanya, hak semacam itu dapat dideskripsikan sebagai akibat dan non relasi, artinya eksestendi
atau nilai hak-hak ini tidak saling bergantung satu sama lain. Karena sifat non relasi inilaj, teori Kant tentang hak sangat sukar diterapkan pada situasi konkret.
Sejak abad ke-19 teori halk kodrati pada umumnya tidak lagi dihormati orang, meskipun ada kebangkitan kembali setelah Perang Dunia II. Kritikus utama terhadap
teori kodrati adalah bahwa teori ini tidak bisa diperiksa kebenarannya secara ilmiah. Bagaiman mungkin mengetahui darimana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu
dan apa isinya? Para kritikus menunjuk pada struktus nilai atau moral yang a priori dan pengandaian-pengandaian yang diturunkan dari prefensi pribadi berbagai
teoritikus itu dan menyatakan bahwa hak-hak kodrati tidak mungkin ada secara objektif. Seperti dikatakan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian Inggris,
“bagi saya, hak merupakan anak hukum, dari hukum riil lahir hak riil, tetapi dari
Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008.
USU Repository © 2009
hukum imajiner, dari hukum kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.
19
C. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional