Prinsip-Prinsip Hukum Kejahatan Kemanusiaan

Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 pihak dan ditujukan pada setiap penduduk.....mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu 6

B. Prinsip-Prinsip Hukum Kejahatan Kemanusiaan

. Defenisi di dalam Pasal 7 ayat 1 menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil. Namun sejarah entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam skala seperti yang dipimpin oleh Osama bin Laden yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania serta gedung WTC tahun 2001. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan crimes againts humanity. Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yuridiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya tidak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tidak dapat menyelidiki 6 Goeffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982, hal. 412-413. Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 kelompok-kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Atau, suatu organissasi kriminal dengan agenda politik seperti kartel obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan- ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara memilih melakukan yuridiksi atas warga yang ditahan. Walaupun pengalaman Columbia dimasa lalu ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tidak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobat dan pemimpin kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke Pengadilan Internasional 7 Termasuk diantara aksi-aksi dibawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan orang secara paksa’, didefenisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang oleh atau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan hukum dalam waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi secara rahasia ditujuka n untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumlah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’ beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Defenisi tersebut akan memberatkan mereka yang termasuk kedalam pasukan tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemrintah yang menutup-nutupi aktivitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, defenisinya lebih hati-hati dibandingakan dengan yang tercantum dalam . 7 Ibid Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan tindakan kejahatan yang tidak berperikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rezim melalui penindasan rasional secara sistematis. Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berperikemanusiaan. Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan adalah untuk melanggar hukum internasional. Kejahatan ‘penindasan’ di defenisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa di dakwakan bagi para pemimpin yang melakukan ‘kebersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genocide. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan oleh ‘pasukan kematian di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan ‘subversif’ dipusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yuridiksi pengadilan seperti genocide atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu tidak akan maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan. Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 Bagaimanapun kejahatan penindasan yang defenisinya membingungkan karena tumpang tindih antara Pasal 7 1h dan Pasal 7 2g akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah profesional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rezim klien-kliennya. Pengadilan Den Haag untuk bekas Yugoslavia adalah pengadilan pertama yang mengakui permerkosaan sebagai kejahatan yang berkaitan dengan masalah politik. Statuta Roma memasukkan kemajuan dari defenisi ini dalam Pasal 7 yang mencantumkan pemerkosaan, bersama dengan perbudakan seksual, kehamilan yang dipaksakan, pemaksaan pelacuran, dan sterilisasi, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan secara sistematis. Ide memperkosa perempuan- perempuan muslim dengan tujuan agar mereka melahirkan ‘bayi-bayi Chetnik’ bukan kebijakan negara Sebia, tapi merupakan pikiran jahat yang meracuni para prajurit dan perwira tinggi dalam beberapa batalion Serbia. Dan oleh karenanya masih dapat dianggap sebagai ‘kebijakan organisasi’ yang termasuk dalam Pasal 7. Masuknya ‘perbudakan seksual’ dan ‘pemaksaan terhadap pelacuran’ merupakan pengakuan yang terlambat. Bahwasannya perbudakan tentara Jepang atas ‘wanita-wanita penghibur’ dari Korea dan Taiwan untuk melayani mereka selama Perang Dunia II sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, pada tahun 1946, masalah itu tidak terpikirkan oleh Sekutu sebagai kejahatan yang seharusnya dapat di hukum. Jepang sendiri tidakmerasa perlu untuk meminta maaf sampai tahun 1996. Kehamilan secara paksa berarti pemerkosaan yang kemudian diikuti oleh ‘persalinan tidak sah’ untuk ‘mengubah komposisi suatu etnis’. Vatikan sendiri khawatir dengan menjadikan secara paksa sebagai subjek kejahatan terhadap Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 kemanusiaan nantinya akan menjustifikasi pemusnahannya melalui aborsi.Vatikan bersikeras bahwa ‘defenisi ini dengan cara apapun tidak dapat mengubah hukum nasional tentang kehamilan’. Daerah kantong yang religius, yang dinilai secara salah oleh komunitas internasional sebagai suatu negara tersebut, bertanggung jawab dalam masukan Pasal 7 3, yang dinilai Pasal yang paling konyol dari seluruh perjanjian internasional. ‘Penindasan’ telah di defenisikan dalam Pasal 7 1h meliputi penindasan berdasarkan gender. Vatikan, serta negara-negara Khatolik dan Islam lainnya, bersikeras untuk menambahkan Pasal 7 3 menjadi: “dalam statuta ini, dipahami bahwa terminologi ‘gender’ mengacu pada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat. Terminologi gender tidak menunjukkan arti selain yang telah disebutkan diatas”. Dengan rumusan di atas juga dapat memberikan arti bahwa anda dapat melakukan apa saja yang anda sukai terhadap orang-orang transeksual. Penindasan adalah suatu kejahatn apabila ditujukan kepada laki-laki sebagai laki-laki, atau perempuan karena mereka perempuan, tetapi para homoseksual dan lesbian masih dapat merasakan penderitaan dan penyiksaan itu. Rumusan ‘pencabutan hak-hak mendasar dengan sengaja dan keji’ jika dilakuakn dalam ‘konteks masyarakat’ disepakati oleh pemerintah terhadap budaya gay-basing. Pasal 7 3 adalah suatu peringatan yang tidak disukai tapi nyata bahwa mayoritas negara tahun 1998 masih memilih menarik mundur hak asasi manusia. Berdasarkan orientasi seksual. Walaupun demikian Pasal 7 harus dihargai sebagai Pasal yang bernilai tinggi dalam Statuta Roma. Pasal ini merealisasikan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan yang wajib dipatuhi oleh negara-negara di dunia dan membedakannya dari kejahatan lain dengan mengaitkan pada kebijakan negara atau organisasi politik. Kejahatan ini tidak didefenisikan atas dasar gawatnya kejahatan itu: seseorang pembunuh berantai Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 dapat menimbulkan kerusakan yang luas daripada penyiksaan rutin yang dilakukan oleh polisi. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan baik dalam kelicikannya dan dalam kebutuhan akan peraturan-peraturan khusus tentang penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa kejahatan itu merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah atau setidaknya oleh organisasi yang melaksanakan atau memaksakan kekuasaan politiknya. Yang menjadikan kejahatan itu sangat mengerikan dan menempatkan kejahatan ini dalam dimensi yang berbeda dari kejahatan biasa adalah bukan apa yang ada di pikiran si pelaku penyiksaan, tetapi kenyataan bahwa indivu tersebut merupakan ‘bagian dari aparat negara’. Itulah sebabnya mengapa diperlukan tanggung jawab individu dan yuridiksi universal jika ingin ada pembendangan terhadap kejahatan tersebut. Seperti halnya para bajak laut dan pedagang budak pada abad ke-18 tidak tersentuh oleh huku m, mengingat mereka berada di laut lepas sehingga bukan merupakan subjek yuridiksi negara manapun, begitu juga halnya para politisi dan jenderal di abad ke-20 yang kebal hukum selama mereka menjalankan kedaulatan negara.Kini, yuridiksi universal akan mengkaitkan mereka dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, Pasal 27 menghilangkan seluruh kekebalan bagi para kepala negara serta anggota pemerintahan dan parlemen. Ini akan diberlakukan pada negara-negara yang merupakan negara pihak dalam Perjanjian ICC dan hal ini juga akan membawa pengaruh dalam hukum internasional. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, di samping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemnausiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa norma-norma di Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum pidana internasional. Beberapa prinsip yang diakui dalam kejahatan kemanusiaan, adalah: 8 1. Prinsip non retroaktif dalam kejahatan terhadap kemanusiaan Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini: a. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif. b. Pasal 15 2 kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik memmungkinkan pengecualian asas non retrosktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum. 2. Pertanggungjawaban komando Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando command responsibility. Secara konseptual seorang komando dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas pernuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dubawah pengendaliannya untuk melakukan salah satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemanusiaan by commission maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap pasukan dibawah pengendaliannya by ommission. Pertanggungjawaban karena pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan penyelidikan. Sebagai contoh dari pertanggungjawaban pidana karena pembiaran 8 http:www.sekitarkita.com Imam Munawir Siregar : Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Persfektif Hak Asasi Manusia Dan Konvensi Jenewa 1949, 2008. USU Repository © 2009 adalah Jenderal Yamashita, Perdana Menteri Tojo, Menteri Luar Negeri Hirota pada pengadilan Tokyo, Perdana Menteri Kambada dari Rwanda dan Presiden Slobodan Milosevic di Den Haag. Konsep demikian sudah diterima cukup lama dalam hukum internasional, terakhir terkodifikasi dalam Statuta Roma. 3. Prinsip Praduga tak Bersalah Berdasarkan Pasal 61 Statuta Roma, prinsip ini menempatkan adanya beban pada jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pasal 97 i menyarankan bahwa bukti-bukti dan bantahan tidak dibebankan kepada terdakwa. Masalah beban dan standar bukti dapat menjadi sangat penting dalam pengadilan yangmenggunakan sistem juri, walaupun mereka mencoba untuk bersikap akademis dalam membuat putusan-putusan pengadilan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pada praktiknya, pada saat tuntutan telah membuktikan tanpa keraguan adanya keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, tugas yang berat dalam membuat kondisi pembuktian tidak bersalah seperti adanya paksaan atau keadaan yang tidak sadar atau kesalahan akan berpindah kepada terdakwa.

C. Pengertian Tawanan Perang Menurut Hukum Humaniter