1. Salah  satu  pihak  berbuat  zina  atau  menjadi  pemabuk,  penjudi  dan  lain sebagainya yang sukar disembuhkan,
2. Salah satu pihak suami ataupun istri meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya, 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinann berlangsung, 4. Salah  satu  pihak  melakukan  kekejaman  atau  penganiyayaan  berat  yang
membahayakan pihak yang lain, 5. Salah  satu  pihak mendapat  cacat  badan  atau  penyakit  dengan  akibat  tidak
dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang suami atau istri, 6. Antara  suami  dan  istri  terus-menerus  terjadi  perselisihan  dan  persengketaan
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dari  alasan-alasan  yang  ditentukan  pasal  19  ini  dipahami  bahwa  ikatan  nikah  yang
idealnya  kekal  abadi  diberi  peluang  terputusnya  dengan  perceraian  adalah  dengan talak dari suami.
10
b. Sebab Yang Merupakan Hak Istri
Istri  diberi  hak  untuk  melakukan  sutu  perbuatan  hukum  yang  akan  menjadi sebab  putusnya  ikatan  perkawinan.  Perbuatan  hukum  tersebut  namanya  adalah
khul’un,  yang  dapat  dicontohkan  sebagai  berikut:  pihak  istri  meminta  agar  pihak suami bersedia memutus ikatan perkawinan dan suami bersedia menceraikan si istri,
10
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Pernikahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 120
dan pihak istri menyediakan sejumlah pembayaran yang besarnya disetujui oleh pihak suami  yang  lazim  paling  besar  yaitu  tidak  melebihi  mahar.  Unsur  pokok  yang
menentukan  bentuk  perbuatan  hukum  ini  adalah  adanya  kesediaan  pihak  istri membayar sejumlah harta kepada pihak suami bayaran ini disebut iwadh.
Putusnya  ikatan  perkawinan  dalam  Undang-Undang  Dasar  no.1  Tahun  1974 dalam  Peraturan  Pemerintah  No.9  Tahun  1975  disebut  dengan  kata  perceraian,
sehingga sama dengan penggunaan hak talak oleh suami atau penggunaan hak khulu’ oleh  istri  dan  hanya  diperkenankan  apabila  mempunyai  alasan  seperti  yang  telah
disebutkan di atas dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tersebut.
11
c. Sebab Atas Keputusan Pengadilan
Sesuai  dengan  kedudukannya,  kekuasaan  atau  hak  pengadilan  berada  di  luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga  dalam hal pemutusan hubungan ikatan
perkawinan  ini  pengadilan  tidak  bisa  melakukan  insiatif.  Keterlibatannya  ini  terjadi apabila  salah  satu  pihak  baik  pihak  suami  ataupun  pihak istri,  mengajukan  gugatan
atau  permohonan  cerai  kepada  pengadilan.  Pasal  23  Undang-Undang  Perkawinan menentukan bahwa mereka yaitu suami istri yang berhak mengajukan ke pangadilan
untuk  membatalkan  perkawinan,  selain  suami  ataupun  istri  yang  mengajukan permohonan untuk membatalkan perkawinan yaitu keluarga begaris keturunan suami
ataupun suami, dan pejabat yang berwenang. Beberapa  bentuk  perceraian  yang  terdapat  dalam  literatur  fiqh  di  antaranya
adalah:
11
Ibid, h. 122
1. Terabaikannya pemberian nafkah suami kepada istri, 2. Istri ditinggal pergi,
3. Salah satu pihak dihukum penjara, 4. Pemukulan jasmaniah atau pemaksaan untuk berbuat dosa dan sebagainya.
12
B. BENTUK PERCERAIAN