1. Terabaikannya pemberian nafkah suami kepada istri, 2. Istri ditinggal pergi,
3. Salah satu pihak dihukum penjara, 4. Pemukulan jasmaniah atau pemaksaan untuk berbuat dosa dan sebagainya.
12
B. BENTUK PERCERAIAN
Di  dalam  perceraian  terdapat  beberapa  bentuk dan  alasan-alasan  yang menyebabkan terjadinya perceraian di antaranya adalah:
1. Talak
Di  dalam  Al-qur’an  terdapat  kata  faraqa  yang  disebutkan  sebagai kata  yang semakna dengan talak di antaranya dalam surat al-Ahzab ayat 49 yaitu:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
”Hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  kamu  menikahi  perempuan- perempuan yang  beriman,  Kemudian  kamu  ceraikan  mereka  sebelum kamu  mencampurinya
Maka  sekali-sekali  tidak  wajib  atas  mereka  iddah  bagimu  yang  kamu  minta menyempurnakannya.  Maka  berilah  mereka  mutah  dan  lepaskanlah  mereka  itu
dengan cara yang sebaik- baiknya”.Qs. Al-Ahzab:49.
Kandungan  ayat  ini  mempunyai  kandungan  kepada  laki-laki  untuk  melepas dan  membiarkan  istrinya  dalam  keadaan  dijatuhi talak.  Jadi  di  dalam  ayat  di  atas
12
Ibid, h. 124
mengatur  tentang  melepas  ikatan  perkawinan  dan  menentukan  caranya  dengan sebaik-baiknya.
Talak yang  di  sunnahkan  yaitu  jika  istri  berahlak  rusak,  sedangkan  suami tidak  ada  kemampuan  memperbaiki  sama  sekali  seperti  rusak  karena  berzina,  tidak
mau  shalat,  atau  melanggar  larangan-larangan  agama  lainnya. Talak sebagai perbuatan hukum  membutuhkan beberapa ketentuan, di antaranya ialah:
a. Menggunakan  ungkapan  tertentu,  misalnya  ia  harus  menggunakan  kata  baik memakai talak dan  terjemahannya  tegas  ataupun  memakai  kata  yang  memakai
kata sindiran, dan ungkapan itu dikemukakan ketika ada ikatan perkawinan yang sah.
b. Subyek hukum pelaku dalam kondisi tertentu, misalnya ia suami harus berakal, dewasa dan dalam kondisi bisa berkemauan sendiri. Dikatakan berakal bilamana
ia  suami  tidak  gila,  tidak  sakit  yang  mengganggu  ingatan  misalnya  sakit  saraf, dan  lain-lain,  dan  dikatakan  dewasa  artinya  bukan  kanak-kanak yang  menurut
Hanafiyah  batasannya  mulai  mumayyiz,  yaitu  sekitar  umur  10  tahun.  Demikian pula pelaku talaqa harus dalam kondisi berkemauan sendiri, terbebas dari tekanan
atau paksaan. c. Memperhatikan  kodisi  yang  dijatuhi  talak,  yaitu  sebelum  menjatuhkan  talak,
suami harus memperhatikan apakah si istri dalam keadaan suci atau sedang haid.
Karena  Abullah  bin  ’Umar  berpendapat  yang  menjatuhkan talak dalam  keadaan istri sedang haid diperintahkan untuk merujuk.
13
Disini akan dijelaskan alasan-alasan terjadi talak yaitu sebagai berikut: 1. Talak  karena  alasan  nafkah,  jika  istri  menuntut  ke  pengadilan  dengan  alasan
suami tidak memberi nafkah kepada istri maka diperbolehkan, alasan boleh ini terdapat dalam firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 1 yaitu: ”Bii Ma’ruf”
Sudah tidak diragukan lagi bahwa tidak memberi nafkah berarti bertentangan dengan perintah Allah ”peliharalah dengan baik”.
14
2. Talak  karena  membahayakan  istri, istri  berhak  menuntut  ke  pengadilan  agar menjatuhkan  talak  karena  ia  istri  beranggapan  suaminya  telah  membuat
membahayakan  dirinya,  sehingga  ia  istri tidak  sanggup  lagi  untuk melangsungkan  pergaulan  suami  istri  seperti:  karena  suami  suka  memukul
atau menyakiti dengan cara apa pun yang tidak dapat ia istri tanggung lagi.
15
3. Talak  karena  kepergian  suami,  dapat  dijatuhkan  talak  karena  suami
meninggalkan  pergi  istri.  Hal  ini  guna  melepaskan  istri  daripada  kesusahan yang  dideritanya,  karena  si  istri  khawatir  dirinya  akan  terjerumus  ke  dalam
perbuatan yang di haramkan Allah maka ia istri berhak untuk menuntut talak kepada suaminya.
16
13
Achmad  Kuzari, Nikah  Sebagai  Pernikahan,  Jakarta:  Raja  Grafindo  Persada,  1995, h. 133
14
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, Bandung: Al-ma’rif bandung, 1980, h. 87
15
Ibid, 91
16
Ibid, 96
2. Khulu’
Pelepasan
Di  dalam  Al-Qur’an  ikatan  perkawinan  digambarkan  sebagai  pakaian.  Oleh karena itu pemutusan perkawinan antara suami dan istri ada  yang dinamakan khulu’
pelepasan, seolah-olah melepaskan pakaian. Secara khusus bila perceraian dilakukan oleh suami disebut talak, namun bila perceraian dilakukan oleh istri disebut khulu’.
Tidak berbeda dengan talak, khulu’ hukumnya pun bisa berubah menjadi jaiz, sunnah,  wajib,  atau  haram mngikuti hubungan  suami  istri  itu  sendiri.  Adapun
mengenai hukum bagi suami untuk menerima iwadh baik yang ditawarkan oleh istri atau karena permintaan suami sendiri disebut jaiz. Ketentuan ini tampak adil kembali
kepada  dibangunnya  akad  yang  diikuti  dengan  suami  membayar  maskawin,  suami membayar nafkah, kemudian tiba-tiba ada semacam pengingkaran pihak istri. Iwadh
ini  merupakan  ciri  khas khulu’.  Artinya  bila  suami  tidak    mengaitkan  pemutusan ikatan  perkawinan  yaitu cerai  dengan  adanya iwadh sama  sekali  tidak  cerai  itu
termasuk talak.  Mengenai  jumlah  harga iwadh memakai  ukuran  harga  maskawin yang dibayarkan saat akad nikahnya. Hal ini diartikan tidak boleh kurang dari jumlah
harga  maskawin  tanpa  disetujui  pihak  suami,  dan  tidak  boleh  tanpa  istri menyetujuinya.
Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: ”Perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi  jumlah talaq dan  tidak  dapat  dirujuk.”  pasal  ini  menentukan  bahwa
akibat  hukum khulu’ adalah  sama  dengan talaq  ba’in  sugra yang  artinya  untuk kembali membangun rumah tangga harus melalui akad nikah yang baru.
17
Allah  Yang  Maha  Bijaksana  menghalalkan  perceraian  tapi  membencinya, kecuali  untuk  kepentingan  suami  istri  atau  untuk  kepentingan  keturunannya.  Dalam
masalah ini ada dua hal yang merupakan sebab terjadinya perceraian yaitu: 1. Kemandulan.  Kalau  seorang  laki-laki  mandul  maka  ia  suami  tidak  akan
mempunyai anak padahal anak merupakan keutamaan dalam perkawinan. Dengan anak  keturunan  dunia  menjadi  makmur.  Begitu  pula  dengan  perempuan  apabila
mandul,  maka  keberadaannya  bersama  suami  akan  mengeruhkan  kejernihan hidup. Maka percerairan mempunyai faedah bagi suami bila istri mandul. Sebab
di  antara  tujuan  yang  mendorong  untuk  mendorong  untuk  kawin  adalah terwujudnya keturunan.
Kita  melihat,  banyak  di  antara  orang  yang  mandul  meskipun  dulunya  pernah dengan cinta kasih dan penuh dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan
memperkuat  hubungan  mereka  berdua  namun  kenikmatan  berupa  anak  tidak pernah  mereka  rasakan.  Padahal  kesempurnaan  kebahagiaan  dunia  di  antaranya
adalah keturunan, bahkan keturunan merupakan yang terpenting bagi suami istri. Sebagaimana firman Allah SWT menjelaskan:
 
 
 
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” Qs. Al-kahfi: 46
17
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Pernikahan, h. 140
2. Terjadi  perbedaan  dan  pertentangan  kemarahan, dan  segala  yang  mengingkari cinta  di  antara  suami  istri.  Kalau  cinta  sudah  hilang  akan  berubahlah  pilar-pilar
perkawinan. Mereka jatuh ke lembah kehidupan yang susah dan pemikiran yang bimbang  karena  pada  dasarnya  persatuan  dan  kekompakan  dalam  segala  hal
merupakan  kunci  kesuksesan  dan  kebahagiaan  serta  sumber  segala  kesengan. Lain  halnya  kalau  ada  tabiat  yang  berbeda  dan  hati  yang  tidak  bersatu,  maka
perceraian akan menghilangkan kesengsaran bagi kedua belah pihak.
18
Jika  terjadi  perselisihan  suami  istri  itu  menimbulkan  permusuhan,  menanam kebencian  antara  keduanya,  sehingga  tidak  ada  jalan  lain,  sedangkan  ikhtiar  untuk
perdamaian  tidak  dapat  disambung  lagi,  maka  perceraian  itulah  jalan  satu-satunya yang  menjadi  pemisah  antara  mereka.  Islam  datang  untuk  mengangkat  harta  dan
martabat bagi wanita. Wanita mempunyai hak untuk meminta perceraian jika itu lebih baik baginya. Jika terjadi konflik antara suami dan istri yang dapat didamaikan maka
dengan keadilan Allah, maka perceraian itu diperbolehkan. Mudah-mudahan dengan jalan itu  terjadi ketertiban dan keamanan bagi kedua pihak agar masing-masing dapat
mencari pasangan yang cocok hingga dapat mencapai apa  yang dicita-citakan dalam menempuh pernikahan.19
3. Fasakh
18
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 219
19
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, h. 401
Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan  dengan  cara  fasakh  melibatkan  tidak  hanya  dua  pihak  yang  berakad
suami istri tetapi termasuk pihak ketiga saudara masing-masing pihak. Sedangkan hal-hal  yang  bisa  dijadikan  sebab  untuk  memfasakh  akad  nikah  yaitu:  Pertama,
adanya  sebab  yang  diketahui  setelah  akad  terjadi  misalnya  tiba-tiba  terungkap  ada bukti  kuat  bahwa  antara  mereka  suami  istri  tersebut  adalah  saudara  sesusu  yang
haram saling menikah, atau si istri ketika akad berlangsung masih dalam masa iddah, atau  masih  ada  ikatan  perkawinan  dengan  suami  lain  dan  sebagainya.  Sedangkan
yang  kedua,  ada  sebab  yang  terjadi  kemudian  yakni  muncul  setelah  akad,  misalnya salah  satu  pihak  istri  ataupun  suami  yang  mengubah  agamanya,  karena  murtad  di
dalam iman diharamkan kawin, maka batal ikatannya akadnya. Baik pihak yang satu suami ataupun istri menerima kenyataan itu atau tidak. Sebab-sebab yang terjadinya
fasakh antara lain adalah: a. gila,
b. Menderita  penyakit  menular,  tidak  ada  harapan  sembuh  misalnya  penyakit AIDS,
c. Kehilangan kemampuan melakukan hubungan seks, d. Merasa tertipu saat akad,
e. Suami miskin tidak berkemampuan memberi nafkah wajib, f.
Dan lain sebagainya.
20
20
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Pernikahan, h. 142
4. Zihar, Ila’, dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum: zihar, ila’, dan li’an adalah perbuatan berupa kata  atau  sumpah  yang  tidak  secara  langsung  berisi  ungkapan  yang  menyatakan
putusnya ikatan perkawinan. Zihar merupakan kebiasaan orang Jahiliyyah yang tidak lagi  memfungsikan  istrinya  sebagai  istri  walau  istrinya  masih  tetap  didikat  dalam
ikatan perkawinan. Firman Allah dalam surat al-Mujahadilah ayat 2 menjelaskan:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
”Orang-orang  yang  menzhihar  isterinya  di  antara  kamu,  menganggap  isterinya sebagai ibunya, padahal tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak
lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh- sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” Qs. Al-Mujadilah: 2.
Celaan dan pernyataan dusta yang dikemukakan ayat ini terhadap pelaku zihar menunjukkan bahwa cara demikian harus ditinggalkan dan diganti dengan cara cerai
mengikuti tuntutan Al-Qur’an. Sedangkan ila’ juga  merupakan  kebiasaan  orang  jahiliyyah  pula  yang  yang
seorang lelaki bersumpah mengenai hubungan sebagai suami terhadap istrinya sendiri bahwa ia suami tidak akan menggauli istrinya lagi.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 226 menjelaskan:
 
 
 
 
 
 
 
“Kepada  orang-orang  yang  meng-ilaa  isterinya  diberi  tangguh empat  bulan lamanya.  Kemudian  jika  mereka  kembali  kepada  isterinya,  Maka  Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” Qs. Al-Baqarah: 226.
Adapun li’an adalah  sumpah  yang  memang  diajarkan  Islam  dalam  kaitan seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina.
Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 6 menjelaskan:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
”Dan  orang-orang  yang  menuduh  isterinya  berzina,  padahal  mereka  tidak  ada mempunyai  saksi-saksi  selain  diri  mereka  sendiri,  Maka  persaksian  orang  itu  ialah
empat  kali  bersumpah  dengan  nama  Allah,  Sesungguhnya  dia  adalah  termasuk orang-orang yang benar”Qs. an-Nur: 6.
Petunjuk  selanjutnya  mengenai  li’an  sumpahnya  diatur  dalam  Kompilasi Hukum Islam yaitu pasal 127. Tata cara li’an diatur sebagai berikut:
a. Suami  bersumpah  empat  kali  dengan  kata  tuduhan  zina  atau  pengingkaran  anak tersebut bila dalam pernikahan suami istri tersebut menghasilkan anak bila tidak
anak  maka  pengingkaran  tidak  disebutkan,  dan  diikuti  sumpah  kelima  dengan
kata-kata  laknat  Allah  atas  dirinya  apabila  tuduhan  atau  pengingkaran  anak tersebut dusta.
b. Istri menolak tuduhan atau pengingkaran sumpah empat kali dengan kata tuduhan atau  pengingkaran  tersebut  tidak  benar,  diikuti  kelima  dengan  kata-kata  murka
Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut benar. c. Tata  cara  pada  huruf  a  dan  b  di  atas  merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak
terpisahkan. d. Apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b maka dianggap
tidak terjadi Li’an.
21
5. Syiqaq
Makna syiqaq adalah  retak.  Jadi syiqaq cenderung  sebagai  predikat  bagi hubungan  perkawinan  suami  istri  yang  sedang  berlangsung.  Hubungan  suami  istri
tersebut  sudah  tidak  pada  keadaan  yang  diharapkan  dan  dapat  diberi  dengan  kata negatif,  pada  predikat  negatif  ini  sering  sering  mengarah  kepada  berakhirnya  ikatan
perkawinan suami istri tersebut. Keretakan hubungan suami istri ini ada yang disebabkan oleh dua pihak, yaitu
pihak  suami  dan  pihak  istri  secara  bersama-sama.  Gambarannya  adalah  apabila terdapat  perbedaan  watak  yang  amat  sukar  dipertemukan,  masing-masing  bertahan
dan  tidak  ada  yang  mengalah  sama  sekali  antara  suami  ataupun  istri,  dan  titik  temu benar-benar  jarang  diperoleh  sehingga  kehidupan  dalam  rumah  tangga  ada  saja
21
Ibid, h. 146
gangguan ketentramannya dan ketegangan tidak  kunjung reda. Ada pula  disebabkan hanya satu pihak, pihak suami misalnya tidak bertanggung jawab sebagai pelindung,
bertindak  semena-mena  hanya  mau  menang  sendiri  yang  melekat  di  dalam pikirannya, sehingga perlu dinasehati tetapi dinasehati orang tidak didengar. Suasana
rumah  tangga  demikian  tentu  menekan  istri,  dan  sampai  batas  tertentu  dan  beban tekanan itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau sebaliknya, penyebab syiqaq
justru  datangnya  dari  pihak  si  istri  yang nusyuz,  dan  diupayakan  perbaikannya melalui  tahapan  yang  diajarkan  Al-Qur’an  yaitu  diberi  nasehat,  dipisahkan  tempat
tidur, dan dipukul sebagai pengajaran. Firman Allah tentang syiqaq terdapat dalam surat an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
“Dan  jika  kamu  khawatirkan  ada  persengketaan  antara  keduanya, Maka  kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.
jika  kedua  orang  hakam  itu  bermaksud  mengadakan  perbaikan,  niscaya  Allah memberi  taufik  kepada  suami-isteri  itu.  Sesungguhnya  Allah  Maha  mengetahui  lagi
Maha Mengenal” Qs. An-Nisa: 35.
Syiqaq sering berakhir dengan perceraian, tetapi pesan Al-Qur’an tidak mesti dalam bentuk perceraian, oleh karenanya surat an-Nisa ayat 35 memerintahkan agar
adanya  dua  orang  hakam.  Hakam  ini  mempunyai  tugas  dan  wewenang  untuk menghantarkan  pilihan  cara  menciptakan  perdamaian  dan  meredam  keretakan  atau
perselisihan.  Dalam  hal  ini syiqaq yang  tidak  dapat  diatasi  kecuali  harus  dengan perceraian maka bagaimana kedudukan hakam pada proses perceraian tersebut dapat
dipertanyakan  antara  kedudukan  sebagai  penentu  mutlak  atau  wakil  pihak  antara suami istri.
22
C. AKIBAT PERCERAIAN