PANDANGAN ISLAM TENTANG SUAMI IMPOTEN TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA

C. PANDANGAN ISLAM TENTANG SUAMI IMPOTEN TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA

Kehidupan suami istri hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan baik. Tetapi adakalanya terjadi suami membenci istri atau istri membenci suaminya. Dalam keadaan seperti ini Islam berpesan agar sabar dan sanggup menahan diri dan menasehati dengan obat penawar yang dapat menghilangkan sebab- sebab timbulnya rasa kebencian. 40 Pada diri laki-laki ditetapkan fitrah naluri untuk melaksanakan hubungan seksual, fitrah ini dimaksudkan untuk dapat menjalankan fungsi berketurunan dalam perkawinan, perkawinan yang dimaksudkan untuk memberikan jalan yang halal bagi terlaksanya keinginan untuk berhubungan seksual antara suami istri, sehingga terjadi hubungan secara bersih dan sehat, karena hal tersebut dapat menciptakan suasana gembira, puas dan sehat bagi kedua belah pihak. 41 Sehingga di dalam perkawinan jika terjadi gangguan pada salah satu pihak baik suami ataupun istri yang tidak bisa memberikan hak dan kewajibannya maka disini akan dijelaskan bisa atau tidaknya perkawinan itu boleh dilanjutkan terdapat 40 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, h. 99 41 Muhammad Thalib, 15 Penyebab Perceraian Dan Penanggulangannya, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997, Cet ke I, h. 39 perbedaan pendapat ulama fiqh diantaranya adalah: Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Zhahiri. Dan pendapat-pendapat mazhab di atas akan diuraikan sebagai berikut: 42

1. Menurut Mazhab Hanafi yaitu: Potong kemaluan sama juga dengan impoten,

kecuali dalam dua masalah yaitu segera memfasakhkannya dan adanya keturunan memperoleh anak, dan hakim boleh memfasakhkan bila adanya tuntutan istri dengan syarat istri itu merdeka, baligh, tidak mempunyai cacat tertutup kemaluan daging dan tulang. Istri tidak mengetahui keadaan suaminya seperti itu sebelum perkawinan, dan istri tidak rela setelah mengetahuinya. Maka dari itu istri diperbolehkan menuntut fasakh kepada suaminya. 43 Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim boleh memutuskan perkawinan yang suaminya impoten kalau istri yang menuntut memenuhi beberapa syarat tertentu seperti berikut: a. Istri itu merdeka, kalau istri itu seorang budak, maka hak kebebasan menuntut fasakh pada tangan tuannya. b. Istri itu baligh, dengan arti kata bahwa apabila istri kecil tidak ada hak menuntut fasakh baginya. c. Istri itu tidak mempunyai penyakit tertututup kemaluan dengan daging atau dengan tulang. Apabila istri mempuyai penyakit demikian, dia istri tidak 42 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 99 43 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, h. 92 boleh menuntut fasakh, sebab terhalangnya bersenggama adalah disebabkan si istri itu sendiri. d. Istri itu tidak mengetahui keadaan suaminya itu impoten sebelum perkawinan, jika dia istri mengetahuinya dan diteruskan juga perkawinannya berarti dia istri rela dengan keadaan suaminya seperti itu, maka dia istri tidak ada hak untuk menuntut fasakh.

2. Mazhab Maliki berpendapat yaitu: Bahwa perkawinan boleh ditolak boleh

difasakhkan dengan empat macam atau penyakit yaitu gila, sopak, kusta, dan penyakit yang terdapat pada kemaluan yang menghalangi persetubuhan. Adakala kemaluan tertutup dengan tulang dan dengan daging pada wanita wanita atau pada laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa Malik dan Asy’Syafi’i sependapat mengenai impoten ini, yaitu satu macam cacat yang terdapat pada laki-laki suami, disebabkan itu perkawinan dapat diputuskan apabila istri menuntut. 44

3. Mazhab Syafi’i berpendapat yaitu:

ﯿﻨﻌﻟا ةأ ﺮﻣا ﻞﺟ ءﻮﺗ نا ﮫﻗاﺮﻓوا ﮫﻌﻣ م ﺎﻘﻤﻟا ﺎﻓ ةﺮﯿﺧ ﻻاو ﺎﮭﺑ ﺎﺻا نﺈﻓ ﺔﻨﺳ ﻦ ........ ”Istri memberi tangguh suaminya yang impoten itu selama satu tahun. Jika dia suami berhasil atau sembuh, tidak menjadi persoalan, tetapi jika tidak maka istrinya boleh memilih antara tetap bersama suaminya atau bercerai.... ” 45 44 Ibid, h. 95 45 Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus Salam III, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, h. 599 Yang memberikan hak kebebasan memilih kepada istri apakah mau bercerai atau tidak, dan yang memutuskan perkawinan kalau dia istri memilih bercerai adalah hakim. Berdasarkan kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa menurut Asy- Syafi’i ini, apabila suami berpenyakit impoten, istrinya ada mempunyai hak untuk menuntut putusnya perkawianan kepada hakim, dan hakim boleh memutuskan perkawinan suami istri tersebut dengan melalui proses dan terbukti bahwa suaminya tersebut impoten. Salah syarat yang diberikan Asy-Syafi’i sebelum diputuskan perkawinannya, si istri disuruh menunggu selama satu tahun dengan harapan penyakit suaminya itu akan sembuh.

4. Mazhab Zhahiri berpendapat yaitu:

Ibnu Hazmin dari Mazhab Zhahiri yang dikutip oleh Dra. Fiedaweri mengatakan dalam maslah ini yaitu: Orang yang mengawini seorang wanita, sedangkan ia suami tidak sanggup bersetubuh dengannya istri, baik satu kali atau lebih, ataupun tidak sanggup sama sekali, maka hakim dan juga orang lain tidak boleh menceraikan memfasakhkan antara keduanya. Dan dia suami tidak pula diberi masa tangguh. 46 Dari kutipan ini dapat diambil pengertian bahwa Ibnu Hazmin berpendapat baik hakim ataupun orang lain, tidak boleh memfasakhkan perkawinan antara suami istri disebabkan si suami tidak kuasa bersetubuh, yang mana suami impoten termasuk dalam masalah ini. 46 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, h. 99 Dapat diambil pengertian bahwa menurut pendapat di atas, cacat apa saja tidak dapat dijadikan alasan untuk memfasakhkan perkawinan, pendapat ini berdasarkan:                                                         ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya. mereka berdoa: Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri maaflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. Qs. Al-Baqarah: 286 Dalam suami yang impoten, berarti ia suami tidak sanggup bersetubuh dengan istrinya, maka Allah tidak membebani lebih dari kesanggupannya. Jadi dpaat dipahami bahwa hakim tidak boleh memfasakhkan perkawinan antara suami dan istri bila ternyata suaminya tersebut yang impoten, berarti memberati seseorang lebih dari kesangupannya. 47 47 Ibid, h. 100 Dari uraian di atas maka penulis menganalisa bahwa sesungguhnya perkawinan antara suami dan istri yang dilandasi oleh kasih sayang jangan sampai luntur hanya karena perselisihan antara suami istri yang tidak berkesudahan. Pasangan suami dan istri dalam perkawinan haruslah memnuhi hak dan kewajibannya masing-masing, baik suami ataupun istri memberikan hak dan kewajibannya terhadap suami. Namun apabila kewajiban tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh salah satu pihak istri maupun suami maka Allah memberikan jalan yang sebenarnya Allah membencinya namun dihalalkan yaitu membukakan jalan perceraian bagi keduanya, karena apabila tidak membukakan jalan perceraian maka akan menimbulkan persengketaan dan menimbulkan kebencian bagi keduanya.

BAB IV PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JAKARTA