SUAMI IMPOTEN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA.

3. Jika yang diderita adalah impotensi psikis yang disebabkan oleh faktor psikolosgis, maka upaya penyembuhannya memerlukan kesabaran dan bantuan psikiater diperlukan untuk menyelidiki latar belakang kehidupannya sehingga mengalami impotensi. Hasil penyelidikan itu akan dianalisa untuk dijadikan dasar alam memberikan saran dan nasehat bagi upaya penyembuhan tahap berikutnya. Disamping itu peran istri dalam upaya menyembuhkan impotensi psikis ini juga sangat penting. Misalnya, jika suami menderita impotensi karena kekhawatirannya terhadap penisnya yang pendek atau kecil, di samping berkonsultasi dengan psikiater, istri pun harus membantu suaminya agar tidak usah menghiraukannya, karena jika suami terus-terus memikirkannya justru akan menambah kecemasannya, dan itu akan memperparah impotensi yang dideritanya. 29

B. SUAMI IMPOTEN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA.

Apabila pernikahan berlangsung dan sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami dan istri dalam keluarga. Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah 29 Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, h. 114 kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berumah tangga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu, sakinah, mawaddah, wa rahmah. Apabila suami istri telah menunaikan akad pernikahan maka dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual, perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami istri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi suami halal berbuat kepada istrinya begitu juga dengan istri terhadap suaminya. Hal ini berdasarkan firman Allah pada surat an-Nisa ayat 19 yaitu:     .............. ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut...................”Qs. An-Nisa: 19. 30 Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri sebaik-baiknya tidak boleh menganiaya istri dan menimbulkan kemudharatan terhadap istri. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan menyia-nyiakan hak istri. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:            ”Maka rujukilah mereka dengan cara yang maruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang maruf pula. janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. ” Qs. Al- Baqarah: 231 Berdasarkan firman Allah menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah 30 Abd. Rahman ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: PT. Prenda Media, 2003, h. 155 satu pihak yang menderita mudharat dapat mengambil keputusan untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut. Dengan keputusan Pengadilan atas dasar pengaduan antara salah satu pihak suami atau pun istri karena kemudharatan yang diderita, maka perkawinan dapat dipisahkan dengan beberapa alasan yaitu: a. Tidak adanya nafkah bagi istri Imam Malik, Asy syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada istrinya, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak memberi nafkah. Tidak memberi nafkah istri adalah perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakannya, berarti itu menimbulkan kemudharatan, maka hakim harus berusaha menghilangkan perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakan itu. Sesuai dengan masalah di atas, seperti si istri berhak menerima nafkah dari suaminya. Oleh sebab itu si istri mempunyai kewajiban kepada suami untuk selalu patuh kepada suaminya, serta melayani suaminya dan melaksanakan tugas- tugasnya sebagai seorang istri. Jangan seorang istri hanya menuntut haknya untuk dinafkahi tetapi tidak patuh kepada suaminya, itu sama halnya juga akan menimbulkan kemudharatan. b. Terjadinya cacat atau penyakit. Memang segala mahluk di dunia ini dilahirkan mempunyai nafsu, di antaranya manusia, salah satu nafsu manusia adalah terhadap lawan jenisnya. Nafsu lelaki terhadap wanita dan sebaliknya nafsu wanita terhadap lelaki. Namun jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak, baik suami maupun istri sedikian rupa sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya, atau menimbulkan penderitaan bathin pihak yang satunya, atau membahayakan hidupnya, maka yang bersangkutan berhak mengadukan masalahnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinan suami istri tersebut. Cacat atau penyakit meliputi cacat jiwa, seperti: gila, cacat mental penjudi dan pemabuk, cacat tubuh penyakit lepra, dan cacat kelamin penyakit pada alat kelamin, terpotong alat kelamin dan lemah syahwat, dan lain sebagainya sehingga mengganggu dan menghalangi hubungan suami istri. c. Penderitaan yang menimpa istri Dalam hidup berumah tangga hendaknya suami istri harus bergaul dengan cara yang baik dan harmonis sesuai dengan cara-cara yang ditentukan agama Islam. Namun jika istri menderita fisik atau bathin karena tingkah laku suaminya, misalnya suami menyakiti badan atau hati si istri dan menyengsarakan. Maka dalam hal ini si istri berhak mengadukan masalahnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinannya. 31 Dari penjelasan di atas, apabila dalam suatu perkawinan banyak menimbulkan kemudharatan maka perkawinan tidak layak lagi untuk dilanjutkan. maka dari itu Allah memberi jalan untuk pasangan suami istri apabila istri yang tidak bisa memberikan hak dan kewajibannya kepada suaminya diberi jalan yaitu talak, dan sebaliknya apabila suami tidak bisa memberikan hak dan kewajiban terhadap istrinya maka jalan untuk berpisah yaitu khulu’. Menurut bahasa, kata khulu’ berarti tebusan. Dan menurut istilah khulu’ berarti talak yang diucapkan istri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan suaminya. Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh seorang istri kepada suami yang dibencinya, agar suami itu dapat menceraikannya. 32 Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-’a yang berasal dari bahasa arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkan khulu’ dengan perkawinan karena dalam Al-Quran disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istrinya itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat Al-Baqarah ayat 187:        ”Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”. Qs. Al-Baqarah:187. Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya. 31 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 247 32 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 2006, h. 305 Khulu’ itu merupakan satu bentuk dari putusnya perkawinan, ulama menggunakan beberapa kata khulu’ yaitu: fidyah, shulh, mubarah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi yang digunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separoh dari mahar, disebut shulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebut fidyah dan bila istri bebas ganti rugi disebut mubarah. Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan si suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka si istri dapat meminta perceraian dan suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan menceraikan istrinya atas dasar uang ganti rugi itu, maka putuslah hubungan suami istri antara keduanya. Khulu’ merupakan salah satu bentuk dari perceraian, bahkan dalam beberapa literatur fiqh ditempatkan dalam ruang lingkup bahasan kitab talak hingga ketentuan yang berlaku dalam talaq sebagian besarnya berlaku juga untuk khulu’. 33 Khulu’ atau talak tebus diperbolehkan dalam agama kita dengan disertai beberapa hukum perbedaaan dengan talak biasa. 33 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: PT. Prenada Media, 2003, Cet. Ke 2, h. 232 Firman Allah Swt:                                            ”Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”Al-Baqarah: 229. Khulu’ atau talak tebus ini boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus ini terjadi karena kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang. Apalagi biasanya talak tebus ini tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi. Perceraian yang dilakukan secara talak tebus ini berakibat bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah talak sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru. Pendapat ini berdasarkan firman Allah Swt yaitu:                                ”Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata ?” ”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka isteri- isterimu Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” An-Nisa: 20-21 34 Khulu’ itu adalah perceraian atas kehendak istri. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an Adapun dasarnya dari Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229:            . ”Jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.........Qs. Al-Baqarah: 229. 35 Para ahli fiqh berpendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata atau lafazh yang terambil dari kata dasar khulu’ seperti: mubara’ah berlepas diri dan fidyah tebusan. Jika tidak dengan kata khulu’ atau kata lain yang maksudnya sama, misalnya suami berkata kepada istrinya: ”Engkau tertalak sebagai imbalan daripada barang atau uang yang seharga sekian”, lalu ia istri mau menerimanya. Maka perbuatan seperti adalah talak dengan imbalan harta bukan khulu’. 36 Ibnu sirin dan Abi Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali bila jelas di perut isi itu telah terdapat janin dalam arti ia suami telah berbuat 34 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Bari Algesindo, 1994, h. 410 35 Ibid, Amir Syafiruddin, Cet ke 2, h. 232 36 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 8, Bandung: Alma’rif, 1980, h. 103 sesuatu perbuatan keji, sebagaimana disebutkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 19 yaitu:            ”Dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” Qs. An-Nisa’:19 Ada beberapa hal dalam ayat tersebut yang merupakan karakteristik dari perceraian dalam bentuk khulu’ dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu: Pertama, perceraian dalam bentuk khulu’ disebabkan oleh adanya sesuatu, yaitu kekhawatiran dalam penyelenggaraan perkawinan itu, si istri merasa tidak dapat menegakkan ketentuan Allah kaitan dengan hak dan kewajibannya. Kedua, perceraian itu menggunakan uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh dari pihak si istri yang diterima oleh si suami yang menceraikannya. Ketiga, keinginan perceraian muncul dari pihak si istri. 37 Jadi, jika seorang wanita membenci suaminya karena keburukan ahklak, ketaatannya terhadap agama, atau karena hal yang lain-lain dan ia istri sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla. Maka diperbolehkan baginya mengkhulu’, dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya darinya suaminya. 37 Amir Syafiruddin, Cet ke 2, h. 234 Jika pasangan suami istri saling berselisih, di mana si istri tidak mau memberikan hak suaminya dan ia sangat membencinya, serta tidak sanggup hidup berumah tangga dengannya, maka ia harus memberikan tebusan kepada suaminya atas apa yang pernaha diberikan suaminya kepadanya. Dan tidak ada dosa bagi suaminya atas tebusan yang diterimanya. Tetapi jika ada alasan apa pun bagi si istri untuk meminta cerai, lalu ia istri meminta tebusan dari suaminya. Maka mengenai hal ini Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda: ﺔﻨﺠﻟ ا ﺔﺤﺋ ار ﺎﮭﯿﻠﻋ ماﺮﺤﻓ سﺄﺑ ﺮﯿﺧ ﻦﻣ ق ﻞط ﺎﮭﺧ وز ﺖﻟﺎﺳ ةاﺮﻣا ﺎﻤﯾا ....... ”Wanita di mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga”. 38 Ada beberapa syarat bagi pasangan suami istri untuk bisa melakukan khulu’ syarat-syarat itu adalah: 1. Seorang istri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu’ jika tampak adanya bahaya yang mengancam dan ia merasa takut tidak akan menegakkan hukum Allah Azza wa Jalla. 2. Khulu’ itu hendaknya dilakukan sampai selesai tanpa dibarengi dengan tindakan penganiyayaan yang dilakukan oleh suami. Jika pihak suami melakukan penganiyayaan, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun dari istrinya. 3. Khulu’ itu berasal dari pihak istri bukanlah dari pihak suami. 39 38 Ibnu Majah, Sunan, Bairut Dar al-Fikr, tth, juz 1, h. 662

C. PANDANGAN ISLAM TENTANG SUAMI IMPOTEN TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA