AKIBAT PERCERAIAN TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DALAM ISLAM

perselisihan. Dalam hal ini syiqaq yang tidak dapat diatasi kecuali harus dengan perceraian maka bagaimana kedudukan hakam pada proses perceraian tersebut dapat dipertanyakan antara kedudukan sebagai penentu mutlak atau wakil pihak antara suami istri. 22

C. AKIBAT PERCERAIAN

Akibat perceraian adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dan istri. Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah: 1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing. Perkawinan adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Putusnya perkawinan mengembalikan status yang halal yang didapatnya dalam perkawinan, sehingga ia kembali ke status semula yaitu haram. Bila terjadi hubungan kelamin dalam masa iddah tersebut atau sesudahnya, maka perbuatan tersebut menurut jumhur ulama termasuk zina. Hanya tidak diperlakukan terhadapnya sanksi atau had zina karena adanya syubhat ikhtilaf ulama. 2. Keharusan memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut’ah sebagai 22 I bid, h. 148 pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang bernama mut’ah. Dalam kewajiban memberi mut’ah itu wajib menurut Ibnu Hazmin, dasar wajibnya itu adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 241 yaitu:         ” Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya mutah menurut yang maruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa” Qs. al-Baqarah: 241. Hanafiyah berpendapat bahwa hukum wajib berlaku untuk suami yang menalak istrinya sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, sebagaimana dijelaskan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 236 yaitu:                             ”Tidak ada kewajiban membayar mahar atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mutah pemberian kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan ”Qs. al-baqarah: 236. Jumhur berpendapat bahwa mut’ah itu hanya untuk perceraian yang insiatifnya berasal dari suami, seperti talak, kecuali bila jumlah mahar telah ditentukan dan bercerai sebelum bergaul. 3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, mahar yang belum di bayar atau dilunasi, harus dilunasi setelah bercerai. 4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah. 5. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah. 23 Menurut Kompilasi Hukum Islam bagi seorang istri yang putus perkawinan dengan suaminya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suaminya. Waktu tunggu seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu ditetapkan 130 hari, b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi janda yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 hari, c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan, d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 24 23 Amir Syarifuddin, Cet ke 1, h. 303

BAB III PENGERTIAN IMPOTENSI DALAM RUMAH TANGGA

A. PENGERTIAN DAN SEBAB-SEBAB IMPOTENSI A.1. Pengertian Impotensi Impotensi adalah perihal lemah syahwat; keadaan tidak berdaya. Sedangkan Impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk lemah syahwat atau tidak mempunyai tenaga tidak dapat berbuat apa-apa. 25 Kata impoten berasal dari Bahasa Inggris yang berarti tidak berdaya, tidak bertenaga, Mati pucuk lemah zakar. Dan didalam Kamus Bahasa Arab disebut ”Unnah” Lemah Syahwatdan juga biasa disebut ”Inniin” Yang tidak mampu bersetubuh. Ibnu Abidin juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Dra. Firdaweri di dalam bukunya tentang pengertian impotensi menurut Bahasa dan istilah sebagai berikut: Orang impoten menurut Bahasa ialah orang yang tidak sanggup bersetubuh. Dan orang impoten menurut Syara’ Istilah ialah: orang yang tidak sanggup mensenggamai isterinya, karena terhalang si suami akibat impotensi. Seperti sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya Dra. Firdaweri mengutip pendapat Abdurahman Al-Jaziri yang mengemukakan pendapatnya tentang 24 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h, 71 25 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, Cet, 2, h. 427