Perceraian akibat suami impoten suatu study terhadap persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

(1)

PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN

SUATU STUDY TERHADAP PERSEPSI KARYAWATI

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN JAKARTA

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh: AGUSTINA 204044103069

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL AL SYAKSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “ PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN SUATU

STUDY TERHADAP PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN

HUKUM UIN JAKARTA” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syrarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Desember 2008 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan Ahwal Syakhsiyyah Prodi Peradilan Agama.

Jakarta 09 Desember 2008 Mengesahkan,

DekanFakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR.H.M.Amin Suma, SH, MA, MM. NIP.150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM (...)

Nip. 150 210 422 Sekretaris : Drs. Ahmad Yani, MA

(...) Nip. 150 269 678 Pembimbing I : Dr. Isnawati Rais

(...) Nip. 150 222 135

Pembimbing II : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag (...)


(3)

Penguji I : H. Zubaer Laeni, SH (...)

Nip. 150 094 301 Penguji II : Drs. H. Mas’udi

(...) Nip. 150 018 331


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan hidayat-Nya yang senantiasa berlimpah kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan hati dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak lupa penulis haturkan kepada Revolesioner Besar junjungan Nabi Muhammad SAW, yang senantiasa membawa cahaya dan rahmat bagi seru sekalian alam.

Kini tiba saat dinanti-nantikan, sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan, walau dengan yang tertatih-tatih dan melelahkan akhirnya penulis mampu menyelesaikan studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak sekali kesulitan dan hambatan yang dihadapi, serta saat ini juga masih jauh dari kesempurnaan dalam hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yaitu tempatnya salah dan lupa.

Selanjutnya penulis ingin sekali mengucapkan ribuan terima kasih tiada tara dan tiada terhingga atas bimbingan dan pengarahan yang diberikan kepada penulis, yaitu kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., M.M. selaku dekan

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu

Dekan I, II, dan III yang telah membimbing dan memberikan ilmu serta waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau.


(5)

2. Bapak Drs. A. Basik Djalil, SH. MA., dan Bapak Kamarusdiana S. Ag, MH. Selaku Ketua, dan Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis.

3. Ibu Dr. Isnawati Rais, dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan pengarahan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, serta kepada karyawan dan Staf Perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

5. Kepada Ibunda tercinta Samsiar dan Bapak Rahmad. A. yang tersayang “Terima Kasih atas cinta dan kasih sayangnya dan segala bimbingan baik moril maupun

materil”

6. Kepada Kakak-Kakakku Usandi Rahman dan Usanto Handroyoko terima kasih yang selalu memberikan dorongan dan semangat dalam hidup.

7. Kepada “A...D” Mohammad Dodo Ridho yang telah memberi semangat dan nasihat-nasihat yang tak henti-hentinya dan memberikan cinta dan kasih sayangnya sehingga penulis tak bosan untuk menyusun skripsi ini.

8. Untuk Sahabat-sahabatku (Santi, Meri, Heli, Uma, dan masih banyak lagi) terima kasih atas do’a dan masukannya kalian semua teman terbaik. Semoga kita selalu


(6)

9. Rekan-rekan SAS Non-Regular angkatan 2004, semoga kalian semua selalu dalam kesuksesan. Buat yang belum lulus cepat dong, kita semua mendukung usaha kalian.

10. Untuk ade-adeku (Nita, Warsi, Yeni, Iwas,) terima kasih sudah memberi semangat dan dorongan terhadap penulis

Kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, hingga terselesaikan skripsi ini, hanya ucapkan terima kasih yang penulis haturkan. Semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik disisi Allah SWT. Dan memperoleh balasan pahala yang berlipat ganda (Amin). Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, bagi penulis khususnya pembaca umum.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, 9 Desember 2008


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Balakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8

C. Tujuan Penulisan 9

D. Tunjauan Pustaka 9

E. Metode Penulisan 10

F. Sistematika Penulisan 12

BAB II TINJAUAN TENTANG PERCERAIAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Perceraian 14

B. Bentuk Perceraian 20

C. Akibat Perceraian 30

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IMPOTENSI DALAM KEUTUHAN RUMAH TANGGA

A. Pengertian dan Sebab Impotensi 34

B. Suami Impoten dan Hubungannya Terhadap Keutuhan


(8)

C. Pandangan Islam Tentang Suami Impoten Terhadap Keutuhan

Rumah Tangga 49

BAB IV PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN JAKARTA TENTANG PERCERAIAN AKIBAT

SUAMI IMPOTEN

A. Profil

Karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta 55

B. Persepsi

Karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta

Tentang Perceraian Akibat Suami Impoten 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpu

lan 76

B.

Saran-Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 80


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu perkawinan dimaksudkan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang sejahtera dan bahagia sepanjang masa. Setiap pasangan suami istri selalu mendambakan agar ikatan lahir dan bathin yang dibuhul dengan akad perkawinan itu semakin kokoh sepanjang hayat masih dikandung badan.

Namun demikian kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan mampu dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak diwujudkan. Faktor- faktor psikologis, biologis, ekonomis, dan menjadi kendala perbedaan kecendrungan, pandangan hidup dan lain sebagainya sering muncul dalam kehidupan rumah tangga bahkan dapat menimbulkan krisis rumah tangga serta mengancam sendi-sendinya.


(10)

Dalam mengatur dan memelihara kehidupan bersama antara suami istri, syariat Islam tidak berhenti pada membatasi hak dan kewajiban timbal balik antara keduanya dan memaksakan keduanya hidup bersama terus menerus tanpa memperdulikan kondisi obyektif yang ada dan timbul dalam kehidupan bersama. Namun lebih dari itu syariat Islam mengakui realitas kehidupan dan kondisi kejiwaan yang mungkin berubah dan silih berganti.

Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antar suami istri, timbulnya perselisihan pendapat antara keduanya, berubahnya kecendrungan hati dan masing-masingnya memungkinkan timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percecokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian, semuanya merupakan hal-hal yang harus ditampung dan diselesaikan.

Pada dasarnya suami istri wajib bergaul dengan sebaik-baiknya, suami wajib bersikap sabar jika melihat suatu yang disenangi atau tidak disenangi pada istrinya, demikian pula sebaliknya.

Firman Allah menjelaskan:





























“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. An Nisa’:19).1

1


(11)

Langgengnya hubungan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diinginkan oleh suami dan istri. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat belindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik.

Karena itu, maka dikatakan bahwa “ikatan perkawinan antara suami istri” adalah

ikatan yang paling suci dan juga paling kokoh. Jika ikatan perkawinan suami istri itu demikian kokoh kuatnya, maka tidak sepatutnya dirusakkan dan disepelekan. Setiap usaha untuk menyepelekan hubungan perkawinan dan melemahkannya adalah dibenci Islam.

Sebaiknya menjadi perhatian bahwa tidak semua orang dapat mengatur rumah tangga dan tidak semua orang dapat diserahi kepercayaan mutlak, sebagai teman karib yang akan saling membela untuk selama-lamanya. Maka sebelum kita mengutarakan maksud yang terkandung di hati untuk menikahi seorang wanita sebaiknya kita selidiki dahulu apakah wanita tersebut baik untuk menjadi istri kelak. Nabi SAW telah memberi petunjuk tentang sifat-sifat perempuan yang baik, yaitu:

1. Yang beragama; Firman Allah menjelaskan:
























(12)





















“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. Al-Hujarat:13)

2. Keturunan orang yang subur; Firman Allah menjelaskan:



























































“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu” (Qs. An-Nisa: 1).

3. Yang masih perawan atau yang masih sendiri; Firman Allah menjelaskan:






































(13)

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs. An-nur: 32).

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya salah satu seorang suami atau istri. Inilah sebenarnya yang dikendaki agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan itu. Dalam arti bila hubungan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Dalam keadaan seperti ini putusnya perkawinan mungkin adalah jalan keluar yang baik.

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan yaitu:

1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami ataupun istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan.

2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh karena alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini disebuttalak. 3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu yang

mengharuskan putusnya perkawinan sedangkan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang di sampaikan si istri ini kepada


(14)

suami dengan membayar uang ganti rugi dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini disebutkhulu’. 4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat

adanya sesuatu pada suami dan si istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan yang dilanjutkan. Putusnya perkawinan bentuk ini disebut fasakh.

Di samping itu terdapat pula beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan

hubungan perkawinan itu secara hukum syara’. Terhentinya hubungan perkawinan

dalam hal ini ada 3 bentuk yaitu:

a. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia (suami) telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia (suami) dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kafarah. Terhentinya hubungan perkawinan perkawinan dalam bentuk ini disebutzhihar.

b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia (suami) telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia (suami) membayar kafarah atas sumpahnya itu, namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebutila’.

c. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia (suami) telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai selesai prosesli’andan perceraian di muka hakim. Terhenti perkawinan dalam bentuk ini disebutli’an.


(15)

Salah satu yang menyebabkan perceraian pekawinan adalah gangguan seksual yang sangat merisaukan dalam kehidupan rumah tangga yaitu suami impoten. Tak sedikit rumah tangga yang goyah bahkan hancur akibat suami menderita impoten. Sebab tak bisa dipungkiri bahwa suami impoten adalah salah satu penyebab ketidakharmonisannya rumah tangga, bahkan kemampuan seksual suami memegang peranan penting dalam usaha menciptakan kebahagiaan hidup berumah tangga.

Impoten adalah cacat seksual yang mengakibatkan seorang suami tidak mempunyai potensi untuk melakukan hubungan seksual. Suami tidak bisa membangkitkan dan mempertahankan ereksi penisnya dengan baik sehingga tidak melakukan penetrasi. Padahal salah satu tujuan perkawinan adalah agar suami isteri menyalurkan hasrat seksualnya secara sah. Oleh karena itu, Islam menggariskan bahwa suami isteri boleh membatalkan perkawinannya atau isteri boleh minta cerai kepada suaminya jika ternyata suaminya impoten.2

Untuk lebih jelasnya ’Abburahman Al-Jaziri lebih memperinci lagi maksud impoten itu yaitu: ”Yang dimaksud impoten ialah orang yang tidak sanggup bersenggama dengan istrinya pada kemaluannya, walaupun sudah bangun kemaluannya waktu mendekati istrinya, sekalipun ia sanggup bersetubuh dengan wanita lain (juga disebut impoten) orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup dengan perempuan perawan (juga disebut impoten) orang yang sanggup dengan istri pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaannya seperti yang tersebut di atas dinamakan impoten untuk mensetubuhi istrinya”.3

2

Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda Surabaya, 1997), h. 105

3

Firdaweri, Hukum Islam Tentang fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 91


(16)

Potensi seksual laki-laki tergantung pada banyak faktor, seperti kekuatan libidonya, daya ereksi, dan kemampuan mempertahankan ereksi selama waktu tertentu. Apabila ketiga faktor tersebut atau salah satunya tidak dimiliki oleh suami, maka ia tidak akan mampu melakukan kontak seksual sebagaimana mestinya. Untuk itu kita harus mengerti tentang penyebab faktor mengapa suami bisa tidak bisa memberikan keturunan, jangan asal menceraikan saja tanpa tahu penyebabnya.

Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian di atas menurut bahasa adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut

istilah Syara’ adalah orang yang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan istrinya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul ”PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN SUATU

STUDY PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN

JAKARTA”.

B. Pembatasan masalah dan Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan judul di atas, perlu dibatasi masalah yang akan diteliti, sehingga dalam pembahasan permasalahan tidak keluar dari sasaran yang hendak diteliti. Studi ini hanya meneliti tentang apakah Impotensi dapat dijadikan sebagai alasan untuk perceraian.

Setelah mengetahui batasan masalah, maka untuk menghindari terjadinya kesimpang siuran dalam penyusunan, maka perumusan masalahnya adalah:


(17)

1. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang perceraian yang disebabkan oleh suami Impoten

2. Bagaimana persepsi karyawati UIN Jakarta tentang perceraian yang disebabkan oleh suami impoten khususnya karyawati Syariah dan Hukum UIN Jakarta

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam tentang perceraian yang disebabkan suami impoten

2. Untuk mengetahui persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukun UIN Jakarta tentang perceraian yang disebabkaan oleh suami impoeten.

D. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, seperti yang dilakukan oleh saudara Gufron Tamim SHI, dalam karya skripsinya yang

berjudul ”Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Impotensi Sebagai Alasan Percereraian”.

Namun disini penulis meninjau sisi yang lain, tidak sedikit para mahasiswa di Fakultas Syariah dan Hukum yang mengetahui tentang perceraian yang diakibatkan


(18)

oleh impoten. Maka penulis disini ingin mencoba mengetahui tentang Perceraian yang diakibatkan oleh suami impoten dan menanyakan kepada karyawati UIN Syariah dan Hukum yang sudah berumah tangga tentang pendapat di atas, karena fenomena ini sering terjadi kepada pasangan suami istri dan terkadang ada pasangan yang mengalaminya (salah satu dari pasangan mengalami impotensi)

Dalam skripsi ini penulis ingin mencoba mengetahui apakah yang akan wanita lakukan apabila pasangan mereka (suami) mengalami impotensi, karena saudara

Gofron Tamim SHI dengan judulnya” Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Impotensi Sebagai Alasan Perceraian” tidak menjelaskan apa yang akan

dilakukaan oleh istri bila suami impoten. Apakah si isteri akan langsung mengggugat suami untuk bercerai atau akan mencari jalan keluar agar tidak terjadi perceraian seperti:

1. Mengadopsi anak,

2. Intropeksi diri atau memberikan waktu kepada suami untuk membuktikan bahwa si suami bisa memberikan keturunan kepada isterinya.

3. Dan berobat ke dokter.

E. Metodologi Penelitian

Untuk memperoleh data yang fakta yang akan menjelaskan permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterprestasikan obyek sesuai apa adanya. Dengan demikian dapat dikatakan


(19)

bahwa metode penelitian deskriptif adalah memaparkan secara utuh terhadap obyek melalui penelitian lapangan (Field Research) untuk memperoleh data dan informasi yang akurat maka penulis melakukan penelitian langsung ke Karyawati UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syariah dan Hukum sebagai obyek penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam skripsi ini.

Cara ini ditempuh dengan tehnik pengumpulan data yaitu:

a. Studi Dokumentasi, yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan, arsip dan lain-lain. Studi dokumentasi ini dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan erat dengan aspek-aspek permasalahan, mengambil data, meneliti dan mengkaji literatur atau buku-buku rujukan tentang perkawinan dan perceraian, maupun sumber-sumber lain yang menunjang serta mempermudah penelitian ini. Dalam hal ini studi dokumentasi yang dilakukan adalah studi dokumentasi pada perceraian akibat suami impotensi suatu studi terhadap persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

b. Observasi, yaitu cara mengumpulkan data dengan pengamatan yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis dengan gejala-gejala yang timbul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicatat.

c. Angket, yaitu data yang diperoleh dari penyebaran angket kepada Karyawati UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang perceraian pasangan impoten kepada karyawati yang sudan menikah dan berpengalaman dalam rumah tangga. d. Populasi, yaitu dari karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.


(20)

e. Sampel, yaitu bagian dari populasi yang diambil dari cara-cara tertentu. Pada penelitian ini penulis menggunakan tehnik penarikan sampel Random, yaitu penarikan secara acak berdasarkan pada jenis kelamin, dan penulis menggunakan rumus sebagai berikut:

P = x100%

F N

P = Angka Persentase

F = Frekuensi yang sedang dicari

N = Number Of Cases (jumlah frekuensi/ individu) 100 = Bilangan Tetap

F. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis mencoba membagi sistemtika penulisan skripsi kedalam lima bab, masing-masing terdiri dari beberapa sub-sub yaitu sebagai berikut:

BAB I

Menjelaskan tentang pendahuluan diantaranya: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II

Menjelaskan tentang tinjauan umum tentang perceraian dalam Islam diantaranya adalah: pengertian perceraian, bentuk perceraian, akibat perceraian.


(21)

BAB III

Menjelaskan tentang diantaranya adalah: pengertian dan sebab-sebab impoten , suami impoten dan hubungannya terhadap keutuhan rumah tangga, dan pandangan Islam tentang impoten dalam keutuhan rumah tangga.

BAB IV

Menjelaskan tentang persepsi karyawati UIN Jakarta tentang perceraian akibat impoten dan analisa penulis diantaranya adalah: profil karyawati jurusan Syariah dan Hukum UIN Jakarta, persepsi karyawati Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta tentang perceraian yang diakibatkan oleh suami impoten.

BAB V


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN DALAM ISLAM

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PERCERAIAN

Perceraian berasal dari kata ”cerai” yang berarti pisah atau putus hubungan

suami istri.4 Putusnya perkawinan adalah istilah yang hukum yang digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk menjelaskan ”perceraian” atau berakhirnya

hubungan perkawinan antara seorang suami istri.5 Sedangkan menurut bahasa perceraian adalah pemutusan ikatan perkawinan antara suami istri.6

Hal-hal yang menyebabkan sering terjadinya perceraian karena perselisihan antara suami dan istri dan menimbulkan permusuhan, menanamkan bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kerabat mereka, sehingga tidak ada jalan lain untuk memperbaiki rumah tangga. Karena tidak adanya kesepakatan antara suami istri untuk memperbaiki rumah tangganya, maka dengan keadilan Allah Swt. dibukakan-Nya suatu jalan keluar dari segala kesukaran dan perselisihan itu yakni pintu perceraian. Mudah-mudahan dengan adanya jalan perceraian itu terjadilah ketertiban dan ketentraman antara kedua belah pihak yaitu suami dan istri, dan supaya masing-masing pihak antara suami dan istri dapat mencari pasangan yang cocok dan dapat

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet, 2, h. 168

5

Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet, 1, h. 190

6Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah,

Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 427


(23)

mencapai apa yang dicita-citakan sehingga bisa terbentuklah keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.7

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 116 menjelaskan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak (suami atau istri) berbuat zina atau menjadi pemabuk. Penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,

2. Salah satu pihak (suami atau istri) meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain (suami atau istri) tanpa alasan yang sah atau karena lain diluar kemampuan,

3. Salah satu pihak (suami atau istri) mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, 4. Salah satu pihak (suami atau istri) melakukan kekejaman atau

penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,

5. Salah satu pihak (suami atau istri) mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami ataupun istri,

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi akan hidup rukun dalam rumah tangga,

7. Suami melanggar taklik talak,

8. Peralihan agama atau murtad disalah satu pihak (suami atau istri) yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.8

7


(24)

Hal-hal yang sering menjadi penyebab putusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dan seorang istri yang menjadi pihak-pihak terikat dalam perkawinan, menurut Undang-Undang no.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 38 dinyatakan ada tiga sebab yaitu:

a. Karena kematian, b. Perceraian,

c. dan Atas Keputusan Pengadilan.9

Ketiga macam sebab ini, bahwa perceraian itu ada yang merupakan hak dari pihak suami, ada pula yang merupakan pihak istri, dan ada pula yang di luar hak mereka (suami istri) yakni karena kematian dan sebab atas keputusan pengadilan. Oleh karena itu berikut ini akan dikemukakan mengikuti kategori yang telah dijelaskan di atas yaitu:

a. Sebab Yang Merupakan Hak Suami.

Ikatan perkawinan yang dibangun oleh pihak-pihak dengan dasar sukarela dalam arti bebas dari paksaan pihak luar, termasuk pihak seperti wali, orang tua ataupun penguasa. Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu bila ikatan tidak bisa dipertahankan, Islam memperbolehkan untuk memutus ikatannya atas dasar kemauan dari pihak masing-masing. Suami diberi hak untuk melaksanakan sesuatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut disebut talak. Mengenai perbuatan hukum ini yaitu apabila seorang suami

8

Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: 2001), h. 56

9

Amalia Santoso, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Jakarta: 2006), h. 169


(25)

melontarkan ucapan kepada istrinya dengan salah satu kata: talaqa, saraha, faraqa, atau semakna dengan itu. Bahkan bisa menggunakan kata semakna dengan itu misalnya ”pulanglah kamu” yang disertai dengan niat dalam hati bahwa kata itu maksudnya adalah untuk pemutusan ikatan perkawinan suami istri tersebut.

Penjelasan di atas jelas bahwa talak adalah sebagai perbuatan hukum yang gampang menimbulkan putusnya ikatan perkawinan, sehingga hak yang diletakkan pada pihak suami membutuhkan sifat kehati-hatian dalam arti suami tidak mudah melontarkan kata dan niatannya. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat Al-baqarah ayat 227 yaitu:















 ”Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-baqarah: 227).

Haktalakini dapat digunakan untuk menjadi jalan keluar bagi kesulitan yang di hadapi suami dalam melangsungkan situasi rukun damai dalam kehidupan rumah tangga. Rumah tangga yang dibangun melalui akad nikah harus dilandasi dengan rasa cinta kasih antara dua pihak yaitu suami dan istri, sehingga apabila rasa cinta menjadi tidak ada di antara mereka dan sulit dipulihkan namun yang ada hanya saling benci membenci maka terbukalah pintu yang memberi haktalakini kepada suami.

Mengikuti ketentuan pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maka penggunaan hak talak oleh suami hanya boleh diperkenankan apabila mempunyai alasan sebagai berikut:


(26)

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan,

2. Salah satu pihak suami ataupun istri meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinann berlangsung,

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak yang lain,

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang suami atau istri,

6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan persengketaan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dari alasan-alasan yang ditentukan pasal 19 ini dipahami bahwa ikatan nikah yang idealnya kekal abadi diberi peluang terputusnya dengan perceraian adalah dengan talakdari suami.10

b. Sebab Yang Merupakan Hak Istri

Istri diberi hak untuk melakukan sutu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut namanya adalah khul’un, yang dapat dicontohkan sebagai berikut: pihak istri meminta agar pihak suami bersedia memutus ikatan perkawinan dan suami bersedia menceraikan si istri,

10


(27)

dan pihak istri menyediakan sejumlah pembayaran yang besarnya disetujui oleh pihak suami (yang lazim paling besar yaitu tidak melebihi mahar). Unsur pokok yang menentukan bentuk perbuatan hukum ini adalah adanya kesediaan pihak istri membayar sejumlah harta kepada pihak suami bayaran ini disebutiwadh.

Putusnya ikatan perkawinan dalam Undang-Undang Dasar no.1 Tahun 1974 dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 disebut dengan kata perceraian, sehingga sama dengan penggunaan hak talak oleh suami atau penggunaan hakkhulu’ oleh istri dan hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan seperti yang telah disebutkan di atas dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tersebut.11

c. Sebab Atas Keputusan Pengadilan

Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini pengadilan tidak bisa melakukan insiatif. Keterlibatannya ini terjadi apabila salah satu pihak baik pihak suami ataupun pihak istri, mengajukan gugatan atau permohonan cerai kepada pengadilan. Pasal 23 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa mereka yaitu suami istri yang berhak mengajukan ke pangadilan untuk membatalkan perkawinan, selain suami ataupun istri yang mengajukan permohonan untuk membatalkan perkawinan yaitu keluarga begaris keturunan suami ataupun suami, dan pejabat yang berwenang.

Beberapa bentuk perceraian yang terdapat dalam literatur fiqh di antaranya adalah:

11


(28)

1. Terabaikannya pemberian nafkah suami kepada istri, 2. Istri ditinggal pergi,

3. Salah satu pihak dihukum penjara,

4. Pemukulan jasmaniah atau pemaksaan untuk berbuat dosa dan sebagainya.12

B. BENTUK PERCERAIAN

Di dalam perceraian terdapat beberapa bentuk dan alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya perceraian di antaranya adalah:

1. Talak

Di dalam Al-qur’an terdapat kata faraqa yang disebutkan sebagai kata yang semakna dengantalakdi antaranya dalam surat al-Ahzab ayat 49 yaitu:















































”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya”.(Qs. Al-Ahzab:49).

Kandungan ayat ini mempunyai kandungan kepada laki-laki untuk melepas dan membiarkan istrinya dalam keadaan dijatuhi talak. Jadi di dalam ayat di atas

12


(29)

mengatur tentang melepas ikatan perkawinan dan menentukan caranya dengan sebaik-baiknya.

Talak yang di sunnahkan yaitu jika istri berahlak rusak, sedangkan suami tidak ada kemampuan memperbaiki sama sekali seperti rusak karena berzina, tidak mau shalat, atau melanggar larangan-larangan agama lainnya. Talak sebagai perbuatan hukum membutuhkan beberapa ketentuan, di antaranya ialah:

a. Menggunakan ungkapan tertentu, misalnya ia harus menggunakan kata baik memakai talak dan terjemahannya tegas ataupun memakai kata yang memakai kata sindiran, dan ungkapan itu dikemukakan ketika ada ikatan perkawinan yang sah.

b. Subyek hukum pelaku dalam kondisi tertentu, misalnya ia (suami) harus berakal, dewasa dan dalam kondisi bisa berkemauan sendiri. Dikatakan berakal bilamana ia (suami) tidak gila, tidak sakit yang mengganggu ingatan misalnya sakit saraf, dan lain-lain, dan dikatakan dewasa artinya bukan kanak-kanak yang menurut Hanafiyah batasannya mulai mumayyiz, yaitu sekitar umur 10 tahun. Demikian pula pelaku talaqa harus dalam kondisi berkemauan sendiri, terbebas dari tekanan atau paksaan.

c. Memperhatikan kodisi yang dijatuhi talak, yaitu sebelum menjatuhkan talak, suami harus memperhatikan apakah si istri dalam keadaan suci atau sedang haid.


(30)

Karena Abullah bin ’Umar berpendapat yang menjatuhkan talak dalam keadaan istri sedang haid diperintahkan untuk merujuk.13

Disini akan dijelaskan alasan-alasan terjaditalakyaitu sebagai berikut:

1. Talak karena alasan nafkah, jika istri menuntut ke pengadilan dengan alasan suami tidak memberi nafkah kepada istri maka diperbolehkan, alasan boleh ini terdapat dalam firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 1 yaitu:”Bii Ma’ruf” Sudah tidak diragukan lagi bahwa tidak memberi nafkah berarti bertentangan dengan perintah Allah”peliharalah dengan baik”.14

2. Talak karena membahayakan istri, istri berhak menuntut ke pengadilan agar menjatuhkan talak karena ia (istri) beranggapan suaminya telah membuat membahayakan dirinya, sehingga ia (istri) tidak sanggup lagi untuk melangsungkan pergaulan suami istri seperti: karena suami suka memukul atau menyakiti dengan cara apa pun yang tidak dapat ia (istri) tanggung lagi.15 3. Talak karena kepergian suami, dapat dijatuhkan talak karena suami

meninggalkan pergi istri. Hal ini guna melepaskan istri daripada kesusahan yang dideritanya, karena si istri khawatir dirinya akan terjerumus ke dalam perbuatan yang di haramkan Allah maka ia (istri) berhak untuk menuntuttalak kepada suaminya.16

13

Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Pernikahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 133

14

Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah 8, (Bandung: Al-ma’rif bandung, 1980), h. 87

15

Ibid, 91

16


(31)

2. Khulu’(Pelepasan)

Di dalam Al-Qur’an ikatan perkawinan digambarkan sebagai pakaian. Oleh

karena itu pemutusan perkawinan antara suami dan istri ada yang dinamakan khulu’ pelepasan, seolah-olah melepaskan pakaian. Secara khusus bila perceraian dilakukan oleh suami disebuttalak, namun bila perceraian dilakukan oleh istri disebutkhulu’.

Tidak berbeda dengantalak,khulu’hukumnya pun bisa berubah menjadijaiz, sunnah, wajib, atau haram mngikuti hubungan suami istri itu sendiri. Adapun mengenai hukum bagi suami untuk menerima iwadh baik yang ditawarkan oleh istri atau karena permintaan suami sendiri disebutjaiz. Ketentuan ini tampak adil kembali kepada dibangunnya akad yang diikuti dengan suami membayar maskawin, suami membayar nafkah, kemudian tiba-tiba ada semacam pengingkaran pihak istri.Iwadh ini merupakan ciri khas khulu’. Artinya bila suami tidak mengaitkan pemutusan ikatan perkawinan yaitu cerai dengan adanya iwadh sama sekali tidak cerai itu termasuk talak. Mengenai jumlah harga iwadh memakai ukuran harga maskawin yang dibayarkan saat akad nikahnya. Hal ini diartikan tidak boleh kurang dari jumlah harga maskawin tanpa disetujui pihak suami, dan tidak boleh tanpa istri menyetujuinya.

Pasal 161 Kompilasi Hukum Islam berbunyi: ”Perceraian dengan jalankhulu’ mengurangi jumlah talaq dan tidak dapat dirujuk.” pasal ini menentukan bahwa


(32)

akibat hukum khulu’ adalah sama dengan talaq ba’in sugra yang artinya untuk kembali membangun rumah tangga harus melalui akad nikah yang baru.17

Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan perceraian tapi membencinya, kecuali untuk kepentingan suami istri atau untuk kepentingan keturunannya. Dalam masalah ini ada dua hal yang merupakan sebab terjadinya perceraian yaitu:

1. Kemandulan. Kalau seorang laki-laki mandul maka ia (suami) tidak akan mempunyai anak padahal anak merupakan keutamaan dalam perkawinan. Dengan anak keturunan dunia menjadi makmur. Begitu pula dengan perempuan apabila mandul, maka keberadaannya bersama suami akan mengeruhkan kejernihan hidup. Maka percerairan mempunyai faedah bagi suami bila istri mandul. Sebab di antara tujuan yang mendorong untuk mendorong untuk kawin adalah terwujudnya keturunan.

Kita melihat, banyak di antara orang yang mandul meskipun dulunya pernah dengan cinta kasih dan penuh dengan faktor penyebab kebahagiaan dan kekayaan memperkuat hubungan mereka berdua namun kenikmatan berupa anak tidak pernah mereka rasakan. Padahal kesempurnaan kebahagiaan dunia di antaranya adalah keturunan, bahkan keturunan merupakan yang terpenting bagi suami istri. Sebagaimana firman Allah SWT menjelaskan:











”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-kahfi: 46)

17


(33)

2. Terjadi perbedaan dan pertentangan kemarahan, dan segala yang mengingkari cinta di antara suami istri. Kalau cinta sudah hilang akan berubahlah pilar-pilar perkawinan. Mereka jatuh ke lembah kehidupan yang susah dan pemikiran yang bimbang karena pada dasarnya persatuan dan kekompakan dalam segala hal merupakan kunci kesuksesan dan kebahagiaan serta sumber segala kesengan. Lain halnya kalau ada tabiat yang berbeda dan hati yang tidak bersatu, maka perceraian akan menghilangkan kesengsaran bagi kedua belah pihak.18

Jika terjadi perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan, menanam kebencian antara keduanya, sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi, maka perceraian itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara mereka. Islam datang untuk mengangkat harta dan martabat bagi wanita. Wanita mempunyai hak untuk meminta perceraian jika itu lebih baik baginya. Jika terjadi konflik antara suami dan istri yang dapat didamaikan maka dengan keadilan Allah, maka perceraian itu diperbolehkan. Mudah-mudahan dengan jalan itu terjadi ketertiban dan keamanan bagi kedua pihak agar masing-masing dapat mencari pasangan yang cocok hingga dapat mencapai apa yang dicita-citakan dalam menempuh pernikahan.19

3. Fasakh

18

Abd. Rahman Ghazali,Fiqh Munakahat, h. 219

19


(34)

Sesuai dengan artinya menghapus dan membatalkan, maka pemutusan ikatan perkawinan dengan cara fasakh melibatkan tidak hanya dua pihak yang berakad (suami istri) tetapi termasuk pihak ketiga (saudara masing-masing pihak). Sedangkan hal-hal yang bisa dijadikan sebab untuk memfasakh akad nikah yaitu: Pertama, adanya sebab yang diketahui setelah akad terjadi misalnya tiba-tiba terungkap ada bukti kuat bahwa antara mereka (suami istri) tersebut adalah saudara sesusu yang haram saling menikah, atau si istri ketika akad berlangsung masih dalam masaiddah, atau masih ada ikatan perkawinan dengan suami lain dan sebagainya. Sedangkan yang kedua, ada sebab yang terjadi kemudian yakni muncul setelah akad, misalnya salah satu pihak (istri ataupun suami) yang mengubah agamanya, karena murtad di dalam iman diharamkan kawin, maka batal ikatannya akadnya. Baik pihak yang satu (suami ataupun istri) menerima kenyataan itu atau tidak. Sebab-sebab yang terjadinya fasakhantara lain adalah:

a. gila,

b. Menderita penyakit menular, tidak ada harapan sembuh misalnya penyakit AIDS,

c. Kehilangan kemampuan melakukan hubungan seks, d. Merasa tertipu saat akad,

e. Suami miskin tidak berkemampuan memberi nafkah wajib, f. Dan lain sebagainya.20

20


(35)

4. Zihar, Ila’, dan Li’an

Tiga macam perbuatan hukum: zihar, ila’, dan li’anadalah perbuatan berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan.Ziharmerupakan kebiasaan orang Jahiliyyah yang tidak lagi memfungsikan istrinya sebagai istri walau istrinya masih tetap didikat dalam ikatan perkawinan.

Firman Allah dalam surat al-Mujahadilah ayat 2 menjelaskan:

















































Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguh-sungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (Qs. Al-Mujadilah: 2).

Celaan dan pernyataan dusta yang dikemukakan ayat ini terhadap pelakuzihar menunjukkan bahwa cara demikian harus ditinggalkan dan diganti dengan cara cerai mengikuti tuntutan Al-Qur’an.

Sedangkan ila’ juga merupakan kebiasaan orang jahiliyyah pula yang yang seorang lelaki bersumpah mengenai hubungan sebagai suami terhadap istrinya sendiri bahwa ia (suami) tidak akan menggauli istrinya lagi.


(36)

Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 226 menjelaskan:





























“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Qs. Al-Baqarah: 226).

Adapun li’an adalah sumpah yang memang diajarkan Islam dalam kaitan seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina.

Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 6 menjelaskan:





































”Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”(Qs. an-Nur: 6).

Petunjuk selanjutnya mengenai li’an sumpahnya diatur dalam Kompilasi

Hukum Islam yaitu pasal 127. Tata carali’andiatur sebagai berikut:

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina atau pengingkaran anak tersebut (bila dalam pernikahan suami istri tersebut menghasilkan anak) bila tidak anak maka pengingkaran tidak disebutkan, dan diikuti sumpah kelima dengan


(37)

kata-kata laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan atau pengingkaran anak tersebut dusta.

b. Istri menolak tuduhan atau pengingkaran sumpah empat kali dengan kata tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan atau pengingkaran tersebut benar.

c. Tata cara pada huruf (a) dan (b) di atas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

d. Apabila tata cara huruf (a) tidak diikuti dengan tata cara huruf (b) maka dianggap tidak terjadiLi’an.21

5. Syiqaq

Makna syiqaq adalah retak. Jadi syiqaq cenderung sebagai predikat bagi hubungan perkawinan suami istri yang sedang berlangsung. Hubungan suami istri tersebut sudah tidak pada keadaan yang diharapkan dan dapat diberi dengan kata negatif, pada predikat negatif ini sering sering mengarah kepada berakhirnya ikatan perkawinan suami istri tersebut.

Keretakan hubungan suami istri ini ada yang disebabkan oleh dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri secara bersama-sama. Gambarannya adalah apabila terdapat perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan, masing-masing bertahan dan tidak ada yang mengalah sama sekali antara suami ataupun istri, dan titik temu benar-benar jarang diperoleh sehingga kehidupan dalam rumah tangga ada saja

21


(38)

gangguan ketentramannya dan ketegangan tidak kunjung reda. Ada pula disebabkan hanya satu pihak, pihak suami misalnya tidak bertanggung jawab sebagai pelindung, bertindak semena-mena hanya mau menang sendiri yang melekat di dalam pikirannya, sehingga perlu dinasehati tetapi dinasehati orang tidak didengar. Suasana rumah tangga demikian tentu menekan istri, dan sampai batas tertentu dan beban tekanan itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau sebaliknya, penyebab syiqaq justru datangnya dari pihak si istri yang nusyuz, dan diupayakan perbaikannya melalui tahapan yang diajarkan Al-Qur’an yaitu diberi nasehat, dipisahkan tempat

tidur, dan dipukul sebagai pengajaran.

Firman Allah tentang syiqaq terdapat dalam surat an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:















































“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Qs. An-Nisa: 35).

Syiqaq sering berakhir dengan perceraian, tetapi pesan Al-Qur’an tidak mesti

dalam bentuk perceraian, oleh karenanya surat an-Nisa ayat 35 memerintahkan agar adanya dua orang hakam. Hakam ini mempunyai tugas dan wewenang untuk menghantarkan pilihan cara menciptakan perdamaian dan meredam keretakan atau


(39)

perselisihan. Dalam hal ini syiqaq yang tidak dapat diatasi kecuali harus dengan perceraian maka bagaimana kedudukan hakam pada proses perceraian tersebut dapat dipertanyakan antara kedudukan sebagai penentu mutlak atau wakil pihak antara suami istri.22

C. AKIBAT PERCERAIAN

Akibat perceraian adalah terputusnya ikatan perkawinan antara seorang suami dan istri. Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya adalah:

1. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh saling memandang, apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaimana yang berlaku antara dua orang yang saling asing.

Perkawinan adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri. Putusnya perkawinan mengembalikan status yang halal yang didapatnya dalam perkawinan, sehingga ia kembali ke status semula yaitu haram. Bila terjadi hubungan kelamin dalam masa iddah tersebut atau sesudahnya, maka perbuatan tersebut menurut jumhur ulama termasuk zina. Hanya tidak diperlakukan terhadapnya sanksi atau had zina karena adanya syubhat ikhtilaf ulama.

2. Keharusan memberi mut’ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut’ah sebagai

22


(40)

pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan

suatu pemberian yang bernama mut’ah.

Dalam kewajiban memberi mut’ah itu wajib menurut Ibnu Hazmin, dasar

wajibnya itu adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 241 yaitu:















” Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa” (Qs. al-Baqarah: 241).

Hanafiyah berpendapat bahwa hukum wajib berlaku untuk suami yang menalak istrinya sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, sebagaimana dijelaskan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 236 yaitu:





















































”Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan ”(Qs. al-baqarah: 236).


(41)

Jumhur berpendapat bahwa mut’ah itu hanya untuk perceraian yang

insiatifnya berasal dari suami, seperti talak, kecuali bila jumlah mahar telah ditentukan dan bercerai sebelum bergaul.

3. Melunasi utang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, mahar yang belum di bayar atau dilunasi, harus dilunasi setelah bercerai.

4. Berlaku atas istri yang dicerai ketentuan iddah. 5. Pemeliharaan terhadap anak atau hadhanah.23

Menurut Kompilasi Hukum Islam bagi seorang istri yang putus perkawinan dengan suaminya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suaminya. Waktu tunggu seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu ditetapkan 130 hari,

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi janda yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi janda yang tidak haid ditetapkan 90 hari,

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan,

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.24

23


(42)

BAB III

PENGERTIAN IMPOTENSI DALAM RUMAH TANGGA

A. PENGERTIAN DAN SEBAB-SEBAB IMPOTENSI A.1. Pengertian Impotensi

Impotensi adalah perihal lemah syahwat; keadaan tidak berdaya. Sedangkan Impoten adalah tidak ada daya untuk bersenggama atau mati pucuk (lemah syahwat atau tidak mempunyai tenaga) tidak dapat berbuat apa-apa.25

Kata impoten berasal dari Bahasa Inggris yang berarti tidak berdaya, tidak bertenaga, Mati pucuk (lemah zakar. Dan didalam Kamus Bahasa Arab disebut ”Unnah” (Lemah Syahwat)dan juga biasa disebut ”Inniin”( Yang tidak mampu bersetubuh).

Ibnu Abidin juga mengemukakan pendapatnya yang dikutip oleh Dra. Firdaweri di dalam bukunya tentang pengertian impotensi menurut Bahasa dan istilah sebagai berikut: Orang impoten menurut Bahasa ialah orang yang tidak sanggup

bersetubuh. Dan (orang impoten) menurut Syara’ (Istilah) ialah: orang yang tidak

sanggup mensenggamai isterinya, karena terhalang si suami akibat impotensi. Seperti sudah tua atau masih kecil. Dan untuk lebih jelasnya Dra. Firdaweri mengutip pendapat Abdurahman Al-Jaziri yang mengemukakan pendapatnya tentang

24

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h, 71

25

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), Cet, 2, h. 427


(43)

impotensi, yang lebih memperinci lagi maksud impoten itu adalah: orang yang tidak sanggup bersenggama dengan isterinya pada kemaluannya, walaupun sudah bangun kemaluannya pada waktu mendekati isterinya, sekalipun dia sanggup bersetubuh dengan wanita lain. Impoten bisa disebut juga karena orang yang hanya sanggup bersenggama dengan perempuan janda, tidak sanggup pada perempuan perawan, bisa disebut impoten juga karena orang yang sanggup pada isterinya pada duburnya dan tidak sanggup pada kemaluannya. Maka orang yang ditemui keadaannya seperti itu disebut dinamakan impoten untuk mensetubuhi isterinya. Dengan demikian impoten menurut bahasa: Orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut istilah: Orang yang tidak danggup besenggama pada kemaluan isterinya.26

Impoten atau disfungsi ereksi pada dasarnya terjadi akibat tersumbatnya darah menuju zakar. Dalam hal ini kasusnya cukup bervariasi. Ada suami yang bisa ereksi selama cumbuan awal, namun ketika hendak melakukan hubungan suami istri penetrasinya lemas. Ada juga suami yang bisa melakukan penetrasi, namun berapa kali gerakan zakarnya sudah lemas dan terlepas dari vagina.

Dengan demikian jelas bahwa yang dikatakan impoten dalam uraian di atas menurut bahasa adalah orang yang tidak sanggup bersetubuh, sedangkan menurut

istilah Syara’ ialah orang yang tidak sanggup bersenggama pada kemaluan istrinya.

Kalau hal ini terdapat pada salah seorang suami tentu istri kurang menerima haknya. Selama istri merelakan itutidak menjadi persoalan, tetapi bagi istri yang tidak

26

Fidaweri,Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989), h. 91


(44)

rela, ia (istri) akan menuntut haknya. Dalam hal ini ia (istri) harus melalui prosedur Pengadilan.

A.2. Sebab-Sebab Impotensi

Dari segi penyebabnya, impotensi dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Impotensi organis adalah impotensi yang disebabkan oleh penyakit kelamin atau penyakit lainnya yang kemudian mempengaruhi alat kelamin, sehingga kemampuan seksualnya tidak normal. Penyakit yang dimaksug di atas yaitu mencakup trauma operasi yang menyebabkan sirkalulasi darah ke zakat tidak baik, kerusakan sum-sum tulang belakang (trauma medulla spinalis), pembengkakan prostat, kerusakan saraf akibat penyakit kelamin, atau karena membengkaknya saraf-saraf karena difteria.

Impotensi juga bisa karena suami menderita penyakit TBC, malaria, dankencing manis. Pada prinsipnya kencing manis merupakan penyakit karena gangguan metabolisme tubuh, yakni kegagalan mengurangi gula di dalam membuka peluang bagi terjadinya komplikasi seperti gangguan pada pembuluh darah (vaskulopati), gangguan persarafan (neoropati), dan gangguan pada sel otak (miopati). Padahal ketiga faktir tersebit memegang peranan penting dalam proses ereksi,. Oleh karena itu, wajar jika impotensi sering menimpa pada penderita kencing manis.


(45)

b. Impotensi fungsional adalah impotensi yang disebabkan oleh gangguan saraf, pemakaian obat-obatan antihipertensi, antidepresi, trankuilizer, obat diksi seperti alkohol. Barbiturat, heroin, amfetamin secara berlebihan.

Sebagaimana diketahui, ereksi yang biasanya berlanjut dengan ejakulasi semuanya diatur oleh saraf secara otomatis. Apabila saraf itu terganggu, maka sudah tentu potensi seksualnya juga terganggu. Di samping itu kekurangan kekurangan hormon dan kelelahan akibat bekerja terlalu keras juga bisa mengakibatkan impotensi jenis yang disebutkan di atas.

c. Impotensi psikis adalah impotensi yang disebabkan oleh faktor psikologis. Laki-laki yang menderita impotensi jenis ini dari segi fisik penisnya normal, namun tidak bisa ereksi karena ada gangguan yang bersifat psikis. Namun jika dibiarkan bisa menjadi impotensi sejati.27

d. Impotensi yang disebabkan oleh tertutupnya kedua pasangan saluran cairan mani. Tertutup cairan mani ini biasanya terjadi pada saluran mani atau saluran pengecar, karena gejala yang bermacam-macam seperti bengkak-bengkak atau bintik-bintik pada penis.28

Dan penaggulangannya atau pengobatan impotensi sangat tergantung dari penyebabnya, namun terlebih dahulu harus diketahui impotensi jenis apa yang diderita oleh suami di antaranya adalah:

27

Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori,Bimbigan Seks Islami, (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), h.110

28

Abu Yusuf Al-Banjari, Penyakit Kulit dan Kelamin Menurut Pandangan Islam, (Jakarta: Pustaka Ilmi, 1996), h. 148


(46)

1. Jika yang diderita adalah impotensi organis yang disebabkan oleh kelainan fisik, maka upaya penyembuhannya harus ditangani oleh dokter ahli. Penanganan para ahli dalam hal ini terbukti banyak membuahkan hasil yang memuaskan. Paling tidak, mereka sampai target hubungan seksual (penetrasi) berhasil dilakukan. Untuk keperluan penyembuhan tersebut para ahli telah menciptakan alat bantu yang bantu dari luar yang prinsip kerjanya megembangkan ruang vakum (kosong) di sekitar penis. Di Inggris telah menciptaka alat bantu seperti itu. Alat bantu yang pertama berupa silikon yang dikenakan seperti memakai kondom. Dengan memasukkan udara kedalamnya, maka akan menghasilkan penegangan. Namun para pengguna juga banyak yang mengeluh karena berkurangnya kepekaan (sensivitas) karena alat tersebut dirasakan terlalu tebal.

2. Jika yang diderita adalah impotensi fungsional yang disebabkab oleh gangguan saraf , maka upaya penyembuhannya adalah alat yang kedua berupa silinder platik yang dikenakan pada penis, lalu udaran di dalamnya disedot dengan pompa jika penis tersebut sudah membesar, maka dengan sendirinya darah akan masuk ke dalam pembuluh darah penis. Setelah itu pada pangkal penis dipasang karet silikon yang berbentuk lingkaran sebagai penyumbat udara. Para pemakai alat ini biasanya bisa menikmati hubungan seksual. Meskipun sesudah menggunakan alat ini biasanya akan terjadi pembengakakan, namun kemudian bisa normal kembali.


(47)

3. Jika yang diderita adalah impotensi psikis yang disebabkan oleh faktor psikolosgis, maka upaya penyembuhannya memerlukan kesabaran dan bantuan psikiater diperlukan untuk menyelidiki latar belakang kehidupannya sehingga mengalami impotensi. Hasil penyelidikan itu akan dianalisa untuk dijadikan dasar alam memberikan saran dan nasehat bagi upaya penyembuhan tahap berikutnya.

Disamping itu peran istri dalam upaya menyembuhkan impotensi psikis ini juga sangat penting. Misalnya, jika suami menderita impotensi karena kekhawatirannya terhadap penisnya yang pendek atau kecil, di samping berkonsultasi dengan psikiater, istri pun harus membantu suaminya agar tidak usah menghiraukannya, karena jika suami terus-terus memikirkannya justru akan menambah kecemasannya, dan itu akan memperparah impotensi yang dideritanya.29

B. SUAMI IMPOTEN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA.

Apabila pernikahan berlangsung dan sah dengan memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami dan istri dalam keluarga.

Jika suami istri sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah

29Anang Zamroni dan Ma’ruf Asrori,


(48)

kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berumah tangga akan terwujud sesuai dengan tuntutan agama, yaitu, sakinah, mawaddah, wa rahmah. Apabila suami istri telah menunaikan akad pernikahan maka dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual, perbuatan ini merupakan kebutuhan bersama suami istri yang dihalalkan secara timbal balik. Jadi suami halal berbuat kepada istrinya begitu juga dengan istri terhadap suaminya.

Hal ini berdasarkan firman Allah pada surat an-Nisa ayat 19 yaitu:

  

... ”Dan bergaullah dengan mereka secara patut...”(Qs. An-Nisa: 19).30

Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri sebaik-baiknya tidak boleh menganiaya istri dan menimbulkan kemudharatan terhadap istri. Suami dilarang menyengsarakan kehidupan istri dan menyia-nyiakan hak istri.

Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:

 



 

 

 

 

”Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. ” (Qs. Al-Baqarah: 231)

Berdasarkan firman Allah menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah

30


(49)

satu pihak yang menderita mudharat dapat mengambil keputusan untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.

Dengan keputusan Pengadilan atas dasar pengaduan antara salah satu pihak suami atau pun istri karena kemudharatan yang diderita, maka perkawinan dapat dipisahkan dengan beberapa alasan yaitu:

a. Tidak adanya nafkah bagi istri

Imam Malik, Asy syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa hakim boleh

menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada istrinya, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak memberi nafkah. Tidak memberi nafkah istri adalah perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakannya, berarti itu menimbulkan kemudharatan, maka hakim harus berusaha menghilangkan perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakan itu.

Sesuai dengan masalah di atas, seperti si istri berhak menerima nafkah dari suaminya. Oleh sebab itu si istri mempunyai kewajiban kepada suami untuk selalu patuh kepada suaminya, serta melayani suaminya dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang istri. Jangan seorang istri hanya menuntut haknya untuk dinafkahi tetapi tidak patuh kepada suaminya, itu sama halnya juga akan menimbulkan kemudharatan.


(50)

b. Terjadinya cacat atau penyakit.

Memang segala mahluk di dunia ini dilahirkan mempunyai nafsu, di antaranya manusia, salah satu nafsu manusia adalah terhadap lawan jenisnya. Nafsu lelaki terhadap wanita dan sebaliknya nafsu wanita terhadap lelaki. Namun jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak, baik suami maupun istri sedikian rupa sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya, atau menimbulkan penderitaan bathin pihak yang satunya, atau membahayakan hidupnya, maka yang bersangkutan berhak mengadukan masalahnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinan suami istri tersebut.

Cacat atau penyakit meliputi cacat jiwa, seperti: gila, cacat mental (penjudi dan pemabuk), cacat tubuh (penyakit lepra), dan cacat kelamin (penyakit pada alat kelamin, terpotong alat kelamin dan lemah syahwat), dan lain sebagainya sehingga mengganggu dan menghalangi hubungan suami istri.

c. Penderitaan yang menimpa istri

Dalam hidup berumah tangga hendaknya suami istri harus bergaul dengan cara yang baik dan harmonis sesuai dengan cara-cara yang ditentukan agama Islam. Namun jika istri menderita fisik atau bathin karena tingkah laku suaminya, misalnya suami menyakiti badan atau hati si istri dan menyengsarakan. Maka


(51)

dalam hal ini si istri berhak mengadukan masalahnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinannya.31

Dari penjelasan di atas, apabila dalam suatu perkawinan banyak menimbulkan kemudharatan maka perkawinan tidak layak lagi untuk dilanjutkan. maka dari itu Allah memberi jalan untuk pasangan suami istri apabila istri yang tidak bisa memberikan hak dan kewajibannya kepada suaminya diberi jalan yaitu talak, dan sebaliknya apabila suami tidak bisa memberikan hak dan kewajiban terhadap istrinya maka jalan untuk berpisah yaitukhulu’. Menurut bahasa, kata khulu’berarti tebusan. Dan menurut istilahkhulu’ berarti talak yang diucapkan istri dengan mengembalikan mahar yang pernah dibayarkan suaminya. Artinya, tebusan itu dibayarkan oleh seorang istri kepada suami yang dibencinya, agar suami itu dapat menceraikannya.32

Khulu’yang terdiri dari lafadz kha-la-’ayang berasal dari bahasa arab secara etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkankhulu’dengan perkawinan karena dalam Al-Quran disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istrinya itu merupakan pakaian bagi suaminya dalam surat Al-Baqarah ayat 187:

 

 



 

”Mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”. (Qs. Al-Baqarah:187).

Penggunaan kata khulu’ untuk putusnya perkawinan karena istri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaian itu dari suaminya.

31

Abd. Rahman Ghazaly,Fiqh Munakahat, h. 247

32


(52)

Khulu’ itu merupakan satu bentuk dari putusnya perkawinan, ulama menggunakan beberapa kata khulu’ yaitu: fidyah, shulh, mubarah. Walaupun dalam makna yang sama, namun dibedakan dari segi jumlah ganti rugi yang digunakan. Bila ganti rugi untuk putusnya hubungan perkawinan itu adalah seluruh mahar yang diberikan waktu nikah disebut khulu’. Bila ganti rugi adalah separoh dari mahar, disebutshulh, bila ganti rugi itu lebih banyak dari mahar yang diterima disebutfidyah dan bila istri bebas ganti rugi disebutmubarah.

Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan si suami tidak merasa perlu untuk menceraikannya, maka si istri dapat meminta perceraian dan suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suaminya. Bila suami menerima dan menceraikan istrinya atas dasar uang ganti rugi itu, maka putuslah hubungan suami istri antara keduanya.

Khulu’ merupakan salah satu bentuk dari perceraian, bahkan dalam beberapa literatur fiqh ditempatkan dalam ruang lingkup bahasan kitab talak hingga ketentuan yang berlaku dalamtalaqsebagian besarnya berlaku juga untukkhulu’.33

Khulu’ atau talak tebus diperbolehkan dalam agama kita dengan disertai beberapa hukum perbedaaan dengan talak biasa.

33

Amir Syarifuddin,Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: PT. Prenada Media, 2003), Cet. Ke 2, h. 232


(53)

Firman Allah Swt:                                            ”Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”(Al-Baqarah: 229).

Khulu’ atau talak tebus ini boleh dilakukan baik sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus ini terjadi karena kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang. Apalagi biasanya talak tebus ini tidak terjadi selain karena perasaan perempuan yang tidak dapat dipertahankannya lagi.

Perceraian yang dilakukan secara talak tebus ini berakibat bekas suami tidak dapat rujuk lagi, dan tidak boleh menambah talak sewaktu iddah, hanya diperbolehkan menikah kembali dengan akad baru.

Pendapat ini berdasarkan firman Allah Swt yaitu:

                              


(54)

”Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”

”Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (An-Nisa: 20-21)34

Khulu’ itu adalah perceraian atas kehendak istri. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an

Adapun dasarnya dari Al-Qur’an adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229:            .

”Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya...(Qs. Al-Baqarah: 229).35

Para ahli fiqh berpendapat bahwa dalam khulu’ harus diucapkan kata atau

lafazh yang terambil dari kata dasar khulu’ seperti: mubara’ah (berlepas diri) dan fidyah (tebusan). Jika tidak dengan kata khulu’ atau kata lain yang maksudnya sama,

misalnya suami berkata kepada istrinya: ”Engkau tertalak sebagai imbalan daripada

barang atau uang yang seharga sekian”, lalu ia (istri) mau menerimanya. Maka perbuatan seperti adalah talak dengan imbalan harta bukankhulu’.36

Ibnu sirin dan Abi Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali bila jelas di perut isi itu telah terdapat janin dalam arti ia (suami) telah berbuat

34

Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Bari Algesindo, 1994), h. 410

35

Ibid, Amir Syafiruddin, Cet ke 2, h. 232

36


(55)

sesuatu perbuatan keji, sebagaimana disebutkan Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 19

yaitu:

 



 

 



 



”Dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (Qs. An-Nisa’:19)

Ada beberapa hal dalam ayat tersebut yang merupakan karakteristik dari perceraian dalam bentukkhulu’dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu:

Pertama, perceraian dalam bentuk khulu’ disebabkan oleh adanya sesuatu, yaitu kekhawatiran dalam penyelenggaraan perkawinan itu, si istri merasa tidak dapat menegakkan ketentuan Allah kaitan dengan hak dan kewajibannya.

Kedua, perceraian itu menggunakan uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh dari pihak si istri yang diterima oleh si suami yang menceraikannya.

Ketiga,keinginan perceraian muncul dari pihak si istri.37

Jadi, jika seorang wanita membenci suaminya karena keburukan ahklak, ketaatannya terhadap agama, atau karena hal yang lain-lain dan ia (istri) sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah Azza wa Jalla. Maka diperbolehkan baginya mengkhulu’, dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya darinya (suaminya).

37


(1)

istri dan berumah tangga sehingga tidak akan menimbulkan percraian di antara pasangan suami istri.

3. Perlu adanya kerjasama yang baik antar suami dan istri, agar setiap kali ada perselisihan atau perbedaan pendapat dan pemikiran dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah dan damai, sehingga tidak akan terjadi keputusan-keputusan yang berakhir perceraian.

4. Suami dan istri hendaknya saling mengetahui kewajiban suami terhadap istrinya adalah merupakan hak bagi si istri, begitupun sebaliknya apa yang yang menjadi kewajiban bagi istri terhadap suaminya adalah merupakan hak suami.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abu, Al-Banjari Yusuf, Penyakit Kulit dan Kelamin Menurut Pandangan Islam, Jakarta: Pustaka Ilmi, 1996

Al-Qur’an Al-Karim

Ayyub, Syaikh Hasan,Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006 Departemen Agama,Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Jakarta: 2001

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Djamal, Murni,Ilmu Fiqh, Jakarta: Departemen Agama, 1985

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1989

Ghazaly, Abd. Rahman,Fiqh Munakahat, Jakarta: PT. Prenada Media, 2003 Http//Google//www. Kapan Lagi. Com, 11 Maret 2009

Jazhiri, Abdurahman–Al,Al-Fiqh Ala’ Mazahib Al-Arba’ah, Istanbul, Maktabah Isyik, 1997, Juz. 4

Kuzari, Achmad,Nikah Sebagai Pernikahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 Majah, Ibnu,Sunan, Beirut Dar al-fikr, tth


(3)

Muhammad, Abu Bakar, Terjemah Subulus Salam III, Suarabaya, Al-Ikhlas, 1995, Cet. Ke. I

Pedoman Akademik Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta Syarif Hidayatullah Tahun Akademik 2007/2008

Rasjid, Sulaiman,Fiqh Islam, Bandung: Sinar baru Algesindo, 1994 Sabiq, Sayyid,Fiqh Sunnah 8, Bandung: Al-ma’rif Bandung, 1980

Santoso, Amalia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jakarta: 2006

Syarifuddin, Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006, Cet. Ke 1

---,Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor: Prenada Media,2003, Cet. Ke. 1 ’Uwaidah, Muhammad Syaikh,Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998 Thalib, Muhammad, 15 Penyebab Perceraian dan Penaggulangannya, Bandung:

Irsyad Baitus Salam (IBS), 1997, Cet. Ke. I

Zamroni, Anang dan Ma’ruf Asrori, Bimbingan Seks Islami, Surabaya: Pustaka Anda, 1997.


(4)

(5)

Daftar Quesioner Skripsi

PERCERAIAN AKIBAT SUAMI IMPOTEN SUATU STUDY TERHADAP PERSEPSI KARYAWATI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN

JAKARTA Identitas Responden Nama : Status : Usia : Pendidikan : Pekerjaan : Alamat :

No. Jawablah pertanyaan ini dengan memberi tanda ( ) pada pendapat pilihan anda!

SS S KS TS

1 Apakah anda setuju apabila dalam pernikahan terjadi perceraian akibat impotensi?

2 Apakah menurut anda setiap pernikahan itu tujuannya adalah untuk mendapatkan keturunan? 3 Didalam Hadist menjelaskan bahwa “Allah sangat

membenci perceraian” apakah anda sutuju dengan ayat tersebut?

4 Apabila didalam rumah tangga suami tidak bisa memberikan keturunan, apakah anda setuju dengan jalan terbaik bercerai?

5 Menurut anda apabila suami impoten apakah menggugat cerai suami adalah jalan yang terbaik? 6 Setiap ada kekurangan pasangan suami, apakah anda

setuju menerima kekurangan pasangan anda tersebut?

7 Apakah anda setuju apabila dalam rumah tangga ada perceraian disebabkan oleh tidak adanya keturunan? 8 Apakah anda jalan yang terbaik bagi suami yang

impoten adalah berobat?


(6)

impoten adalah mengadopsi anak?

10 Apakah anda setuju jalan yang terbaik bagi suami yang impoten adalah menunggu mukjzat Allah? 11 Apakah anda setuju jalan yang terbaik bagi pasangan

yang impoten adalah terima apa adanya pasangan kita tersebut?

12 Menurut anda apabila suami yang impoten pisah ranjang dengan waktu tertentu adalah jalan yang terbaik sebelum bercerai?

13 Menurut anda apabila suami anda impoten apakah jalan suami menceraikan isteri adalah jalan yang terbaik?

14 Apakah anda setuju apabila suami anda impoten isteri berhak menggugat suami terlebih dahulu? 15 Apakah anda setuju apabila suami impoten, istri

langsung menikah setelah masa iddahnya selesai? 16 Menurut anda pernikahan yang tidak sehat,

perceraianlah satu-satunya jalan yang terbaik? 17 Menurut anda suami yang divonis dokter impoten

pasti tidak bisa memberikan keturunan?

18 Apakah anda setuju suami yang impoten adalah pemicu penyebabnya tidak harmonis dalam rumah tangga?

19 Menurut anda setiap suami yang impoten jalan bercerai adalah jalan yang terbaik?

20 Menurut anda suami yang impoten jalan tidak bercerai adalah jalan yang sangat baik untuk keutuhan pernikahan?

KETERANGAN:

 SS :Sangat Setuju

 S :Setuju

 KS :Kurang Setuju  TS :Tidak Setuju