Analisa P Collapse Pada Gable Frame Dengan Inersia Yang Berbeda Menggunakan Plastisitas Pengembangan Dari Finite Element Method

(1)

ANALISA P

Collapse

PADA GABLE FRAME DENGAN

INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS

PENGEMBANGAN DARI FINITE ELEMENT METHOD

Tugas Akhir

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat untuk menempuh ujian sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh:

AUGUSLIN SABTIAN HALAWA 050404136

SUB JURUSAN STRUKTUR DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISA P Collapse PADA GABLE FRAME DENGAN INERSIA YANG BERBEDA MENGGUNAKAN PLASTISITAS PENGEMBANGAN DARI

FINITE ELEMENT METHOD

Tugas Akhir

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi Syarat untuk menempuh ujian sarjana Teknik Sipil

Disusun oleh:

AUGUSLIN SABTIAN HALAWA 05 0404 136

Disetujui oleh: Dosen Pembimbing

NIP. 195612241981031002 Prof.Dr.Ing.Johannes Tarigan

SUB JURUSAN STRUKTUR DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Pada perencanaan struktur, telah diketahui bahwa analisa desain berdasarkan teori linear elastis belum mencerminkan faktor kekuatan struktur yang sebenarnya. Penyebabnya adalah bahwa dalam merencanakan struktur tersebut, mengabaikan kemampuan beberapa material tertentu seperti baja, untuk mengalami deformasi setelah titik lelehnya terlampaui.

ABSTRAK

Dalam tugas akhir ini, penulis mencoba menganalisa perilaku gable frame yang dibebani dengan beban terpusat dengan inersia yang berbeda dalam tahapan pembentukan sendi –sendi plastis berdasarkan teori plastis. Analisis struktur diselesaikan dengan finite element method (metode elemen hingga) untuk struktur plane frame. Analisis yang dilakukan berdasarkan mekanisme keruntuhan suatu struktur dalam mencapai beban runtuhnya.

Dari hasil perhitungan, terlihat bahwa analisa secara plastis pada strutur gable frame menghasilkan faktor beban runtuh (P Collapse) akibat pertambahan beban. Akibat pertambahan beban struktur akan mengalami mekanisme keruntuhan dengan jumlah sendi plastis yang terbentuk sebelum mengalami keruntuhan.


(4)

`

Abstrak ... i

DAFTAR ISI

Kata pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Notasi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Ruang Lingkup Pembahasan ... 3

1.3 Tujuan Penulisan ... 6

1.4 Pembatasan Masalah ... 7

1.5 Metodologi ... 8

BAB II Tinjauan Pustaka ... 9

2.1 Dasar-Dasar Teori ... 9

2.1.1 Hubungan Tegangan Regangan ... 9

2.1.2 Distribusi Tegangan Regangan ... 14

2.1.3 Menentukan Garis Netral Profil ... 16

2.1.4 Hubungan Momen Kelengkungan ... 17

2.1.5 Analisa Penampang ... 22

2.2 Sendi Plastis ... 23

2.2.1 Umum ... 23

2.2.2 Bentuk Sendi Plastis ... 24


(5)

2.3.1 Pendahuluan ... 27

2.3.2 Perhitungan Struktur ... 29

2.3.3 Metode Kerja Virtual ... 31

2.3.4 Metode Element Aingga Untuk Plane Frame... 31

BAB III Metode Analisa ... 38

3.1 Umum ... 38

3.1.1 Analisa Elastis ... 38

3.1.2 Analisa Plastis ... 39

3.2 Faktor Bentuk (Shape Faktor) ... 41

3.2.1 Modulus Elastis (sumbu x ) ... 41

3.2.2 modulus Plastis ... 42

3.3 Analisa Plastis Struktur Sederhana ... 44

3.3.1 Analisa Tahap Demi Tahap ... 44

3.3.2 Metode statis ... 49

3.4 Gable Frame ... 49

3.5 Metode Kerja Virtual ... 55

3.6 Pusat rotasi ... 58

3.7 Analisa plastis dengan metode elemen hingga (FEM) ... 61

3.7.1 Penyiapan data dan menentukan model ... 62

3.7.2 Tahap analisa elastis dengan menggunakan FEM ... 62

3.7.3 Memodifikasi kekakuan batang akibat terbentuknya sendi plastis ... 64

3.7.4 Prosedur langkah demi langkah... 65

BAB IV Aplikasi Analisa P Kritis Pada Gable frame ... 68

4.1 Aplikasi perhitungan ... 68


(6)

4.3 Memodifikasi kekakuan batang akibat terbentuknya sendi plastis ... 79

BAB V Kesimpulan ... 88 Daftar Pustaka


(7)

A = Luas potongan penampang

DAFTAR NOTASI

E = Modulus elastisitas

� = Regangan

My = Momen leleh Mp = momen plastis

� = faktor bentuk, Mp/My P = Gaya Luar Total

�� = faktor beban (load faktor)

l0 = panjang mula –mula

l = Gaya Luar Total

��� ,��� = Jarak titik berat luas tekanan dan tarikan ke garis netral dalam kondisi plastis penuh

fy = Kuat leleh yang disyaratkan untuk tulangan non-prategang u = komponen perpindahan elemen dalam arah x

v = komponen perpindahan elemen dalam arah y w = komponen perpindahan elemen dalam arah z σ = Tegangan normal

�� = tegangan leleh

�� = regangan leleh

�� = regangan plastis

ε

s = regangan strain hardening


(8)

� = jari- jari kelengkungan ( radius of curvature )

K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian (partially plastic state) Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh

f = faktor bentuk

Wi = beban luar ( beban terpusat atau terbagi rata) ∆� = deformasi struktur

∆� = ��2tan� , untuk sudut yang kecil Mj = momen pada tampang kritis �� = sudut rotasi sendi plastis {f} = Matriks gaya-gaya batang [k] = Matriks kekakuan struktur {d} = Matriks perpindahan


(9)

Tabel.2.1 : Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan ... 12

DAFTAR TABEL

Tabel.3.1 : Nilai faktor bentuk pada profil IWF ... 43

Tabel.4.1 : gaya –gaya dalam masing –masing element ... 78

Tabel.4.2 : momen ujung pada tahap 1... 79

Tabel.4.3 : momen ujung pada tahap 2... 81

Tabel.4.4 : momen ujung pada tahap 3... 83


(10)

Gambar.1.1 : Distribusi tegangan pada penampang lintang simetris ... 2

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1.2 : Sistem koordinat untuk batang tipikal. ... 4

Gambar.1.3 : Pola pembebanan pada gable frame ... 6

Gambar.2.1 : Hubungan tegangan dan regangan ... 10

Gambar. 2.2 : Efek bauschinger ... 13

Gambar. 2.3 : Hubungan plastic ideal ... 13

Gambar.2.4 : Perletakan sederhana ... 14

Gambar.2.5 : Distribusi tegangan – regangan ... 16

Gambar.2.6 : Penentuan garis netral ... 16

Gambar.2.7 : Kelengkungan balok ... 18

Gambar.2.8 : Distribusi tegangan pada penampang ... 20

Gambar. 2.9 : Hubungan momen kelengkungan ... 21

Gambar. 2.10 : Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada tampang persegi ... 22

Gambar. 2.11 : Balok dengan pembebanan terpusat ... 24

Gambar. 2.12 : Lengkung sendi plastis beban terpusat ... 25

Gambar. 2.13 : Balok dengan pembebanan terbagi rata ... 25

Gambar. 2.14 : Gambar dengan sendi plastis terbagi rata ... 26

Gambar. 2.15 : Balok dengan pembebanan terbgi rata segitiga... 26

Gambar. 2.16 : Gambar sendi plastis beban segitiga ... 27

Gambar. 2.17 : Struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi - sendi ... 28


(11)

Gambar 2.18 : Struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan

sendi – jepit ... 28

Gambar. 2.19 : Struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan jepit – jepit ... 29

Gambar. 2.20 : sistem koordinat untuk batang tipikal ... 33

Gambar. 2.21 : derajat kebebasan untuk elemen plane frame... 34

Gambar. 3.1 : kondisi struktur pada analisis plastis dan analisis elastis ... 40

Gambar. 3.2 : perbedaan perancangan plastis dengan perancangan elastis ... 40

Gambar. 3.3 : Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF ... 41

Gambar. 3.4 : balok kedua ujungnya terjepit ... 45

Gambar. 3.5 : kondisi pertama peningkatan momen dalam ... 46

Gambar. 3.6 : kondisi kedua peningkatan momen dalam ... 46

Gambar. 3.7 : diagram momen kondisi ketiga ... 47

Gambar. 3.8 : bentuk lendutan dan mekanisme runtuhnya ... 48

Gambar. 3.9 : hubungan beban – lendutan ... 48

Gambar. 3.10 : pembebanan gable frame ... 50

Gambar. 3.11 : momen resultan ... 51

Gambar. 3.12 : mekanisme keruntuhan ... 54

Gambar. 3.13 : mekanisme runtuh pada struktur tak seragam ... 55

Gambar. 3.14 : mekanisme pada gable frame ... 57

Gambar. 3.15 : struktur pembebanan dan mekanisme yang terjadi ... 58

Gambar. 3.16 : mekanisme kombinasi ... 61


(12)

Gambar. 4.2 : gambar bidang momen ... 78

Gambar. 4.3 : gambar bidang momen pada tahap 1 ... 80

Gambar. 4.4 : gambar bidang momen pada tahap 2 ... 82

Gambar. 4.5 : gambar bidang momen pada tahap 3 ... 84


(13)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih yang telah memberikan berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang merupakan syarat utama yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar sarjana teknik dari Universitas Sumatera Utara. Tugas akhir ini dengan judul “Analisa P Collapse Pada Gable Frame Dengan Inersia

Yang Berbeda Menggunakan Plastisitas Pengembangan Dari Finite Element

Method”.

Tugas akhir ini disusun untuk diajukan sebagai syarat dalam ujian sarjana teknik sipil bidang studi struktur pada fakultas teknik Universitas Sumatera Utara Medan. Penulis menyadari bahwa isi dari tugas akhir ini masih banyak kekurangannya. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pemahaman penulis. Untuk penyempurnaannya, saran dan kritik dari bapak dan ibu dosen serta rekan mahasiswa sangatlah penulis harapkan.

Penulis juga menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, tugas akhir ini tidak mungkin dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang senantiasa penulis cintai yang dalam keadaan sulit telah memperjuangkan hingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof.Dr.Ing.Johannes Tarigan. Selaku dosen pembimbing dan juga selaku Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah


(14)

banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir ini

2. Bapak Ir.Sharizal,MT. Selaku Sekretaris Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara

3. Bapak/Ibu staf pengajar jurusan teknik sipil Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh pegawai administrasi yang telah memberikan bantuan dan kemudahan dalam penyelesaian administrasi

5. Kedua Orang Tuaku tercinta ( Y Halawa dan A Zai ) yang selalu memberi dukungan dan kasih sayangnya dan juga doa yang selalu menyertai penulis. Buat keempat adikku ( Elman, Hening, Ifan dan Fiktor ) yang kusayangi, terima kasih kuucapkan kepada kalian atas dorongan dan doanya.

6. Seluruh rekan-rekan mahasiswa-mahasiswi jurusan teknik sipil.

7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Akhir kata penulis mengharapkan tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2012

05 0404 136 Auguslin S. Halawa


(15)

Pada perencanaan struktur, telah diketahui bahwa analisa desain berdasarkan teori linear elastis belum mencerminkan faktor kekuatan struktur yang sebenarnya. Penyebabnya adalah bahwa dalam merencanakan struktur tersebut, mengabaikan kemampuan beberapa material tertentu seperti baja, untuk mengalami deformasi setelah titik lelehnya terlampaui.

ABSTRAK

Dalam tugas akhir ini, penulis mencoba menganalisa perilaku gable frame yang dibebani dengan beban terpusat dengan inersia yang berbeda dalam tahapan pembentukan sendi –sendi plastis berdasarkan teori plastis. Analisis struktur diselesaikan dengan finite element method (metode elemen hingga) untuk struktur plane frame. Analisis yang dilakukan berdasarkan mekanisme keruntuhan suatu struktur dalam mencapai beban runtuhnya.

Dari hasil perhitungan, terlihat bahwa analisa secara plastis pada strutur gable frame menghasilkan faktor beban runtuh (P Collapse) akibat pertambahan beban. Akibat pertambahan beban struktur akan mengalami mekanisme keruntuhan dengan jumlah sendi plastis yang terbentuk sebelum mengalami keruntuhan.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dalam perencanaan struktur dapat dilakukan dengan dua cara yaitu analisa elastis dan plastis. Pada analisa elastis, diasumsikan bahwa ketika struktur dibebani maka tegangan yang terjadi lebih kecil dari tegangan leleh (yield stress) dimana tegangan serat terluar tepi atas dan serat terluar tepi bawah adalah linear. apabila gaya luar mengakibatkan perubahan bentuk (deformation) tidak melebihi batas tertentu, maka perubahan bentuk akan hilang setelah gaya dilepas. Hampir semua bahan teknik memiliki sifat elastisitas ini. Deformasi yang terjadi akibat beban yang bekerja akan dapat kembali ke bentuk semula ketika gaya tidak lagi diberikan. Deformasi elastis mengacu pada hukum hooke yang menyatakan bahwa:

�= ��

Dimana � adalah tegangan yang bekerja, E adalah suatu konstanta pembanding yang dikenal sebagai modulus elastistisitas atau seringkali disebut sebagai modulus young ( young’s modulus ) dan ℰ adalah regangan yang dihasilkan. Hubungan ini hanya dapat diterapkan pada keadaan elastis dan mengindikasikan suatu kemiringan antara tegangan dan regangan yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya modulus young.

Sedangkan pada analisa plastis tegangan yang terjadi adalah tegangan leleh (yield stress) yang telah menjalar hingga kebagian serat penampang,


(17)

sehingga struktur akan mengalami deformasi elastis plastis akibat penambahan beban. Pada daerah plastis Hukum hooke (Hooke’s law) tidak berlaku lagi. Apabila beban terus diperbesar, keadaan plastis penuh akan tercapai, hingga pada suatu beban plastis, maka seluruh serat akan mengalami tegangan leleh. Akibatnya pada bagian itu akan mengalami perputaran sudut (rotasi) dengan momen yang tetap (momen plastis) besarnya pada penampang tersebut walaupun tanpa diberikan penambahan beban, keadaan ini yang disebut sebagai sendi plastis, dalam keadaan ini sejumlah sendi plastis terbentuk. Apabila telah tercapai sejumlah sendi plastis tertentu, maka struktur tersebut akan runtuh (collapse).

Gambar 1.1. Distribusi tegangan pada penampang lintang simetris.

Distribusi tegangan pada gambar 1.1 menunjukkan tahap – tahap struktur akan runtuh dimulai dengan momen lentur yang bertambah besar (gambar 1.1a), penampang balok elastis (gambar 1.1b), plastis diserat atas (gambar 1.1c), plastis penuh (gambar 1.1d) disini struktur struktur telah runtuh (collapse).

Titik berat My

l y

sy sy

sy distribusi tegangan

(a) (b) (c) (d)

a /2 a /2 Garis netral dalam kondisi plastis penuh

yc yc

sy

sy

distribusi t egangan (e)


(18)

Perencanaan struktur berdasarkan pendekatan plastis (perencanaan batas/limit design) semakin banyak dipakai dan diterima dibandingkan dengan design konvensional elastis terutama untuk konstruksi baja misalnya portal baja, portal beratap lancip (pitched roof portal) ataupun balok menerus karena baja merupakan material yang memiliki daktalitas yang tinggi. Daktalitas merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan suatu material untuk mengalami deformasi secara plastis (tidak dapat kembali pada bentuk semula).

1.2. Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam analisa P collapse pada gable frame diperlukan perencanaan yang matang. Hal ini menjadi poin penting yang akan menentukan apakah struktur tersebut sudah sesuai atau belum dengan standar perencanaan.

Pada tugas akhir ini akan dibahas perhitungan factor beban runtuhnya (collapse load factor,) akibat struktur mengalami mekanisme keruntuhan. Beban runtuh diperoleh dengan melacak keadaan pembebanan portal, dan dengan melakukan analisa elastis (metode finite element untuk plane frame element) pada portal yang dimodifikasi akibat terbentuknya sendi plastis baru yang disebabkan pertambahan beban.

Jika sendi plastis terbentuk di salah satu atau kedua ujung batang, maka matriks kekakuan batang perlu diubah agar sesuai dengan kenyataaan bahwa momen lentur di sendi tersebut (akibat pertambahan beban) sama dengan nol.


(19)

Gambar 1.2. sistem koordinat untuk batang tipikal.

Tiga kombinasi di ujung adalah:

(i) Sendi di ujung kiri (gambar 1.2), gaya dan perpindahan dihubungkan

oleh: {�} = [�]{�} ⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎪ ⎪ ⎧��1

�1

�1�2�2�2⎪⎪

⎬ ⎪ ⎪ ⎫ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ ��� 0 0

0 12�� �3

6�� �2

0 6�� �2

4�� �

−�� 0 0

0 −12�� �3

6�� �2

0 −6�� �2

2�� �

−�� 0 0

0 −12��

�3 −6��2

0 6��

�2 2��

��

� 0 0

0 12��

�3 −6��2

0 −6��

�2 4�� ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ ⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧�11

�1

�2

�2

�2⎭⎪

⎬ ⎪ ⎫

Karena momen lentur di sendi (akibat pertambahan beban) sama dengan nol ( Mz1=0 ) maka

�1=�− 3 2��1+

3 2��2−

1 2�2�

y α Sy2 Sy1 Sx1 Sx2 1 2 Mz1 Mz2


(20)

Menghasilkan matriks kekakuan yang telah dimodifikasi {�∗��} = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡��� 0 0 0 3��3 0 0 0 0

−�� 0 0

0 −3��3 3��2

0 0 0

−�� 0 0 0 −3��

�3 0 0 3��2 0

��

� 0 0 0 3��

�3 −

3�� �2 0 −3��2 3��

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

(ii) sendi di ujung kanan. Prosedur yang sama menghasilkan :

{�∗��} = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡��� 0 0 0 3��

�3 3��

�2 0 3��2 3��

−�� 0 0 0 −3��

�3 0 0 −3��2 0 −�� 0 0

0 −3��3 −3��2

0 0 0

��

� 0 0 0 3��3 0

0 0 0⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

(iii) sendi di kedua ujung. Disini matriks kekakuan direduksi ke kakuan

batang yang dibebani secara aksial, karena lenturan tidak mungkin lagi. {�∗��} = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ ��� 0 0

0 0 0

0 0 0

−�� 0 0

0 0 0

0 0 0

−�� 0 0

0 0 0

0 0 0

��

� 0 0

0 0 0

0 0 0 ⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

Pada prinsipnya teori dan cara perhitungan pendekatan yang akan dibahas berlaku hanya untuk konstruksi gable frame yang prismatis dengan inersia tampang yang berbeda- beda.


(21)

Pada contoh perhitungan, kasus yang ditinjau adalah gable frame Pola pembebanannya adalah seperti pada gambar 1.2

Gambar 1.3. pola pembebanan pada gable frame

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun maksud dan tujuan utama penulisan tugas akhir ini adalah untuk mendapatkan factor beban runtuhnya (collapse load factor,) akibat struktur mengalami mekanisme keruntuhan pada gable frame akibat adanya beban yang disebabkan oleh beban terpusat asimetris dengan jumlah sendi plastis yang terbentuk sebelum megalami keruntuhan.

Tugas akhir ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran akan pentingnya analisa plastis pada suatu bangunan khususnya pada pada bangunan yang berubah fungsi.

Tujuan lain adalah membuka wawasan kepada masyarakat, khususnya kaum intelektual seperti mahasiswa, perencana, ilmuwan mengenai mekanisme keruntuhan pada gable frame.

4Pc

Pc

3Pc

a

b

c

d

h1

h2

h3

h4

h5

h6


(22)

1.4. Pembatasan masalah

Dalam tugas akhir ini akan dibahas mengenai analisa P collapse pada gable frame yang mengalami mekanisme keruntuhan dengan jumlah sendi plastis yang terbentuk.

Adapun pembatasan masalah yang diambil untuk mempermudah penyelesaian adalah :

1. Material dianggap isotropis dan homogen.

2. Hubungan tegangan-regangan dalam batas elastis linier (berlaku hukum Hooke)

3. Pengaruh temperatur, kecepatan regang dan residual stress tidak ditinjau

4. Analisis struktur dilakukan dengan Finite Element Methode untuk element plane frame

5. Hanya ditinjau untuk kondisi beban runtuh (Pkritis) dan load faktor ��.

6. Berat sendiri atau beban terdistribusi merata tidak diperhitungkan. 7. beban terpusat asimetris dan dengan inersia tampang yang berbeda-

beda.

1.5. Metodologi

Metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini adalah literature yaitu dengan mengumpulkan data-data dan keterangan dari buku-buku yang


(23)

berhubungan dengan pembahasan pada tugas akhir ini serta masukan-masukan dari dosen pembimbing. Untuk perhitungan tabel-tabel dilakukan dengan bantuan program Microsoft Excel 2007. Sedangkan untuk perhitungan gaya-gaya dalam yang terjadi pada komponen struktur dilakukan dengan metode Finite Element.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dasar –Dasar Teori

2.1.1. Hubungan tegangan dan regangan

Hubungan teganan dan regangan pertama kali dikemukakan oleh Robert Hooke pada tahun 1678. Dalam hokum hooke dijelaskan bahwa baja lunak ditarik oleh gaya aksial tertentu pada kondisi temperatur ruang maka material tersebut akan mengalami regangan yang nilainya berbanding lurus dengan tegangan ataupun dengan beban aksial yang diberikan kondisi tersebut kemudian disebut sebagai kondisi elastis. Hubungan antara tegangan dan regangan dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

=�

� (2.1)

• ε =(�−� 0)

0 (2.2)

=�� (2.3)

Dimana: P = Beban Aksial A = Luas Profil

lo = Panjang Mula-mula

l = Panjang Batang setelah dibebani E = Modulus Young/ Modulus kekenyalan


(25)

Tegangan didefinisikan sebagai intensitas gaya yang bekerja pada tiap satuan luas bahan sedangkan regangan didefinisikan sebagai suatu perbandingan antara perubahan dimensi suatu bahan dengan dimensi awalnya. Karena regangan merupakan rasio antara dua panjang, maka regangan ini merupakan besaran tak berdimensi, artinya regangan tidak mempunyai satuan. Dengan demikian, regangan dinyatakan hanya dengan suatu bilangan, tidak bergantung pada sistem satuan apapun. Harga numerik dari regangan biasanya sangat kecil karena batang yang terbuat dari bahan struktural hanya mengalami perubahan panjang yang kecil apabila dibebani. Hubungan antara regangan dan tegangan untuk lebih jelasnya dapat digambarkan pada gambar 2.1

Gambar 2.1. Hubungan tegangan dan regangan

Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah linear elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau disebut juga Modulus young, E. diagram tegangan- regangan untuk baja lunak

���

M

C ��

A’ B

�y ��

0


(26)

umumnya memiliki titik leleh atas ( Upper Yield Point ),

σ

yu dan daerah leleh

datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A’ tidaklah terlalu berarti sehingga pengaruhnya sering diabaiakan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut sebagai tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.00012. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa bila regangan terus bertambah hingga melampaui harga ini, ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak mengalami pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian kemudian disebut sebagai daerah plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan mengalami sedikit kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat ditentukan terletak pada regangan 0,014 atau secara praktis dapat ditetapkan sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.

Daerah BC merupakan daerah strain- hardening, dimana pertambahan regangan akan diikuti oleh pertambahan sedikit tegangan. Disamping itu hubungan tegangan- regangannya tidak bersifat linear. Kemiringan garis setelah titik B ini didefinisikan sebagai Es. Di titik M, tegangan mencapai titik maksimum yang disebut sebagai tegangan tarik ultimit ( ultimate tensile strength ). Pada akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C.

Besaran- besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja, proses pembuatan pengerjaan baja dan temperature baja pada saat percobaan. Tetapi factor- faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus elastisitas ( E ). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan ditampilkan pada table 2.1


(27)

Table 2.1 Hubungan persentase karbon ( C ) terhadap tegangan

% C

σ

(N/mm2)

σ

ya

y

ε

s /

ε

y Es / Ey

0.28 340 1.33 9.2 0.037

0.49 386 1.28 3.7 0.058

0.74 448 1.19 1.9 0.070

0.89 525 1.04 1.5 0.098

Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan bahan akan berpengaruh pada daktalitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin rendah daktalitas dari material tersebut. Daktalitas adalah perbandingan antara

ε

s dan

ε

y dimana

ε

s adalah regangan strain hardening dan

ε

y adalah regangan leleh.

Selanjutnya, apabila suatu material logam mengalami keadaan tekan dan tarik secara berulang, diagram tegangan regangannya dapat berbentuk seperti gambar 2.2. lintasan dan tekan akan sama. Hal ini menunjukkan suatu keadaan yang disebut efek bauschinger, yang pertama kali diperkenalkan oleh J. Bauschinger dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun 1886.


(28)

Gambar 2.2. Efek bauschinger

Hubungan regangan-tegangan untuk keperluan analisis ini diidealisasikan dengan mengabaikan pengaruh tegangan leleh atas (strain hardening ) dan efek bauschinger, sehingga hubungan antara tegangan dan regangan menjadi seperti gambar 2.3. keadaan semacam ini sering disebut sebagai keadaan hubungan plastis ideal (ideal plastic relation).

−�


(29)

Gambar 2.3. Hubungan plastic ideal

2.1.2. Distribusi Tegangan Regangan

Sebuah balok diatas dua tumpuan sendi dan menahan beban terpusat W seperti gambar 2.4. dari persamaan keseimbangan, kita dapat memperoleh reaksi tumpuan sebesar W/2. Diagram momen lenturnya terdapat pada 2.4b, dengan momen maksimumnya sebesar Wl/4 yang terletak dibawah titik beban.

Gambar 2.4. Perletakan sederhana

Jika besarnya tegangan maksimum belum mencapai tegangan leleh, distribusi tegangan dan regangan dari semua penampangnya akan berupa garis lurus. Hal ini sesuai dengan hukum Bernoulli dan Navier, yaitu bersifat linear dan nol pada garis netral. Dengan demikian, tegangan dan regangan disuatu serat yang ditinjau adalah berbanding lurus terhadap jarak dari garis netral penampang. Teganan tarik maksimum pada serat bawah dan tegangan tekan pada serat atas adalah :

���� =� (2.4)

Dengan M = momen lentur

W

a

A C B

W/2 W/2

Wl/4


(30)

S = modulus penampang (section modulus).

Jika beban terpusat semakin besar, tegangan di setiap serat penampang turut bertambah pula. Keadaan ini dapat kita lihat pada gambar 2.5, gambar 2.5b menunjukkan tegangan dan regangan pada serat terluar yang telah mencapai kondisi leleh. Keadaan ini terletak ditik A pada gambar 2.1, dan besarnya momen padatitik ini disebut sebagai momen leleh (yield stress), My.

Apabila beban w diperbesar lagi, tengangan lelehnya mulai menjalar keserat sebelah dalam, gambar 2.5c-d. bahwa tidak ada tegangan yang lebih besar daripada tegangan leleh, tetapi momen dalam dapat terus bertambah karena resultan gaya dalamnya bertambah besar. Dengan pemberian sedikit penambahan beban lagi, akan tercapailah keadaan dimana seluruh serat penampang mengalami tegangan leleh, gambar 2.5e. momen dalam menjadi maksimum dan merupakan

momen plastis. Pada kondisi ini, penampang tadi akan mengalami rotasi yang cukup besar tanpa terjadi perubahan momen. Dengan kata lain dititik tersebut telah terjadi sendi plastis. Titik c pada gambar 2.4 memiliki harga momen yang terbesar, sehingga titk ini akan lebih cepat untuk berubah menjadi sendi plastis dibandingkan dengan titik lainnya.


(31)

Gambar 2.5. Distribusi tegangan - regangan

2.1.3. Menentukan garis netral profil

Garis netral untuk tampak yang sama pada kondisi elastis tidak akan sama dengan kondisi garis netral pada saat plastis. Pada kondisi elastis, garis netral merupakan garis yang membagi penampang menjadi dua bagian yang sama luasnya. Pada kondisi plastis, garis netral ditinjau sebagai berikut :

gambar 2.6. penentuan garis netral

• D1 = A1. σy (2.5)

regangan

�� 2��

�� −2�

10�

−10�

(a) (b) (c) (d) (e)

tegangan

�< �

A1 A2

Z1

D2

��

��

Z2 D1


(32)

• D2 = A2. σy (2.6)

Agar terjadi keseimbangan maka D1 = D2

• Sehingga A1 = A2 = 1/2 A • Selanjutnya Z1 = S1/A1

Z2 = S2/A2

Dimana : S1 = statis momen pada bidang A1 terhadap garis netral plastis S2 = statis momen pada bidang A2 terhadap garis netral plastis D1 = resultan gaya tekan diatas garis netral plastis

D2 = resultan gaya tarik diatas garis netral plastis Z1 = section modulus luasan 1

Z2 = section modulus luasan 2

Untuk menentunkan momen plastis batas digunakan : • Mp = D1 (Z1 + Z2)

• Mp = σy ½ A ( Z1 + Z2 )

2.1.4. Hubungan momen kelengkungan

Pada saat terjadi sendi plastis pada suatu struktur dengan perletakan sederhana, suatu struktur akan berotasi secara tidak terbatas. Sebelun gaya luar bekerja, balok masih dalam keaadan lurus.


(33)

Gambar 2.7. Kelengkungan balok

Setelah gaya luar bekerja, balok akan mengalami pelenturan. Diasumsikan bahwa material penyusun balok adalah homogen dan diasumsikan bahwa balok hanya mengalami lentur murni tanpa gaya aksial.

Perubahan kelengkungan akibat lentur murni ditunjukkan oleh gambar 2.5. titik A, B dan C akan tertekan sedangkan titik A1, B1, C1, akan meregang. Perpanjangan titik A1-A, B1-B, C1-C akan mengalami perpotongan pada titik O. sudut yang terbentuk akibat trjadinya perubahan kelengkungan ditik A dan B atau B dan C, dinyatakan dengan �. Kalau � ini sangat kecil maka :

= (� − �)� • 1�1 = ��

dengan � adalah jari- jari kelengkungan ( radius of curvature )

A B C

A1 B1 C1

O

� �

M M

C B

A

y a

b a1

b1

c1 A1


(34)

sehingga, regangan pada arah memanjang disuatu serat sejauh y dari sumbu netral dapat dinyatakan sebagai:

= ��−�1�1�1�1

�= −� (2.7)

Dimana 1/� menunjukkan kelengkungan ( K ). Tanda negatif menunjukkan bahwa bagian diatas garis netral, berada pada kondisi tekan, sedangkan pada kondisi dibawah garis netral berada pada kondisi tarik. Dengan

• �

� = � � 1 R=

σ

Ey (2.8)

Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada sera atas adalah :

= �

Dimana : S adalah modulus penampang

=�

2

Akhirnya didapat 1 �=

M

ESD/2 dimana S.D/2 = I (momen inersia)

• 1

�= M EI=

d2y


(35)

= Daerah yang mengalami elastis

= daerahyang berada pada kondisi elastis

gambar 2.8. Distribusi tegangan pada penampang

Pada gambar 2.8. dapat dilihat bahwa regangan pada serat terluar telah mencapai tegangan leleh. Sedangkan serat terjauh Z dari garis netral belum mengalami tegangan leleh. Dengan demikian daerah sejauh 2Z materialnya masih berada pada kondisi elastis dan besarnya momen dalam dapat dicari dari resultan bagian elastis dan plastis.

Jika Z=D/2, hanya serat terluar saja yang mencapai kondisi leleh dan besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My).

• My = S .�� (2.10)

Dimana S adalah modulus penampang (section modulus)

Dari persamaan (2.6) dengan harga �= � , �=�, dapat diperoleh :

=�/� (2.11)

Selanjutnya untuk Z = ½ D diperoleh :

= 2 �/� (2.12)

Dimana K = kelengkungan pada kondisi plastis sebagian (partially plastic state)

Garis netral

B ��

z D/2


(36)

Ky = kelengkungan pada saat kondisi leleh

Perbandingan antara momen plastis (Mp) dengan momen leleh (My) menyatakan peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau dari kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang (shape factor) yang dinotasikan sebagai f.

Gambar 2.9. Hubungan momen kelengkungan

dari gambar 2.9 dapat dilihat bahwa suatu kurva hubungan momen terhadap kelengkungan (M-K), dimana dari kurva tersebut dapat dilihat bahwa nilai momen ( M ) akan semakin mendekati f. My apabila harga K semakin besar. Bila nilai menjadi factor bentuk ( f ) maka harga K akan mencapai harga tidak berhingga, dimana ini menandakan bahwa nilai z dalam persaamaan 2.11 sama dengan nol, dimana y = z, maka seluruh penampang serat mencapai kondisi plastis penuh dan momen plastisnya adalah Mp = f. My. Dimana f adalah factor bentuk yang merupakan perbandingan antara momen plastis dan momen leleh menyatakan

b

c M/My

K/ky a


(37)

peningkatan kekuatan penampang akibat ditinjau dari kondisi plastis. Perbandingan ini tergantung dari bentuk penampang.

2.1.5. Analisa penampang

Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang distribusi tegaganan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh yang digambarkan pada gambar 2.10.

Gambar 2.10. Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada tampang persegi

 Modulus elastis My = 2M1+2M2

= 2��

2− �� �.�� 1 2�

2+��+ 2. 1

2�.�.��� 2 3�� = ��

2− �� � �

2+�� �.�� +�.�� 2 3�2 = �.�����

2� 2

− �2+2 3�2� = �.���2

4 − 1 3�2� = �.���2

4 − 1 3�

� 2�

2

= �.��3�212−�2� D/2

D/2

B

1 2

2 1

2 1 1

2

Momen elastis Momen plastis ��

��

��

�� Tampang persegi


(38)

= 1

6�.�2.�� (2.13a)

 Modulus plastis

Momen plastis yaitu luasan tampang kali lengan momen Mp = 2.��1

2�.�� � 1 4�� = 1

4�.�2.�� (2.13b)

Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f, maka hubungan antara kapasitas momen pada saat keadaan leleh (My) dan kapasitas momen pada keadaan plastis (Mp) akan menghasilkan :

= ����

=

1 4�.�2.�� 1 6�.�2.�� • = 1,5

2.2. SENDI PLASTIS

2.2.1. Umum

Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran (rotasi) pada suatu struktur yang berlangsung secara terus menerus sebelum pada akhirnya mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal.

Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu sturktur maka sifat dari konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh:

1. Bila konstruksi semula merupakan statis tertentu, maka dengan timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan runtuh.


(39)

2. Pada suatu konstruksi yang hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi plastis maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatis dari suatu konstruksi.

Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang yang semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut.

2.2.2. Bentuk sendi plastis

Sendi plastis akan membentuk satu persamaan garis tertentu sebelum terjadi keruntuhan.

Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terpusat asimetris

Gambar 2.11. Balok dengan pembebanan terpusat

�� =��(1−�)

�� =��(1− ��2) (1−�

�) = (1− ��2)

O

P

lP

x gn


(40)

� = ���2 �= ��√� �(�) =��√�

Gambar 2.12. Lengkung sendi plastis beban terpusat

Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata

Gambar 2.13. Balok dengan pembebanan terbagi rata �� =��(1−�

2

�2)

�� =��(1− ��2) (1−�

2

�2) = (1− ��2)

� = ��2�2 �= ��� �(�) =���

� �(�) =��√�

O

lP

x gn


(41)

Gambar 2.14.Gambar dengan sendi plastis terbagi rata

Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata segitiga

Gambar 2.15. Balok dengan pembebanan terbagi rata segitiga

�� =��(1−� 3

�3)

�� =��(1− ��2) (1−�

3

�3) = (1− ��2)

�=��3�2

�=���32

�(�) =���32

� �(�) =���

O

lP

x gn


(42)

Gambar 2.16. Gambar sendi plastis beban segitiga

2.3. ANALISA STRUKTUR SECARA PLASTIS

2.3.1. Pendahuluan

Analisa struktur secara plastis bertujuan untuk menentukan beban batas yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Kruntuhan struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat menyeluruh ataupun parsial.

Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami mengalami keruntuhan total jika kondisinya labil, di sini telah terbentuk lebih dari n buah sendi plastis. Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada mekanisme keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis dengan derajat yang lebih rendah dari yang semula.

Suatu struktur statis tak tentu mempunyai sejumlah mekanisme keruntuhan yang berbeda. Setiap mekanisme keruntuhan itu menghasilkan beban runtuh yang berbeda. Sehingga pada akhirnya dipilih mekanisme yang menghasilkan beban runtuh yang terkecil.

� �(�) =���32


(43)

Jumlah sendi plastis yang dibutuhkan untuk mengubah suatu struktur kedalam kondisi mekanisme runtuhnya sangat berkaitan dengan derajat statis tak tentu yang ada dalam struktur tersebut. Dalam hal ini dapat dibuat runusan sebagai berikut : �= �+ 1

Dimana n = jumlah sendi plastis untuk runtuh

r = derajat statis tak tentu

1. untuk struktur balok dua perletakan sendi- sendi (struktur statis tertentu ) dengan � = 0 ���� = 1

Gambar 2.17. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi- sendi

Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi platis untuk mencapai mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pad momen maksimum (dibawah beban titik).

2. Suatu balok dua perletakan sendi- jepit ( struktur statis tak tentu berderajat 1) dengan � = 1 ����= 2

Gambar 2.18. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi- jepit P


(44)

Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya . sendi plastis pada system perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit.

3. Untuk balok struktur dua perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu berderajat dua) dengan � = 2 ���� = 3

Gambar 2.19. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan jepit –jepit

Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi platis untuk mencapai mekanisme keruntuhannya. Sendi pada system perletakan tersebut akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit.

2.3.2. Perhitungan struktur

Pada prinsipnya, jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka akan dipenuhi ketiga kondisi berikut:

1. Kondisi leleh (Yield Condition)

Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas (Mp)

2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition) 3. Kondisi mekanisme (mechanism condition)

Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan. P


(45)

Ketiga kondisi diatas menjadi syarat dari teorema berikut: 1. Teorema batas bawah ( lower bound theorem)

Teorema batas bawah menetapkan atau menghitung distribusi momen dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh. Beban yang dianalisa memiliki factor beban (� ) yang memiliki nilai yang lebih kecil dari harga yang sebenarnya (�), dirumuskan � ≤ � sehingga hasil yang dihasilkan mungkin aman mungkin tidak.

2. Teorema batas atas (upper bound theorem)

Jika distribusi momen yang diperoleh dihitung berdasrkan syarat yang memenuhi kondisi keseimbangan dan mekanisme, dapat dipastikan bahwa harga factor bebannya akan lebih besar atau sama dengan harga sebenarnya, (�), � ≥ �

Sehingga hasil yang dihasilkan mungkin benar atau mungkin tidak. 3. Teorema unik (unique theorem)

Distribusi momen untuk teorema ini akan memenuhi ketiga kondisi tersebut di atas sehingga akan diperoleh nilai factor beban dari mekanisme struktur yang ditinjau :�= �. Pada teorema ini terdapat 4 metode yang dapat digunakan :

a. Metode statis

b. Metode kerja virtual (virtual work method) c. Metode distribusi momen


(46)

2.3.3. Metode kerja virtual

Metode kerja virtual adalah metode yang meninjau keseimbangan energi dari struktur tersebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya.

Persamaan kerja virtual ini dapat ditulis sebagagai berikut :

∑��.∆� =∑��.�� (2.14)

Dimana : Wi = beban luar ( beban terpusat atau terbagi rata) ∆� = deformasi struktur

∆� = ��2tan� , untuk sudut yang kecil tan� =� tan� = �

Mj = momen pada tampang kritis �� = sudut rotasi sendi plastis

2.3.4. Metode Elemen Hingga Untuk Elemen Plane frame

Metode elemen hingga merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menghitung gaya-gaya dalam yang terjadi dalam suatu komponen struktur. Metode elemen hingga juga dikenal sebagai metode kekakuan ataupun

displacement methode karena yang didapat terlebih dahulu dari perhitungan adalah perpindahan baru kemudian gaya batang dicari.

Dalam hubungannya dengan tugas akhir ini, metode elemen hingga ini digunakan untuk perhitungan gaya-gaya dalam yang terjadi pada komponen struktur. Untuk itu, metode elemen hingga yang digunakan adalah metode elemen hingga untuk Elemen Plane frame dimana gaya yang bekerja pada struktur yang diperhitungkan hanya terbatas pada gaya normal, gaya lintang, dan momen pada arah z


(47)

Persamaan umum untuk metode elemen hingga ini adalah :

{�} = [�]{�} (2.15)

dimana : {f} = Matriks gaya-gaya batang ( kg ) [k] = Matriks kekakuan struktur ( N/m2 ) {d} = Matriks perpindahan ( m dan rad )

Kemudian rumus untuk menentukan kekakuan global dapat diturunkan sebagai berikut :

��̅�= [�]{�} ��̅�= [�]{�} {�} = [�]{�} [�]−1��̅�= [�][�]−1��̅�

��̅�= [�][�][�]−1��̅�

Maka ditentukan matriks kekakuan global adalah : ����= [�][�][�]−1

Dengan [�] adalah suatu faktor konversi gaya-gaya ke arah sumbu global yang berbeda-beda untuk tiap jenis struktur dan akan dijabarkan kemudian. Setelah diperoleh matriks kekakuan global, maka dapat disusun suatu matriks kekakuan struktur yang memasukkan semua komponen-komponen elemen yang ada.

��1̅

�̅2�= ��

1 0 0 ��2� ��

̅

1


(48)

Langkah berikutnya yaitu menentukan syarat-syarat batas yang ada dan kemudian nilai perpindahan dapat diperoleh. Dengan nilai perpindahan global yang diperoleh, gaya-gaya batang untuk tiap element dapat ditentukan dengan :

{�} = [�]{�}

dimana :

{�} = [�]−1��̅�

Dalam menggunakan metode elemen hingga, perlu diperhatikan, bahwa pada tiap elemen / batang akan terdapat dua buah titik simpul yaitu simpul awal yang diberi tanda (1) dan simpul akhir yang diberi tanda (2) dan sebuah elemen yang diberi tanda (a) seperti tampak pada Gambar.2.14

Derajat kebebasan adalah jumlah komponen perpindahan yang dapat terjadi pada kedua simpul yang ada pada suatu elemen. Jumlah derajat kebebasan berbeda-beda untuk tiap jenis struktur. Misalnya, untuk elemen rangka, jumlah derajat kebebasannya adalah dua yaitu masing-masing satu perpindahan dalam arah sumbu batang ( biasanya disebut sebagai sumbu 1 ) pada titik simpul (1) dan (2).

Dari jumlah derajat kebebasan yang ada, suatu matriks kekakuan untuk suatu jenis struktur dapat ditentukan. Masing-masing jenis struktur memiliki suatu matriks kekakuan tersendiri dimana matriks kekakuan untuk elemen rangka

Gambar.II.11.Titik Simpul dan Elemen

2

1


(49)

berbeda dengan matriks kekakuan untuk elemen frame dan lain-lainnya. Begitu pula halnya dengan matriks kekakuan untuk elemen grid. Matriks kekakuan dari elemen plane frame dapat diperoleh dengan menggabungkan Matriks kekakuan truss element dengan beam element. Memiliki 6 buah DOF dimana element-elementnya mengalami gaya normal, gaya lintang, dan momen pada arah z.

Kekakuan dalam suatu struktur terbagi dalam dua jenis yaitu kekakuan lokal dan kekakuan global. Kekakuan lokal adalah kekakuan elemen yang mengacu arah sumbu masing-masing elemen sedangkan kekakuan global adalah kekakuan elemen yang mengacu pada sistem koordinat global yaitu sistem koordinat kartesian (XYZ). Jika dalam suatu struktur terdapat lebih dari satu batang dengan arah sumbu lokal yang berbeda, maka kekakuan lokal dari tiap elemen harus diubah menjadi kekakuan global agar matriks kekakuan dari semua elemen yang ada dapat digabungkan.

Untuk elemen plane frame, seperti yang telah disebutkan di atas, kekakuan lokalnya merupakan gabungan dari kekakuan lokal untuk truss element dengan beam element.

ΕΙz ΕΑ Sy1

Μz1

Sx1

Sy2

Μz2

Sx2

L


(50)

Syarat keseimbangan :

�1 =−��2 ; ��1 = −��2 ; ��1= −��2+��2.� Menentukan Matriks Kekakuan Untuk Flane-Frame Element

dimana :

�1 =��

� (�1− �2) ; ��2 = ��

� (�2− �1) ��1 =12 ��

�3 (�1− �2) + 6 ��

�2 (�1+�2) ; ��2 =12 ��

�3 (�2− �1)− 6 ��

�2 (�1+�2)

�1 =6 ��

�2 (�1− �2 ) + 2 ��

� (2�1+�2) ; ��2 = 6 ��

�2 (�1− �2 ) + 2 ��

� (�1+ 2�2) Maka diperoleh :

⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎪ ⎪ ⎧��1

�1

�1�2�2�2

⎪ ⎬ ⎪ ⎪ ⎫ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ ��� 0 0

0 12�� �3

6�� �2 0 6��

�2

4�� �

−�� 0 0

0 −12�� �3

6�� �2

0 −6��

�2

2�� �

−�� 0 0

0 −12�� �3 −

6�� �2 0 6��2 2��

��

� 0 0

0 12��

�3 −

6�� �2 0 −6��2 4��

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ ⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧�11

�1

�2

�2

�2⎭

⎪ ⎬ ⎪ ⎫

Jadi matriks kekakuan lokal untuk plane-frame element :

[�] = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ ��� 0 0

0 12�� �3

6�� �2 0 6��2 4��

−�� 0 0

0 −12�� �3

6�� �2 0 −6��2 2��

−�� 0 0

0 −123�� −6��2

0 6��

�2

2�� �

��

� 0 0

0 123�� −6��2 0 −6��

�2 4�� � ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤


(51)

• Menentukan Matriks Kekakuan Global Untuk Plane-Frame Element

perhatikan gambar 1.2. pada sistem koordidat batang tipikal, Untuk simpul 1 pada gambar tersebut, dapat dituliskan :

�̅1= �

�̅�1 �̅�1 ���1

�=�

cos� −sin� 0

sin� cos� 0

0 0 1

� � ��1�1�1

= [�]{�1}

Untuk satu element / batang berlaku :

��̅��= [��]{��}

��1̅ �̅2�=��

0 0 �� �

�1

�2� dimana :

[�] =�� 0

0 ��

Maka matriks kekakuan global untuk truss element adalah : �����= [��][��][��]−1

Karena matriks [�] merupakan matriks ortogonal maka dapat ditulisakan sebagai : ����� = [��][��][��]� ����� = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡cossin� −cossin� 00

0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0

cos� −sin� 0 sin� cos� 0 0 0 1⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ �� 0 0

0 12 �� �3

6 �� �2

0 6 �� �2

4 �� �

−�� 0 0

0 −12 �� �3

6 �� �2

0 −6 �� �2

2 �� �

−�� 0 0

0 −12 ��

�3 −

6 �� �2

0 6 �� �2

2 �� �

��

� 0 0

0 12 ��

�3 −

6 �� �2

0 6 �� �2

4 ��

� ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

cossin cossin� 00

0 0 1

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0

cos� sin� 0 −sin� cos� 0 0 0 1⎦

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

Jika dimisalkan cos α = c dan sin α = s, maka matriks kekekakuan global untuk Plane-Frame Element :


(52)

�����= ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎡

��2+12�

�2 �2 �� −

12�

�2� �� −

6�

� �

�� −122�� �� ��2+12�

�2 �2

6�

��

−6�� 6�

�� 4�

− ���2+12�

�2 �2� − �� −

12�

�2� �� −

6�

� �

− �� −122�� �� − ���2+12�

�2 �2�

6�

� �

6�

�� −

6�

� � 2�

− ���2+12�

�2 �2� − �� −

12�

�2� ��

6�

� �

− �� −122�� �� − ���2+12�

�2�2� −

6�

��

−6�� 6�� 2�

��2+12�

�2 �2 �� −

12�

�2� �� −

6�

��

�� −122�� �� ��2+12�

�2 �2 −

6�

� �

−6�� −6�

�� 4� ⎦⎥

⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤

Setelah matriks kekakuan diperoleh maka gaya-gaya batang untuk elemen plane frame dapat dihitung dengan terlebih dahulu menghitung besarnya perpindahan yang terjadi pada titik-titik simpul dengan menggunakan persamaan (2.15). ⎩ ⎪ ⎪ ⎨ ⎪ ⎪ ⎧��1

�1

�1�2�2�2

⎪ ⎬ ⎪ ⎪ ⎫ = ⎣ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢

⎡ ��� 0 0

0 12�� �3

6�� �2 0 6��2 4��

−�� 0 0

0 −12�� �3

6�� �2 0 −6��2 2��

−�� 0 0

0 −123�� −6��2

0 6��

�2

2�� �

��

� 0 0

0 123�� −6��2 0 −6��

�2 4�� � ⎦ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎤ ⎩ ⎪ ⎨ ⎪ ⎧�11

�1

�2

�2

�2⎭

⎪ ⎬ ⎪ ⎫

(2.16)

Setelah nilai-nilai perpindahan diperoleh dari persamaan (2.16), maka gaya-gaya dalam untuk tiap elemen dapat dicari dengan menggunakan persamaan (2.15).


(53)

BAB III

METODE ANALISA

3.1 Umum

3.1.1. Analisa elastis

Analisa struktur secara elastis memakai asumsi bahwa tegangan yang terjadi pada struktur masih terletak dalam batas elastis dan defleksinya kecil. Dengan analisa elastis sebagian besar dari struktur tersebut bertegangan rendah dan dapat menimbulkan pemborosan.

Analisa elastis dapat dilakukan dengan menghitung gaya - gaya pada struktur (seperti gaya aksial, gaya geser,momen serta puntir) akibat gaya luar yang bekerja. Gaya - gaya dalam yang terjadi masih dalam batas elastis. Beberapa contoh penyelesaian elastis : metode cross, takabeya, kani, matriks kekakuan, termasuk metode elemen hingga.

Analisa elastis dapat dilakukan dengan mudah pada semua jenis struktur, struktur rangka maupun struktur plat cangkang, karena gaya – gaya dalam yang terjadi masih dalam batas – batas elastis, maka analisis elastis dapat dipakai pada struktur dari semua jenis bahan (bahan bersifat getas dan daktail).

Hasil perhitungan analisis elastis, yang berupa gaya – gaya dalam yang terjadi umumnya digunakan untuk memeriksa keamanan struktur atau untuk design/ perancangan.


(54)

3.1.2. Analisis plastis

Analisis secara plastis memanfaakan kemampuan struktur secara penuh hingga beban batas akhir (ultimate load) sehingga timbul dengan kekuatan struktur sampai tegangan lelehnya.

Analisis plastis pada umumnya digunakan untuk menentukan besar beban runtuh (ultimate load) pada suatu struktur serta perilaku keruntuhannya (mechanism). Gaya – gaya dalam yang telah terjadi telah melebihi batas elastis dan defleksi yang terjdi cukup besar. Dengan demikian analisis plastis hanya dapat diterapkan pada struktur yang bersifat daktail, seperti baja dan beton bertulang dengan pendaktailan yang baik.

Dalam analisis plastis digunakan persamaan matematik yang relatif sederhana dan lebih mudah dibanding persamaan pada analisis elastis, analisis plastis cocok untuk perhitungan struktur statis tak tentu berderajat banyak, seperti portal (dapat bertingkat maksimum 2), portal beratap lancip dan balok menerus. Tidak dianjurkan untuk statis tertentu maupun struktur sederhana dengan pin connected members.


(55)

Gambar 3.1 kondisi struktur pada analisis plastis dan analisis elastis

Di bawah ini gambaran perbedaan perancangan plastis dengan perancangan elastis.


(56)

3.2.FAKTOR BENTUK ( Shape Factor )

Faktor bentuk ( f ) merupakan indeks yang menyatakan perbandingan antara momen plastis dan elastis seperti yang telah dijelaskan dalam Bab II sebelumnya. Pada bagian ini akan diberikan paparan yang lebih mendetail tentang distribusi tegangan pada keadaan leleh menuju kondisi plastis penuh pada profil IWF yang digambarkan pada gambar III.2 berikut.

gambar 3.3. Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada profil IWF

3.2.1. Modulus elastis ( sumbu X ) � = 2�1 + 2�2

� = 2�� �� 2−

� 2� ���

��2−�� � 2

+���1� �2 2� � 2−��

2 � 2

�� 2

��2−�� � 2

= 1 2� (��)(� − �)�� �� � 2−��

� 2

+ � 2 � 2� �

2� � 2−��

3 �

� ���

� = (��)(�−�)

� ��{(� − �)} +�

��2−��3�

� ���

� = ��� � (��)(� − �)2+�� 2− ��

3

�� �� =


(57)

��= � �=

��/��(��)�� 2−��

3 �� �

��= 1�(��)(� − �)2+��2− �� 3

�� (3.1)

3.2.2. Modulus plastis �� = 2�1 + 2�2

�� = 2��� ��2−�2� ���+ 2��2− ��2 �2��

�� = ���(� − �)���+��2− ��2 �2��

�� = ���(� − �) +��2− �� 2

����

�� = � �

�� =� � =

���(� − �) +��2 − ��2��� ��

�� = ���(� − �) +��2− �� 2

�� (3.2)

Jika menggunakan faktor bentuk (shape faktor) yang dinotaskan dengan f, dimana f = Zx/Sx ( untuk sumbu x) maka hubungan antara kapasitas momen pada saat keadaan leleh ( My ) dan kapasitas momen pada keadaan plastis ( Mp ) akan menghasilkan persamaan berikut :

��

�� =

����

���� =

��

�� = �

Mp = f. My (3.3)

dari persamaan (3.3) diperoleh : � =��


(58)

� = ���

(�−�)+�� 2−��

2 �� 1

��(��)(�−�)2+��2−�� 3

�� (3.4)

Tabel 3.1 Nilai faktor bentuk pada profil IWF

Profil IWF

D

(mm)

B

(mm)

t

(mm)

T

(mm)

Ix

(cm4)

Zx

(cm3) f

100x50 100 50 5 7 187 37.5 1.220

100x100 100 100 6 8 383 76.5 1.167

125x60 125 60 6 8 413 66.1 1.226

125x125 125 125 6.5 9 847 136 1.155

150x75 150 75 5 7 666 88.8 1.155

150x100 150 100 6 9 1020 138 1.170

150x150 150 150 7 10 1020 219 1.147

175x90 175 90 5 8 1210 139 1.176

175x125 175 125 5.5 8 1530 181 1.152

175x175 175 175 7.5 11 2880 330 1.141

200x100 200 100 5.5 8 1840 184 1.185

200x150 200 150 6 9 2690 277 1.144

200x200 200 200 8 12 4720 472 1.137

250x125 250 125 6 9 4050 324 1.177

250x175 250 175 7 11 6120 502 1.145

250x250 250 250 9 14 10800 867 1.130

300x150 300 150 6.5 9 7210 481 1.182

300x200 298 201 9 14 13300 893 1.132

300x300 300 300 10 15 20400 1360 1.126

350x175 350 175 7 11 13600 775 1.167

350x250 340 250 9 14 21700 1290 1.139

350x350 350 350 12 19 40300 2300 1.127

400x200 400 200 8 13 23700 1190 1.165

400x300 390 300 10 16 38700 1980 1.132

400x400 400 400 13 21 66600 3330 1.124

450x200 450 200 9 14 33500 1490 1.183

450x300 440 300 11 18 56100 2550 1.140

500x200 500 200 10 16 47800 1910 1.194

500x300 488 300 11 18 71000 2910 1.146

600x200 600 200 11 17 77600 2590 1.223

600x300 588 300 12 20 118000 4020 1.161

700x300 700 300 13 24 201000 5760 1.169

800x300 800 300 14 26 292000 7290 1.183

900x300 900 300 16 28 411000 9140 1.206

Rata – rata sampel ( x ) = 3934.591= 1.164


(59)

= 0.01

faktor bentuk rata-rata =1.164 – (1.164 x 0.01) =1.147

maka faktor bentuk (f ) = 1.147

3.3.Analisa plastis struktur sederhana

Jika kita perhatikan tingkah laku struktur dengan beban yang bekerja pada struktur tersebut relatif kecil dan terus bertambah besar secara linear maka momen –momen yang ada pada setiap penampangnya masih terletak dalam daerah elastis, atau momen tersebut belum melampaui momen lelehnya. Peningkatan beban selanjutnya masih dapat dilakukan; namun akan mengakibatkan besar momen pada salah satu penampangnya menjadi sama dengan momen plastisnya, sehingga terbentuklah sendi plastis yang pertama. Apabila struktur merupakan struktur statis tak tentu, maka keruntuhan belum terjadi dengan satu buah sendi plastis. Dengan peningkatan beban berikutnya akan terbentuklah sendi yang kedua, ketiga dan seterusnya, hingga terbentuk jumlah sendi plastis yang cukup untuk menyebabkan struktur ini runtuh.

3.3.1 Analisis tahap demi tahap

Sebuah balok dengan kedua ujung terjepit, yaitu panjang dinyatakan dengan L, momen plastis penampang Mp, dan beban meratanya ditetapkan sebesar w per panjang satuan. Selanjutnya tingkah laku struktur terhadap peningkatan bebannya akan diperhatikan.


(60)

gambar 3.4. balok kedua ujungnya terjepit

dengan menerapkan analisa elastis, maka momen tumpuan MA = MB = wL2/12. sedangkan momen ditengah bentang Mc = wL2/24. Dengan menggunakan momen –momen ini, kita dapat menggambarkan diagram momen seperti gambar 3.4. Bila momen terbesar yang terdapat pada tumpuan A dan B telah mencapai kapasitas momen plastisnya, akan kita peroleh beban w sebesar 12 Mp/L2, yang mengakibatkan terjadinya sendi plastis pada kedua tumpuan.

Dengan pertambahan beban berikutnya, nilai momen pada kedua tumpuan tersebut tidak berubah, tetapi di titik ini akan terjadi rotasi yang menunjukkan bahwa struktur tersebut bertingkah laku seperti balok statis tertentu (gambar 3.4). Tampak bahwa momen dikedua tumpuan sama dengan nol dan momen ditengah bentang adalah w’L2/8. sedangkan w’ merupakan factor beban yang baru, maka momen maksimum ditengah bentang (titik c ) adalah :

Mc = Mp/2 + w’L2/8 (3.5)

dimana momen ini sama dengan kapasitas momen plastis Mp, bila mencapai 4 Mp/L2 atau w sebesar 16 Mp/L2. Dengan terbentuknya tiga buah sendi plastis, dapat kita pastikan bahwa struktur mengalami keruntuhan.

C L

B A


(61)

w/satuan panjang

wL2/8

wL2/12

MP

MP/2

w/satuan panjang

C

L w’L

2

/8

MP

MP gambar 3.5. kondisi pertama peningkatan momen dalam

gambar 3.6 kondisi kedua peningkatan momen dalam

Uraian diatas dapat pula menggunakan metode moment – area untuk menggambarkan analisi tersebut.

��= �� 3 24��−

��� 3�� −

���

6�� (3.6)

��= �� 3 24��−

� 6�� −

3�� (3.7)

∆�= 5�� 4 384��−

���2 16�� −

���2

16�� (3.8)

dengan �,�,∆ berturut –turut menyatakan besarnya rotasi di titik A, B, dan lendutan (defleksi ) di titik C. Syarat kompatibilitas pada kondisi elastis menghendaki bahwa titik A,dan B tidak terjadi rotasi, sehingga �,� bernilai nol. dengan memasukkan harga –harga kedalam persamaan diatas, kita peroleh:

MA = MB = wL2/12 (3.9)

dengan meninjau keseimbangan momen ditengah bentang (gambar 3.5) akan kita peroleh:

MC = wL2/8 – (MA + MB)/2 = wL2/24 (3.9) dengan mencubtitusikan harga kedua momen tersebut menghasilkan :

∆�=�L4/348EI (3.10)

C L


(62)

wL2/8 C

MB

MB

MC

merupakan lendutan dalam kondisi elastis.

Dengan memperhatikan diagram momennya, dipastikan secara serentak akan terjadi sendi plastis pada tumpuan A dan B, dimana bebannya mencapai 12Mp/L2. Dengan berarti bahwa momen di kedua tumpuan tersebut sama dengan kapasitas momen plastis dari penampanggnya, MP (gambar 3.4). Selanjutnya, dari persamaan (3.8) dapat kita tentukan besarnya lendutan di tengah bentang, yakni: ∆�=3845 �12�2��

�4 ��−

�2 8�� =

�2

32�� (3.11)

gambar 3.7. diagram momen kondisi ketiga

Adanya penambahan beban berikutnya dapat menyebabkan terbentuknya sendi plastis yang ketiga, dan dari gambar ini dapat kita pastikan letak sendi tersebut terletak ditengah bentangan. dengan demikian momen di titik ini sama dengan Mp dan kita hasilkan (lihat gambar 3.5):

�� =��2� − �8 � atau

�� =��2�16 maka

� =16���2 (3.12)

bila disubtitusikan harga w dan MA = MB = MP kedalam persamaan (3.8) maka : ∆�=���

2 12��

� (3.13)

yang merupakan besarnya lendutan pada kondisi plastis, sebelum struktur mengalami keruntuhan.

MP


(63)

(a) lendutan

(b) mekanisme runtuh.

gambar 3.8. bentuk lendutan dan mekanisme runtuhnya

Dengan menggabungkan bentuk lendutan dari semua kondisi tersebut, terlihat peningkatan lendutan seperti pada gambar 3.7.selama proses dari kondisi kedua hingga kondisi ketiga tidak terjadi perubahan momen pada tumpuannya, tetapi telah kita ketahui bahwa beban dan momen di tengah bentangannya masih dapat bertambah . keadaan ini dimungkinkan karena adanya redistribusi momen

dalam struktur. Hubungan antara beban (w) terhadap lendutan ditengah bentangan (∆), yang dinyatakan oleh kurva oycb pada gambar 3.7

gambar 3.9. hubungan beban – lendutan

Y

B C

oy : elastis yc : elastis plastis cb : keruntuhan plastis

c b

y

16 MP/L

b

eb

an

lendutan

0


(64)

Ternyata garis lendutan yang terjadi setelah titik C adalah horinzontal. ini sesuai dengan kenyataan, bahwa lendutan pada kondisi plastis akan terus bertambah tanpa memerlukan perubahan beban lagi. keadaan ini menunjukkan bahwa struktur telah mencapai mekanisme runtuhnya.

3.3.2. Metode statis

Metode analisis ini berdasarkan teorema batas bawah, dimana ditribusi momen di setiap penampang tidak ada yang melampaui kapasitas momen plastisnya. Besar factor beban, ditentukan dari diagram momen yang sesuai. Karenanya metode ini umum dipakai untuk menganalisis balok sederhana maupun menerus, serta struktur kerangka (portal) yang hanya mempunyai satu atau dua derajat ketidaktentuan . meskipun, metode ini dapat pula diterapkan pada struktur yang lebih kompleks tetapi akan kurang praktis bila dibandingkan dengan metode lainnya.

Teorema batas bawah (lower bound theorem ) menetapkan atau menghitung distribusi momen dalam struktur berdasarkan kondisi keseimbangan dan leleh.beban (factor beban � ) yang dihasilkannya akan lebih kecil atau sama dengan harga yang sebenarnya � .

� ≤ ��

3.4. Gable frame

Untuk menganalisis gable frame perlu diperhatikan hubungan antara besarnya momen reaktan pada kaki atap dengan pada puncak atap. Struktur kerangka (portal) yang memiliki satu redundan dapat diselesaikan dengan cara


(65)

mengeliminasikan redundan tersebut dari salah satu tumpuannya. diagram momen resultan, letak sendi plastis, ataupun mekanisme runtuhnya dapat kita tentukan dengan mudah. Penyelesaian ini akan cukup berbeda bila struktur kerangka memiliki lebih dari dua redundan.

gable frame pada gambar 3.10 memiliki tiga buah redundan, untuk menganalisis struktur ini, dilakukan pemotongan pada puncaknya; sehingga akan terbentuk dua buah kantilever yang satu sama lainnya terpisah. pada titik potong tersebut akan timbul gaya –gaya dalam yang berupa momen lentur M, gaya vertikal RV dan gaya horinzontal R (gambar 3.11c). momen bebas akibat gaya luar dan momen reaktan akibat gaya redundan digambar pada suatu garis lurus, (gambar 3.11c dan e). Dengan menggabungkan kedua diagram tersebut

diperoleh diagram momen resultan, ordinat setiap titip diagram momen resultan selisih dari ordinat momen bebas dan momen reaktan (gambar 311f).

gambar 3.10. pembebanan gable frame

H

V

V

L/2

h1

h2

V

L/2

B C

A

D

E F


(66)

(b) (c)

(d) (e)

(f)

gambar 3.11. momen resultan

Untuk menentukan besarnya M, R, Rv, dan Mp yang sesuai dengan mekanisme yang terjadi, dapat diakukan dengan metode coba –coba (trial and error method), dengan memilih suatu mekanisme, kemudian persamaan keseimbangan untuk setiap titik di mana terbentuk sendi plastisnya.

V/2 V H V/2 V V L/ 2 V L/ 2 V L/ 8 V L/ 8 V L/ 2 V L/ 2

A B C D E F G

A B C D E F G

M + R (h1 + h2 ) – R V L/ 2 M+ R h –R V L/ 2 M + 1/ 2 (R h2 – Rv 2L/ 2 M + 1/ 2 (R h2 – Rv 2L/ 2 M+ R h –R V L/ 2 M + R (h1 + h2 ) – R V L/ 2 Rv R H Rv R

M M


(67)

 Mekanisme 1

Besar momen resultan dititik B, D, F, dan G berturut –turut sama dengan -Mp, Mp, -Mp, dan Mp. Tanda positif dan negatif tergantung pada perjanjian yang dipakai terhadap garis putus –putus tambahan. Tanda positif bila mengakibatkan serat yang berdekatan dengan garis putus – putus tertarik, sedangkan tanda negatif bila tertekan. Persamaan keseimbangan untuk titik –titik tersebut adalah:

di � ∶ ���� − ��2 +�ℎ2− ���� �2 = −�

� ∶0− � = � (3.14)

� ∶ ���� − ��2 +�ℎ2+���� �2 = −�

� ∶ ���� − ��2 +�(ℎ1+ℎ2) +���� �2 = �

Persamaan diatas mempunyai empat buah anu yang dapat diselesaikan dengan cara eliminasi, suatu proses matematik yang pada setiap langkahnya akan menghapus satu anu; sehingga akan tersisa satu anu yang perlu dievaluasi. Sedangkan harga anu yang lain dapat diperoleh melalui metode substitusi (back substitutions). diperoleh :

�� =−���[ℎ1⁄(ℎ1 +ℎ2 ) ]⁄4

� = +���[1⁄(ℎ1 +ℎ2 ) ]⁄2 (3.15)

�� = 0


(68)

Sampai sejauh ini belum diketahui apakah penyelesaian tersebut sudah benar, untuk memeriksa kebenarannya perlu beberapa mekanisme yang mungkin terjadi perlu dicoba.

 Mekanisme 2

Momen resultan yang bernilai –Mp , Mp, –Mp, dan Mp berturut –turut terletak di titik A, C, F, dan G yang menghasilkan persamaan:

di � ∶ ���

2 +��ℎ1−[�+�(ℎ1+ℎ1)− ���] =−��

�:���

2 − ��+ 1

2��ℎ2− ���

2 �� =�� � ∶ ���2 − ��+�ℎ2+���

2 �= −��

� ∶ ���2 − ��+�(ℎ1+ℎ2) +�2���= � (3.16) Dengan cara yang sama, kita peroleh :

�� =�−3���4 −3�ℎ2 1� �5ℎℎ1 1+2ℎ2� � = �3���2 + 3��ℎ1� �5ℎ 1

1+2ℎ2�

�� = �3���2 + 3��ℎ1� �1+2ℎℎ1 2�1−��ℎ 1

� = ����2 +��ℎ2 1� −2��3���4 +3��ℎ2 1� �5ℎℎ1+ℎ2

1+2ℎ2�� (3.17)

Jika diambil H = V, h1 = L, dan H2 = L/2, persamaan dari kedua mekanisme akan menghasilkan :

- mekanisme 1:


(69)

- mekanisme 2:

�� =−3���� ���8 � = 3���4

Karena harga MP dari mekanisme 2 lebih lebih besar dan momen di setiap penampangnya tidak ada yang melampaui kapasitas momen plastisnya, struktur tersebut akan runtuh menurut mekanisme ini.

Jika tidak terdapat gaya horinzontal, persamaan menjadi sederhana, yang dirumuskan sebagai berikut :

�� =−���41+ℎ1 2�= ����������2 ���������1+�1 � (3.18)

dimana k = h2/h1

demikian juga, besar momen plastis untuk portal yang menahan beban merata

wper panjang satuan.

�� =��� 2 16 �

1 1+��=

������������������

2 �

1

1+�� (3.19)

(a) mekanisme 1 (b) mekanisme 2

gambar 3.12. mekanisme keruntuhan

rumus ini berdasarkan asumsi bahwa sendi plastisnya terbentuk di puncak portal (titik C). Karena struktur dan beban yang simetris, akan menghasilkan diagram momen yang simetris pula (gambar 3.11c). Akan tetapi, karena sifat bahan di


(70)

sepanjang penampang sering tidak seragam, akibatnya adalah bahwa mekanisme yang simetris tersebut belum tentu terjadi, gambar (3.12)

gambar 3.12. mekanisme runtuh pada struktur tak seragam

3.5. Metode kerja virtual

Metode statis sangat baik untuk menyelesaikan berbagai problema keruntuhan pada balok dan struktur yang hanya memiliki satu atau dua redundan. Akan tetapi, metode ini akan memakan banyak waktu bila diterapkan pada struktur yang mempunyai beberapa redundan. Cara lain dapat dilakukan dengan meninjau keseimbangan enerji dari struktur terebut ketika mengalami mekanisme runtuhnya. Pada saat runtuh (collaps), struktur akan mengalami deformasi, sehingga beban luar w akan mengalami kerja –luar sebesar w. Kerja –luar total dari seluruh beban adalah ∑��, yang akan diserap oleh setiap sendi plastis melalui perubahan sudut θ. Kerja –dalam untuk seluruh sendi menjadi ∑Mpθ.

∑ �� = ∑ �� (3.20)

Dalam metode ini perlu memperkirakan letak sendi plastisnya, dan mencoba beberapa mekanisme yang mungkin terjadi. Karena metode ini merupakan teorema batas atas, beban runtuh yang dihasilkan akan sama ataupun lebih besar dari nilai yang sebenarnya. Dalam metode ini menentukan harga factor beban


(71)

yang paling kecil atau kapasitas momen plastis yang terbesar, agar tidak ada satupun momen –luar yang melampaui kapasitas momen statisnya.

Mekanisme pada struktur dapat dibedakan dalam:

1) mekanisme balok (beam mechanism), terjadi bila gaya vertikal relatif lebih besar dari gaya horinzontal.

2) mekanisme panel (sway mechanism), biasanya terjadi bila gaya horinzontal jauh lebih besar dibandingkan gaya vertikal.

3) mekanisme kombinasi (combine mechanism), kombinasi antara mekanisme balok dan mekanisme panel.

4) mekanisme gable, adalah mekanisme khusus yang terjadi pada portal beratap lancip (gable frame)


(72)

(a) mekanisme balok

(b) mekanisme panel

(c) mekanisme kombinasi

(d) mekanisme gable

gambar 3.14. mekanisme pada gable frame

3.6. Pusat rotasi

Untuk memudahkan perhitungan sudut antara ujung batang di sendi plastis pada gable frame, perlu menentukan letak pusat putaran (instanteneous


(73)

center) yang merupakan titik pusat dari putaran gable frame pada saat runtuh. Analisis plastis pada gable frame, akan lebih sulit bila dibandingkan dengan analisis portal sederhana. Hal ini disebabkan displasmen yang sesuai dengan arah gaya tidak dapat ditentukan secara mudah. Jumlah mekanisme elementernya adalah m = 4 – 1 = 3; yang terdiri dari mekanisme balok, panel dan gable (gambar 3.14)

(a) struktur dan pembebanan (b) mekanisme balok

(c) mekanisme panel (d) mekanisme gable

gambar 3.15. struktur pembebanan dan mekanisme yang terjadi

- persamaan kerja untuk mekanisme balok 4�� =����2

H

V V

L/2

h2

h1

V

L/2

B F

A

C

D

E

2� −�

−� V

−�

−�

� (�+�)F’

� �


(74)

=���

8 (3.21)

- persamaan kerja untuk mekanisme panel 2��= ��ℎ1 dimana �= 3�/2 maka; �� = 3���/8

Batang BC akan berotasi lurus terhadap titik B, dan batang DE berotasi terhadap sendi E. pergerakan batang CD tergantung pada pergerakkan relatif sendi plastis titik C dan D. Sedangkan, titik C akan bergerak tegak lurus terhadap garis BC sewaktu batang BC berotasi terhadap titik B. Dengan demikian, letak pusat rotasi haruslah di sepanjang garis BC.

Dengan cara yang sama, dapat kita tentukan bahwa titik D akan bergerak tegak lurus garis ED sewaktu berotasi terhadap titik E. Jadi, batang CD haruslah berputar terhadapa titik O, yang merupakan perpotongan garis BC dan ED. Titik O ini disebut sebagai pusat putaran (instantaneous center).

- mekanisme gable

�� =��[�+ (�+∅) + (∅+�)]

=��ℎ1 2ℎ2+�

ℎ1 2ℎ2+

ℎ1 2ℎ2+�

ℎ1

2ℎ2+ 1��� � =��2ℎ1+ℎ2

2 � �

persamaan kerja luar dapat diperoleh dengan mengalikan gaya luar terhadap komponen displasemen.

untuk batang CD:

�� =����2 +���� =3����ℎ4ℎ 2


(1)

- Tahap 4 : Sendi ketiga ditambahkan pada struktur di ujung kanan batang 7 dan [K*HB]7 dipakai dalam proses perakitan. Titik simpul 8 dianggap terjepit penuh. Alternatif lainnya, titik simpul 8 bisa diperlakukan sebagai sendiluar dan [K*HL]7 digunakan dalam analisa. Pertambahan beban menimbulkan sendi keempat di ujung kiri batang 6.

��(4)=��

�(3)�+�4���(4)�

tabel 4.5. Momen Ujung Pada Akhir Tahap 4

Batan g

Ujung

batang �� – �� (3)

Momen akibat Pc = 1 ��(4)

Pengali beban Jumlah tahap pada saat sendi terbentu k 15,155 ��(3)

Momen pada akhir tahap 3 M(3) 1 2 3 4 5 6 7 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 501,09 724,69 724,69 0 510,00 681,00 681,00 995,60 735,60 495,71 495,71 399,00 0 0 -10,0 0,00 0,00 0 -0,00 -38,05 38,05 -36,14 36,14 -32,71 32,71 0 0 0 15,155 2 4 1 3 -151,155 0 -0,00 0 -0,00 -576,63 576,63 -547,69 547,69 -495,71 495,71 -0,00 0 0 112,36 40,31 -40,31 765,0 -765,0 -1170,64 1170,64 -827,09 827,09 -1015,0 1015,0 616,00 -616,00 -616,00


(2)

tahap 4: struktur memiliki sendi di titik 7, titik 8 dan titik 3;sendi plastis terbentuk di titik 6. struktur runtuh.

gambar 4.6. bidang momen pada tahap 4


(3)

Dengan memasukkan sendi keempat pada portal, suatu mekanisme terbentuk dan tidak ada lagi analisa yang dapat dilakukan. Bila terus dianalisa, kita akan peroleh lendutan yang sangat besar (dan tidak sesuai dengan teori perubahan bentuk yang kecil).

Beban runtuh dalam contoh di atas adalah beban pada tahap pertama ditambah dengan pertambahan beban pada tahap selanjutnya, yaitu :

�� = (�1+�2+�3+�4)�

�� = ( 34,452+ 5,873+ 1,517+ 15,155) P


(4)

BAB V KESIMPULAN

Setelah menyelesaikan penyusunan tugas akhir ini, ada beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh antara lain sebagai berikut :

1. Sesuai dengan hasil perhitungan struktur gable frame dapat disimpulkan bahwa struktur mengalami mekanisme keruntuhan dengan factor beban runtuhnya (collapse load factor, ��) sebesar �� = 56,997 P, yaitu beban runtuh pada tahap pertama, ditambah dengan pertambahan beban pada tahap berikutnya. 2. Dengan adanya pertambahan beban pada gable frame maka struktur akan

mengalami mekanisme keruntuhan dengan jumlah sendi plastis sebanyak 4 buah sendi plastis yaitu pada titik yang dimulai dari titik 7, diikuti titik 3, titik 8 dan titik 6. keadaan ini menunjukkan keruntuhan total.

3. setelah melakukan pengkajian mekanisme keruntuhan dan pengetahuan akan besarnya beban runtuh, maka beban runtuh diperlukan untuk menentukan koefisien beban dalam analisa. alternatifnya jika koefisien beban ditentukan , struktur dapat direncanakan sedemikian hingga beban runtuhnya sama dengan atau lebih besar dari pada hasil kali factor beban dengan beban kerja (service load).

4. Dengan analisa plastis, dapat disimpulkan bahwa struktur gable frame masih dapat menahan beban sebesar � < 56,997 P sebelum struktur mengalami keruntuhan total. Ini menunjukkan bahwa perencanaan struktur berdasarkan pendekatan plastis (perencanaan batas/ limit design) lebih menguntungkan


(5)

dibandinkan dengan analisa elastis. Analisa plastis semakin banyak dipakai dan diterima oleh pelbagai peraturan praktis terutama untuk kostruksi baja.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi, Laurentius., Rahmi, Sjahril A. 1992. Metode plastis analisa dan design. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ghalil A., Neville A.M. 1985. Analisa Struktur (Gabungan Metode Klasik & Matirks), Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

Stroud, K.A.. ENGINEERING MATHEMATICS, 3rd Edition. Trans..

Sucipto, Drs. Erwin, M.Sc.. 1994. MATEMATIKA UNTUK TEKNIK, Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga.

Sitompul, Dian Novita. 2008. Lendutan Balok Profil IWF Padastruktur Dua Perletakan Dengan Beban Asimetris Mengunakan Analisa Plastis (Tugas Akhir). Medan: Fakultas Teknik Usu.

Schueller, Wolfgang. 1986. Plastik Design (An Imposed Hinge-Rotation Aproach)

. Australia: Butler & Tanner Ltd.

Soemono, Ir. 1985. Ilmu Gaya. Bandung: Djambatan.

Kh, Sunggono. 1987. Buku teknik sipil. Bandung: Nova

Chu Kia Wang. 1987. Analisa Struktur Lanjutan Jilid 1. Trans.Kusuma Wirawan dan mulyadi Nataprawira. Jakarta: Erlangga.