Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution Dalam Pencegahan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan tahun 2012

(1)

T E S I S Oleh SITI HADIJAH 107032148/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE FACTORS RELATED TO THE UNIVERSAL PRECAUTION IN THE PREVENTATION OF HEPATITIS B IN THE HEALTH WORKERS AT

PERMATA BUNDA HOSPITAL IN 2012

THESIS

By

SITI HADIJAH 107032148/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEWASPADAAN UMUM/UNIVERSAL PRECAUTION DALAM PENCEGAHAN

HEPATITIS B PADA PETUGAS KESEHATAN DI RUMAH SAKIT PERMATA BUNDA

MEDAN TAHUN 2012

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Sumatera Utara

Oleh SITI HADIJAH 107032148/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEWASPADAAN UMUM/

UNIVERSAL PRECAUTION DALAM

PENCEGAHAN HEPATITIS B PADA PETUGAS KESEHATAN DI RUMAH SAKIT PERMATA BUNDA MEDAN TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : Siti Hadijah Nomor Induk Mahasiswa : 107032148

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Dr. dr. Wirsal Hasan, M.P.H) (Ir. Evi Naria, M.Kes) Ketua Anggota

Dekan

( Dr.Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 13 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.dr.Wirsal Hasan, M.P.H Anggota : 1. Ir.Evi Naria, M.Kes

2. Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H 3. dr. Surya Dharma, M.P.H


(6)

PERNYATAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEWASPADAAN UMUM/UNIVERSAL PRECAUTION DALAM PENCEGAHAN

HEPATITIS B PADA PETUGAS KESEHATAN DI RUMAH SAKIT PERMATA BUNDA

MEDAN TAHUN 2012

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

SITI HADIJAH 107032148/IKM


(7)

ABSTRAK

Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, dan ditularkan melalui darah dan cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Saat ini penderita Hepatitis B terdapat kira-kira 350 juta penderita dan Tahun 2010 di Indonesia, jumlah penderita virus Hepatitis B mencapai 13,3 juta penderita. Survey awal yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012, ada 20 orang petugas kesehatan penyakit dalam terdapat sebanyak 2 orang yang menderita Hepatitis B.

Tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja dengan kewaspadaan umum/ Universal Precaution dalam pencegahan penelitian ini adalah Survei Analitik dengan rancangan penelitian Cross Sectional.

Populasi adalah 70 orang perawat pada ruang rawat inap penyakit dalam kelas 2 dan 3 RS. Permata Bunda Medan. Sampel berjumlah 70 orang perawat yang diperoleh dengan cara total sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square dan uji regresi logistic

berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan penegtahuan, sikap dan pelatihan kerja dengan nilai p<0.05, dengan kewaspadaan umum petugas kesehatan dalam pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012.

Kesimpulan dari hasil penelitian bahwa pengetahuan yang paling dominan berhubungan dengan kewaspadaan umum petugas kesehatan dalam pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012.

Disarankan kepada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja dalam melaksanakan kewaspadaan umum/ Universal Precaution.


(8)

ABSTRACT

Hepatitis B is a disease caused by the Hepatitis B virus and spread through the blood and bod fluids of an infected person. Currently, there are about 350 millions persons suffering from Hepatitis B. The number of persons suffering from Hepatitis B in Indonesia reached 13,3 millions. The results of the preminary survey done in early 2012 showed that 2 (two) of the 20 health workers working in department of internal disease was suffering from Hepatitis B.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to analyze the relationship between knowledge, attitude, and job training and Universal Precaution in the prevention of Hepatitis B in the health workers working for Permata Bunda Hospital Medan. The population of this study was 70 nurses working in the in-patient words Class 2 and Class 3 of the department of internal disease of Permata Bunda Hospital Medan, and all of them were selected to be he samples for this study through total sampling technique. The data for this study were obtained through observation and interviews. The data obtained were analyzed through Chi-square and multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that there was a relationship between knowledge, attitude and job training (p < 0.05) and the Universal Precaution of the health workers in preventing Hepatitis B at Permata Bunda Hospital Medan in 2012.

The conclusion drawn from the results Precaution of the health workers in preventing Hepatitis B at Permata Bunda Hospital Medan in 2012.

The health are suggested to improve their knowledge, attitude, and training job in the implementation of Universal Precaution.


(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang yang berjudul “Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution Dalam Pencegahan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan tahun 2012”.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis menyadari bahwa terselesainya tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.S selaku ketua program studi dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti pendidikan.

4. Dr.dr. Wirsal Hasan, M.P.H selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh kesabaran dan keikhlasan dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

5. Ir.Evi Naria, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang juga telah meluangkan waktu dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 6. Prof. Dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H sebagai komisi penguji I dan dr.Surya

Dharma, M.P.H sebagai komisi penguji II yang juga telah banyak memberikan masukannya demi kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh Dosen Pengajar Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bekal ilmu dan pengetahuan. 8. Dr.Rosihan Arbi sebagai Ketua yayasan Rumah Sakit Permata Bunda Medan

yang telah memberikan Izin pada penulis dalam penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Dr. H. Syaiful M.Sitompul selaku Direktur Rumah Sakit dan dr. Hasanul Arifin, sebagai wakil direktur medic beserta seluruh staf perawat Kelas 2 dan 3 (Baiduri dan Kecubung) yang bertugas, khususnya Zr Lelly Khairuna yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini.

10. Ucapan terima kasih yang tulis ikhlas dan tidak terhingga kepada Keluarga besarku, kedua orang tuaku tercinta Ayahanda (Alm) H. Muhammad Saleh dan Ibunda tersayang Hj. Siti Aisyah serta keluarga besar Mertua Ayahanda (Alm) H. Achyar Santosa dan Ibunda tersayang (Alm) Hj.Mariana yang senantiasa memberikan motivasi, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(11)

11. Teristimewa ucapan terima kasih yang tulus ikhas kepada suami tercinta Edi Mulyadi yang senantiasa memberikan pengertian, dorongan, pengorbanan serta kesabaran, dukungan moril, doa restu dan kasih sayangnya, serta kedua buah hati kami Ananda tercinta Tas’a Ulfah dan Muhammad Faris yang selalu senantiasa sabar dan membantu dalam menyelesaikan tesis ini.

12. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Kakada Drs. H. Hasrul Azwar dan Istri (Hj.Nani Mulyani) yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan tesis ini.

13. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi untuk penyelesaian tesis ini,

14. Teman-teman di Ruang ICU Rumah Sakit Permata Bunda Medan yang telah banyak memberikan motivasi serta kesabaran dan doa restu dalam menyelesaikan tesis ini.

15. Kepala Puskesmas dan teman-teman kerjaku di Puskesmas Polonia Medan yan selalu memberikan motivasi, doa restu dan dukungan dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, September 2012

Penulis,

Siti Hadijah 107032148/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Siti Hadijah, lahir pada tanggal 22 Juli 1968 di Lampahan Aceh Tengah, anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm) Muhammad Saleh dan Ibunda Siti Aisyah. Penulis menikah pada tahun 1994 dengan Edi Mulyadi dan dikarunia 2 orang anak, yaitu Tas’a Ulfah dan Muhammad Faris.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah SDN No.1 Lampahan tamat tahun 1981, SMPN No.2 Takengon Aceh Tengah tamat tahun 1984, SMAN No.1 Takengon tamat tahun 1987 dan Lanjut D3 Keperawatan FNGK UDA tamat tahun 1991 kemudian SI Kep UNPRI Medan tamat tahun 2010. Penulis mengikuti pendidikan Studi S2 IKM Minat Studi MKLI USU tahun 2010.

Mulai bekerja pada tahun 1992 di RSU Mongonsidi yang saat ini bernama Rumah Sakit Prof.Boloni sampai tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis bekerja di RSU Permata Bunda Medan di ruang ICU sampai tahun 2011. Pada tahun 2003 penulis bekerja di DKK Medan sebagai Staf Puskesmas Polonia Medan sebagai Perawat PTT Pemko Medan.

Pada tahun 2006 penulis menjadi PNS di DKK Medan sebagai Staf Pelaksana Puskesmas Medan sampai saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Hipotesis ... 6

1.5.Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Kewaspadaan Umum/ Universal Precaution ... 8

2.1.1. Definisi ... 8

2.1.2. Tujuan Kewaspadaan Umum ... 10

2.1.3. Pelaksanaan Kewaspadaan Umum ... 10

2.1.4. KomponenUtamaKewaspadaan Umum/ Kewaspadaan Baku ... 11

2.1.5. Kewasadaan Berdasarkan Penularan ... 17

2.2. Hepatitis B ... 17

2.2.1. Definisi ... 17

2.2.2. Tanda dan Gejala ... 19

2.2.3. Sumber dan Cara Penularan Virus Hepatitis B ... 19

2.2.4. Masa Inkubasi ... 22

2.2.5. Prevalensi Infeksi Virus Hepatitis B ... 23

2.2.6. Perawatan dan Pengobatan ... 23

2.2.7. Pencegahan ... 25

2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kewaspadaan Umum/ Universal Precaution dalam Pencegahan Hepatitis B ... 27

2.3.1. Pengetahuan ... 27

2.3.2. Sikap ... 31

2.3.3. Pelatihan Kerja ... 33


(14)

2.5. Kerangka Konsep ... 34

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 35

3.1. Jenis Penelitian ... 35

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3. Populasi dan Sampel ... 35

3.3.1. Populasi ... 35

3.3.2. Sampel ... 35

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

3.4.1. Data Primer ... 36

3.4.2. Data Sekunder ... 36

3.4.3. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 36

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 45

3.5.1. Variabel ... 45

3.5.2. Definisi Operasional... 45

3.6. Metode Pengukuran ... 46

3.6.1. Variabel Independen ... 46

3.6.2. Variabel Dependen ... 48

3.7. Metode Analisis Data ... 49

3.7.1. Analisis Univariat ... 49

3.7.2. Analisis Bivariat ... 49

3.7.3. Analisis Multivariat ... 49

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 50

4.1.1. Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Permata Bunda ... 50

4.2. Analisis Univariat ... 50

4.2.1. Distribusi Jumlah Petugas ... 51

4.2.2. Distribusi Karakter Petugas ... 51

4.2.3. Distribusi Pengetahuan Petugas Kesehatan Mengenai Pencegahan Hepatitis B ... 51

4.2.4. Distribusi Sikap Petugas Kesehatan Mengenai Pencegahan Hepatitis B ... 51

4.2.5. Distribusi Pelatihan Kerja Petugas Kesehatan Mengenai Pencegahan Hepatitis B ... 52

4.2.6. Distribusi Kewaspadaan Umum ... 53

4.3. Analisis Bivariat ... 55

4.4. Analisis Multivariat ... 58

BAB 5. PEMBAHASAN ... 61

5.1. Karaketristik Petugas Kesehatan ... 61


(15)

5.1.2. Karaketristik Petugas Kesehatan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan ... 62

5.1.3. Karaketristik Petugas Kesehatan Berdasarkan Masa Kerja ... 62

5.2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution dalam Pencegahan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan di Rumah sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 63

5.2.1. Hubungan Pengetahuan dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution pada Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 63

5.2.2. Hubungan Sikap dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution pada Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 66

5.2.3. Hubungan Pelatihan Kerja dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution pada Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 69

5.3. Kewaspadaan Umum. Universal Precaution dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 70

5.4. Variabel yang paling Dominan berhubungan dengan kewaspadaan Umum/ Universal Precaution Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 72

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

6.1. Kesimpulan ... 74

6.2. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan ... 37

3.2. Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap ... 38

3.3. Validitas dan Reliabilitas Variabel Pelatihan Kerja ... 38

3.4. Aspek Pengukuran Variabel Independen ... 42

3.5. Aspek Pengukuran Variabel Dependen ... 43

4.1. Distribusi Jumlah Petugas Perawat di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 46

4.2. Distribusi Karakteristik Petugas Kesehatan Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan dan Masa Kerja di Rumah sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 47

4.3. Distribusi Jawaban Petugas Kesehatan Mengenai Pengetahuan tentang Pencegahan Hepatitis B ... 47

4.4. Distribusi Pengetahuan tentang Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 48

4.5. Distribusi Jawaban Petugas Kesehatan Mengenai Sikap tentang Pencegahan Hepatitis B ... 50

4.6. Distribusi Sikap tentang Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 51

4.7. Distribusi Pelatihan Kerja Petugas Kesehatan tentang Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan ... 52

4.8. Distribusi Pelatihan Kerja Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 53

4.9. Distribusi Kewaspadaan Umum Petugas Kesehatan tentang Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 53


(17)

4.10. Distribusi Kewaspadaan Umum Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan

Tahun 2012 ... 55 4.11. Analisis Hubungan Pengetahuan dengan Kewaspadaan Umum

Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit

Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 56 4.12. Analisis Hubungan Sikap dengan Kewaspadaan Umum Petugas

Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata

Bunda Medan Tahun 2012 ... 58 4.13. Analisis Hubungan Pelatihan Kerja dengan Kewaspadaan Umum

Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit

Permata Bunda Medan Tahun 2012 ... 59 4.14. Seleksi Variabel Pengetahuan, Sikap dan Pelatihan Kerja yang

Berhubungan dengan Kewaspadaan Umum/Universal Precaution

dalam Pencegahan Hepatitis B pada Petugas Kesehatan di Rumah


(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman 2.1. Kerangka Teori... 33 2.2. Kerangka Konsep ... 34


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Kuesioner ... 79 2. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat ... 83 3. Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Rumah Sakit Permata Bunda

Medan ... 84 4.

5. Hasil Uji Statistik ... 85 6. Hasil Master Data ... 96


(20)

ABSTRAK

Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B, dan ditularkan melalui darah dan cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Saat ini penderita Hepatitis B terdapat kira-kira 350 juta penderita dan Tahun 2010 di Indonesia, jumlah penderita virus Hepatitis B mencapai 13,3 juta penderita. Survey awal yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012, ada 20 orang petugas kesehatan penyakit dalam terdapat sebanyak 2 orang yang menderita Hepatitis B.

Tujuan penelitian untuk menganalisis hubungan pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja dengan kewaspadaan umum/ Universal Precaution dalam pencegahan penelitian ini adalah Survei Analitik dengan rancangan penelitian Cross Sectional.

Populasi adalah 70 orang perawat pada ruang rawat inap penyakit dalam kelas 2 dan 3 RS. Permata Bunda Medan. Sampel berjumlah 70 orang perawat yang diperoleh dengan cara total sampling. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji chi square dan uji regresi logistic

berganda.

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan penegtahuan, sikap dan pelatihan kerja dengan nilai p<0.05, dengan kewaspadaan umum petugas kesehatan dalam pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012.

Kesimpulan dari hasil penelitian bahwa pengetahuan yang paling dominan berhubungan dengan kewaspadaan umum petugas kesehatan dalam pencegahan Hepatitis B di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012.

Disarankan kepada Petugas Kesehatan di Rumah Sakit Permata Bunda Medan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja dalam melaksanakan kewaspadaan umum/ Universal Precaution.


(21)

ABSTRACT

Hepatitis B is a disease caused by the Hepatitis B virus and spread through the blood and bod fluids of an infected person. Currently, there are about 350 millions persons suffering from Hepatitis B. The number of persons suffering from Hepatitis B in Indonesia reached 13,3 millions. The results of the preminary survey done in early 2012 showed that 2 (two) of the 20 health workers working in department of internal disease was suffering from Hepatitis B.

The purpose of this analytical survey study with cross-sectional design was to analyze the relationship between knowledge, attitude, and job training and Universal Precaution in the prevention of Hepatitis B in the health workers working for Permata Bunda Hospital Medan. The population of this study was 70 nurses working in the in-patient words Class 2 and Class 3 of the department of internal disease of Permata Bunda Hospital Medan, and all of them were selected to be he samples for this study through total sampling technique. The data for this study were obtained through observation and interviews. The data obtained were analyzed through Chi-square and multiple logistic regression tests.

The result of this study showed that there was a relationship between knowledge, attitude and job training (p < 0.05) and the Universal Precaution of the health workers in preventing Hepatitis B at Permata Bunda Hospital Medan in 2012.

The conclusion drawn from the results Precaution of the health workers in preventing Hepatitis B at Permata Bunda Hospital Medan in 2012.

The health are suggested to improve their knowledge, attitude, and training job in the implementation of Universal Precaution.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Undang-undang Republik Indonesia tentang Kesehatan No. 23 tahun 1992 pasal 10 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (UU Kesehatan, 1992).

Berbagai upaya kesehatan terus dikembangkan dan sarana diagnostik dan terapi terus mengalami kemajuan, namun angka kejadian infeksi masih terus merupakan tantangan bidang kesehatan. Bahkan kini, kita dihadapkan pula pada masalah infeksi Virus Hepatitis terutama Hepatitis B dan AIDS yang membutuhkan penanganan khusus untuk menaggulanginya (Wisnuwhardani, 1994).

Hepatitis B merupakan penyakit yang banyak ditemukan di dunia dan dianggap sebagai persoalan kesehatan masyarakat yang harus diselesaikan. Hal ini karena selain prevalensinya tinggi, Virus Hepatitis B dapat menimbulkan problema pasca akut bahkan dapat terjadi cirroshis Hepatis dan karsinoma hepatoseluller primer dan 10% dari infeksi Virus Hepatitis B akan menjadi kronik dan 20 % penderita Hepatitis kronik ini dalam waktu 25 tahun sejak tertular akan mengalami


(23)

menjadi kronik lebih tinggi bila infeksi terjadi pada usia balita dimana respons imun belum berkembang secara sempurna.

Virus Hepatitis B ini dapat ditularkan terutama melalui kontak dengan darah penderita sehingga salah satu populasi yang beresiko terinfeksi/ tertular adalah petugas kesehatan. Petugas kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau ketrampilan melaui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU Kesehatan, 1992).

Penyebaran infeksi Virus Hepatitis B dapat terjadi dari penderita ke petugas kesehatan karena pemaparannya terjadi melalui darah atau cairan tubuh dari orang yang terinfeksi. Misalnya jarum suntik bekas penderita tersebut secara tidak sengaja tertusuk pada kulit, terjadi percikan cairan tubuh pada membran mukosa yang utuh (mata atau hidung), serta terjadi percikan darah yang masuk pada kulit yang tidak utuh (dermatitis, akne, luka yang belum sembuh, kulit tergores) (Yulastri, 2008).

Penularan Hepatitis B pada petugas kesehatan yang paling sering terjadi adalah tertusuknya jari tangan saat memasang penutup jarum suntik yang habis dipakai. Seringnya terjadi kecelakaan petugas kesehatan yang tertusuk jarum suntik ini dapat diketahui dari beberapa penelitian. Di Amerika Serikat lebih dari 800.000 luka karena tertusuk jarum suntik pada petugas kesehatan terjadi setiap tahun walaupun telah dilakukan pendidikan berkelanjutan dan upaya pencegahan kecelakaan (Dewi, 2008).


(24)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Metha dalam Bairy (2007) menyimpulkan bahwa pada rumah sakit di Mumbai ditemukan sebanyak 380 petugas kesehatan mengalami kecelakaan tertusuk jarum suntik dalam jangka waktu 6 tahun (1998-2003). Salah satu kelompok yang berisiko tinggi untuk tertular Hepatitis B adalah perawat. Hasil penelitian Yulastri (2008) menyebutkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel ketersediaan fasilitas, kebijakan rumah sakit terhadap pencegahan risiko tertular Hepatitis B.

WHO memperkirakan lebih dari dua miliar penduduk dunia terinfeksi Hepatitis B dengan angka kematian 250 ribu orang per tahun dan 170 juta penduduk dunia mengidap Hepatitis C dengan tingkat kematian 350 ribu orang per tahun. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi Hepatitis B dengan tingkat endemisitas tinggi, yaitu lebih dari 8 persen dimana 1,5 juta orang Indonesia berpotensi mengidap Kanker Hati (Hadi, 2000).

Menurut Dirjen P2PL, Indonesia menempati peringkat ketiga dunia untuk penderita Hepatitis B terbanyak setelah India dan China dengan jumlah penderita diperkirakan sebanyak 30 juta orang yang mengidap penyakit Hepatitis B dan C, dan setengahnya diduga memiliki Penyakit Liver Kronis, dengan 10% diantaranya menjadi Kanker Liver. Indonesia telah mulai memantau penyakit Hepatitis B sejak lama melalui upaya pengendalian penyakit mulai dari upaya promotif, preventif, dan kuratif. Salah satu bentuk pengendalian itu adalah dengan memberikan imunisasi Hepatitis B untuk bayi sejak tahun 1997 dan adanya penyaringan darah donor oleh Palang Merah Indonesia bagi penderita Hepatitis B.


(25)

Diperkirakan ada 350 juta orang yang menderita infeksi Virus Hepatitis B kronis dan menjadi sumber penularan bagi orang lain. Diperkirakan sekitar 1,5 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat Kanker Hati sebagai perjalanan akhir infeksi Virus Hepatitis B. Menurut data dari Departemen Kesehatan tahun 2007, jumlah penderita Hepatitis B di Indonesia mencapai 13,3 juta penderita (Sulaiman, 2010).

Saat ini didunia diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap (carier) HBsAg dan 220 juta (78 %) diantaranya terdapat di Asia termasuk Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan HBsAg pada kelompok donor darah di Indonesia prevalensi Hepatitis B berkisar antara 2,50-36,17 % (Sulaiman, 2010). Hal ini berarti bahwa Indonesia termasuk daerah endemis penyakit Hepatitis B dan termasuk negara yang dihimbau oleh WHO untuk melaksanakan upaya pencegahan. Salah satu masyarakat yang berisiko tertular adalah petugas kesehatan di rumah sakit.

Lingkungan rumah sakit dapat mengandung berbagai dampak negatif yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan manusia terutama petugas kesehatan. Salah satu cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi bahaya di lingkungan rumah sakit adalah meningkatkan kewaspadaan umum/ Universal Precaution

(Nursalam, 2007).

Mengingat jumlah kasus dan akibat Hepatitis B, maka diperlukan pencegahan sedini mungkin dengan meningkatkan kewaspadaan umum/ Universal Precaution

bagi petugas kesehatan. Universal Precaution merupakan suatu kewaspadaan standar yang dirancang untuk mengurangi risiko infeksi terinfeksi penyakit menular pada


(26)

petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui (Nursalam, 2007).

Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan terhadap 20 orang petugas kesehatan di ruang penyakit dalam terdapat sebanyak orang 2 yang menderita Hepatitis B. Hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan laboratorium dengan nilai HbsAg positif.

Petugas kesehatan khususnya perawat dalam pekerjaannya sehari-hari memberikan pertolongan atau perawatan terhadap pasien, perawat terlibat dalam tindakan pemasangan infus dan lain sebagainya, pekerjaan perawat selalu berhubungan langsung dengan pasien, dengan cairan tubuh pasien atau dengan darah dari pasien sehingga sangat memungkinkan tertularnya penyakit dari pasien yang salah satunya adalah Hepatitis B (Dewi, 2008).

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kewaspadaan umum/

Universal Precaution dalam pencegahan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit umum Permata Bunda Medan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas dijelaskan bahwa rumah sakit merupakan tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang sehat. Berbagai jenis penyakit terdapat di rumah sakit, salah satunya adalah penyakit Hepatitis B yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B yang dapat menular dari satu orang ke orang lain dan berisiko


(27)

pada petugas kesehatan yang langsung berinteraksi kapada pasien dan sangat rentan terhadap penularan Hepatitis B dan masih kurangnya kebiasaan melakukan kewaspadaan umum/ Universal Precaution oleh petuhgas kesehatan oleh karena itu peneliti ingin menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kewaspadaan umum/ Universal Precaution dalam pencegahan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit Permata Bunda Medan.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja dengan kewaspadaan umum/ Universal Precaution dalam pencegahan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit Permata Bunda Medan.

1.4. Hipotesis

Berdasarkan variabel penelitian, maka hipotesis pada penelitian ini yaitu ada hubungan pengetahuan, sikap dan pelatiahan kerja terhadap kewaspadaan umum/

Universal Precaution dalam pencegahan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit Permata Bunda Medan.


(28)

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Memberi masukan bagi pihak rumah sakit Permata Bunda Medan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kewaspadaan umum/ Universal Precaution dalam pencegahan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit umum Permata Bunda Medan.

1.5.2. Memberi masukan kepada petugas kesehatan di rumah sakit umum permata Bunda Medan dalam mencegah terjadinya kejadian Hepatitis.

1.5.3. Hasil penelitian dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan kewaspadaan umum/ Universal Precaution


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kewaspadaan Umum/ Universal Precaution (UP) 2.1.1. Definisi

Universal Precaution saat ini dikenal dengan kewaspadaan standar, kewaspadaan standar tersebut dirancang untuk mengurangi risiko infeksi penyakit menular pada petugas kesehatan baik dari sumber infeksi yang diketahui maupun yang tidak diketahui (Depkes, 2008).

Kewaspadaan Universal atau Kewaspadaan Umum (KU) atau Universal Precaution (UP) adalah suatu cara untuk mencegah penularan penyakit dari cairan tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan dan sebaliknya dari pasien ke pasien lainnya.

Universal Precaution adalah tindakan pengendalian infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien, setiap saat pada semua tempat, pelayanan dalam rangka pengurangi risiko penyebaran infeksi (Nursalam, 2007).

Kewaspadaan Universal adalah suatu cara penanganan baru untuk meminimalkan pajanan darah dan cairan tubuh dari semua pasien, tanpa memperdulikan status infeksi. Kewaspadaan Universal hendaknya dipatuhi oleh tenaga kesehatan karena ia merupakan panduan mengenai pengendalian infeksi yang dikembangkan untuk melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para


(30)

pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit yang disebarkan melalui darah dan cairan tubuh tertentu. Penerapan Kewaspadaan umum diharapkan dapat menurunkan risiko penularan patogen melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan terhadap semua pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).

Kewaspadaan umum tersebut ditujukan untuk melindungi setiap orang (pasien, klien, dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak. Kewaspadaan baku berlaku untuk darah, tubuh/semua cairan tubuh, sekresi dan ekskresi (kecuali keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir, kulit dan membran mukosa yang tidak utuh. Penerapan ini adalah untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau yang tidak diketahui (misalnya si pasien, benda yang terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan spuit) di dalam sistem pelayanan kesehatan (Tietjen, dkk, 2004).

Menurut Claire (1987) yang dikutip Tietjen (2004), indikasi penggunaan praktik isolasi tertentu seperti sarung tangan tertentu lebih efektif dari pada baju pelindung dalam pencegahan kontaminasi silang telah dapat diatasi melalui penelitian. Namun ketidakmampuan petugas administrasi dan klinik di negara miskin untuk menyediakan perlengkapan pelindung, khususnya ketersedian sarung tangan baru, masih menjadi kendala. Sebagai tambahan, tantangan menyediakan air bersih dan untuk mencapai standar yang dapat diterima seperti proses penggunaan instrumen medis dan pembuangan sampah masih menjadi persoalan di banyak negara.


(31)

2.1.2. Tujuan Kewaspadaan Umum

Menurut Nursalam (2007), kewaspadaan umum perlu diterapkan dengan tujuan: a. Mengendalikan infeksi secara konsisten.

b. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak terdiagnosa atau tidak terlihat seperti risiko.

c. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien. d. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.

2.1.3. Pelaksanaan Kewaspadaan Umum

Penerapan Kewaspadaan Universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana pelayanan kesehatan yang tidak terlepas dari peran masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya yaitu pimpinan termasuk staf administrasi, staf pelaksana pelayanan termasuk staf penunjangnya dan juga pengguna yaitu pasien dan pengunjung sarana kesehatan tersebut. Penerapan Kewaspadaan Umum didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007).

Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan Universal ini juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas kesehatan (Nursalam, 2007) .


(32)

2.1.4. Komponen Utama Kewaspadaan Umum/ Kewaspadaan Baku

Menurut Tietjen (2004) penggunaan pembatas fisik, mekanik, atau kimiawi antara mikroorganisme dan individu, misalnya ketika pemeriksaan kehamilan, pasien rawat inap merupakan alat yang sangat efektif untuk mencegah penularan infeksi. Adapun prinsip utama prosedur Kewaspadaan Universal dalam pelayanan kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi beberapa kegiatan pokok seperti:

a. Cuci Tangan

Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan yang paling penting yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan tangan dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya dibawah air hangat yang mengalir. Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada saat itu (Umar, 2005).

Cuci tangan harus selalu dilakukan dengan benar sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan walaupun memakai sarung tangan atau alat pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada ditangan sehingga penyebaran penyakit dapat dikurangi dan lingkungan terjaga dari infeksi. Tangan harus dicuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan. Aspek terpenting dari mencuci


(33)

tangan adalah pergesekan yang ditimbulkan dengan menggosok tangan bersamaan mencuci tangan dengan sabun, dengan air mengalir dan pergesekan yang dilakukan secara rutin (Nursalam, 2007).

Menurut Syawir (2011) ada beberapa sarana cuci tangan yaitu sebagai berikut: a.1. Air Mengalir

Sarana utama untuk cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran pembuangan atau bak penampung yang memadai. Dengan guyuran air mengalir tersebut maka mikroorganisme yang terlepas karena gesekan mekanis atau kimiawi saat cuci tangan akan bersih dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung. Namun cara mengguyur dengan gayung memiliki risiko cukup besar untuk terjadinya pencemaran, baik melalui gagang gayung ataupun percikan air bekas cucian kembali ke bak penampungan air bersih. Air kran bukan berarti harus dari PAM, namun dapat diupayakan secara sederhana degan tangki berkran di ruang pelayanan atau perawatan kesehatan agar mudah dijangkau oleh para petugas kesehatan yang memerlukannya.

a.2. Sabun dan Deterjen

Bahan ini tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan sehingga mikroorganisme terlepas dari permukaan kulit dan mudah terhalau oleh air. Jumlah mikroorganisme semakin berkurang dengan meningkatnya frekuensi cuci tangan. Namun dilain pihak, dengan seringnya menggunakan sabun atau


(34)

deterjen maka lapisan lemak akan hilang dan membuat kulit menjadi kering dan pecah-pecah. Hilangnya lapisan lemak akan memberi peluang untuk tumbuhnya kembali mikroorganisme.

a.3. Larutan Antiseptik

Larutan antiseptik atau disebut juga antimikroba topikal yang dipakai pada kulit atau jaringan hidup lainnya untuk menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada kulit. Antiseptik memiliki bahan kimia yang memungkinkan untuk digunakan pada kulit dan selaput mukosa. Antiseptik memiliki keragaman dalam hal efektivitas, aktivitas, akibat dan rasa pada kulit setelah dipakai sesuai dengan keragaman jenis antiseptik tersebut dan reaksi kulit masing-masing individu. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama kuman transien.

Menurut Syawir (2011) prosedur cuci tangan adalah sebagai berikut:

a. Basahi tangan setinggi pertengahan lengan bawah dengan air mengalir.

b. Taruh sabun di bagian telapak tangan yang telah basah. Buat busa secukupnya tanpa percikan.

c. Gerakan cuci tangan terdiri dari gosokan kedua telapak tangan, gosokan telapak tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan sebaliknya, gosok kedua telapak tangan dengan jari saling mengait, gosok kedua ibu jari dengan cara menggenggam dan memutar, gosok telapak tangan. Proses berlangsung selama 10-15 detik.


(35)

d. Bilas kembali dengan air sampai bersih.

e. Keringkan tangan dengan handuk atau kertas yang bersih atau tisu atau handuk katun kain sekali pakai.

f. Matikan kran dengan kertas atau tisu.

g. Pada cuci tangan aseptik/ bedah diikuti larangan menyentuh permukaan yang tidak steril.

b. APD (Alat Pelindung Diri)

Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang digunakan untuk melindungi diri dari sumber bahaya tertentu baik yang berasal dari pekerjaan maupun dari lingkungan kerja dan berguna dalam usaha untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan cidera atau cacat, dan terdiri dari berbagai jenis APD di rumah sakit yaitu sarung tangan, masker, penutup kepala, gaun pelindung dan sepatu pelindung (Syukri, 1982 dalam Jumata, 2010).

b.1. Sarung Tangan

Sarung tangan atau istilahnya handscoon merupakan salah satu kunci dalam meminimalisasi penularan penyakit, merupakan alat yang mutlak harus dipergunakan oleh petugas kesehatan termasuk perawat. Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, kulit yang tidak utuh, selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi (Jumata, 2010).

Menurut Tietjen, dkk, 2004 sampai sekitar 15 tahun lalu, petugas kesehatan menggunakan sarung tangan untuk tiga alasan untuk mengurangi risiko petugas


(36)

terkena infeksi bakterial dari pasien, mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien dan mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikroorganisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain.

Menurut Tenosis (2001) yang dikutip Tietjen (2004), walaupun sarung tangan telah berulang kali terbukti sangat efektif mencegah kontaminasi pada tangan petugas kesehatan, sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan. Sarung tangan lateks kualitas terbaik pun mungkin mempunyai kerusakan kecil yang tidak tampak. Selain itu sarung tangan juga dapat robek sehingga tangan dapat terkontaminasi sewaktu melepaskan sarung tangan. Tergantung situasi, sarung tangan pemeriksaan atau sarung tangan rumah tangga harus dipakai bila akan terjadi kontak tangan pemeriksa dengan darah atau tubuh lainnya, selaput lendir, atau kulit yang terluka, akan melakukan tindakan medik invasif (misalnya pemasangan alat-alat vaskular seperti intravena perifer) dan akan membersihkan sampah terkontaminasi atau memegang permukaan yang terkontaminasi (Tietjen, dkk, 2004).

b.2. Masker

Masker berguna untuk melindungi alat pernapasan terhadap udara yang terkontaminasi di tempat kerja atau di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi dan mengurangi risiko tertular penyakit melalui udara (Ramdayana, 2009).

c. Keselamatan Menggunakan Jarum Suntik

Keselamatan menggunakan jarum suntik sebaiknya menggunakan tiap-tiap jarum dan spuit hanya sekali pakai, tidak melepas jarum dari spuit setelah digunakan,


(37)

tidak menyumbat, membengkokkan, atau mematahkan jarum sebelum dibuang dan membuang jarum dan spuit di wadah anti bocor.

Menurut Tietjen (2004) apabila jarum dan spuit sekali pakai tidak tersedia dan perlu memasang kembali penutup jarum, maka gunakan metode penutupan “satu tangan” dengan cara:

c.1. Tempatkan penutup jarum pada permukaan rata dan kokoh, kemudian angkat tangan anda.

c.2. Kemudian dengan satu tangan memegang spuit, gunakan jarum untuk menyekop tutup tersebut dengan penutup di ujung jarum, putar spuit tegak lurus sehingga jarum dan spuit mengarah ke atas.

c.3. Akhirnya, dengan sumbat yang sekarang ini menutup ujung jarum sepenuhnya, peganglah spuit ke arah atas dengan pangkal dekat pusat (dimana jarum itu bersatu dengan spuit dengan satu tangan, dan gunakan tangan lainnya untuk menyegel tutup itu dengan baik).

d. Sterilisasi Alat

Menurut Nystrom (1981) yang dikutip Tietjen (2004), dekontaminasi adalah langkah pertama dalam mensterilkan instrumen bedah/tindakan, sarung tangan dan peralatan lainnya yang kotor (terkontaminasi), terutama jika akan dibersihkan dengan tangan misalnya, merendam barang-barang yang terkontaminasi dalam larutan klorin 0,5 % atau disinfektan lainnya yang tersedia dengan cepat dapat membunuh HBV dan HIV. Dengan demikian, menjadikan instrumen lebih aman ditangani sewaktu pembersihan. Setelah instrumen dan barang-barang lain didekontaminasi, kemudian


(38)

perlu dibersihkan, dan akhirnya dapat disterilisasi atau didisinfeksi tingkat tinggi. Proses yang dipilih untuk pemrosesan akhir bergantung pada apakah instrumen ini akan bersinggungan dengan selaput lendir yang utuh atau kulit yang terkelupas atau jaringan di bawah kulit yang biasanya steril.

2.1.5. Kewaspadaan Berdasarkan Penularan

Kewaspadaan ini dimaksudkan hanya untuk pasien yang diketahui atau sangat dicurigai telah terinfeksi oleh patogen yang ditularkan lewat kontak langsung khususnya penyakit Hepatitis B, dan patogen enterik, herpes simplex, infeksi kulit atau mata. Dalam hal ini jika ada proses infeksi pada pasien tanpa diketahui diagnosisnya, pelaksanaan kewaspadaan berdasarkan penularan, secara empirik harus dipertimbangkan sampai diagnosis definitif dibuat (Nursalam, 2007).

2.2. Hepatitis B 2.2.1. Definisi

Hepatitis B adalah jenis yang lain dari hepatitis dan banyak orang yakin bahwa keadaannya serupa dengan hepatitis A, tetapi sifatnya lebih bertahan lama yang disebabkan oleh virus yang sering disebut dengan virus hepatitis B (HBV) (Hadi, 2000).

Hepatitis B merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV). Keadaan ini mengakibatkan peradangan dan pembengkakan hati, dan kadang-kadang kerusakan hati yang nyata. Sering terjadi bahwa penderita sama sekali tidak merasakan dan menyadari bahwa dirinya sedang terinfeksi oleh virus, karena


(39)

keluhan yang khas yaitu keluhan seperti flu tidak bahkan bisa tidak muncul gejala sama sekali. Seseorang bisa terkena infeksi jika ia tidak imun terhadap virus dan terpapar dengan darah atau cairan tubuh dari penderita HBV (Naga, 2012).

Komponen (HBV) merupakan virus DNA yang tersusun dari partikel antigen seperti HBcAg-antigen anti hepatitis B, HBsAg antigen permukaan (surface) Hepatitis A (material antigen pada permukaan HBV), HBeAg-protein yang beredar dalam darah dan HBxAg produk genetik dari gen X pada HBV/DNA. Setiap antigen menimbulkan antibodi secara spesifiknya adalah anti-HBc-antibodi terhadap antigen inti atau HBV, anti HBc akan bertahan selama fase akut dan dapat menunjukkan virus hepatitis B yang berlanjut dalam hati (Brunner & Suddarth, 2001).

Hepatitis B merupakan bentuk hepatitis yang lebih serius dibandingkan dengan jenis Hepatitis lainnya. Namun hepatitis virus yang akut dapat sembuh dengan sendirinya, namun sebagian besar penderita Hepatitis B akan menjadi kronis. Semakin besar usia terinfeksi virus hepatitis B maka semakin besar kemungkinan menjadi kronis. Hepatitis kronis akan meningkatkan risiko terjadinya sirosis dan hepatoma (kanker hati) di kemudian hari. Akan tetapi hanya sedikit saja yang terinfeksi Hepatitis B (HBV) akut yang menunjukkan gejala klinis, kurang dari 10% pada anak-anak dan 30% - 50% pada orang dewasa dengan infeksi virus HBV akut dapat berkembang menjadi penyakit dengan ikterus. Pada penderita yang menunjukkan gejala klinis, timbulnya gejala biasanya insidious, dengorexia,

gangguan abdominal, mual dan muntah, dan sering berkembang menjadi jaundice


(40)

2.2.2. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari penyakit Hepatitis B ini sangat bervariasi terkadang mirip dengan Hepatitis A dan mirip flu. Namun pada stadium prodromal sering ditemukan kemerahan kulit dan nyeri sendi, hilangnya nafsu makan, mual kadang disertai dengan muntah, lemah, pusing, sakit perut terutama disekeliling atau disekitar hati, urine berwarna gelap, kulit dan mata berwarna kuning (jaundice) nyeri sendi dan disertai dengan demam dan akan sembuh dalam 2 minggu namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para dokter ternyata hanya sedikit penderita penyakit Hepatitis B yang menjadi ikterik (Naga, 2012).

2.2.3. Sumber dan Cara Penularan Virus Hepatitis B

Menurut Yulastri (2008) penyakit HBV dapat mudah ditularkan kepada semua orang dan semua kelompok umur secara menyusup. Dengan percikan sedikit darah yang mengandung virus hepatitis B sudah dapat menularkan penyakit. Pada umumnya penularan dari HBV adalah parenteral. Semula penularan HBV diasosiasikan dengan tranfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk dari HBV makin banyak laporan yang ditemukan cara penularan lainnya. Hal ini disebabkan karena HBV dapat ditemukan dalam setiap cairan yang dikeluarkan dari tubuh penderita, misalnya melalui : darah, air liur (saliva), keringat, air susu ibu (ASI), cairan vagina, air mata, feces, urine, termasuk sisir, pisau cukur, selimut, alat makan, alat kedokteran yang terkontaminasi virus Hepatitis B. Selain itu dicurigai penularan melalui nyamuk atau serangga penghisap


(41)

darah. Oleh karena itu dikenal cara penularan perkutan dan non perkutan yaitu sebagai berikut:

a. Penularan Horizontal

Cara penularan horizontal yang dikenal ialah: tranfusi darah yang terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa. Selain itu HBV dapat masuk kedalam tubuh kita melalui luka atau lecet pada kulit dan selaput lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral) atau luka benda tajam, menindik telinga, pembuatan tato, pengobatan tusuk jarum (akupuntur), penggunaan alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik diri sendiri, menggunakan jarum suntikyang kotor/kurang steril. Penggunaan alat-alat kedokteran dan perawatan gigi yang sterilisasinya kurang sempurna / kurang memenuhi syarat akan dapat menularkan HBV.

Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu busuk, parasit, dan lain-lain dapat juga menularkan HBV, walaupun belum ada laporan. Cara penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan cara penularan non-kutan diantaranya ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak seksual (baik homoseks maupun heteroseks) dengan pengidap/penderita HVB, atau melalui saliva yang bercium-ciuman dengan penderita/pengidap, dapat juga dengan jalan tukar pakai sikat gigi, dan lainnya. Hal ini dimungkinkan disebabkan karena selaput lendir tubuh yang melapisinya terjadi diskontinuitas, sehingga virus hepatitis B mudah menembusnya.


(42)

b. Penularan Vertikal

Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi dari seorang ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan. Apabila seorang ibu menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada trisemester ketiga kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari (Budi, 2011).

Virus Hepatitis B juga dapat terjangkit melalui sentuhan dengan darah atau cairan tubuh yang tercemar. Hal ini akan menyebabkan 100 kali lebih mudah terjangkit dari pada HIV. Penyakit ini akan terdeteksi melalui pemeriksaan fungsi hati. Menurut Chin (2006) bagian tubuh yang memungkinkan terjadinya penularan HBV antara lain adalalah darah, air ludah atau saliva , cairan cerebrospinal, peritoneal, cairan pericardial, cairan amniotik, semen, cairan vagina dan lain-lain. Penularan infeksi virus hepatitis B juga dapat melalui berbagai cara sepaerti parenteral yaitu terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan pembuatan tatto dan non parenteral yaitu persentuhan yang erat dengan benda yang tercemar virus hepatitis B.

Sebagai antisipasi, biasanya terhadap darah-darah yang diterima dari pendonor akan di tes terlebih dulu apakah darah yang diterima reaktif terhadap Hepatitis, Sipilis dan HIV namun tidak semua yang positif Hepatitis B perlu ditakuti. Dari hasil pemeriksaan darah dapat terungkap apakah ada riwayat pernah kena dan sekarang sudah kebal, atau bahkan virusnya sudah tidak ada. Bagi pasangan yang hendak menikah, tidak ada salahnya untuk memeriksakan pasangannya untuk


(43)

penularan penyakit ini. Hepatitis C dapat tertular melalui darah dan plasma yang syringe. Hepatitis D dapat tertular melalui darah dan cairan beku yang terkontaminasi, jarum suntik dan hubungan seks. Hepatitis E dapat tertular melalui air yang terkontaminasi, dari orang ke orang dengan fecal oral (Chin, 2006).

2.2.4. Masa Inkubasi

Masa inkubasi biasanya berlangsung selama 45-180 hari, dengan batas rata-rata 60-90 hari, paling sedikit diperlukan waktu selama 2 minggu untuk bisa menentukan HbsAg dalam darah, dan jarang sekali sampai selama 6 – 9 bulan, perbedaan masa inkubasi tersebut dikaitkan dengan berbagai faktor antara lain jumlah virus, cara-cara penularan dan faktor penjamu (Yatim, 2007).

Perubahan infeksi akut akan menjadi kronis sesuai dengan umur penderita. Semakin tua umur, maka semakin besar kemungkinan menjadi kronis dan kemudian berlanjut menjadi pengkerutan dan pengerasan jaringan hati (sirosis). Bila umur masih berlanjut maka akan berubah menjadi keganasan hati atau kanker hati (carinoma Hepatitis primer). Diperkirakan 15%-25% penderita hepatitis B kronis akan meninggal prematur (meninggal sebelum waktu perkiraan) (Yatim, 2007). 2.2.5. Prevalensi Infeksi Virus Hepatitis B

a. Di Amerika Serikat diperkirakan 0,5% orang dewasa sudah terinfeksi virus Hepatitis B atau dari 200 orang, 1 orang diantaranya sudah terinfeksi virus Hepatitis B.

b. Di negara dengan tingkat prevalensi tinggi (HbsAg > 8%), penularan banyak terjadi pada bayi baru lahir dan pada anak yang masih berada pada usia muda.


(44)

c. Di negara dengan tingkat prevalensi sedang (HbsAg 2%-7%) penularan bisa terjadi pada semua golongan umur.

d. Di negara dengan tingkat prevalensi rendah (HbsAg < 2%) infeksi sering terjadi pada kelompok umur dewasa.

Pemeriksaan hepatitis B salah satunya dengan pemeriksaan serologi (sel), yaitu pemeriksaan HbsAg, HbeAg, anti Hbe dan HBV DNA (Dewi, 2008).

HbsAg, HbeAg keduanya adalah antigen. Fungsi pemeriksaan HbsAg adalah untuk mengetahui apakah seseorang merupakan penderita hepatitis B, yang ditandai dengan HbsAg positif, sedangkan fungsi pemeriksaan HbeAg adalah untuk mengetahui apakah adanya reflika virus dalam hepatosit (sel hati). HbeAg berkaitan erat dengan HBV DNA, yaitu DNA virus hepatitis B. Pada beberapa kasus ada yang nilai HbeAg-nya negatif namun bukan pertanda mutlak bahwa yang bersangkutan tidak memiliki virus hepatitis B.

2.2.6. Perawatan dan Pengobatan

Hepatitis yang disebabkan oleh infeksi virus menyebabkan sel-sel hati mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Pada umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi penyembuhannya memerlukan waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat yang baik. Hepatitis akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis kronik (menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini ada beberapa perawatan yang dapat dilakukan untuk Hepatitis B kronis yang dapat


(45)

meningkatkan kesempatan bagi seorang penderita penyakit ini. Perawatannya tersedia dalam bentuk antiviral seperti Lamivudine, Adefovir dan Modulator (Hadi, 2000).

Hepatitis yang disebabkan oleh alkohol, narkoba, obat-obatan atau racun yang mengakibatkan gejala yang sama seperti virus Hepatitis, pengobatan yang paling baik adalah menghentikan penggunaan alkohol, narkoba, atau obat-obatan yang dapat menggangu hati. Selain itu ada juga pengobatan tradisional yang dapat dilakukan. Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk mencegah dan membantu pengobatan Hepatitis diantaranya mempunyai efek sebagai hepatoprotektor, yaitu melindungi hati dari pengaruh zat toksik yang dapat merusak sel hati, juga bersifat anti radang, kolagogum dan khloretik, yaitu meningkatkan produksi empedu oleh hati. Beberapa jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk pengobatan Hepatitis, antara lain yaitu temulawak (Curcuma xanthorrhiza), kunyit (Curcuma longa), sambiloto (Andrographis paniculata), meniran (Phyllanthus urinaria), daun serut/mirten, jamur kayu/lingzhi (Ganoderma lucidum), akar alang-alang (Imperata cyllindrica), rumput mutiara (Hedyotis corymbosa), pegagan (Centella asiatica), buah kacapiring (Gardenia augusta), buah mengkudu (Morinda citrifolia), jombang (Taraxacum officinale) (Hadi, 2000).

Orang dengan sejarah penggunaan jarum suntik, penggunaan narkoba, tato atau sirkulasi darah yang telah terpapar melalui seks tidak aman dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit hepatitis B (Sulaiman, 2010).


(46)

2.2.7. Pencegahan

Pengendalian penyakit ini lebih dimungkinkan melalui pencegahan dibandingkan pengobatan yang masih dalam penelitian. Pencegahan dilakukan meliputi pencegahan penularan penyakit dengan kegiatan Health Promotion dan

Spesifik Protection, maupun pencegahan penyakit dengan imunisasi aktif dan pasif (Hadi, 2000).

Ada 3 (tiga) kegiatan utama yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan penyakit Hepatitis, yakni melalui pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer yakni dengan cara promosi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), imunisasi pada bayi, imunisasi pada remaja dan dewasa (catch up immunization). Pencegahan sekunder melalui, deteksi dini dengan skrining (penapisan), penegakan diagnosa dan pengobatan. Sedangkan pencegahan tersier lebih kepada untuk mencegah keparahan dan rehabilitasi, monitoring pengobatan untuk mengetahui efektifitas dan resistensi terhadap obat pilihan (Depkes RI, 2009).

Menurut Dirjen PPM-PL (2001) usaha pencegahan penyakit hati/liver antara lain dengan diet seimbang dan pada saat tertentu diperlukan rendah protein, banyak makan sayur dan buah-buahan, menjalankan pola hidup yang teratur, pola hidup di lingkungan sehat, kurangi minuman beralkohol, jaga kebersihan diri dan lingkungan, menghindari penularan melalui makanan dan minuman, menghindari kontak dengan penderita Hepatitis B dan bila terjadi kontak melakukan desinfektan akan bisa menghindari penularan penyakit Hepatitis. Senantiasa menjaga kebersihan diri dan


(47)

lingkungan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, suntikan, tatto, tusukan jarum yang terkontaminasi, kegiatan seksual dan lain-lain.

Timbulnya Hepatitis B dalam barak-barak atau panti perawatan sering merupakan petunjuk sanitasi dan higiene perorangan yang buruk. Pengendaliannya langsung ditunjukkan pada pencegahan terkontaminasinya makanan, air, atau sumber-sumber lainnya oleh tinja. Kebersihan seperti mencuci tangan setelah buang air besar atau sebelum makan, penggunaan piring dan alat makan sekali pakai, dan menjaga kebersihan perorangan. Pemakaian disinfektan natrium hipoklorit 0,5%-sangat penting dalam mencegah penyebaran (Jawetz, 1995). Orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi imunoglobulin. Imunisasi Hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk sendiri (Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin Hepatitis B (Twinrix). imunisasi Hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian.

Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat diberi pengertian sebagai proses perkembangan sebuah penyakit, yang melibatkan berbagai variabel di luar subjek manusia. Kejadian penyakit yang menimpa sekelompok penduduk, bermula dari sebuah agen penyakit yang dikeluarkan dari sumbernya. Agent penyakit dalam media atau lazim disebut komponen lingkungan, seperti: air, udara, ataupun pangan yang kemudian kontak dengan penduduk secara sendiri-sendiri maupun bersama, dalam waktu yang bersamaan atau berbeda. Kejadian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variabel-variabel kependudukan dan variabel-variabel lingkungan.


(48)

2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Universal Precaution dalam Pencegahan Hepatitis B

2.3.1. Pengetahuan a. Definisi

Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2011).

Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefes), takhayul (superstition), dan penerangan-penerangan yang keliru (misinpormation) (Mubarak, 2006).

Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour).

Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih lancar dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni :

a.1. Awareners (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).


(49)

a.2. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut.

a.3. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

a.4. Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

a.5. Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang, dimana untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang secara terperinci terdiri dari 6 tingkatan yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah di pelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang di pelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).


(50)

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetap masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Pengukuran kemampuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut di atas.

b. Faktor yang Memengaruhi Pengetahuan b.1. Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan epidemiologi.


(51)

b.2. Pendidikan

Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki.

b.3. Pekerjaan

Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak tantangan.

b.4. Sumber Informasi

Informasi adalah data yang diproses kedalam suatu bentuk yang mempunyai arti bagi si penerima dan mempunyai nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat itu atau keputusan mendatang (Mubarak, 2006).

Salah satu cara memperoleh pengetahuan yaitu dari sumber informasi, semakin banyak seseorang memperoleh informasi dari berbagai sumber maka semakin baik pengetahuannya (Notoatmodjo, 2003).

2.3.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2007). Sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).


(52)

Menurut Notoatmodjo, (2007), dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dengan berbagai tingkat sikap yaitu :

a. Menerima (receiving), artinya bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

b. Merespon (responding), adalah memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari tindakan.

c. Menghargai (valuing), adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.

d. Bertanggung Jawab (responsible), adalah bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.3.3. Pelatihan Kerja

Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan dan mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja (Sastrohadiwiryo, 2002). Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 13 disebutkan bahwa pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya:

a. Calon peserta pelatihan b. Tenaga kepelatihan c. Kurikulum


(53)

d. Sumber dana yang tetap untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pelatihan

e. Sarana dan prasarana. Pasal 9 menyebutkan bahwa :

a. Pelatihan di bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.

b. Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.

Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa :

a. Setiap tenaga kesehatan memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.

b. Penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan bertanggung jawab atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan.

Sesuai standar patogen yang ditularkan melalui darah dari OSHA pelatihan awal dan tahunan yang berhubungan dengan standar harus tersedia untuk setiap pekerja yang secara potensial terpapar selama jam-jam kerja, dan biaya tidak dibebankan pada pekerja (pelatihan tahunan harus dilakukan dalam 12 bulan dari pelatihan awal). Catatan harus tetap dipertahankan untuk sesi-sesi pelatihan (Schaffer, dkk, 2000).


(54)

2.4. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep teori simpul bahwa terjadinya penularan Hepatitis B pada petugas kesehatan di rumah sakit Permata Bunda dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pengetahuan, sikap dan pelatiahan kerja.

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Gambar 2.1. Teori Simpul Kejadian Hepatitis B

Patogenesis atau kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan ke dalam 5 simpul yakni : simpul 1 sumber penyakit dalam hal ini adalah virus Hepatitis B, simpul 2 komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit, simpul 3 penduduk (petugas kesehatan). Pada simpul ini dapat diukur kandungan agent

Virus Hepatitis B

iklim, kebijakan, topografi, dan suhu Lingkungan Rumah Sakit Manusia

melalui kontak langsung

Tenaga Kesehatan (Penggunaan alat pelindung)

Penderita Hepatitis B

• (+)


(55)

penyakit yang bersangkutan atau metabolitnya, apabila kesulitan mengukur besaran

agent penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut sebagai

biomarker atau tanda biologi. Simpul 4 penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami interaksi atau exposure dengan komponen lingkungan yang mengandung agent penyakit. Sedangkan simpul 5 adalah semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap ke 4 simpul tersebut seperti : iklim, kebijakan, topografi, dan suhu lingkungan (Achmadi, 2011).

2.5. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Kewaspadaan Umum Petugas Kesehatan dalam Pencegahan Kejadian Hepatitis B - Pelatihan Kerja

- Pengetahuan - Sikap


(56)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat survei analitik dengan rancangan penelitian cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas dengan variabel terikat melalui pengujian hipotesis (Notoadmodjo, 2005).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam kelas 2 dan 3 di Rumah Sakit Permata Bunda Medan pada bulan Mei - Juni 2012.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh perawat pada ruang rawat inap penyakit dalam kelas 2 dan 3 di RS Permata Bunda Medan yaitu sebanyak 70 orang, dengan alasan bahwa di ruangan ini terdapat jumlah pasien rawat inap yang cukup banyak,. 3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini yaitu seluruh perawat yang bertugas di ruang rawat inap penyakit dalam. Untuk pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling diman seluruh populasi dijadikan sebagai sampel yaitu sebanyak 70 orang perawat (Notoatmodjo, 2005).


(57)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari responden langsung melalui wawancara langsung dengan responden dengan berpedoman pada kuesioner penelitian .

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari catatan atau dokumen yang telah tersedia di RSU Permata Bunda Medan

3.4.3. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Kuesioner penelitian agar dapat menjadi instrumen penelitian yang valid dan

reliable sebagai alat pengumpul data maka dilakukan uji coba terlebih dahulu dengan uji validitas dan uji reliabilitas. Suatu kuesioner dianggap valid kalau pertanyaan pada suatu kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut (Riyanto, 2011). Uji validitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana suatu ukuran atau skor yang menunjukkan tingkat kehandalan atau kesahihan suatu laat ukur dengan cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel yang ditunjukkan dengan skor item correct correlation pada analisis

reliability statistics. Jika skor r hitung ≥ r tabel, maka dinyatakan valid dan jika skor r hitung ≤ r tabel, maka dinyatakan tidak valid (Riyanto, 2011).


(58)

Setelah semua pertanyaan valid, analisis dilanjutkan dengan uji reliabilitas. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2005). Menurut Riyanto (2011), suatu pertanyaan dinyatakan reliabel jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup untuk mengetahui reliabilitas suatu pertanyaan dengan membandingkan nilai r hasil (alpha cronbach) dengan r tabel: 1. Bila r-alpha cronbach≥ r tabel maka pertanyaan reliabel

2. Bila r-alpha cronbach≤ r tabel maka pertanyaan tidak reliabel.

Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner penelitianndapat dilihat sebagai berikut ini:

1. Variabel Pengetahuan

Tabel 3.2 Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan No. Soal Rhitung Rtabel Cronbach

Alpha

Keterangan

1 0,587 2 0,523 3 0,400 4 0,702 5 0,725 6 0,847 7 0,736 8 0,587 9 0,423 10 0,482

0,877 Reliabel

0,361 Valid

0,361 Valid

0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Berdasarkan tabel 3.2 di atas dapat dilihat bahwa seluruh pertanyaan Variabel Pengetahuan sebanyak 10 soal mempunyai r - hitung > r – tabel dengan nilai


(59)

Cronbach Alpha 0,877, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan valid dan reliabel.

2. Variabel Sikap

Tabel 3.3 Validitas dan Reliabilitas Variabel Sikap No. Soal Rhitung Rtabel Cronbach

Alpha

Keterangan

1 0,567 2 0,490 3 0,545 4 0,675 5 0,772 6 0,826 7 0,539 8 0,557 9 0,507 10 0,418

0,870 Reliabel

0,361 Valid

0,361 Valid

0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 0,361 Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Berdasarkan tabel 3.3 di atas dapat dilihat bahwa seluruh pertanyaan Variabel Pengetahuan sebanyak 10 soal mempunyai r - hitung > r – tabel dengan nilai

Cronbach Alpha 0,870, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan valid dan reliabel.

3. Variabel Pelatihan Kerja

Tabel 3.4 Validitas dan Reliabilitas Variabel Pelatihan Kerja No. Soal Rhitung Rtabel Cronbach

Alpha

Keterangan

1 0,424 2 0,536 3 0,436 4 0,708 5 0,523 6 0,655

0,793 Reliabel

0,361 Valid

0,361 Valid

0,361 0,361 0,361 0,361 Valid Valid Valid Valid


(60)

Berdasarkan tabel 3.4 di atas dapat dilihat bahwa seluruh pertanyaan Variabel Pelatuhan Kerja sebanyak 6 soal mempunyai r - hitung > r – tabel dengan nilai

Cronbach Alpha 0,793, maka dapat disimpulkan bahwa seluruh pertanyaan valid dan reliabel.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja. Sedangkan variabel dependen adalah kewaspadaan umum/ universal precaution dalam pencegahan Hepatitis B.

3.5.2. Definisi Operasional

a. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui petugas kesehatan tentang kewaspadaan umum/ universal precaution dalam pencegahan Hepatitis B b. Sikap adalah suatu reaksi atau respon petugas kesehatan untuk setuju, kurang

setuju atau tidak setuju terhadap pelaksanaan kewaspadaan umum/ universal precaution dalam pencegahan Hepatitis B

c. Pelatihan kerja adalah pelatihan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit yang di ikuti petugas kesehatan dalam rangka mengembangkan keterampilan dan keahlian kerja bagi petugas kesehatan.

d. Mencuci tangan adalah menghilangkan kotoran atau debu secara mekanis dari permukaaan kulit, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada kuku, tangan, lengan dan mencegah penyebaran ke area tidak terkontaminasi


(61)

sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan dengan menggunakan sabun/ antiseptik.

e. Penggunaan sarung tangan adalah suatu alat pelindung berupa sarung tangan atau handscoon yang digunakan petugas kesehatan saat akan melakukan

tindakan keperawatan.

f. Keselamatan menggunakan jarum suntik adalah menggunakan jarum suntik sesuai dengan standar operasional penggunaan jarum suntik di rumah sakit dengan sikap hati-hati demi keselamatan petugas..

g. Kesterilan alat adalah suatu langkah yang dilakukan perawat setelah menggunakan alat kesehatan dengan cara merendam alat-alat yang

terkontaminasi dalam larutan klorin atau disinfektan lainnya.

h. Kewaspadaan umum/ universal precaution adalah suatu tindakan pengendalian infeksi sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas

kesehatan di rumah sakit Permata Bunda Medan dalam mencegah penularan Hepatitis B.

3.6. Metode Pengukuran 3.6.1. Variabel Independen

Pengukuran variabel independen menggunakan skala ordinal. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat diukur dalam bentuk item pertanyaan (indikator). Indikator dibagi dalam beberapa tingkatan dan diberi skor/nilai.


(62)

a. Pengetahuan

Untuk mengukur tingkat pengetahuan digunakan skala ordinal dengan dua kategori yaitu tinggi dan rendah, untuk mengukur variable pengetahuan didasarkan pada 10 pertanyaan, diaman untuk setiap jawaban yang benar diberikan skor (1) dan skor (0) untuk yang jawaban salah, maka skor tertinggi adalah 10, dan skor terendah adalah 0, kemudia dikategorikan sebagai berikut:

1. Tinggi jika skor jawaban > 60% atau > skor 6 2. Rendah jika skor jawaban < 60% atau < skor 6 b. Sikap

Untuk pengukuran sikap dilakukan dengan mengajukan 10 pertanyaan dan masing-masing diberikan 3 pilihan jawaban dengan total skor 30, dengan pilihan jawaban sebagai berikut:

Setiap pertanyaan diberikan skor untuk masing-masing pilihan jawaban sikap a Setuju, diberikan skor 3 (tiga)

b Kurang setuju skor 2 (dua) c Tidak setuju skor 1 (satu)

Berdasarkan total skor jawaban sikap dari 10 pertanyaan yang diajukan, maka sikap petugas kesehatan digolongkan menjadi 2 kategori yaitu:

1. Baik, jika skor jawaban petugas kesehatan > 60% atau > skor 18 2. Tidak baik, jika skor jawaban petugas kesehatan < 60% atau < skor 18


(63)

c. Pelatihan Kerja

Untuk pelatihan kerja dilakukan dengan mengajukan 6 pertanyaan dan masing-masing diberikan 2 pilihan jawaban. Jika petugas kesehatan menjawab “ya” maka diberikan skor 1 dan jika petugas kesehatan menjawab “tidak” maka diberikan skor 0, selanjutnya variable pelatihan kerja dikategorikan sebagai berikut:

1. Baik, jika skor jawaban 100% atau = 6

2. Tidak baik, jika skor jawaban < 100% atau < 6

Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 3.5. di bawah ini:

Tabel. 3.5 Aspek Pengukuran N

o

Variabel Parameter Skala Ukur

Hasil Ukur

Alat Ukur Cara Ukur 1. Pengetahuan 1. Pengetahuan

tinggi jika skor jawaban

responden ≥ 60% 2. Pengetahuan

rendah jika skor jawaban < 60%

Ordinal 1. Tinggi 2. Rendah

Wawancara Kuesioner

2. Sikap 1. Baik, apabila skor jawaban

responden > 60% 2. Tidak baik

apabila skor jawaban

responden <60%

Ordinal 1. Baik 2. Tidak baik Wawancara Kuesioner 3. Pelatihan Kerja 1. Mendapatkan pelatihan jika skor 100% 2. Tidak mendapatkan pelatihan jika skor <100%

Ordinal 1. Baik 2. Tidak

baik


(64)

3.6.2. Variabel Dependen

Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi komponen-komponen yang dapat diukur dalam bentuk item pernyataan kewaspadaan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 3.6. berikut:

Tabel 3.6. Aspek Pengukuran Variabel Dependen

No Variabel Parameter Skala Ukur Hasil Ukur Alat Ukur

1. Kewaspadaan umum

1. Sesuai SOP,jika responden Menjawab”ya” 100%

2. Tidak sesuai SOP, Jika responden menjawab”tidak” <100%

Ordinal 1.Baik 2.Tidak baik

Observasi

3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui deskripsi variabel penelitian dengan menggunakan distribusi frekuensi (Nurjazuli, 2006).

3.7.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi antara variabel independen dengan variabel dependen melalui tabulasi silang dan kemudian dilakukan analisis statistik dengan menggunakan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95 %.


(65)

3.7.3. Analisis Multivariat

Analisis multivariat dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kewaspadaan umum / universal precaution dalam pencegahan Hepatitis B yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan kerja, sehingga diketahui variable mana yang paling dominan berhubungan dengan kewaspadaan umum / universal precaution dalam pencegahan Hepatitis B dengan menggunakan analisis regresi logistik berganda (multiple logistic regression).


(66)

BAB 4

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1. Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Umum Permata Bunda

Cikal bakal Rumah Sakit Umum Permata Bunda dimulai dari Firma Madju yang merupakan usaha yang dimiliki oleh Alm. Bapak H. M. Arbie yang bergerak dalm jasa penerbitan percetakan dan telah dirintis sejak tahun 1955 sampai saat ini yang terletak di jalan Sisingamangaraja No. 7 Medan di inti Kota dan mudah di jangkau oleh masyarakat dengan luas area 2.965,80 m2 dan luas bangunan 4.230 m2.

Rumah Sakit Permata Bunda dengan pelayanan paripurna, peralatan memadai, didukung tenaga ahli dan berdedikasi tinggi serta ditunjang oleh tenaga medis yang terampil, profesional, etis dan berwawasan nasional dan diharapkan memberikan persepsi penampilan rumah sakit yang bermutu, efisien dan efektif dengan jumlah karyawan:

Medis : 132 orang

Para Medis Keperawatan : 195 orang Para Medis Non Keperawatan : 12 orang


(67)

4.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi dari variabel atau besarnya proporsi masing-masing variabel yang diteliti.

4.2.1. Distribusi Jumlah Petugas

Responden dalam penelitian ini berjumlah 70 orang perawat yang bertugas di ruang rawat inap penyakit dalam kelas 2 dan 3 Rumah Sakit Permata Bunda Medan tahun 2012, dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini :

Tabel 4.1. Distribusi Petugas Kesehatan Di Ruang Rawat inap Penyakit Dalam Kelas 2 an 3 di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012 No Ruangan Penyakit Dalam Jumlah (n) Proporsi

1. Kelas 2 31 44,3

2. Kelas 3 39 55,7

Total 70 100

Dari tabel 4.1. diatas dapat dilihat bahwa jumlah petugas perawat diruang penyakit dalam kelas 2 berjumlah 31 orang (44,3%), dan kelas 3 berjumlah 39 orang (55,7%).

4.2.2. Distribusi Karakteristik Petugas Kesehatan

Dalam penelitian ini karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan masa kerja. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.2. di bawah ini:


(68)

Tabel 4.2. Distribusi Karakteristik Petugas kesehatan Berdasarkan Umur, Jenis kelamin, Tingkat Pendidikan dan Masa kerja di Rumah Sakit Permata Bunda Medan Tahun 2012

No. Karakteristik Petugas kesehatan Jumlah (n) Proporsi 1. Umur Petugas kesehatan

22 – 34 19 27,2

35 – 44 35 50

45 – 54 11 15,7

≥55 5 7,1

Total 70 100

2. Jenis Kelamin

Laki-laki 5 7,1

Perempuan 65 92,9

Total 70 100

3. Tingkat Pendidikan

1. SPK 2 2,86

2. DIII Keperawatan 67 95,7

3. S1 Keperawatan 1 1,43

Total 70 100

4. Masa Kerja

1. 1 – 5 tahun 12 17,1

2. 6 – 10 tahun 24 34,3

3. 11 – 15 tahun 20 28,6

4. 16 – 20 tahun 10 14,3

5. >20 tahun 4 5,7

Total 70 100

Tabel 4.2. di atas menunjukkan bahwa berdasarkan umur, proporsi umur petugas kesehatan tertinggi pada kelompok umur 35 -44 tahun yaitu sebanyak 35 orang (50%) dan yang terendah pada kelompok umur ≥ 55 tahun yaitu sebanyak 5 orang (7,1%). Berdasarkan jenis kelamin, proporsi jenis kelamin tertinggi adalah perempuan yaitu sebanyak 65 orang (92,86). Berdasarkan tingkat pendidikan, proporsi tingkat pendidikan petugas kesehatan terbanyak adalah DIII Keperawatan yaitu sebanyak 67 orang (95,7%) sedangkan pendidikan S1 Keperawatan yaitu hanya


(69)

1 orang (1,43%). Berdasarkan masa kerja, proporsi masa kerja terbanyak dengan masa kerja > 6 tahun, yaitu sebanyak 58 orang (82,9%) dan terendah dengan masa kerja < 5 tahun yaitu, sebanyak 12 orang (17,1%).

4.2.3. Distribusi Pengetahuan Petugas kesehatan Mengenai Pencegahan Hepatitis B

Pada variabel pengetahuan, petugas kesehatan seluruhnya menjawab benar pada pertanyaan bahwa petugas kesehatan beresiko tertular hepatitis B (100%) dan kapan kewaspadaan umum dilaksanakan (100%). Petugas kesehatan paling banyak menjawab salah pada pertanyaan contoh kewaspadaan umum (48,6%) dan tujuan kewaspadaan umum (47,1%). Seperti terlihat pada tabel 4.3 di bawah ini :

Tabel 4.3. Distribusi Jawaban Petugas kesehatan Mengenai Pengetahuan tentang Pencegahan Hepatitis B

No Pertanyaan Benar Salah Tota

l % n % n %

1. Mengetahui Hepatitis B 52 74,3 18 25,7 70 100 2. Mengetahui bahwa petugas kesehatan

beresiko tertular Hepatitis B 70 100 0 0

70 100 3. Mengetahui penularan Hepatitis B 40 57,1 30 42,9 70 100 4. Mengetahui kewaspadaan umum 48 68,6 22 31,4 70 100 5. Mengetahui tujuan kewaspadaan umum 37 52,9 33 47,1 70 100 6. Mengetahui tujuan melakukan

kewaspadaan umum

48 68,6 22 31,4 70 100 7. Mengetahui siapa yang harus

melakukan kewaspadaan umum

40 57,1 30 42,9 70 100 8. Mengetahui kapan kewaspadaan umum

dilaksanakan

70 100 0 0 70 100

9. Mengetahui contoh kewaspadaan umum

36 51,4 34 48,6 70 100 10. Mengetahui kapan cuci tangan

dilakukan


(1)

96


(2)

97


(3)

98


(4)

99


(5)

100


(6)

101